Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Rianti menyesali keputusan gegabahnya kabur dari rumah. Jika saja ia tahu jadinya akan seperti ini, ia tentunya tidak akan pergi. Tapi, siapa yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Rianti bukan peramal. Ia bahkan tidak bisa membaca sifat asli seseorang. Hingga benar – benar terjebak dengan orang yang telah dianggapnya sangat baik itu.
Rianti duduk termenung di sudut ruangan. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Memangnya apa lagi yang bisa ia kerjakan selain duduk diam dan mengatur napas? Siapa yang bisa menolongnya? Ia saja tidak tahu di mana sekarang keberadaannya. Yang ia tahu tempat itu sunyi dan gelap. Yang ia rasakan sedikit sesak karena ruangan itu terasa banyak debu. Rianti tidak berani banyak bergerak. Takut – takut nanti menginjak bangkai tikus atau malah mayat seseorang.
“TOLOOOONG!!!”
Akhirnya berani juga ia berteriak. Tapi siapa yang akan mendengar? Ruangan itu terasa kedap. Cukup untuk mengurung Rianti dan mungkin banyak korban lainnya tanpa ketahuan siapa pun. Rianti merasa akan dieksekusi. Apakah ia akan mati? Atau ia benar – benar hanya akan dijual sebagai pemuas kebutuhan lelaki hidung belang? Siapa yang tahu. Yang jelas, tubuhnya sehat dan cukup berisi untuk remaja seusianya. Ginjalnya pasti sangat berguna. Matanya yang minus mungkin kurang diminati. Tapi masih banyak organ lainnya yang bisa dipanen. Atau nanti jika diberi pilihan, manakah yang akan ia korbankan? Kehormatannya sebagai wanita demi tubuhnya tetap utuh atau satu ginjalnya ia serahkan demi kehormatannya yang tetap tak terjamah? Rianti menghela napas. Ia bingung. Bahkan kematian pun belum tentu bisa ia pilih.
Seandainya… seandainya saja ia tidak begitu keras kepala. Semestinya ia tidak begitu bebal. Kalau saja Rianti tidak pernah berkenalan dengan seorang lelaki di internet. Kalau saja ia tidak ikut – ikutan kasmaran seperti sepupunya yang genit dan hobi pacaran dengan orang random. Kalau saja ia tidak terpengaruh untuk mulai menebar benih asmara. Seharusnya ia tidak merajuk seperti remaja gila hanya karena dilarang berpacaran secara online. AH! Rianti hanya bisa berteriak di dalam hati. Kenapa nasibnya apes sekali. Kenapa ia yang terkena jeratan musang birahi. Bukan, ia bukan terkena jeratan musang birahi, melainkan masuk ke dalam perangkap mucikari. Setannya lagi, lelaki itu mucikari yang hobi menculik remaja bodoh macam Rianti.
“Jangan terlalu percaya dengan orang asing, Nak. Nggak semua orang itu baik”, nasehat ibu suatu kali. Rianti mendengarkan sambil bibirnya komat – kamit mengejek ibu tanpa suara.
“Sepupumu itu, si Wulan, memang pergaulannya bebas”, lanjut ibu. “Kamu kan tahu sendiri. Ibunya sudah meninggal, ayahnya menikah lagi. Dia Cuma diurus nenekmu. Itu pun nenek tidak mampu mendidiknya. Anak itu sudah tercemar pergaulan yang tidak baik.”
Rianti panas hati mendengar penuturan ibunya. Bagaimanapun, sepupunya tidak bersalah meski salah pergaulan. Gadis yang sering disindir genit itu butuh perhatian dan kasih sayang yang tulus. Salah pergaulannya adalah akibat ayahnya yang tidak mau mengurus. Seharusnya ibu kasihan pada Wulan.
“Ibu tentu kasihan pada Wulan.” Lanjut ibu lagi. “Ayah dan Ibu bahkan ikut menanggung biaya sekolah Wulan. Tapi, Wulan yang tidak mau diurus. Wulan yang tidak mau dididik dan dinasehati. Dia yang memilih pergaulan bebas itu, Nak.” Ibu membantah protes Rianti yang terus membela sepupunya itu.
Namun, Rianti tetap saja dengan pemikirannya. Ia terlalu percaya pada cerita Wulan yang kerap mendramatisir kesusahan hidupnya. Padahal, Rianti sendiri tahu kalau Wulan tidak pernah kekurangan uang. Selain ayah dan ibunya yang ikut membiayai sekolah Wulan, para paman dan bibi Rianti pun juga selalu memberi uang kepada Nenek dan Wulan untuk memenuhi kehidupan sehari – hari mereka.
“Memang dasar Wulannya saja yang tidak tahu diri!”, umpat Nenek suatu kali. “Kalau memang Wulan tidak ada yang peduli, tidak ada yang sayang, sudah terlantar dia di luaran sana!”.
Rianti geleng – geleng kepala tanda tidak setuju dengan neneknya. Meski begitu, ia memilih untuk tidak membantah. Baginya, Wulan tetap tidak bersalah. Gadis genit itu tumbuh di keluarga yang tidak utuh. Tentu saja sulit bagi Wulan untuk menjadi anak yang baik. Kasihan Wulan. Rianti tidak bisa menyalahkannya. Untuk itu, Rianti berusaha membantu Wulan dengan menjadi teman dekatnya. Rianti tidak masalah selalu berbagi uang jajan. Juga sering membelikan pulsa dan kuota internet untuk gadis malang itu. Rianti bahkan rajin menabung untuk bisa membelikan barang – barang yang Wulan inginkan. Kalau bukan Rianti, siapa yang akan menyayangi dan melindungi Wulan?
***
“Sampai kapan aku di sini?”, lirih Rianti.
Kakinya mulai kesemutan karena duduk menekuk terlalu lama. Rasanya seperti sudah seharian. Padahal, Rianti tahu pasti, baru beberapa jam ia lewati. Rianti hanya bisa memeluk dirinya sendiri. Tas ransel yang berisi pakaian, makanan ringan dan handphone, telah hilang darinya sejak ia tidak sadarkan diri. Rianti yakin ia telah dibius. Lelaki tampan itu, yang disangkanya adalah cinta sejati, ternyata seorang mucikari. Kenapa lelaki itu jahat sekali? Padahal Rianti sangat mencintainya. Rianti bahkan ingin hidup bersamanya. Rianti pun tidak peduli perbedaan jauh usia mereka.
Lelaki yang lebih pantas dipanggilnya Paman daripada Sayang itu, telah dicintai Rianti secara menjadi – jadi. Meski belum sampai melakukan penyatuan cinta, namun beberapa kali bertemu lelaki itu mampu membuat Rianti melayang ke langit ketujuh. Sungguh beruntung remaja lima belas tahun seperti Rianti bisa dicintai dan mencintai lelaki dewasa dan diperlakukan bagai Ratu. Namun kini, Rianti malah dijebak dengan kejam. Entah ke mana perasaan cinta lelaki itu. Apakah dalam waktu singkat bisa hilang begitu saja? Seharusnya Rianti bertanya pada Wulan tentang perasaan lelaki. Karena Wulan pasti tahu jawaban dari perubahan drastis ini.
Rianti terus berpikir. Bagaimana caranya ia bisa kabur. Dan jika nanti lelaki yang telah menjebaknya membebaskannya dari rencana menjual dirinya, yang entah ke penadah organ atau ke pusat pelacuran, apakah Rianti akan memaafkan lelaki itu? Kalau saja lelaki itu mau bertobat dari pekerjaan kotor dan terus memperjuangkan Rianti menjadi istri, mungkin saja Rianti mau menerimanya kembali. Namun kini, meski hati Rianti masih mencintai tapi kekecewaannya sudah tak bisa dibendung lagi.
***
“Bisa – bisanya kamu pacaran dengan laki – laki tidak dikenal. Mau hanya pacar online atau dunia maya, atau pacaran di dunia nyata, tetap saja itu tidak boleh!”, marah ayah pada Rianti.
Dengan tatapan bandel yang dijatuhkannya ke lantai dan genggaman tinju yang ia sembunyikan dibalik punggung. Rianti berusaha mengunci mulutnya rapat – rapat demi menghindari tamparan ayahnya, yang mungkin saja akan ia dapatkan jika berani membantah dan berteriak seperti kepada ibunya tempo hari.
“Kamu tidak sadar dengan banyaknya bahaya di luar sana. Apalagi ini pacaran dengan laki – laki yang tidak jelas,” lanjut ayah.
“Tugasmu itu belajar Rianti, bukan mencari lelaki! Jangan sampai kamu jadi liar seperti Wulan. Lebih baik kamu tidak usah berteman dekat dengan anak itu!”
Deg! Perasaan Rianti sangat kesal. Lagi – lagi Wulan dijelek – jelekkan. Mata Rianti melotot namun tetap tertuju pada lantai. Tinju di belakang punggungnya semakin mengeras. Rianti berusaha terlihat santai meski hatinya tidak tenang. Ia berjalan masuk ke kamar untuk mengurung dirinya di sana setelah berpamitan pada ayah dan ibunya yang memandangnya khawatir.
Rianti membanting tubuhnya ke kasur lalu menangis tengkurap memikirkan nasib Wulan. Kasihan sepupunya itu, dianggap sebagai anak yang buruk kelakuan. Wulan butuh disayangi dan diarahkan, bukan diumpat terus – terusan. Rianti bertekad untuk terus melindungi Wulan. Ia tidak peduli jika namanya juga akan dijelek – jelekkan. Rianti akan menjadi teman terbaik Wulan. Besok, saat mereka kembali bersekolah, Rianti akan mentraktir Wulan makanan kesukaan gadis itu.
***
Rianti tersentak saat tubuhnya terasa akan jatuh. Ia tadi duduk bersandar dan sepertinya lelah karena terus berpikir hingga mengantuk. Rianti menghela napas panjang. Ketakutan kembali merambati tubuhnya. Apa akhir dari malam yang sedang dilaluinya? Apa yang akan terjadi padanya? Rianti mulai sadar kalau ia dalam bahaya. Jika dirinya memang akan diperjualbelikan, sudah pasti malam itulah awal penderitaannya. Dan jika ia hanya dijebak dengan dikurung di dalam ruangan yang entah apa dan di mana saat ini, mungkin saja ia dibiarkan mati. Rianti memegangi perutnya yang berbunyi pelan. Ia lapar namun tidak merasa ingin makan. Rasa takut telah menguasainya hingga tidak merasakan yang lainnya. Ruang yang gelap itu semakin membuatnya takut. Rianti tidak bisa melihat apa – apa. Benar – benar tidak ada cahaya sama sekali.
Lama Rianti menunggu sesuatu yang tidak pasti. Pikirannya terus mencari solusi. Sesekali pikiran negatifnya menguasai. Bagaimana jika ia mati kelaparan dan ketika ditemukan sudah menjadi kering kerontang. Rianti menyesali kebodohannya memercayai Wulan. Ia yakin Wulan tidak bermaksud buruk padanya, hanya saja lelaki yang diperkenalkan Wulan kepada Rianti ternyata tidak sebaik yang Rianti pikir. Wulan pasti juga kecewa. Kasihan Wulan. Berniat baik malah menjadi celaka bagi Rianti.
Tiba – tiba pintu pun terbuka. Ada seberkas cahaya memasuki ruangan pengap itu. Mata Rianti silau diterpa cahaya senter saat berusaha mencari tahu siapa orang – orang yang tengah berjalan ke arahnya. Ada tiga lelaki yang berjalan di belakang si mucikari. Jantung Rianti berdegup kencang. Pikirannya menyusun skenario terburuk. Mana mungkin kan di ruangan pengap itu Rianti akan “dieksekusi”?
Mata Rianti melihat ke arah pintu. Ia menimbang – nimbang untuk kabur. Rianti harus bisa berlari sekencang mungkin. Inilah penentuannya. Kenekatannya adalah penentu jalan hidupnya. Namun, pikirannya buyar saat laki – laki itu berkata, “Kamu tidak akan bisa lari, Rianti. Kamu sudah dibeli.”
Rianti lemas mendengarnya, namun ia kuat – kuatkan tubuhnya untuk berdiri dan berjaga – jaga.
“Kenapa kamu tega padaku? Kenapa kamu tega menjual aku? Aku cinta kamu, tapi ini balasanmu?”
Lelaki itu terkekeh kecil. “Sayang sekali Rianti, masa – masa indah kita harus berhenti malam ini. Kamu sudah jadi milik orang lain. Nanti di sana, kamu akan bertemu dengan para gadis lainnya. Tuanmu pasti lebih baik dari aku. Aku ini masih pebisnis kecil.” Suara lelaki itu terdengar seperti menyesal. Namun, Rianti tidak bisa terima. Padahal pikirannya tahu apa maksud lelaki itu.
“Kenapa harus aku? Kenapa aku? Masih banyak gadis yang lain.” Rengek Rianti hampir menangis.
Lalu Rianti terduduk lemas setelah mendengar kalimat pendek yang menghujam keras tubuhnya.
“Karena Wulan telah menjualmu padaku.”
Dalam keheningan yang singkat, Rianti dihantam penyesalan yang dalam.