Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Perantauan
senja menorehkan warna jingga di ufuk barat diujung langit yang ingin segera menelan semua keindahan tampa sadar berapa banyak perasaan kecewa yang ikut bersedih karna kepergian, menyaksikan kepergian Putra. Bayangan tubuhnya yang menjauh bagai burung meninggalkan sangkar yang membuatnya gelisah dan ragu apakah merpati tersebut dan bertahan di luar sangkarnya dan kembali tampa cacat sayap dan anggota tubuh yang masih utuh bersama tujuanya, meninggalkan jejak debu di jalan setapak menuju Mataram. Di sana, menanti cita-cita yang membara di dada muda. Namun, di balik kilauan harapan itu, terpatri bayangan lain: wajah Ayah keriputnya bercerita bisu tentang kerja keras yang tak kenal lelah mencabik sawah di setiap harinya .
Sebagai Putra dari dua bersaudara, adalah tangan kanan Ayah. Sejak kecil, ia telah terbiasa membantu Ayah menanam padi, memanen jagung, merasakan dinginnya embun pagi dan teriknya matahari siang di ladang. Ikatan batin mereka begitu kuat, terjalin erat seperti akar pohon beringin yang mencengkeram bumi. Namun, panggilan pendidikan yang terus berdering di telinga sang ayah membuat ayah tidak berpikir panjang untuk membawanya jauh, memisahkannya dari tanah kelahiran, dari pelukan hangat Ayah.
Universitas Mataram, sebuah mimpi yang terpatri dalam benaknya sejak lama, kini menjadi kenyataan. Namun, kenyataan itu terasa pahit. Pahitnya perpisahan, pahitnya meninggalkan Ayah yang harus membanting tulang sendirian. Sebelum berangkat, Putra memeluk Ayah, tubuh renta itu terasa begitu rapuh di pelukannya. Air mata membasahi pipi keduanya, tanpa sepatah kata pun terucap, namun perasaan itu begitu mendalam, terukir di sanubari.
Di Mataram, Putra berjuang melawan kerasnya hidup. Ia mencoba mencari tambahan agar tidak terlalu memberikan beban pada pundak ayah yang sudah terlihat bengkong ditimpuk semua beban kepadanya tampa pernah dittanya apakah ayah baik – baik saja hari ini, menjadi pelayan di sebuah rumah makan sederhana, menjual jajanan pasar di keramaian kota. Tangannya yang dulu terbiasa memegang cangkul, kini memegang sendok dan piring, melayani pelanggan yang silih berganti. Kelelahan fisik tak sebanding dengan kelelahan batin yang menggerogoti hatinya. Rindu, seperti gelombang pasang yang tak pernah surut, menerjang jiwanya. Ia merindukan aroma masakan Ibu, suara riuh sawah di pagi hari, dan sentuhan tangan kasar Ayah yang penuh kasih sayang.
Setiap malam, di bawah cahaya lampu kamar kosnya yang redup, Putra menulis surat untuk Ayah. Huruf demi huruf ia rangkai, mencurahkan isi hatinya, bercerita tentang perjuangannya, tentang mimpi-mimpinya, dan tentang rindunya yang tak terkira. Surat-surat itu, bagai benang merah yang menghubungkan jarak dan waktu, menjaga ikatan batin yang tak pernah putus.
Suatu hari, Putra pulang. Ia mendapati Ayah tampak lebih tua dan lebih kurus. Tangan Ayah yang dulu kuat, kini tampak gemetar. Melihat Putra, Ayah tersenyum, senyum yang terpatri kelelahan namun dipenuhi kebanggaan. Putra memeluk Ayah, merasakan betapa besar pengorbanan yang telah Ayah lakukan. Ia menyadari, tangan kanannya yang merantau telah meninggalkan kekosongan besar di ladang, namun juga membawa harapan baru bagi keluarga. Harapan akan masa depan yang lebih baik, yang akan diwujudkan dengan kerja keras dan pengorbanan yang tak pernah kenal lelah. Putra berjanji, ia akan kembali, bukan hanya sebagai anak, tetapi sebagai seorang yang mampu membalas kasih sayang dan pengorbanan Ayah. Ia akan selalu menjadi tangan kanan Ayah, meskipun jarak dan waktu memisahkan mereka. Ikatan batin mereka, lebih kuat dari segalanya.
Perantauan
Mentari senja menorehkan warna jingga di ufuk barat diujung langit yang ingin segera menelah semua keindahan tampa sadar berapa banyak perasaan kecewa yang ikut bersedih karna kepergian, menyaksikan kepergian Putra. Bayangan tubuhnya yang menjauh bagai burung merpati yang dilepaskan dengan bebas dan meninggalkan sangkar yang membuatnya gelisah dan ragu apakah merpati tersebut dan bertahan di luar sangkarnya dan kembali tampa cacat sayap dan anggota tubuh yang masih utuh bersama tujuanya, meninggalkan jejak debu di jalan setapak menuju Mataram. Di sana, menanti asa yang membuncah, cita-cita yang membara di dada muda. Namun, di balik kilauan harapan itu, terpatri bayangan lain: wajah Ayah, keriputnya bercerita bisu tentang kerja keras yang tak kenal lelah di sawah-sawah Nusa Tenggara Barat.
Sebagai Putra dari dua bersaudara, adalah tangan kanan Ayah. Sejak kecil, ia telah terbiasa membantu Ayah menanam padi, memanen jagung, merasakan dinginnya embun pagi dan teriknya matahari siang di ladang. Ikatan batin mereka begitu kuat, terjalin erat seperti akar pohon beringin yang mencengkeram bumi. Namun, panggilan pendidikan yang terus berdering di telinga sang ayah membuat ayah tidak berpikir panjang untuk membawanya jauh, memisahkannya dari tanah kelahiran, dari pelukan hangat Ayah.
Universitas Mataram, sebuah mimpi yang terpatri dalam benaknya sejak lama, kini menjadi kenyataan. Namun, kenyataan itu terasa pahit. Pahitnya perpisahan, pahitnya meninggalkan Ayah yang harus membanting tulang sendirian. Sebelum berangkat, Putra memeluk Ayah, tubuh renta itu terasa begitu rapuh di pelukannya. Air mata membasahi pipi keduanya, tanpa sepatah kata pun terucap, namun perasaan itu begitu mendalam, terukir di sanubari.
Di Mataram, Putra berjuang melawan kerasnya hidup. Ia mencoba mencari tambahan agar tidak terlalu memberikan beban pada pundak ayah yang sudah terlihat bengkong ditimpuk semua beban kepadanya tampa pernah dittanya apakah ayah baik – baik saja hari ini, menjadi pelayan di sebuah rumah makan sederhana, menjual jajanan pasar di keramaian kota. Tangannya yang dulu terbiasa memegang cangkul, kini memegang sendok dan piring, melayani pelanggan yang silih berganti. Kelelahan fisik tak sebanding dengan kelelahan batin yang menggerogoti hatinya. Rindu, seperti gelombang pasang yang tak pernah surut, menerjang jiwanya. Ia merindukan aroma masakan Ibu, suara riuh sawah di pagi hari, dan sentuhan tangan kasar Ayah yang penuh kasih sayang.
Setiap malam, di bawah cahaya lampu kamar kosnya yang redup, Putra menulis surat untuk Ayah. Huruf demi huruf ia rangkai, mencurahkan isi hatinya, bercerita tentang perjuangannya, tentang mimpi-mimpinya, dan tentang rindunya yang tak terkira. Surat-surat itu, bagai benang merah yang menghubungkan jarak dan waktu, menjaga ikatan batin yang tak pernah putus.
Suatu hari, Putra pulang. Ia mendapati Ayah tampak lebih tua dan lebih kurus. Tangan Ayah yang dulu kuat, kini melemah dicabik waktu saat Melihat Putra, Ayah tersenyum, senyum yang terpatri kelelahan namun dipenuhi kebanggaan. Putra memeluk Ayah, merasakan betapa besar pengorbanan yang telah Ayah lakukan. Sekarang ketakutan semakin memuncak saat memikirkan apakah dia bisa membalas atas apa yang telah diterima dan takut jika pulang ayah sudah tidak mampu lagi berdiri dan memanggil nama anaknya, tangan kanannya yang merantau telah meninggalkan kekosongan besar di ladang, namun juga membawa harapan baru bagi keluarga. Harapan akan masa depan yang lebih baik, yang akan diwujudkan dengan kerja keras dan pengorbanan yang tak pernah kenal lelah. Putra berjanji, ia akan kembali, bukan hanya sebagai anak, tetapi sebagai seorang yang mampu membalas kasih sayang dan pengorbanan Ayah. Ia akan selalu menjadi tangan kanan Ayah, meskipun jarak dan waktu memisahkan mereka. Ikatan batin mereka, lebih kuat dari segalanya.
Perantauan
Mentari senja menorehkan warna jingga di ufuk barat diujung langit yang ingin segera menelah semua keindahan tampa sadar berapa banyak perasaan kecewa yang ikut bersedih karna kepergian, menyaksikan kepergian Putra. Bayangan tubuhnya yang menjauh bagai burung merpati yang dilepaskan dengan bebas dan meninggalkan sangkar yang membuatnya gelisah dan ragu apakah merpati tersebut dan bertahan di luar sangkarnya dan kembali tampa cacat sayap dan anggota tubuh yang masih utuh bersama tujuanya, meninggalkan jejak debu di jalan setapak menuju Mataram. Di sana, menanti asa yang membuncah, cita-cita yang membara di dada muda. Namun, di balik kilauan harapan itu, terpatri bayangan lain: wajah Ayah, keriputnya bercerita bisu tentang kerja keras yang tak kenal lelah di sawah-sawah Nusa Tenggara Barat.
Sebagai Putra dari dua bersaudara, adalah tangan kanan Ayah. Sejak kecil, ia telah terbiasa membantu Ayah menanam padi, memanen jagung, merasakan dinginnya embun pagi dan teriknya matahari siang di ladang. Ikatan batin mereka begitu kuat, terjalin erat seperti akar pohon beringin yang mencengkeram bumi. Namun, panggilan pendidikan yang terus berdering di telinga sang ayah membuat ayah tidak berpikir panjang untuk membawanya jauh, memisahkannya dari tanah kelahiran, dari pelukan hangat Ayah.
Universitas Mataram, sebuah mimpi yang terpatri dalam benaknya sejak lama, kini menjadi kenyataan. Namun, kenyataan itu terasa pahit. Pahitnya perpisahan, pahitnya meninggalkan Ayah yang harus membanting tulang sendirian. Sebelum berangkat, Putra memeluk Ayah, tubuh renta itu terasa begitu rapuh di pelukannya. Air mata membasahi pipi keduanya, tanpa sepatah kata pun terucap, namun perasaan itu begitu mendalam, terukir di sanubari.
Di Mataram, Putra berjuang melawan kerasnya hidup. Ia mencoba mencari tambahan agar tidak terlalu memberikan beban pada pundak ayah yang sudah terlihat bengkong ditimpuk semua beban kepadanya tampa pernah dittanya apakah ayah baik – baik saja hari ini, menjadi pelayan di sebuah rumah makan sederhana, menjual jajanan pasar di keramaian kota. Tangannya yang dulu terbiasa memegang cangkul, kini memegang sendok dan piring, melayani pelanggan yang silih berganti. Kelelahan fisik tak sebanding dengan kelelahan batin yang menggerogoti hatinya. Rindu, seperti gelombang pasang yang tak pernah surut, menerjang jiwanya. Ia merindukan aroma masakan Ibu, suara riuh sawah di pagi hari, dan sentuhan tangan kasar Ayah yang penuh kasih sayang.
Setiap malam, di bawah cahaya lampu kamar kosnya yang redup, Putra menulis surat untuk Ayah. Huruf demi huruf ia rangkai, mencurahkan isi hatinya, bercerita tentang perjuangannya, tentang mimpi-mimpinya, dan tentang rindunya yang tak terkira. Surat-surat itu, bagai benang merah yang menghubungkan jarak dan waktu, menjaga ikatan batin yang tak pernah putus.
Suatu hari, Putra pulang. Ia mendapati Ayah tampak lebih tua dan lebih kurus. Tangan Ayah yang dulu kuat, kini tampak gemetar. Melihat Putra, Ayah tersenyum, senyum yang terpatri kelelahan namun dipenuhi kebanggaan. Putra memeluk Ayah, merasakan betapa besar pengorbanan yang telah Ayah lakukan. Ia menyadari, tangan kanannya yang merantau telah meninggalkan kekosongan besar di ladang, namun juga membawa harapan baru bagi keluarga. Harapan akan masa depan yang lebih baik, yang akan diwujudkan dengan kerja keras dan pengorbanan yang tak pernah kenal lelah. Putra berjanji, ia akan kembali, bukan hanya sebagai anak, tetapi sebagai seorang yang mampu membalas kasih sayang dan pengorbanan Ayah. Ia akan selalu menjadi tangan yang dapat dipercaya untuk meneruskan pengorbanan ayah yang tak pernah mengeluh dan memperlihatkan bahwa dia kesulitan tetap memperlihatkan sikap ramah walaupun dulu sering putra dimarahi dan dan tak jarang ayah memukulnya dengan manja baru sekarang tersadar bahwa dia sangat mencintai keluarga hanya ingin memberikan hal terbaik dan mengarahkan agar tidak salah jalan dan dapat diandalkan saat ayah tidak di rumah