Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Penumpang Gelap
1
Suka
8,314
Dibaca

William Stewart dan Margaret Douglas tinggal di tepi danau di pinggiran kota Elwood. Dunia mereka sepi. Di masa lalu, William sering mengajari Alfred, keponakannya, berenang di danau.

Tetapi, lima tahun silam Alfred pindah ke kota lain mengikuti orang tuanya yang pindah tempat kerja. Kemarin William mendapat telepon bahwa, Alfred akan datang hari ini untuk menikmati libur musim panas. Alfred akan naik kereta api Orient Express.

Ah, William Stewart sudah tidak sabar ingin bertemu Alfred. William ingin berenang bersama Alfred di danau. Berapa usia Alfred sekarang? Tujuh belas tahun dan tinggi tubuhnya mungkin hampir setinggi William.

“Aku yakin Alfred setampan aku,” kata William tertawa.

Margaret tersenyum, lalu berkata, “Aku sudah menyiapkan pancake kesukaan Alfred.”

“Jangan lupa pula orange juice. Itu minuman segar untuk musim panas,” sahut William.

William Stewart duduk di teras menanti kedatangan Alfred. Beberapa lama menunggu, William merasa mengantuk, lalu tertidur di kursi.

Pintu rumah terbuka, Margaret muncul dengan wajah tegang seakan ingin menjerit.

“Bangunlah, Will,” Margaret mengguncangkan bahu William.

“Apa Alfred sudah datang?” tanya William setengah sadar.

“Kau harus dengar ini, Will. Radio Galaxy melaporkan kereta Oriental Express keluar dari rel di Cherry Fall dekat Elwood. Itu kereta Alfred. Oh, Will, aku kawatir dengan keadaan Alfred.”

“Kau yakin terjadi sesuatu pada Alfred?”

“Entahlah. Kau harus segera ke stasiun, Will.”

“Baiklah.”

William Stewart mengendarai Mustang hitam kesayangannya menuju stasiun. Sesampai di stasiun, William melihat banyak orang berkerumun di depan papan pengumuman. William membaca pengumuman itu, ada 5 nama dalam daftar korban tewas dan puluhan nama terluka. Tak ada nama Alfred.

William memasuki kantor stasiun dan bertanya pada petugas di bagian resepsionis. Melihat William yang berwajah tegang, resepsionis segera mengambil kertas, ia tahu yang dibutuhkan orang-orang yang datang ke stasiun hari ini. Daftar nama penumpang Oriental Express.

“Bisakah Anda tunjukkan pada saya nama-nama penumpang kereta Oriental Express?” tanya William dengan wajah cemas.

“Apa anda ingin mencari seseorang yang Anda kenal, Tuan?” tanya resepsionis, seorang wanita paruh baya bertubuh agak gemuk.

“Ya, namanya Alfred. Alfred Stewart, 17 tahun.”

Wanita resepsionis itu membaca beberapa helai kertas, lalu menggelengkan kepala.

“Alfred Stewart? Tak ada nama itu, Tuan,” katanya.

“Anda yakin?” sahut William.

“Sudah kubaca beberapa kali. Tak ada nama itu, Tuan,” kata si resepsionis.

“Tapi Alfred naik kereta itu. Mungkin Anda salah mengambil data. Banyak kertas di meja Anda, cobalah lihat dan baca lebih teliti lagi,” desak William.

“Maaf, Tuan, bukan hanya Anda yang cemas. Kami semua cemas. Jadi, saya mohon Anda mengertilah, tak ada nama yang Anda cari, Tuan,” kata si wanita menarik napas, mencoba bersabar.

“Bagaimana mungkin Alfred tidak ada dalam daftar?” gumam William, putus asa.

“Itu sering terjadi, Tuan,” kata si wanita.

“Ya, aku tahu. Kecelakaan bisa terjadi di mana saja. Di udara, laut, darat,” sahut William.

“Bukan itu maksud saya, Tuan.”

“Lantas.”

“Cobalah Tuan ke gerbong barang, gerbong paling belakang, mungkin orang yang Anda cari ada di sana. Ya, setidaknya ada yang memergokinya menyelinap keluar dari gerbong barang.”

“Apa maksud Anda?”

“Seperti yang saya katakan, Tuan, ini sering terjadi. Orang-orang yang tak mau membeli tiket, memilih mengejar kereta yang baru berangkat, lalu melompat ke gerbong barang. Mungkin itulah informasi yang bisa saya berikan pada Anda, Tuan. Ya, gerbong barang.”

William Stewart keluar dari stasiun dengan dahi berkerut dan mata berkilat. Mustahil baginya mengikuti saran dari wanita resepsionis itu. William tak mungkin ke lokasi kecelakaan, karena jalan ke sana akan membuat mobil tuanya berakhir di bengkel. Maka William memutuskan untuk pulang.

Di belakang kemudi, William duduk gusar dan memukul lingkar kemudi. “Anak kurang ajar!” William mengumpat, lalu menginjak pedal gas kuat-kuat, memacu sedan hitamnya bagai berada di sirkuit balap.

William mencari Margaret di dapur dan menemukannya sedang membuat orange juice.

“Kau rupanya, Will. Ada apa?” tanya Margaret melihat wajah William yang memerah.

“Anak kurang ajar!” kata William memukul meja dapur.

“Siapa, Will?”

“Alfred. Namanya tak ada dalam daftar penumpang Oriental Express. Dia jadi penumpang gelap, aku yakin itu. Alfred naik kereta tetapi tak mau beli tiket. Memalukan!”

“Kau salah, Will. Alfred tidak melakukan itu,” sergah Margaret.

“Aku yakin Alfred jadi penumpang gelap!” sahut William mengepalkan tangan. Tentu saja lelaki itu marah, karena baginya menjadi penumpang gelap sangat memalukan, menjatuhkan nama baik keluarga Srewart yang terhormat. “Bila dia muncul, akan kupatahkan hidungnya...”

 

William membalikkan badan, hendak keluar rumah, untuk melaksanakan rencananya mematahkan hidung Alfred, kalau pemuda itu nanti muncul.

“Apa kabar, Paman?” seorang anak lelaki bertubuh jangkung bermata biru, berdiri di hadapan William dan tersenyum padanya.

“Alfred?” desis William. “Kurang ajar! Kau telah memalukan keluarga Stewart!” tangan William terangkat dan siap menampar, tetapi Margaret sigap berdiri menghadang.

“Jangan, Will! Kau tak tahu apa yang terjadi dengan Alfred,” kata Margaret, lalu menoleh pada Alfred. “Bicaralah, Alfred,” kata Margaret.

Dengan tubuh agak gemetar, Alfred bercerita: “Saya membatalkan naik kereta, Paman. Saya ingin petualangan baru, naik bus, dan itu sangat menyenangkan, Paman.”

Masih dengan tubuh agak gemetar, Alfred berkata: “Maafkan saya, Paman. Saya tidak mengabarkan pembatalan itu sebelumnya.”

“Nah, Will,” kata Margaret kepada William. “Buanglah jauh-jauh pikiran burukmu itu. Tak ada penumpang gelap di keluarga Stewart.”

William menundukkan kepala. Napasnya mulai teratur. Ia seperti air dalam gelas di permukaan meja pada sebuah kereta yang baru berangkat; mula-mula air bergejolak hendak tumpah, namun kemudian tenang dan stabil.

William merentangkan kedua tangan.

“Kemarilah. Biar kupeluk kau,” kata William, lalu memeluk Alfred. “Maafkan, Paman,” bisiknya.

Pelukan itu penuh kerinduan dan hangat.

“Letakkan barang-barangmu di kamar, lalu kita berenang di danau,” kata William.

“Itu ide buruk, Will,” sergah Margaret. “Kau sudah tua.”

“Aku masih kuat berenang,” sahut William menegakkan dada.

“Dengar, Will. Kau sudah 50 tahun, tenagamu tak sehebat dulu,” kata Margaret.

Tetapi William memaksa ingin mengajak Alfred berenang.

“Baiklah. Kalau begitu, Alfred akan menjagaku saat berenang. Bukankah begitu, Alfred?” kata William.

Alfred tergagap, lalu menoleh pada Margaret. Margaret mendengus, mengangkat bahu, lalu tersenyum. Alfred mengangkat bahu dan tersenyum pula. Mereka sudah tahu siapa itu William Stewart.

“Baiklah, Will. Kau boleh berenang sebentar. Tiga puluh menit, tidak lebih!” kata Margaret.

“Percayalah padaku!” seru William. “Ayo, Alfred. Kita berenang. Let’s go!”

William dan Alfred berlari menuju danau di belakang rumah. Mereka tampak bahagia. Mereka berenang bersama di danau, mengenang masa lalu mereka. ***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Penumpang Gelap
Sulistiyo Suparno
Novel
Di pagi hari cerita kita dimulai
Devalaska
Novel
Aku, Kamu, Kita Semua Harus Kuat!
C R KHAN
Skrip Film
Kolam Ikan
Aulia Adli Putra Ersa
Novel
Helena
Momo Shiny
Komik
Bronze
One smash
ari saptori
Komik
Bronze
Love You More
Fannmoa
Skrip Film
36 Pertanyaan dan Hal-hal yang Tidak Kamu Katakan Seluruhnya
Ratih Mandalawangi
Flash
Menggapai Mahkota
Mega
Flash
Rumah Tak Bertuan
pelantunkata
Flash
Terjadwal
WN Nirwan
Cerpen
Bronze
LIMA MENIT
Mira Pasolong
Novel
ROLLER COASTER
Faza Adilla
Novel
Bronze
Jarak
Ardi Rai Gunawan
Novel
UNSPECIAL
Elizabeth Rotua
Rekomendasi
Cerpen
Penumpang Gelap
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Konsultan Skripsi
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Bu Guru Hastin Ditangkap Polisi
Sulistiyo Suparno
Flash
Matahari Tak Pernah Lelah
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Radio Kuna Kunawi
Sulistiyo Suparno
Flash
Jadi Pacar Kakakku
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Dua Perjaka Tua
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Setelah Tidak Bermotor Lagi
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Curhat pada Sopir Taksi
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Kiat Sukses Wawancara Kerja
Sulistiyo Suparno
Flash
Nyanyian Penyemangat Hidup
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Kursi Goyang, Kursi Maut
Sulistiyo Suparno
Flash
Mira & Skuter Tua
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Lelaki Penggali Tanah
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Menembak Gagak
Sulistiyo Suparno