Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Penumpang Tak Diundang
0
Suka
36
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Dari tempatku duduk, suara obrolan penumpang bercampur dengan deru roda di rel. Aku tetap menatap ke luar jendela, menikmati pemandangan yang melesat cepat. Suara khas kereta terasa menenangkan, meski sesekali percakapan orang-orang mengusik ketenanganku.

Aku beranjak dari kursi, menuju toilet di ujung gerbong. Langkahku perlahan menyusuri koridor, melewati deretan penumpang—ada yang tertidur, mendengarkan musik melalui earphone, atau sibuk membaca.

Saat melewati beberapa orang, aku menyempatkan diri menyapa mereka yang menoleh. Namun, langkahku terhenti ketika mataku menangkap sosok anak kecil yang tertidur, bersandar pada seorang wanita yang juga terlelap. Wajah anak itu tampak pucat.

Bayangan itu masih terlintas dalam pikiranku saat aku masuk ke dalam toilet. Baru saja hendak selesai, terdengar ketukan pelan dari luar—tanda ada orang lain yang menunggu. Segera kuselesaikan urusanku dan membuka pintu.

Di hadapanku, berdiri seorang ibu paruh baya—wanita yang tadi tertidur—bersama anak kecil pucat itu. Aku tersenyum dan menyapanya, tetapi dia hanya mengangguk dengan mata masih setengah terpejam, lalu masuk ke dalam toilet.

Aku menarik napas, merapikan pakaian, lalu mencuci tangan. Sesekali, aku melirik anak kecil itu. Ada sesuatu yang terasa... ganjil.

Aku menunggu di sana, hingga akhirnya ibu itu keluar dari toilet.

Aku berjalan kembali ke tempat dudukku, tepat di belakang ibu itu yang melangkah menuju kursinya.

Namun, ada sesuatu yang terus mengusik pikiranku. Tatapanku kembali tertuju pada anak kecil itu—masih bersandar di kaca jendela, terlelap dalam tidurnya. Wajahnya tetap pucat, napasnya terdengar lemah. Sang ibu duduk, merapikan selimut yang membalut tubuh anaknya dengan gerakan lembut.

Aku ragu sejenak, tapi rasa penasaranku lebih besar.

"Bu, anaknya sakit?" tanyaku, berdiri di samping mereka dengan penuh perhatian.

Ibu itu menoleh, tersenyum kikuk, lalu mengangguk. "Iya, Teh. Sedang nggak enak badan."

Aku mengangguk pelan, tapi perasaan aneh masih mengganjal di dadaku. Sebelum sempat bertanya lebih lanjut, tiba-tiba anak itu merintih.

"Ibu... takut, Bu..." suaranya lemah, matanya tetap terpejam, tubuhnya sedikit menggigil.

Aku dan ibunya spontan menoleh. Sang ibu segera membelai kepala anaknya, mencoba menenangkan, tapi aku yang sejak awal merasa ada sesuatu yang ganjil, memberanikan diri untuk mendekat.

"Bu, maaf, saya boleh bertanya sesuatu?" suaraku mengecil, sedikit membungkuk agar lebih dekat.

Ibu itu mengangguk. "Iya, ada apa, Teh?"

"Adiknya sempat makan di luar sebelumnya? Mungkin di rumah makan atau dijamu seseorang?" tanyaku hati-hati.

Ibu itu berpikir sejenak. "Kami memang sempat makan di beberapa tempat, tapi nggak dijamu di rumah siapa pun. Memangnya kenapa, Teh?"

Aku menarik napas dalam, merasa semakin yakin dengan apa yang kurasakan. "Boleh saya minta sebotol air, Bu?"

Ibu itu mengerutkan dahi, tampak ragu sejenak. "Air? Memangnya kenapa, Teh?" tanyanya dengan nada penuh kebingungan.

Aku tersenyum lembut, mencoba meyakinkannya. "Saya hanya ingin mencoba membantu. Semoga bisa meringankan keadaan adiknya."

Ibu itu masih terlihat ragu, tapi saat menatap anaknya yang kini menggigil dengan napas tersengal, ia menghela napas panjang dan akhirnya mengulurkan botol air dari dalam tasnya. Tangannya gemetar saat menyerahkannya padaku.

Aku menerima botol itu dengan hati-hati, lalu menutup mataku sesaat. Dengan khusyuk, aku merapal doa yang biasa kulakukan, berharap air ini bisa menjadi perantara kebaikan. Setelah beberapa detik, aku membuka mata dan menyerahkan kembali botol itu pada ibu tersebut.

"Bu, coba berikan sedikit untuk diminumkan ke adiknya, lalu usapkan ke wajahnya," pintaku dengan suara lebih pelan.

Ibu itu menatapku dengan ragu. Matanya jelas menunjukkan kebingungan—seolah bertanya apakah ini benar-benar akan membantu. Namun, setelah menghela napas sekali lagi, ia membuka tutup botol dan perlahan menyentuh bibir anaknya dengan air tersebut.

Saat ibu itu menuangkan air ke mulut anaknya, aku kembali merasakan hawa dingin yang tiba-tiba menyelusup ke tengkukku. Bulu kudukku meremang. Aku menoleh perlahan, dan di sanalah aku melihatnya—sosok hitam legam berdiri tepat di hadapan anak itu.

Bayangan itu kabur, seperti asap pekat yang terus berputar. Dua mata merah menyala menatap tajam, penuh amarah. Kepalanya terlalu besar, tubuhnya membungkuk, dan tangan panjangnya hampir menyentuh lantai. Nafasnya berat, berderak seperti bara api yang disiram air.

Aku menelan ludah. Sosok itu bergerak sedikit, tubuhnya bergoyang seolah menimbang-nimbang, apakah akan bertahan atau pergi. Aku bisa merasakan amarahnya, keengganannya untuk melepaskan anak kecil itu begitu saja.

Namun, saat air yang telah kudoakan menyentuh bibir si anak, makhluk itu mendadak tersentak. Kepulan asap hitam yang membentuk tubuhnya bergetar, seakan ada kekuatan tak kasat mata yang memaksanya mundur. Ia melangkah ke belakang, tapi tatapannya masih menusuk.

Perlahan, ia mulai memudar. Tapi sebelum sepenuhnya menghilang, mulutnya yang tak berbentuk bergerak-gerak, seperti berbisik sesuatu yang tak bisa kudengar. Hanya satu hal yang kutahu—ia pergi dengan enggan, dan aku bisa merasakan peringatan yang ditinggalkannya.

Aku menutup mata sejenak, menarik napas dalam untuk menenangkan diri.

Saat aku kembali membuka mata, sosok itu telah lenyap.

Namun hawa dinginnya masih tertinggal, membuat jari-jariku sedikit gemetar. Rasa berat di dada yang perlahan memudar atau desiran dingin yang masih terasa di tengkukku meski makhluk itu sudah tak ada.

Aku mengenali sosok itu. Makhluk seperti ini sering kulihat di tempat-tempat makan—penjaga gaib yang dipelihara untuk 'panglaris'. Dan anak kecil itu… mungkin ia melihat sesuatu yang seharusnya tidak dilihatnya.

Perlahan napasnya yang tadinya tersengal mulai lebih teratur. Wajahnya yang semula tampak pucat perlahan mendapatkan sedikit warna.

Ibu itu terkejut, kedua matanya membesar. Ia buru-buru mengusapkan sisa air ke wajah anaknya, tangannya gemetar karena panik dan harapan yang bercampur aduk.

"Nak..." bisiknya, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Anaknya masih tertidur, tapi kini tampak lebih tenang.

Ibu itu menoleh padaku, sorot matanya kini berbeda—bukan lagi penuh keraguan, melainkan rasa syukur dan kepercayaan. "Teh... ini tadi... anak saya..." katanya terbata-bata, seolah tidak bisa menemukan kata yang tepat.

Aku tersenyum kecil. "Sudah lebih baik, Bu, dia akan baik-baik saja setelah ini."

Ibu itu mengangguk cepat, lalu tiba-tiba menggenggam tanganku erat. "Makasih, ya, Teh. Saya nggak tahu harus bilang apa."

Aku menepuk lembut punggung tangannya. "Sama-sama, Bu. Hal seperti ini biasa terjadi kalau anak kecil berkunjung ke tempat yang baru. Mungkin Ibu paham maksud saya," ujarku lembut.

Ibu itu mengangguk pelan, sorot matanya tampak lebih tenang. "Makasih ya, Teh. Kalau Teh nggak bantu, mungkin saya nggak sadar kalau ini bukan cuma soal sakit biasa... Saya benar-benar nggak tahu kalau anak saya mengalami ini... Sekali lagi, terima kasih."

Aku tersenyum kecil. "Sama-sama, Bu. Semoga selamat sampai tujuan."

Ia membalas dengan anggukan dan senyum yang lebih tulus.

Aku kembali ke tempat duduk, menatap layar ponsel—pukul 17.30 WIB. Lalu, aku kembali menoleh ke luar jendela. Langit senja membentang luas, menampilkan gradasi keunguan yang begitu indah.

Aku menarik napas panjang.

Terkadang, hal yang tidak pernah ingin aku lakukan lebih jauh justru membawa manfaat bagi orang lain.

Apa yang tidak bisa dipercaya, kadang adalah sesuatu yang bisa dipelajari. Dan itulah mengapa menjaga diri jauh lebih berarti... termasuk membantu yang tak kasat mata sekalipun.

Aku melirik ke arah anak kecil itu sekali lagi. Napasnya sudah lebih tenang, wajahnya tak sepucat tadi. Namun, di kaca jendela di belakangnya, ada sesuatu yang membuat dadaku kembali mencengkam.

Bayangan hitam itu. Samar, nyaris tak terlihat, tetapi aku tahu pasti: ia masih mengawasi.

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Penumpang Tak Diundang
adinda pratiwi
Novel
Gold
Sing, Unburied, Sing
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Panggilan Hitam Pesantren Kelam
Arslan Cealach
Cerpen
Bronze
Rumah Sunyi Saksi Bunuh Diri
Siti Nashuha
Cerpen
THE HAUNTED HOUSE
AULIYA
Cerpen
Bronze
MAUT HUTAN TERLARANG
Maldalias
Novel
Pesugihan sate Gagak Mang Yopi
Shinbul
Flash
Bronze
MIMPI
Rara Kurnia
Novel
Gold
Like Water for Chocolate
Bentang Pustaka
Cerpen
Bronze
Hantu Air
Eka Nawa Dwi Sapta
Novel
Bronze
My Doll
SalsaShafa
Novel
Gold
Ghost Dormitory in Cairo
Mizan Publishing
Flash
Bus Hantu
Deandrey Putra
Flash
Memori
Roy Rolland
Cerpen
Bronze
DADONG CANANGSARI
Citra Rahayu Bening
Rekomendasi
Cerpen
Penumpang Tak Diundang
adinda pratiwi
Cerpen
Misteri Liontin Biru
adinda pratiwi
Cerpen
Persahabatan dan Obsesi
adinda pratiwi
Cerpen
Rahasia Tumbal Ayah
adinda pratiwi
Cerpen
Firasat
adinda pratiwi
Cerpen
Sisi Lain Dimensi Mimpi
adinda pratiwi
Cerpen
Pesan Antar Dimensi
adinda pratiwi
Novel
Dinara
adinda pratiwi
Novel
The Hidden
adinda pratiwi
Cerpen
Rantai Dendam
adinda pratiwi