Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan deras turun sejak sore dan seolah nggak ada tanda-tanda mau reda. Jalanan Jakarta yang biasanya padat sudah mulai sepi karena sudah lewat jam sepuluh malam. Lampu jalan memantul di aspal yang basah, menciptakan bayangan gemetar di mata siapa pun yang masih bertahan di luar rumah.
Bima tiga puluh tahun, duduk di atas motor bebek hijau yang catnya sudah pudar. Jaket ojol yang dia kenakan basah kuyup meski sudah dibalut jas hujan tipis. Ia memarkirkan motornya di bawah atap minimarket yang nyaris tutup, sambil mengecek ponsel tua yang batreinya tinggal 18%.
“Order terakhir deh malam ini,” gumamnya. “Kalau nggak besok pagi nggak bisa narik. Anak-anak butuh uang sekolah.”
Bima menarik napas panjang. Badannya pegal, tangannya dingin, tapi hidup nggak berhenti hanya karena lelah. Dia butuh pemasukan, dan satu-dua order lagi berarti bisa menutup hari dengan sedikit lebih tenang.
Sekitar lima menit kemudian, ponselnya bergetar. Orderan masuk. Penjemputan dari sebuah kafe kecil di pinggir jalan, tujuannya ke komplek perumahan sekitar delapan kilometer dari situ.
“Alhamdulillah,” Bima tersenyum samar. “Terakhir beneran, habis ini pulang.” ucapnya
---
Kafe itu sudah sepi ketika ia tiba. Hanya ada satu perempuan berdiri di depan, memakai payung transparan. Rambutnya sebahu, wajahnya sayu, dan di tangannya ada totebag lusuh.
“Mas ojol, ya?” suaranya lirih, nyaris tenggelam oleh suara hujan.
“Iya, mbak. Benar, ya, dengan Mbak Rara?”
Perempuan itu mengangguk. “Iya.”
Bima menyodorkan helm. Rara menerimanya tanpa banyak bicara, lalu ia duduk di jok belakang. Begitu motor melaju, Bima bisa merasakan aura sepi yang ikut menempel. Biasanya penumpang suka membuka percakapan basa-basi, tapi Rara hanya diam, menatap jalan basah yang diterangi lampu kuning.
Beberapa menit berlalu, dan Bima mencoba memecah keheningan.
“Jam segini masih nongkrong di kafe, Mbak? Nggak takut hujan-hujan gini?”
Rara tertawa kecil, tapi tawanya hambar. “Bukan nongkrong, Mas. Tadi... Sekedar butuh tempat untuk mikir. Rumah terlalu ramai, kepala terlalu bising.”
“Oh,” Bima mengangguk. “Kalau saya sih kebalikannya. Rumah sepi banget, jadi narik terus biar nggak kepikiran.”
Rara menoleh sekilas, seperti tertarik pada jawabannya. “Mas tinggal sama siapa?”
“Anak dua. Sama istri juga. Tapi... Ya, belakangan ini banyak masalah.” Bima tak sadar ia berbicara jujur, mungkin karena suasana hujan membuatnya lebih terbuka. “Kadang kalau pulang, bukannya tenang malah makin berat.”
Rara tidak menjawab, hanya tersenyum tipis. Tapi itu bukan senyum bahagia, melainkan pengakuan secara tak langsung bahwa ia paham maksud Bima.
---
Saat,lampu merah menyala, Bima sempat memperlambatkan motor. Hujan deras masih menghantam jas hujannya, tapi pikirannya melayang ke pagi tadi.
Ia ingat bagaimana putra bungsunya, Ardi, merengek minta dibelikan mainan robot di warung dekat sekolah. “Yah, yang warnanya biru kayak di kartun itu. Teman-temanku udah pada punya semua.”
Bima hanya bisa mengusap kepala anaknya sambil berkata, “nanti, kalau Ayah ada rezeki, ya.” Kalimat yang sama sudah ia ucapkan berkali-kali, dan ia tau Ardi mulai paham: artinya tidak sekarang.
Sementara itu, istrinya sempat mengomel saat ia pamit narik motor sejak pagi. “Mas, kamu jangan maksain terus. Badanmu itu bukan besi. Kalau sakit, siapa yang gantiin cari nafkah?” Bima hanya bisa tersenyum tipis. “Kalau aku istirahat, siapa yang bayar listrik, Bu?”
Motor kembali melaju. Ingatan lain menyusup: saat pertama kali daftar jadi ojol tiga tahun lalu. Ia masih ingat deg-degan menerima order pertama—seorang mahasiswa yang buru-buru ke kampus. Di perjalanan, ia sempat hampir jatuh karena gugup. Tapi rasa lega saat penumpang bilang, “Makasih, Mas, aku nggak telat ujian,” itulah yang meneguhkan langkahnya.
---
Suara Rara memecah lamunannya, “Mas kalau lagi hujan deras gini suka dengerin musik nggak?”
Bima terkekeh. “Kalau pas nggak bawa penumpang, iya. Paling sering dangdut koplo, Mbak.” Rara ikut tertawa kecil. “Wah, selera rakyat banget.”
“Kalau Mbak sendiri?” tanya Bima. “Lagu lawas. Aku suka yang melow-melow. Kadang bikin tambah sedih, tapi entah kenapa nyaman.”
“Ah, berarti kita sama. Bedanya, kalau saya dengerin dangdut, malah bikin semangat lagi narik,” jawab Bima.
Rara tersenyum samar. “Aku suka iri sama orang yang bisa nemu semangat dari hal-hal kecil. Aku bahkan lupa rasanya punya mimpi.”
Bima diam sejenak, lalu berkata, “Mimpi itu nggak harus besar, Mbak. Kadang sesederhana bisa makan bakso bareng anak-anak aja udah jadi doa.”
Obrolan ringan itu membuat keheningan hujan terasa lebih hangat.
---
Beberapa kilometer berikutnya, mereka tenggelam dalam diam. Hanya suara hujan dan deru mesin motor yang mengisi udara.
Tiba-tiba, Rara berkata pelan, “Mas, pernah ngerasa hidup kayak... Nggak adil?”
Bima menelan ludah. Pertanyaan itu seperti menusuk jantungnya langsung. “Sering, Mbak. Tiap kali lihat anak-anak tidur tapi saya belum bisa bayar uang sekolahnya, rasanya... Kayak gagal jadi ayah.”
Rara menarik napas dalam. “Aku juga sering ngerasa gitu. Bedanya, aku nggak punya anak. Aku punya orang tua yang selalu berharap aku bisa sukses, bisa bahagiain mereka. Tapi kenyataannya...” ia tertawa miris, “...aku bahkan gagal bahagiain diri sendiri.”
Hujan semakin deras, suara rintiknya seperti jadi musik latar percakapan mereka.
Bima akhirnya bertanya, “Mbak kerja apa?”
Rara terdiam lama, lalu menjawab, “Aku baru resign. Sebenernya lebih tepatnya... Dikeluarkan. Katanya karena performa turun. Padahal aku cuma lagi nggak sanggup. Banyak tekanan. Banyak kehilangan.”
Bima menoleh sedikit, walau tetap fokus ke jalan. “Kehilangan?”
“Tunangan aku meninggal tahun lalu. Kecelakaan. Sejak itu, aku... Nggak bisa balik normal. Orang-orang bilang aku harus move on. Tapi siapa yang bisa mengatur hati? Setiap kali lihat meja kerja, aku cuma ingat dia yang suka bawain kopi pagi-pagi. Sejak itu, kerjaanku amburadul. Akhirnya aku dikeluarkan.”
Bima terdiam. Ia merasakan sesuatu mencengkeram dadanya. Kisah orang asing di jok belakangnya itu begitu berat, tapi juga begitu nyata.
---
Motor berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Rara melepas helm, lalu menatap Bima. Wajahnya masih basah oleh rintik hujan, tapi matanya sedikit lebih hidup dibanding saat naik motor tadi.
“Mas terima kasih. Mungkin Mas nggak sadar, tapi obrolan barusan... Lebih berarti dari ratusan motivasi murahan yang sering aku dengar.”
Bima tersenyum samar. “Saya cuma cerita jujur aja, Mbak. Semoga bisa sedikit lebih ringan.”
Rara mengangguk, lalu menyerahkan ongkosnya. Tapi sebelum masuk rumah, ia berbalik. “Mas, kalau suatu hari Mas lagi capek banget... Ingatlah, ada orang asing yang juga lagi berjuang. Jadi kita nggak sendirian.”
---
Setelah Rara masuk rumahnya, Bima menyalakan motor lagi. Tapi ia tak langsung pulang. Perutnya keroncongan, dan di pinggir jalan ada warung gorengan yang masih buka.
Ia berhenti, menepikan motor. “Bu tempe mendoan sama bakwan lima ribu, ya.” Penjual gorengan menyiapkan bungkus kertas coklat. Bima tersenyum membayangkan wajah anak-anaknya saat ia pulang membawa gorengan hangat.
Dalam perjalanan, ia sempat singgah sebentar di masjid deket rumah. Ia duduk di beranda, menatap hujan yang mulai reda. Hatinya terasa lebih lapang. Obrolan singkat dengan Rara tadi berputar di kepalanya: cari alasan untuk bangun besok pagi.
---
Pagi hari, matahari malu-malu muncul di balik awan. Bima bangun lebih cepat, menyiapkan sarapan seadanya bersama istrinya. Anak-anak berlarian kecil, berebut gorengan sisa semalam.
Ardi, si bungsu, mengigit bakwan sambil berkata, “Yah, enak banget. Ayah hebat!” Ucapan polos itu membuat dada Bima hangat. Ia menatap anak-anaknya, lalu teringat wajah Rara yang murung semalam.
Dalam hati ia berdoa, semoga perempuan asing itu juga menemukan alasannya sendiri untuk tersenyum pagi ini.
Bima menghela napas, lalu bersiap lagi dengan jaket ojolnya. Hujan mungkin akan turun lagi hari ini, masalah mungkin masih banyak menunggu. Tapi setidaknya dia tahu: selalu ada alasan, sekecil apapun, untuk terus pulang.