Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Penumpang di angkot ini hanya dua, Bima dan seorang pria. Dalam keremangan pukul enam sore, mata pria itu tampak sayu dan wajahnya kurus. Dia duduk di sudut kendaraan, badannya miring ke depan. Ketika dia menyapa Bima, suaranya lemah seperti orang sakit.
"Capek, Dik?" katanya. "Baru ujian?"
Mudah saja baginya menyimpulkan bahwa Bima mahasiswa. Angkot ini baru meninggalkan sebuah universitas swasta, sementara Bima berusia akhir belasan tahun serta membawa ransel dan map. "Ya," jawabnya singkat.
Di bawah langit biru gelap tanpa bintang, angkot tengah melewati jembatan di atas jalan tol Jakarta-Bogor. Terpikir oleh Bima bahwa situasi ini langka: berada dalam angkot tanpa mahasiswa lain, dosen, atau karyawan kampus. Apa mereka semua sudah pulang, atau sengaja naik angkot lain?
Pria itu menatap Bima, hingga dia waswas. Kalau pria itu maling yang khusus menyasar penumpang angkot, aneh bahwa dia beroperasi seorang diri. Penjahat biasanya pengecut dan bekerja berkelompok. Mungkin dia wiraniaga yang ingin menawarkan barang? Namun, selain dia tidak membawa tas atau koper, ini sudah lewat dari jam kerja. Lalu pria itu membuang muka.
Sopir menyetel lagu pop lawas, yang penyanyinya memohon-mohon minta dijadikan selingkuhan. Angkot memasuki jalur sempit berliku-liku yang diapit deretan rumah dan toko. Tak ada manusia di pinggir jalan, baik yang menyetop angkot maupun sekadar lewat. Bima ingat, kakek dan neneknya pernah berkata, pada waktu inilah setan berkeliaran dan menculik anak-anak.
Omong kosong. Orang-orang hanya sedang mendekam di rumah, makan malam atau menonton sinetron. Dan penumpang di depan Bima bukan setan, hanya pria biasa berjaket hitam dengan rambut tercukur pendek. Wajahnya familier, tapi Bima lupa di mana pernah bertemu pria ini. Atau bisa saja dia hanya mirip orang yang Bima kenal.
"Mahasiswa semester berapa?" tanya pria itu.
"Dua."
"Umurnya delapan belas, ya. Bulan apa ulang tahunnya?"
Ulang tahun. Serentetan imaji melintas di otak Bima: Embusan keras angin di jalan tol. Seruan protes dari jendela mobil, yang tenggelam oleh tawa. Setelahnya, jeritan Bima sendiri.
Mata Bima berkunang-kunang oleh kuatnya kenangan itu. Dia membisu, dan pria itu tidak bertanya lagi, hanya menumpangkan tangan di atas lutut. Di jari tangan kanannya menempel cincin berbatu hijau lumut. Entah itu cincin akik atau bukan; Bima tidak paham atau peduli dengan tren batu mulia.
"Anak saya juga mahasiswa semester dua." Pria itu mengelus-elus cincin. Matanya yang sayu berbinar, lalu kembali padam. "Nilainya bagus. Di rumah dia baik, patuh sama saya dan ibunya. Anak saya...." Suara pria itu berubah nyaring. "Kiri, Mang," serunya pada sopir.
Angkot menepi, dan pria itu bangkit dari tempat duduk. Ketika hampir mencapai pintu angkot, tiba-tiba dia terhuyung. Tangannya menggapai-gapai mencari pegangan, lalu tanpa sengaja menyampuk leher Bima. Batu cincin itu mengenai kulitnya, menghunjamkan nyeri sampai ke tulang.
"Aduh!" Refleks Bima menyentakkan kepala hingga nyaris membentur jendela. Seraya menggumam minta maaf, pria itu buru-buru turun. Penasaran, Bima mendelik ke arah tangan pria itu yang menyodorkan uang pada sopir.
Batu cincin itu tetap persegi. Tidak berubah runcing atau mengeluarkan bilah pisau. Jadi, apa yang menusuk leher Bima?
Pria itu berjalan ke sebuah gang. Sekali lagi dia mengelus cincin, gerakan tangannya lebih kencang daripada tadi. Nyeri di tulang Bima mereda, tapi pandangannya masih membuntuti pria itu sampai angkot melaju pergi.
*
"Bim! Hei, Bima?"
Mata Bima terbuka dan punggungnya menegak. Sesaat pikirannya terapung-apung, lalu menyerap pemandangan di sekitar. Dia berada di ruang kuliah yang hampir kosong. Di sebelahnya berdiri Mutia, teman satu prodi dan satu-satunya orang lain di ruangan ini.
"Oh, elo...." Lidah Bima terasa tebal dan kelopak matanya kaku. "Kelas sudah bubar?"
"Dari tadi. Lo duduk terus sampai dosen dan anak-anak keluar. Gue samperin, cengo. Gue panggil dua kali, baru lo nyahut." Bergeser ke depan Bima, Mutia memperhatikan wajahnya. "Pucat gitu muka lo. Sakit?"
Leher dan bahu Bima ngilu. Kepalanya berdentam-dentam. Kapan dia hilang kesadaran? Materi yang disampaikan dosen—mengapa dia lupa sama sekali? Bertopang pada punggung kursi, dia berdiri, dan nyaris tersungkur jika Mutia tidak menyambar lengannya.
"Pusing." Bahkan satu kata itu saja terpelintir, sukar tercetus dengan bulat. "Gue pulang sekarang."
"Perlu gue panggilkan teman cowok buat antar lo?"
Bima menggeleng. Dia hanya lemas, bukan kehilangan kaki. "Sendiri juga bisa."
Dia membeli minuman kaleng untuk menambah energi, tapi badannya tak kunjung segar. Sesampainya dia di rumah yang masih kosong, sisi lehernya nyeri dan menegakkan badan pun sulit. Terseok-seok, dia menghampiri cermin kamar tidurnya.
Mutia menyebut wajahnya pucat, tapi istilah yang muncul di benak Bima adalah kehabisan darah. Kulitnya tidak lagi sawo matang, melainkan mirip warna kertas. Di tengah kepucatan itu, warna merah di sisi lehernya tampak menonjol.
Warna merah itu seukuran uang logam, melesak sedikit ke dalam daging. Ragu-ragu, Bima meraba lingkaran itu, dan spontan menarik tangannya lagi. Lingkaran itu panas, tajam, dan tidak terasa seperti bagian dari daging.
Panas dan tajam. Seperti sensasi batu cincin pria di angkot saat menyentuh leher Bima.
Dia berkata keras-keras, "Cincin apa itu?" dan daging di tengah lingkaran merah itu robek.
Belum sempat Bima bereaksi, robekan itu memanjang. Seluruh sisi lehernya, dari bawah telinga sampai bahu, terbelah sampai menganga, menampakkan tulang. Ketakutan, dia ingin berteriak, tapi nyeri tak tertahankan mengunci suaranya.
Dari robekan di leher Bima menyembul sebuah hidung. Disusul bola mata. Perlahan tapi pasti, sebuah pipi menyusul, kulitnya bebercak merah.
Bercak itu darahku. Ada wajah orang keluar dari leherku, dan wajah itu terkena darahku! Wajah, dan sebentar lagi seluruh kepala–
Tolong! teriak Bima. Tolong! Pipinya tak bisa direnggangkan, maka dia hanya menjerit dalam hati. Leher dan tengkoraknya bagai tengah retak, sakit luar biasa. Badannya limbung, terundur dan miring.
Sebelum tumbang, dia sempat melihat wajah yang keluar dari lehernya di cermin, dan berteriak lagi dalam hati: Kamu!?
*
Setelah sepuluh tahun menikah, Giri dan istrinya baru dikaruniai anak. Karena itu, putra tunggal mereka adalah segala-galanya. Karena itu pula, dunia mereka luluh lantak saat putra mereka tewas.
Giri sedang bertugas di luar pulau saat istrinya menelepon. Murni kecelakaan, kata istri Giri terisak. Putra mereka ikut teman-temannya naik mobil ke Jakarta. Di jalan tol, teman-temannya memaksa dia mengeluarkan separuh badan dari mobil dan berteriak: Gue ulang tahun! Sambil tertawa-tawa, mereka mendorong dia ke luar jendela. Teman yang menyetir sibuk ikut menyuruh, hingga dia lengah dan mobil oleng. Putra Giri terbanting ke aspal dan tewas seketika—persis di usia tujuh belas.
Giri dan istrinya bukan pendendam. Meski dengan hati getir, mereka memilih untuk merelakan putra mereka. Kemudian, tiga hari lalu, seseorang tak dikenal datang ke rumah Giri. Tamu itu mendatangi Giri yang sedang termenung di teras, dan menyodorkan sebentuk cincin bermata hijau lumut.
Anak-anak yang membunuh putramu hidup enak, ujar tamu itu. Sudah lolos dari meja hijau, masuk universitas bergengsi pula. Putramu? Cuma jadi makanan cacing. Padahal semestinya sekarang dia kuliah semester dua. Menurutmu, itu adil?
Selagi sang tamu berbicara, Giri menangis. Lama sekali air matanya tidak berhenti mengalir, seolah menumpahkan nestapa yang ternyata dia tanggung selama ini. Lalu sang tamu memerinci cara memakai cincin, dan Giri menyimak.
Mereka mengaku teman putramu, tapi merampas nyawanya. Teman palsu begitu pantas dihukum! Nah, kamu ambillah kembali apa yang jadi hakmu. Cari salah satu dari anak-anak itu, dan putramu akan pulang.
Malam ini istri Giri menginap di rumah kakaknya, dan Giri kembali berada di teras rumah. Perutnya terlalu tegang hingga melilit, dan dia berdiri alih-alih duduk. Menilik satu demi satu orang yang lewat, memelototi wajah-wajah mereka. Kakinya pegal, kausnya lembap oleh keringat, tapi dia tidak mengeluh.
Tak lama seorang pemuda membuka pagar. Langkahnya diseret, dan sesekali dia menyeka leher. Matanya terpentang lebar, begitu lebar sampai di sekitar bola matanya tampak bagian putih. Ketika pemuda itu berhenti di depannya, Giri menghidu aroma tanah.
"Nak," kata Giri. Kepalanya pening oleh rasa lega, dan dia tersenyum.
"Ayah." Suara makhluk itu garau. Kulit di sisi lehernya mengelupas. Dagingnya kehitaman—daging yang lama terkubur dan tak terpapar sinar matahari, Giri membatin.
Akankah istrinya gembira? Pasti. Mana ada orang tua mengingkari anak sendiri? Fisik kotor tinggal dibersihkan dengan sabun dan air. Mata yang nyalang lama-lama akan melembut. Mereka akan berkumpul dan tinggal bertiga lagi; keinginan terbesar dalam hidup Giri akan terwujud.
Dia meraih tangan berlapis debu itu. "Lama sekali Ayah tunggu. Kamu lapar? Yuk, kita masuk."
Makhluk itu menyeringai. Giginya, yang mengintai dari sela bibir, dua kali lebih besar dari yang diingat Giri. Dia bergidik, sekilas berpikir bahwa begitu mereka hanya berdua saja, makhluk ini akan menggigit dan mengoyak lehernya.