Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sarah sedang sibuk mengutak-atik aplikasi di laptopnya. Dia juga menulis sesuatu di aplikasi menulis. Sarah, gadis kecil usia 12 tahun, memang suka dan bercita-cita menjadi penulis. Dia mengabadikan dirinya sepanjang hari hanya untuk menulis. Khayalan dan imajinasinya selalu dituangkannya ke laptop kesayangannya itu.
Laptop itu sebenarnya adalah hadiah dari papanya. Saat itu, Sarah menang lomba cerdas cermat matematika. Sebagai hadiahnya, Papa membelikan Sarah sebuah laptop. Walaupun itu laptop murah, tetapi Sarah sangat girang. Dia tak peduli murah atau tidaknya, yang penting bisa dipakai untuk mencurahkan isi pikirannya ke dalam bentuk tulisan. Terkadang Mama memakai laptop Sarah, itu pun seizin dari putri tunggalnya, atau dari Papa.
Sarah merawat sepenuh hati laptop itu. Seminggu sekali, dia mengelap laptopnya, menghilangkan debu, dan rajin meng-update semua aplikasi di situ supaya tidak terkena virus. Papa dan Mama juga senang putri mereka memanfaatkan laptop tersebut sebaik-baiknya.
***
Sorenya, setelah bermain di laptopnya, Sarah membantu Mama menyiapkan kopi untuk Papa.
“Itu Papa! Aku mendengar suara motornya yang berhenti di depan pagar!” jerit Sarah.
Mendengar suara motor meraung-raung di depan pagar, Mama bergegas ke luar. Dibukanya pintu pagar untuk Papa. Usai memarkir motor, Papa memasuki rumah bersama Mama yang sudah mengunci pagar kembali.
“Silakan dinikmati kopinya, Pa,” Sarah menyodorkan secangkir kopi pada Papa yang baru saja duduk di kursi goyang.
“Terima kasih, Sayang,” Papa tersenyum, lalu menerima kopi tersebut.
“Sarah, tolong ambilkan mangga di kulkas. Bawa ke sini!” suruh Mama.
Dengan patuh, Sarah mengambilkan mangga dari kulkas. Mama membuka penutup piring mangga tersebut.
“Capek, ya, Pa? Sini, biar aku pijat kaki Papa,” tawar Sarah sembari memegang kaki kiri Papa.
“Terima kasih, Sarah. Papa memang capek, lebih capek dari kemarin,” kata Papa sambil mengambil sepotong mangga menggunakan garpu. “Sepertinya besok Papa lembur kerja, deh. Banyak tugas soalnya.”
“Yaah… berarti Papa pulang malam, dong?” kata Sarah setengah kecewa.
“Iya. Tapi jangan khawatir, Papa akan usahakan tugasnya selesai secepat mungkin.”
Sarah tersenyum. Dia memijat kaki Papa dengan sepenuh hati. Mama juga membantu memijat. Setelah itu, Papa duduk tegak dan meneguk kopinya lagi.
“Sarah, Papa mau memberitahu sesuatu padamu,” Papa menepuk bahu Sarah.
“Sesuatu apa, Pa?”
“Papa mau minta maaf ke kamu, karena laptop punyamu mau Papa jual untuk membayar SPP sekolah kamu yang menunggak empat bulan.”
Sarah tersentak kaget. Dia mencengkeram tangan Papa dengan sikap memohon.
“Papa, kumohon, jangan jual laptopku, Pa! Jangan, aku mohon. Itu laptop yang paling bagus menurutku. Aku tidak mau kalau Papa menjualnya!” rengek Sarah.
“Iya, Papa tahu, Sayang. Tapi Papa butuh uang untuk membayar SPP-mu. Uang yang Papa peroleh hanya untuk makan sehari-hari, dan biaya outing class di sekolahmu. Papa terpaksa melakukan ini semua,” ujar Papa.
“Sarah, maafkanlah Papa. Papa berusaha bekerja demi kita semua. Gaji Papa belum datang, sedangkan gurumu telah mengomel soal SPP-mu yang menunggak. Belum lagi untuk biaya outing class yang tinggi. Kamu mengerti, kan, Nak?” Mama tersenyum kecut sambil memegang tangan Sarah.
Sarah tahu, tidak ada gunanya merengek-rengek dan memohon-mohon agar laptopnya jangan dijual. Dia menangis keras, lalu berlari menaiki tangga ke kamarnya. Papa dan Mama hanya bisa mendesah, dan wajah mereka tampak sedih daripada biasanya.
Malam harinya, Sarah sama sekali tidak keluar ke dapur untuk makan. Mama memanggilnya bolak-balik, namun tak mendapat tanggapan. Akhirnya, Papa meminta Mama untuk mengantarkan makan malam Sarah ke kamarnya. Dengan patuh, Mama mengantarkan makan malam ke kamar Sarah.
“Sarah, ini makananmu, ya. Nanti kalau sudah selesai, bilang saja,” kata Mama sambil meletakkan baki makanan di atas meja.
Sarah yang sedang berbaring di ranjang pun tak mengeluarkan sepatah kata. Mama pun turun ke bawah dengan hati yang sedih.
“Bisa jadi dia tidak mau menyantap makan malamnya karena sedih laptopnya akan dijual,” kata Mama kepada Papa.
“Yah, mau bagaimana lagi, Ma. Kebutuhan kita sangat banyak. Uang untuk outing class Sarah harus dikumpulkan paling lambat hari Jumat. Tinggal tiga hari lagi,” ujar Papa.
Di kamarnya, Sarah perlahan-lahan mendekati baki makanannya tanpa suara. Ditatapnya piring berisi nasi, telur, ayam rebus, dan sayur wortel. Dia memakan semuanya sampai habis. Kemudian, dia minum sedikit air dan pergi ke kamar mandi lantai dua untuk gosok gigi. Lalu, barulah dia tidur.
***
Esok harinya, Sarah tetap bangun seperti biasa. Dia turun untuk sarapan. Mama menyiapkan makanan tanpa bicara, dan Sarah menyantap sarapan tanpa suara. Suasana rumah sangat hening, dan Sarah masih merasa sedih memikirkan laptopnya.
Sesudah menyiapkan tas dan mandi, Sarah berangkat ke sekolah diantar Mama naik mobil. Tiba di sana, Sarah langsung meletakkan tasnya di bangku dan berjalan di area sekolah. Kelas masih sepi, sehingga gadis cilik itu tak bisa menghabiskan waktu sendirian di sana.
Ketika melihat pintu perpustakaan dibuka, Sarah langsung melepas sepatu dan masuk. Dia menghirup dinginnya AC dan melihat banyak buku tersusun rapi di raknya. Sarah selalu gembira begitu tiba di perpustakaan. Itu karena dia mencintai perpustakaan, yang dianggap sebagai tempat dia memperoleh buku hasil pemikiran orang lain.
Sarah berkeliling di sekitar rak tempat buku cerita berada. Jarinya memilih-milih buku yang cocok untuknya. Dalam setiap duka, Sarah selalu menyempatkan diri untuk pergi ke perpustakaan. Di sanalah dia bisa memahami arti dunia secara luas, dan berkenalan dengan buah karya seseorang.
Sarah mengambil sebuah buku cerita fantasi. Dia duduk di pojok, membaca buku itu dengan penuh saksama. Ditelannya bulat-bulat isi cerita buku itu. Sampai-sampai, dia tidak sadar bahwa Miss Caroline, guru bahasa Inggris, sudah tiba.
Mendengar bunyi langkah kaki mendekat, Sarah buru-buru meletakkan bukunya dan bersembunyi di balik lemari tua. Dia melihat Miss Caroline sedang sibuk meletakkan tasnya di kursi penjaga perpustakaan. Miss Caroline juga merangkap sebagai petugas perpustakaan. Dia juga seorang penulis yang telah menerbitkan tiga buku.
Miss Caroline berjalan sambil bersiul-siul. Sarah berusaha agar tidak menimbulkan suara sekecil apa pun. Sementara guru bahasa Inggris itu merapikan penampilan baju dan rambutnya, Sarah menahan napas dan tetap bertahan pada posisinya. Namun, dia juga merasa tidak nyaman, karena lemari itu sangatlah sempit dan hampir roboh. Sarah takut lemari itu akan jatuh dan membuat dirinya dimarahi Miss Caroline.
“Ah, rupanya seseorang telah datang ke sini dan membaca buku. Kulihat ini ada sepatu anak kecil, tapi siapa, ya?” gumam Miss Caroline sambil melirik ke arah sepatu Sarah yang tergeletak di dekat pintu perpustakaan.
Deg! Jantung Sarah berdegup kencang. Walaupun dia telah bersembunyi, Miss Caroline tetap tahu bahwa ada seseorang yang telah datang, karena sepatunya ada di luar. Dia tetap diam dan menahan napas, selama wanita itu masih ada di situ.
“Sarah? Itukah kamu?”
Suara itu sangat mengagetkan Sarah. Sejenak, gadis itu terdiam, lalu menoleh ke arah kanan. Rupanya Miss Caroline berada di situ dan menatapnya dengan penuh keheranan. Sarah terkejut, lalu dia buru-buru keluar.
“Miss Caroline… ya, ini saya, Sarah. Maaf kalau saya memasuki perpustakaan ini tanpa izin. Tapi… tapi saya mempunyai tujuan yang jelas. Saya ingin membaca buku,” jelas Sarah terbata-bata.
“Membaca buku apa?” tanya Miss Caroline dengan suara menyelidik.
“Oh… saya juga belum tahu mau membaca apa. Saya… saya ke sini hanya untuk menenangkan pikiran dari masalah,” kata Sarah setengah gugup.
“Masalah apa?” Miss Caroline bertanya lagi, kali ini nadanya terdengar sangat ramah.
“Saya tidak memiliki hak untuk bercerita, Miss. Ini… ini semacam rahasia saya,” ucap Sarah.
“Ceritakan saja apa masalahmu,” kata Miss Caroline sambil merangkul Sarah. Dia mengajak Sarah untuk duduk di sebelahnya. “Tak perlu malu-malu, cerita saja. Barangkali Miss bisa membantumu menyelesaikan masalahmu itu.”
Sarah gembira karena ada tempat untuk curhat. Dia menceritakan semua masalahnya kepada Miss Caroline.
“Jadi begitu, ya. Miss juga baru tahu kamu begitu terpikat pada cerita,” ujar Miss Caroline.
“Benar, Miss. Saya bingung harus bagaimana. Laptop saya hendak dijual, dan saya tidak suka kalau harus menulis di buku. Kedengarannya merepotkan dan melelahkan.”
Miss Caroline berpikir sejenak. Tiba-tiba, wajahnya menjadi cerah.
“Sarah, Miss Caroline gembira karena kamu suka menulis. Miss mau ikutkan kamu dalam ajang pemilihan penulis cilik terbaik. Hadiah utamanya satu unit smartphone. Lumayan, kan? Bagaimana?”
“Wah, asyik!” Sarah berteriak kegirangan. Namun, tiba-tiba, wajah gembiranya kembali surut. “Tapi, Miss, lombanya berbayar, tidak? Saya takut kalau ternyata lombanya berbayar dan nanti Papa tidak sanggup mengeluarkan uang.”
“Memang, lombanya berbayar. Tapi Miss Caroline akan tanggung biayanya untuk kamu. Tapi, janji, ya, kamu mau latihan yang sungguh-sungguh? Miss akan bantu sampai kamu bisa!”
“Kalau Miss Caroline mendukung, kenapa tidak?”
Begitulah, akhirnya Sarah belajar cara menulis cerita dengan baik. Miss Caroline melatih Sarah untuk menjadi penulis anak-anak yang hebat.
Pesan dari Sarah untuk kalian:
“Doakan aku supaya jadi penulis hebat, ya!!”