Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Peran
14
Suka
495
Dibaca

“Cita-citaku jadi dokter, Bu.”

“Wah, cita-cita yang hebat, Nak. Semoga cita-citanya terwujud.”

Doa dari ibu guru tersebut membuat Fira tersenyum lebar, dadanya bergemuruh. Setibanya di rumah pun, ia dengan bangga menceritakannya pada sang Ibu. Tak peduli jika ibunya hanya diam dan mengangguk-angguk saja.

Kenangan itu tiba-tiba saja terlintas di benaknya saat semua usaha yang dilakukan tak membuahkan hasil. Membuat Fira geram setengah mati. Sontak ia berdecih saat mengingat betapa bodoh dirinya sebab tak mematuhi ucapan sang Ibu. Ia pikir, ibunya hanya merendah atau kurang percaya diri saja, sehingga impian Fira tak pernah membuat bangga perempuan yang sudah berperan menjadi ibu sekaligus ayah untuknya.

“Lo di mana? Nggak lagi mantengin Poltekkes dari kejauhan kayak biasanya ‘kan?”

Fira tidak menjawab. Hanya helaan napas yang terdengar.

“Pasti lo lagi di sana. Gue ga ngerti deh dengan jalan pikiran lo. Dengan lo pergi ke sana setiap hari, lo bakalan terus-terusan nyakitin diri lo sendiri. Pikirin kesehatan lo. Sampai kapan lo bakalan terpuruk cuma karena satu impian itu?!”

“Lo gak bakalan ngerti, Mey! Gimana mau ngerti, lo aja sekarang pakai almamater yang diimpikan semua orang. Lo gak akan paham gimana posisi gue saat ini.”

“Fir, plis deh. Gue mohon sekarang lo balik, gue ke rumah lo habis ini!”

Fira mendengus. Telepon diputus sepihak oleh Meysha. Rupanya sahabatnya itu ikut gila dengan tingkah Fira akhir-akhir ini.

Dedaunan kering yang tersapu angin membuat Fira menitikkan air mata. Bukankah aku sama dengan daun kering ini? Layu, mati, tak berdaya, batinnya. Sembari berjalan, Fira kembali mengingat-ingat, apa yang salah dengannya hingga kampus-kampus impiannya menolak dirinya. Apa yang kurang darinya hingga bertahun-tahun mencoba tapi tak ada hasilnya.

Rahayu, teman sekelasnya di SMA, setelah lulus ia langsung diterima di kampus kedokteran. Ghani, teman masa kecilnya, sekali saja gagal, tahun esoknya sudah diterima di kampus kedokteran juga. Sementara Dhea, ia memang gagal memasuki kampus kedokteran, tetapi ia diterima di perusahaan bergengsi. Entah bagaimana mereka semua bisa memiliki jalan yang begitu indah. Apakah sebab usaha mereka yang melebihi batas ataukah keberuntungan tengah memihak mereka?

Pasalnya Fira sendiri sudah pontang-panting membabat waktu tidurnya demi belajar untuk tes kuliah. Fira juga telah mengirimkan banyak sekali surat lamaran ke banyak perusahaan, bahkan ke toko-toko kecil di daerahnya. Namun, tak satu pun yang diterima. Sebagian terdapat balasan berupa penolakan, sebagian pula mengambang begitu saja, menyisakan tanda tanya besar bagi Fira.

Padahal kata orang, jika bersungguh-sungguh, pasti akan berhasil. “Bukankah aku sudah bersungguh-sungguh selama ini?” batin Fira sesak.

_-_-_-_

Mungkinkah ...

Mungkinkah ...

Mungkinkah?

Kau mampir hari ini

Bila tidak mirip kau, jadilah bunga matahari ....

Andre mendengarkan alunan lagu ‘Gala Bunga Matahari’ ciptaan Sal Priadi yang tengah dinyanyikan oleh pengamen cilik. Suaranya yang lembut menggugah hati orang-orang yang berlalu lalang di alun-alun kota. Terlebih ia sangat menghayati lagu tersebut.

Usai menyanyikan lagu, anak itu menerima receh demi receh dengan senyum semringah. Matanya berkilat-kilat seolah tengah tampil di pentas luas. Dari caranya berterima kasih, terlihat jelas jika dia sangat menikmati apa yang tengah dijalaninya.

“Buat makan malam, Dek,” ucap Andre seraya memberikan sebungkus nasi dengan lauk ayam krispi.

Anak yang usianya berkisar delapan tahunan itu menerima dengan wajah berbinar-binar. Bagai mendapat durian runtuh, dia membungkukkan badannya sembari berucap terima kasih berkali-kali. Andre hanya tersenyum tipis. Sebenarnya bungkusan nasi itu ia beli untuk dirinya sendiri, sebagai reward jerih payahnya merekam lagu-lagu cover di kanal YouTube-nya. Namun, melihat dan mendengar anak itu bernyanyi dengan sangat khidmat membuatnya tersentuh.

Pasalnya, akhir-akhir ini Andre mulai merasa putus asa sebab usahanya belum mendapat kemajuan barang sesenti. Orang tua dan saudara-saudaranya sudah mencemooh pekerjaannya. Mereka mulai membanding-bandingkan hasil kerjanya. Adiknya yang terpaut 5 tahun kini duduk di perusahaan ternama. Kerjanya di ruang teduh, menghadap komputer, gajinya dua digit per bulan, ia sudah bisa membeli sebuah motor baru dan berencana membeli mobil tahun depan.

Sementara kakaknya baru saja membeli rumah di salah satu perumahan kota. Tak ayal Andre kerap menjadi bulan-bulanan keluarganya. Hingga tiap detiknya, Andre bertanya-tanya, “Apakah dunia ini tidak diciptakan untukku? Jika benar, lantas mengapa aku ada di dunia ini?”

Suara Andre tak kalah bagus dengan penyanyi-penyanyi populer yang mengadakan konser di mana-mana. Tapi entah apa yang salah, berbagai cover lagu yang ia nyanyikan tak seviral yang lain. Bukan hanya itu, Andre juga beberapa kali menciptakan lagu sendiri, tetapi sama saja, malah lebih buruk. Tak terasa sudah 13 tahun ia bergelut di dunia musik, ingin tinggal, tetapi tak ada kemajuan. Ingin pergi, tetapi jiwa penyanyi seolah melekat dalam dirinya.

Ibaratnya, ia sudah kadung nyemplung dalam kolam. Terlanjur basah. Jika ia tidak berenang atau menyelam, maka akan tenggelam. Jika ia memilih keluar kolam, maka pakaiannya sudah basah. Orang-orang sudah mengenalnya sebagai penyanyi, lagipula jika alih profesi, pekerjaan apa yang pantas untuknya? Otaknya serasa hendak pecah memikirkan semua itu.

_-_-_-_

Kos-kosan Fira tak jauh dari Poltekkes. Sengaja mencari yang terdekat dari sana, rela tidur di ruangan sempit demi impian. Meski kecil, biaya sewanya lumayan menguras dompet. Meysha berulang kali memintanya untuk pindah, barangkali Fira bisa segera berdamai dengan keadaan. Sayangnya tidak digubris.

500 meter dari kosan, Fira melewati pasar tradisional yang sudah lumayan sepi. Matanya menangkap sosok perempuan yang usianya berkisar 70 tahun tengah melayani pembeli. Terbesit rasa iba, tetapi ia juga mengernyit, bertanya-tanya mengapa nenek berusia tua itu masih berjualan? Bagaimana bisa nenek itu berjualan dengan riang? Tidakkah ada perasaan lelah atau muak? Fira mendekat, bau jahe, lengkuas, dan rempah lainnya menguar memenuhi indra penciuman. Ternyata tak banyak yang dijual, hanya ada rempah-rempah beberapa nampan. Usai melayani pembeli, nenek itu bertanya pada Fira. Sementara Fira masih sibuk mengamati rempah-rempah di nampan.

“Mau beli apa, Nak?”

Fira tergeragap, “Eh, jahe sama kunyit aja, Nek.”

“Beli berapa?” Tangan sang nenek sigap mengambil plastik.

“Eee ... Beli lima belas ribu, dicampur.” Fira bergegas merogoh kantong, khawatir ia lupa membawa uang. Sekian detik mencari, tepat saat sang nenek memberikan belanjaannya, ia menemukan uang dua puluh ribuan lusuh.

“Ini, Nek,” ucap Fira sopan.

Sang nenek mengambilnya, memberikan belanjaan Fira, lantas membolak-balik tumpukan uang yang berada dalam kardus kecil.

“Nggak usah kembalian, Nek.”

Sang nenek mendongak, kemudian tetap memberikan kembalian lima ribu rupiah. Fira hendak menolak tetapi urung.

“Kenapa nenek masih berjualan?” tanya Fira tanpa sadar.

Senyum manis terukir di bibir sang nenek. “Karena keadaan,” ucapnya santai.

Fira mengernyit, di kepalanya terbayang apakah kehidupan nenek itu jauh lebih sulit dari yang ia kira?

“Kehidupan itu terasa sulit atau tidaknya tergantung yang menjalani. Bisa jadi aku yang masih berjualan di usia ini dikasihani banyak orang dan dianggap sedang sulit. Padahal aku menikmati semuanya.” Ucapan nenek itu seolah-olah menjawab pertanyaan Fira yang belum sempat dilontarkan.

“Kenapa begitu?” tanya Fira tertegun. Ia merasa malu sebab tadi mengasihani nenek itu. Entah akan ia apakan jahe dan kunyit yang dibelinya.

“Karena setinggi apa pun jabatan kita, sebanyak apa pun uang kita, tetapi jika masih merasa tidak cukup, maka sejatinya kita tengah sengsara. Dan sesedikit apa pun uang yang kita punya, kalau kita merasa cukup, maka hati ini tidak akan merasa sulit. Terkadang, rakyat kecil seperti kita ini jauh lebih mengerti arti syukur ketimbang orang-orang elit.”

Fira yang mendengar penuturan nenek sembari berjongkok pun mengangguk-angguk. Ia setuju, sebab ibunya dulu kerap mengajarkan arti syukur.

“Apa nenek gak capek?”

Nenek itu mulai berkemas, ia lagi-lagi tersenyum tipis mendengar pertanyaan dari Fira. “Tentu saja capek, Nak. Tapi gak ada orang yang gak capek di dunia ini. Semuanya merasakan capek. Karena ya memang begini dunia.”

Fira menghela napas panjang, membuat ia menyadari bahwa ujian dalam hidupnya ini belum seberapa. Masih banyak hal yang belum ia coba. Ibarat berjuang, ia belum sampai pada titik penghabisan.

“Biasanya, anak muda itu penuh dengan impian dan kegagalan. Nah, kau sedang berada di bagian mana?”

Fira meringis, ia tak menyadari betapa akrabnya dirinya dengan orang asing. “Aku punya cita-cita, tapi cita-cita itu sudah gagal,” ucap Fira penuh penyesalan.

“Memang biasanya anak seumuran kau ini saat melalui kegagalan terasa berat, Nak. Rasanya seperti berada di jalan buntu. Rasanya seperti ada yang runtuh. Tapi suatu saat kau pasti mengerti arti di balik kegagalan-kegagalan itu. Nanti akan ada masanya kau menyadari bahwa ujian-ujianmu saat ini terlihat kecil.”

Sembari ikut mengemas jualan sang Nenek, Fira mengiyakan nasihat itu.

“Lagipula, nggak semua hal bisa digapai. Ada kalanya harus dilepaskan dan melepaskan justru akan mengurangi beban penyesalan.”

Fira mengangguk-angguk saja. Di belakangnya berdiri seorang lelaki paruh baya, berbicara dengan bahasa isyarat. Semula Fira tak sadar jika tengah membelakangi seseorang, ketika nenek itu tiba-tiba menggerak-gerakkan tangannya, barulah Fira menoleh, mendapati seseorang tengah berbicara dengan nenek itu.

“Dia anakku satu-satunya,” ujar sang Nenek seolah menjelaskan.

Seketika Fira tertegun. Dalam hatinya ia kini mengerti mengapa nenek itu masih berjualan. Diam-diam ia mengagumi perempuan berambut putih itu. Fira teringat pada sang Ibu yang senantiasa mengusahakan apa pun demi kehidupan anak-anaknya.

“Lalu apa yang sedang kulakukan sekarang? Menyesal dan marah pada keadaan? Bukankah itu tindakan bodoh?” batin Fira sedih.

“Lekas pulang, Nak. Lekas berjuang kembali. Kudoakan kau berbahagia di kehidupan ini.” Nenek itu selesai memindahkan rempah-rempah jualannya ke keranjang motor milik anaknya.

Fira pun berpamitan, beranjak pergi dengan semangat serta kesadaran diri yang baru. Sudah bertahun-tahun ia terpuruk. Ibunya sudah lelah. Adik-adiknya menunggu kepulangannya dengan sabar. Sementara Meysha, satu-satunya temannya berbaik hati membesarkan hatinya.

“Saatnya berbenah,” tekadnya dalam hati.

_-_-_-_

“Katanya, semua manusia di bumi ini memiliki perannya masing-masing. Barangkali kegagalan kita dalam mencapai sesuatu karena peran kita hanya sampai di situ. Sekeras apa pun usahanya. Sebesar apa pun semangatnya. Mungkin, kita memang diciptakan sebagai figuran.”

Andre membaca sebuah utas yang muncul di berandanya. Dengan username @safira.a dan baru diposting beberapa jam yang lalu. Andre yang teringat pada seorang anak kecil di alun-alun kemarin merasa related dengan utas tersebut.

Ia pun memberi like lantas beralih melihat-lihat isi akun itu. Sembari berselonjor di kursi kayu dengan gitar di sisi kiri, jarinya berselancar di aplikasi Threads.

“Terkadang hidup hanya untuk mencoba, gagal, kembali mencoba, lalu gagal lagi.”

Sejenak Andre tertawa, menertawakan kehidupannya yang sesuai dengan quote tersebut.

“Dunia akan tetap baik-baik saja meski kita hancur. Waktu ga akan berhenti hanya karena kita terpuruk.”

Lagi-lagi Andre menyukai utas itu. Ia setuju. Sesulit apa pun kehidupannya, dunia tetap berjalan dengan semestinya. Meski seluruh keluarganya menghina, ia harus tetap bertahan dan menjalani hidup.

Ponselnya pun ia letakkan dan mulai memetik gitar. Di tengah kesepian dan kesendirian, bunyi gitarnya memecah kesunyian. Dinding ruang kosnya menjadi saksi bisu perjuangannya selama ini.

_-_-_-_

Pagi-pagi sekali, Fira mengecek notifikasi dari aplikasi Threads-nya. Ada beberapa like dari orang yang sama. Fira tak mengira akan ada yang menyukai utas tersebut. Kemarin pertama kalinya ia memakai aplikasi itu, rupanya meski tak mengikuti banyak teman, utas yang ia buat bisa muncul di beranda orang lain.

Fira pun mengira-ngira, apakah orang yang menyukai utas berisi kalimat pasrah itu juga tengah mengalami fase hidup yang sulit? Sejenak ia merasa agak lega, menyadari bahwa tak hanya dirinya yang sedang berada di jalan buntu.

Tamat

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Peran
Adrikni LR
Cerpen
Bronze
Sam dan Mawar Kutukan
Arina Maulidia
Cerpen
Harapan
Cassandra Reina
Cerpen
Terpaksa Merampok
Putri Rafi
Cerpen
He's not just a green flag but teal green
Firlia Prames Widari
Cerpen
Bronze
Lurik
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Tangisan Ibu Terhenti
Sepasang Renjana
Cerpen
ABADI
Lili Selfiana
Cerpen
Bronze
HRD Negeri Sipil
spacekantor
Cerpen
Bronze
My Weird Online Friend
Rosa L.
Cerpen
Semar Mendem
hyu
Cerpen
Keabadian di Rumah Hening
Telor Dadar
Cerpen
Bronze
Cinta Tanpa Batas
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Janji Tak Akan Ingkar
Galih Priatna
Cerpen
Sesi
Dina prayudha
Rekomendasi
Cerpen
Peran
Adrikni LR
Flash
Binar
Adrikni LR
Novel
When Life Must Go On
Adrikni LR
Novel
Siro'ul Hubb
Adrikni LR