Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Lonceng tua memekik seperti jerit luka yang dipaksakan tenang. Tanda belajar telah usai. Di ruang kelas, aku merapikan sisa-sisa kesabaran yang tertinggal di antara buku catatan dan kapur yang usang.
Murid-murid bubar, berjalan pulang seperti biasa: riang, tergesa, atau biasa saja. Sementara aku melangkah menuju beranda, langkahku terantuk pada diam yang tidak biasa.
Ia duduk di sudut halaman, di bawah bayang pohon ketapang yang tak pernah benar-benar teduh.
Tubuh kecil itu memeluk lututnya sendiri, seperti hendak menyembunyikan luka dari dunia yang terlalu ramai untuk peduli.
Aku mendekat. Dunia seperti menahan napas.
"Nak… kenapa belum pulang?"
tanyaku lirih, seolah takut mengganggu duka yang belum selesai.
Ia menoleh. Wajahnya basah oleh air mata yang tak bisa dibendung, seperti bendungan kejujuran yang jebol di tengah kota para pembohong.
"Pak…" suaranya terputus-putus,
"Kenapa semua orang jahat padaku? Aku salah apa?"
Tangisnya bukan sekadar sedih. Itu jerit batin seorang anak yang baru saja dihadang kenyataan:
bahwa kejujuran tak selalu menang, dan keberhasilan bisa dirampok, bahkan sebelum sempat dirayakan.
"Aku menang lomba menulis, Pak… di media sosial. Namaku diumumkan, aku bahagia. Tapi tak lama, akunku hilang.
Dilaporkan. Dihujat. Dituduh curang. Akun-akun palsu bermunculan, mengaku sebagai aku. Semua jadi abu. Hadiah menguap. Pengakuan pun dipelintir. Mereka… menjatuhkanku, Pak…"
Ia menggigil, bukan karena dingin, tapi karena dunia yang tak adil sudah terlalu dini menggigit kulit tipisnya.
Aku mendekapnya. Tak banyak kata bisa menghapus luka serupa ini. Tapi pelukan, mungkin, bisa menjadi jeda kecil sebelum ia kembali berjuang.
“Nak… itu hakmu. Kebenaran memang sering dibungkam, tapi layak diperjuangkan. Bapak akan bantu semampu bapak. Jangan biarkan penjarah mengakhiri jalanmu.”
**
Aku menatap langit. Kosong. Atau terlalu penuh. Di negeri ini, matahari pun sering tak adil: hanya menyinari mereka yang punya jendela besar.
Iri telah menjadi ibadah baru. Dengki dijadikan mata kuliah wajib sejak usia dini. Mereka tak mampu menang, tapi enggan melihat orang lain berhasil.
Maka dilaporkannya prestasi, dihujatnya bakat, dibakar habis nasib baik orang lain—seolah keberuntungan hanya sah dimiliki oleh mereka yang bersuara paling nyaring, walau batinnya busuk.
Sudah banyak anak ditumbangkan sebelum sempat berdiri. Bukan karena tak cerdas, tapi karena terlalu jujur di tengah pasar tipu daya.
Ada yang gagal beasiswa karena fitnah, ada yang dicoret karena "tidak cocok citra", ada yang dibungkam karena tak bisa diajak bersandiwara.
Dan seperti biasa, kita semua tahu, tapi memilih bungkam. Mungkin karena kita takut jadi korban berikutnya. Atau karena kita sedang ikut mengantri giliran merampas impian orang lain.
Penjarah tak selalu datang membawa senjata. Kadang, ia hadir dengan akun palsu, mulut manis, dan jempol yang gemar membunuh reputasi.
Yang mereka benci bukan kamu, tapi keberhasilanmu. Karena cerminmu terlalu jujur, memantulkan betapa kecilnya mereka. Dan karena mereka tak mau tumbuh, mereka ingin kamu juga layu.
Tapi jangan tunduk, Nak.
Karena di negeri yang penuh penjarah, keberanian adalah satu-satunya cara agar kejujuran tak punah.
*****
Epilog:
Ia akhirnya pulang. Bukan karena luka telah sembuh, tapi karena tangis tak bisa selamanya ditinggal di halaman sekolah.
Dunia menuntut kita tetap berjalan, meski kaki terseret-seret oleh kecewa.
Besok, mungkin ia akan kembali tersenyum, entah karena lupa atau karena terpaksa. Anak-anak memang sering diajari cara menyembunyikan luka lebih dulu ketimbang menyembuhkan.
Sementara itu, penjarah-penjarah kecil itu terus tumbuh besar, diberi panggung, dibayar tawa, disanjung oleh sesama perampas makna.
Mereka bukan pengecualian, mereka sistem. Dan sistem tak bisa ditangisi, hanya bisa dilalui—atau dilawan, dengan risiko dilumat habis.
Dan aku? Aku guru. Bukan dewa. Tak bisa menyelamatkan semuanya. Tapi aku tahu satu hal:
Negeri ini sedang hamil tua dengan kebusukan, dan kelahirannya akan terus melahirkan duka baru yang diberi nama “biasa saja”.
Kita sedang menua di antara reruntuhan yang dipoles menjadi prestasi. Kita sedang hidup di tengah parade kemenangan yang dibangun di atas jasad harapan orang lain.
Tak perlu berharap.
Karena di sini, kejujuran memang lahir prematur—dan sering tak sempat tumbuh dewasa.