Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Penyebab
1
Suka
949
Dibaca

06 Juni 2023

Hampa.

Rumah ini tidak memiliki suasana yang menyenangkan lagi. Sesak. Hanya itu yang ku rasakan selama di sini. Apa? Harapan apa yang mereka miliki untuk bangunan ini. Suara mereka tertawa sembari memakan nasi goreng bersama di ruang tengah, datang menghampiri dan mengusik pikiranku lagi.

“Kenapa semua selalu terasa asing, ketika kita kembali pada tempat yang pernah membuat kenangan indah dan buruk?” Aku memandangi pigura yang disimpan di atas meja.

“Karena kau tidak merasa nyaman atas hal tersebut bahkan pada kenangan indah nya sekalipun,” dia memandang langit di luar dari balik jendela di depanku.

Aku hanya mengangguk dalam diam. Aku tersenyum tipis mengingat kejadian di balik gambar dalam pigura tersebut. Bahagia. Aku merasakannya dengan sangat jelas dalam ingatanku. Berlari dari jangkauan satu sama lain, berhenti karena kelelahan dengan tertawa. Aku mengingatnya.

Dia menghela napas panjang lalu berbalik menatapku dan mengatakan, “lupakan,” aku menolehkan kepalaku ke arahnya.

“Oh, tidak. Simpan. Simpan kenangan itu hingga otak mu bosan mengingatnya,”Dia tersenyum singkat, lalu menolehkan kepalanya ke arah jendela, “Kalau dari otak mu sudah bosan mengingatnya, kenangan itu akan lebih mudah hilang dengan rasa sakit yang setidaknya tidak sebesar itu.”

Aku menundukkan kepalaku, melihat sepasang sepatu yang dibelikan oleh Ayah tepat 1 bulan sebelum dia pergi untuk selamanya. Bosan katanya? Aku tertawa dalam hati.

“Aku tidak akan bosan dengan kenanganku bersama Ayah. Memangnya selain kenangan yang aku simpan, apalagi yang bisa mengurangi rasa rinduku kepadanya?” Aku bertanya sembari mengangkat kepalaku dan melihatnya dengan tatapan datar tanpa ekspresi.

Lelah.

Orang-orang selalu menyuruhku mengikhlaskan tanpa menyadarkan aku, bahwa aku sudah tidak bisa membuat kenangan lain bersamanya di hari-hari yang akan ku jalani kedepannya.

Aku tertawa singkat yang terdengar seperti sarkas dan sangat pilu, aku mengalihkan pandanganku darinya, “Apa kau tau rasanya membuat kehidupan lain di pikiranku dalam setiap kejadian, untuk membayangkan bahwa Ayah masih menemaniku hingga saat ini?”

Aku menangis. Lagi.

Skenario palsu yang selalu ku rancang sendiri di dalam benak ku, dengan hati yang selalu merapalkan kata 'seandainya' terhadap semua yang kulalui selama ini, untuk kehadiran Ayahku yang selalu kuharapkan ada. Sakit. Sesak. Marah. Kecewa. Semua yang kurasakan sudah tidak bisa kujelaskan ketika aku menyadari, bahwa skenario tersebut akan tetap palsu.

05 Mei 2016

“Ayah, aku akan mengikuti kegiatan organisasi di sekolah,” Ucapku saat makan malam hari itu, “nanti akan berlangsung 5 hari, dan aku tidak akan memegang ponsel saat itu,” Aku menatap Ayah yang belum selesai dengan makanannya.

“Kegiatan apa saja yang akan kamu lakukan di sana? Jangan kelelahan di sana,” Ayah menatapku dan menyudahi kegiatan mengunyah yang dia lakukan, “Ada banyak orang di sana? Kalau banyak ya tidak apa-apa kamu tidak memegang ponsel selama 5 hari,” Ayah kemudian meneguk air minumnya yang sudah dipegangnya tadi.

“Ada banyak orang Ayah, ada temanku, kakak kelas, dan ada guru juga di sana,” Aku tersenyum senang. Ternyata aku diberikan izin untuk mengikuti kegiatan tersebut.

“Ya sudah, jaga diri saja baik-baik nanti kalau sudah kegiatannya, kegiatannya masih ada dua bulan kedepannya kan?” Ayah beranjak dari tempat duduknya, “Iya Ayah, masih ada dua bulan,” Aku menjawabnya dengan mataku mengikuti ke mana Ayah pergi. Ayah lalu mengangguk singkat dan masuk ke dalam kamarnya.

Kekhawatiranku akan perizinan untuk mengikuti kegiatan tersebut, ternyata tidak terjadi. Aku senang atas hal itu. Ayah dan segala yang dia lakukan untuk membuatku senang, selalu membuatku tambah menyayanginya setiap hari.

Satu bulan kemudian, besok adalah satu hari yang sangat spesial di bulan Juni. Ulang tahunku.

Aku berada di ruang tengah bersama Ayah, sedang menonton televisi yang menampilkan sepakbola Indonesia sedang berlaga saat itu.

“Ayah, aku boleh tidak meminta sepatu baru di hari ulang tahunku besok? Aku ingin memakainya untuk kegiatanku bulan depan,” aku memulai percakapan saat dalam pertandingan baru saja terjadi tendangan bebas dari pihak lawan.

“Sepatu seperti apa memangnya?” Ayah bertanya dengan tatapan yang masih fokus ke televisi, “Kalau memang lagi butuh, ya kenapa tidak Ayah belikan. Besok kita pergi sepulang kamu sekolah.”

Aku tersenyum. Sangat bahagia. Keinginanku terkabul untuk besok, hari ulang tahunku, “Iya Ayah, aku sedang membutuhkannya. Terima kasih banyak Ayah,” kemudian aku kembali fokus menatap layar tv di depan kami berdua.

Ayah sudah bersiap untuk pergi ke tempat perbelanjaan sepatu. Ayah memakai celana hitam dan baju polo warna coklat dengan jaket andalannya. Ayah memiliki jaket berwarna silver, dengan bordiran nama di dada bagian kiri, dan kancing keduanya yang sudah rusak. Jaketnya sudah lumayan lama, tapi tetap dipakai karena katanya jaketnya istimewa, hadiah dari Ibu.

Kami pamit kepada Ibu yang sedang memasak menyiapkkan beberapa hidangan untuk makan malam sebentar. “Jangan pulang lama ya, Ibu di sini tunggu kalian untuk kita makan bersama sebentar,” ucap Ibu, “iya Ibu, kita mau apa juga lama-lama di sana,” aku menjawab pertanyaan Ibu, dan salim kepadanya.

Kami lalu pergi dengan mengendarai motor. Sampai di sana, Ayah menepati janjinya untuk membelikanku sepatu sesuai dengan yang aku inginkan, setelah perdebatan yang cukup panjang atas pendapat Ayah yang membandingkan sepatu ini dengan merk lainnya. Kami lalu pulang dengan aku yang tidak berhenti tersenyum dari tempat perbelanjaan sampai di perjalanan pulang sekalipun.

“Sebentar Ayah turunkan kamu di depan pinggir jalan besar dekat jalan masuk ke rumah, kamu jalan ke dalam. Ayah punya urusan yang harus Ayah selesaikan dulu,” Ayah berbicara dengan setengah berteriak ketika kami masih berada di jalan pulang, “Maaf ya, ini urusan mendadak.”

“Tidak apa-apa Ayah, aku mengerti,” aku membalasnya dengan setengah berteriak juga. Ya tidak apa-apa, ini juga bukan pertama kalinya Ayah seperti ini.

Aku berbalik setelah melihat Ayah melanjutkan kembali perjalanannya ke tempat yang ditujukannya. Aku melanjutkan perjalananku dengan masih tersenyum sembari melompat kecil sesekali adalah bentuk kebahagiaanku yang membuncah saat itu.

“Ada kecelakaan di jalan raya depan jadinya macet sekali sekarang,” aku mendengar pengendara motor yang kulewati di pertengahan jalanku ketika berbicara dengan teman yang diboncengnya.

Aku terhenti dan berbalik ke belakang, ke tempat awal aku mulai berjalan tadi. Aku baru menyadari bahwa jalanan menjadi macet sekarang, dan banyak yang membunyikan klakson mereka berkali-kali. Perasaanku tidak tenang, aku mengingat Ayah yang baru saja jalan tadi.

Ada seorang Bapak yang baru kembali dari lokasi kecelakaan itu setelah meninggalkan motornya di sini, dia berbicara pada beberapa pengendara lainnya, “kecelakaannya karena ada tabrakan dari mobil truk dengan seorang pengendara motor. “Korbannya sih bapak-bapak dari penampilannya, katanya dilihat dari lukanya beliau dalam keadaan kritis.” Perasaanku makin memburuk atas penjelasan tersebut. Aku berlari kembali ke jalan besar itu.

Sampaiku di sana, motor korban sudah tidak terbentuk, ada beberapa orang yang mengajak bicara sang sopir dari bus yang menabrak motor tersebut, orang yang sibuk menghubungi pihak berwajib dan ambulans, dan satu korban yang tergeletak di tengah jalan dikerumuni oleh beberapa orang.

Aku perlahan mendekat ke arah korban kecelakaan itu dengan langkah yang berat. Semakin dekat, aku melihat jaket yang digunakan oleh korban tersebut. Jaket berwarna silver dengan bordir nama di dada bagian kiri, dengan kancing keduanya yang sudah rusak.

Tidak mungkin.

Aku berlari ke arahnya, menyingkirkan orang-orang yang ada di sampingnya.

Aku tidak bisa berkata apapun lagi.

Dia, Ayahku.

“AYAH,” Aku jatuh di sampingnya, berteriak dengan air mata yang sudah turun dari mataku, “Ayah bangun Ayah,” Aku berkata dengan lemah. Energiku seperti diserap oleh bayangan yang kami lakukan hari ini. Ayah yang tersenyum ketika mengucapkan selamat ulang tahun di pagi hari, Ayah yang memegang tanganku saat kami berjalan-jalan tadi, dan Ayah yang melambaikan tangannya sesaat sebelum kami berpisah di samping jalan besar ini.

Dia, terbaring dengan banyaknya darah sekarang.

“Ayah, bangun Ayah. Ini hari ulang tahun aku, kita, kita belum makan bersama hari ini dengan Ibu,” orang-orang mulai mendekati kami untuk menenangkan aku yang sudah menangis histeris. Ambulans sudah datang, mereka memeriksa keadaan Ayah dan memberikannya pertolongan yang bisa mereka lakukan.

Gelap.

Aku pingsan setelahnya. Sebelum aku mengabari Ibu yang sedang menunggu kami pulang di rumah, dengan masakan sudah tersaji di meja makan kami.

“Ayah, sudah tidak ada Nak,” kata Ibu dengan mata sembabnya, sembari mengelus kepalaku yang baru saja bangun dari pingsan 10 menit lalu.

“Ibu, ini salah Aku ya? Kalau saja Aku tidak minta untuk dibelikan sepatu, mungkin Ayah bisa menyelesaikan urusannya dari tadi dan kita sudah makan bersama sekarang di rumah kita,” Ucapku dengan nada putus asa dan tangisan kecil sembari memegang tangan Ibu yang ku ambil dari kepalaku.

“Tidak Nak, jangan menyalahkan dirimu seperti itu. Semuanya takdir, bukan kamu yang salah,” Ibu memegang tanganku dengan tangannya yang satu dan mengelusnya, “Sudah ya, kamu istirahat dulu, Ibu mau urus berkas-berkasnya Ayah dan persiapan lainnya,” Aku menatap mata Ibu yang sedang menatapku juga.

Lelah.

Ibu lelah dengan semuanya. Dengan rasa sedih, khawatir, kecewa. Aku merasakan itu dengan menatap mata Ibu secara dalam. Aku semakin mengeluarkan air mataku, dan perlahan aku melepaskan tangan Ibu untuk mengurus hal lainnya. Aku tidak siap, melihat Ayah berbaring dengan kain yang membungkus tubuhnya sebentar.

Aku kemudian termenung menatap pintu yang baru saja ditutup oleh Ibu, melihat jam yang ada di atasnya, sekarang masih pukul 23.30. Hari ulang tahun ku baru akan berakhir 30 menit lagi. Rencana kami yang akan makan bersama setelah Aku dan Ayah pulang dari membeli sepatu dengan hati yang bahagia, terganti menjadi hati yang diliputi rasa sedih dan amarah. Ruangan ini menjadi saksi bisu, di mana aku membenci hari lahirku sendiri.

7 Mei 2023

Ponselku berdering dengan nama Ibu terpampang di layarnya. Aku menyeka air mataku. Sudah tujuh tahun berlalu setelah kepergian Ayah, tetapi kebencian terhadap hari lahir ku tidak berubah hingga saat ini.

“Halo Bu,”

“Aku masih di rumah kita yang lama, lagi mau ambil beberapa barang lagi,”

“Langsung pulang ya Nak sudah itu, kita ke makamnya Ayah dulu, pamit.”

Aku terdiam. Sekarang Aku mendapatkan pekerjaan di luar kota, dan Ibu ingin ikut pindah bersamaku. Takut kesepian katanya kalau beliau hanya di sini seorang diri.

“Iya Bu, ini Aku percepat cari barangnya supaya bisa cepat pulang,”

Aku menutup telepon Ibu sesudahnya, dan kembali membereskan barang yang akan kubawa ke luar kota ke dalam kardus.

“Aku keluar duluan ya, mau siapkan mobil untuk kita pulang,” Dia menghampiriku dan menunjukkan kunci mobil di hadapanku.

“Iya, maaf karena Aku tiba-tiba menangis tadi,” Aku menghadap ke arahnya

“Tidak apa-apa, maafkan perkataanku juga tadi jika itu yang menyebabkan kamu menangis,” Aku mengangguk. Dia lalu berjalan keluar, menyisakan Aku sendiri di dalam rumah ini.

Aku kembali memasukkan beberapa baju ke dalam tas yang ku bawa. Tanganku terhenti melihat jaket Ayah yang dipakainya hari itu. Ku usap bordiran nama yang ada di dada bagian kiri, yang merupakan namaku sendiri. Aku memakai jaket tersebut dan memeluk diriku sendiri, hangat rasanya.

Satu hal yang aku sesali setelah Ayah pergi adalah, Aku tak pernah meminta untuk dipeluk lagi setelah beranjak remaja. Padahal jika dipikirkan, ada banyak waktu yang kumiliki bersama Ayah. Tapi tidak ada satupun waktu yang Aku gunakan untuk meminta pelukan dari Ayahku.

Mataku berkaca-kaca kembali ketika merasakan Ayah ikut memelukku dengan hangat. Mengusap kepala dan menepuk punggung belakangku. Aku mendengar sebuah kalimat di samping telingaku,

“Maafkan Ayah,” suaranya masih sama seperti yang dulu, ”karena Ayah, kita tidak jadi makan malam bersama di rumah, pada hari ulang tahunmu.”

Aku mengangguk dalam diam, Aku memeluk lebih erat sosok Ayah yang ada di depanku. Bahkan jika ini hanya skenario palsu yang kuciptakan sendiri lagi, tidak apa-apa. Selama sosok Ayah bisa Aku rasakan kehadirannya.

Aku dan Ibu telah sampai di tempat makam Ayah berada. Aku melangkah perlahan dengan Ibu yang berjalan di depanku. Kejadian ilusi yang ku alami tadi, mengakibatkan setiap langkah yang ku tempuh menghantarkan Aku kembali kepada kenanganku bersama Ayah di masa lalu. Aku baru tersadarkan atas ilusi yang ku alami setelah sampai tepat di depan makam Ayah.

“Nak,” Ibu memanggilku setelah kami menabur bunga, “Kamu benar tidak apa-apa kita pindah ke kota lain?” Aku menatap Ibu, menghela nafas dan mengangguk pelan, “Aku tidak apa-apa Ibu,” ucapku dengan mangambil rumput liar yang ada di makam Ayah, “Tujuh tahun Aku rasa sudah cukup untuk terus tenggelam di bayangan kejadian yang tidak mengenakkan tentang kematian Ayah,” Aku tersenyum menatap batu nisan Ayah. Aku menyadari bahwa kejadian di rumah tadi adalah salah satu bentuk keinginan Ayah untuk segera mengikhlaskannya pergi.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Penyebab
Fata Raya
Cerpen
Mie di Kala Hujan
zain zuha
Cerpen
Bronze
OH MY BOSS
ELI WAHYUNI
Cerpen
KABULKU
Racelis Iskandar
Cerpen
JANGKA JAZ
Kiki Isbianto
Cerpen
Bronze
Mimpi yang Dikubur Hidup-Hidup
Muhaimin El Lawi
Cerpen
Bronze
Sakit Kiriman
Intan Andaru
Cerpen
Obrolan Burung
zain zuha
Cerpen
Jawaban Tuhan
spacekantor
Cerpen
Bronze
Salah Jalan
Fitri Yeni Musollini
Cerpen
Janu Kara
rdsinta
Cerpen
Bronze
Lelaki Bermata Teduh Part-3
Munkhayati
Cerpen
Bronze
Toko Masa Depan
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Rambut Merah Ceri
Red Cherry
Cerpen
Bronze
Sebatang kara
Novita Ledo
Rekomendasi
Cerpen
Penyebab
Fata Raya
Cerpen
Bronze
Kehilangan Diri
Fata Raya