Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit Kerajaan Awrenda telah retak. Bukan retak dalam arti sesungguhnya, tetapi seperti ada luka panjang yang tak sembuh-sembuh, menjadikan awan menggumpal hitam tapi tak pernah meneteskan hujan. Pohon-pohon meranggas, sungai berubah menjadi aliran lumpur kering, dan mata penduduk kehilangan cahaya harapan.
Hujan sudah tidak turun selama tujuh tahun.
Menurut legenda kuno, itu berarti Penjaga Hujan telah menghilang atau mati.
Di desa kecil bernama Rivandra, hidup seorang gadis bernama Saila, usia tujuh belas tahun. Rambutnya hitam kelam seperti malam yang basah, kontras dengan tanah berdebu di sekitarnya. Setiap hari, ia berjalan ke sumur tua di pinggir hutan untuk mengambil air. Sumur itu sudah hampir kering. Butuh waktu dua jam hanya untuk mendapatkan seember kecil air keruh.
“Kalau begini terus, kita akan kehabisan air,” gumam Saila pelan sambil menimba.
Dari balik rerumputan kering, seorang anak kecil—adik laki-lakinya, Leno—berlari-lari menghampiri, membawa sebuah buku lusuh. “Kak! Kak! Lihat ini!” serunya dengan semangat. Nafasnya memburu.
“Ada apa lagi, Leno?”
“Aku nemu ini di gudang kakek. Buku tentang Hujan Pertama.”
Saila berjongkok, membuka halaman-halaman buku yang rapuh. Gambar-gambar tua menampilkan sosok berjubah biru dengan tongkat berbentuk spiral air. Di bawahnya tertulis dalam aksara kuno:
“Bila langit kering, carilah Penjaga Hujan di Gerbang Awan.
Bila Penjaga tiada, turunan darah biru akan memanggil hujan.”
Saila menatap tulisan itu lama, merasa sesuatu bergetar dalam dadanya. “Turunan darah biru… siapa itu?”
Leno mengangkat bahu. “Mungkin bangsawan?”
Tapi Saila tahu—bangsawan sudah lama pergi dari tanah Awrenda, melarikan diri ke wilayah selatan. Tak ada yang tersisa kecuali petani kelaparan dan tanah pecah. Namun, dalam hatinya, ia merasa buku itu bukan sekadar dongeng. Mungkin… itu petunjuk.
Malamnya, Saila duduk di depan tungku api kecil, menatap peta usang di buku tersebut. Di sisi barat Awrenda, di balik Pegunungan Skara, terlukis Gerbang Awan—tempat legenda menyebut Penjaga Hujan tidur.
Keputusan muncul dalam dadanya seperti kilat membelah langit kering.
Ia akan pergi.
“Kau gila?” seru Leno saat mendengar rencana kakaknya. “Pegunungan Skara itu berbahaya! Ada makhluk-makhluk bayangan yang katanya makan manusia!”
“Leno,” Saila menggenggam tangan adiknya, “kalau kita tidak bertindak, seluruh desa akan mati. Sumur itu tinggal menunggu hari kering total. Kalau memang ada Penjaga Hujan, aku akan menemukannya.”
Leno menunduk. Lalu, dengan suara kecil, ia berkata, “Kalau begitu… aku ikut.”
Saila ingin menolak, tapi ia tahu Leno keras kepala seperti dirinya. Akhirnya mereka berdua berangkat saat fajar, hanya membawa air seadanya, roti kering, dan buku tua itu.
Perjalanan menuju Pegunungan Skara tak mudah. Padang rumput yang dulu hijau kini hanya hamparan retak-retak. Mereka harus melewati Lembah Sunyi, tempat di mana suara angin saja terdengar seperti jeritan. Di sana, kabut tipis melayang di antara batu-batu, dan aroma tanah kering menusuk hidung.
Saat matahari condong ke barat, Leno menunjuk sesuatu. “Kak… kau lihat itu?”
Seekor rubah putih berdiri di kejauhan, bulunya berkilau aneh, seperti memantulkan cahaya bulan meski hari masih sore. Binatang itu menatap mereka dengan mata biru cerah—warna yang tak pernah mereka lihat selama bertahun-tahun.
“Jangan dekati,” bisik Saila. Tapi rubah itu berbalik, berlari, lalu berhenti lagi, seolah mengajak mereka mengikutinya.
Saila ragu. Tapi saat rubah itu melangkah menuju arah yang sama dengan peta buku tua, keraguannya berubah menjadi keyakinan. “Kita ikuti.”
Mereka berlari menembus kabut, mengikuti kilau putih rubah itu. Kabut semakin pekat hingga mereka tak lagi melihat matahari. Lalu, tiba-tiba, tanah di bawah mereka runtuh.
Saila terbangun di tempat asing—gua bercahaya kebiruan. Kristal-kristal air menetes dari dinding, membentuk genangan jernih. Untuk pertama kalinya, ia mencium bau hujan. Leno berbaring di sampingnya, pingsan tapi masih bernapas. Rubah putih duduk di depan mereka.
Lalu rubah itu berubah wujud. Bulunya menyala, tubuhnya membesar, dan dalam sekejap, sosok perempuan bersayap air berdiri di sana. Rambutnya mengalir seperti sungai.
“Siapa… kau?” tanya Saila tergagap.
“Aku Lira, Roh Penuntun,” jawab perempuan itu dengan suara jernih seperti tetesan embun. “Kalian dipilih oleh langit untuk menemukan Gerbang Awan.”
“Dipilih? Kami cuma orang desa,” balas Saila.
Lira menatapnya tajam. “Darahmu bukan darah biasa, Saila. Kau keturunan dari Penjaga Hujan pertama.”
Saila terpaku. “Apa?”
“Lihat kalungmu,” ucap Lira.
Saila memegang kalung kecil di lehernya—kalung itu milik ibunya, satu-satunya peninggalan sebelum ibunya meninggal saat kekeringan pertama. Kalung itu bersinar lembut, meneteskan butiran air murni.
“Gerbang Awan takkan terbuka kecuali darah biru—darah penjaga—menghadapinya,” lanjut Lira. “Kau satu-satunya harapan.”
Saila ingin menyangkal, tapi sesuatu dalam dirinya tahu itu benar. Mungkin inilah alasan ibunya selalu berkata, “Langit memperhatikanmu, Saila.”
Dengan bantuan Lira, mereka melanjutkan perjalanan melewati gua bawah tanah, hingga akhirnya keluar di lereng Pegunungan Skara. Dari sana, Gerbang Awan terlihat jelas—dua pilar raksasa dari batu putih, berdiri tegak di tengah kabut tebal. Awan berputar di sekitarnya, seperti pusaran air raksasa.
Namun sesuatu menghalangi jalan mereka: makhluk bayangan setinggi dua meter, bermata merah, melayang seperti asap hitam. Lira berseru, “Itu Bayangan Kering, lahir dari ketamakan manusia yang melupakan hujan.”
Makhluk itu menggeram, mengeluarkan suara seperti ranting patah. Lira melindungi mereka dengan sayap air, tapi bayangan itu kuat. Saila meraih kalungnya, dan entah kenapa, jantungnya berdetak cepat seperti genderang perang.
Lira berteriak, “Gunakan hatimu, bukan ketakutanmu!”
Saila menutup mata. Dalam kegelapan pikirannya, ia melihat hujan turun, mendengar suara ibunya bernyanyi. Saat ia membuka mata, kalungnya bersinar terang, membentuk pusaran air di udara. Bayangan Kering meraung kesakitan saat pusaran itu menyentuhnya, dan dalam sekejap, makhluk itu menghilang seperti kabut tertiup angin.
Leno berlari memeluknya. “Kak! Kau… kau melakukannya!”
Saila terengah, tapi di hatinya ada cahaya baru.
Mereka melangkah ke Gerbang Awan. Pilar-pilar raksasa itu bergetar saat Saila menyentuhnya. Kabut berubah menjadi hujan gerimis kecil yang jatuh ke tanah—setetes pertama dalam tujuh tahun. Lira berdiri di sampingnya, bersenandung dalam bahasa yang tak dimengerti.
“Aku tidak tahu bagaimana cara menjadi Penjaga,” kata Saila lirih.
“Penjaga bukan gelar yang kau pakai,” jawab Lira lembut. “Itu suara hatimu yang mendengar langit. Kau hanya perlu memanggilnya.”
Saila menutup mata, menggenggam kalungnya, dan berbicara dalam hati: Wahai langit, kembalilah kepada kami.
Tiba-tiba, dari atas gerbang, awan berputar cepat. Kilat biru membelah langit. Air turun deras, membasahi seluruh pegunungan. Sungai-sungai kering kembali hidup, suara air menari di udara.
Desa Rivandra, puluhan kilometer jauhnya, merasakan tetesan pertama itu. Orang-orang berlari ke luar rumah, menengadah, menangis dalam hujan.
Lira menatap Saila. “Langit telah mendengar. Tapi ingat, menjadi Penjaga bukan hanya memanggil hujan. Kau harus melindungi keseimbangan—jika manusia kembali serakah, Bayangan Kering akan lahir lagi.”
Saila mengangguk pelan. “Aku akan belajar.”
Leno memeluk kakaknya erat. “Kau pahlawan kita, Kak.”
Saila tersenyum. Ia tidak merasa seperti pahlawan—hanya seorang gadis desa yang tak ingin menyerah. Tapi kini ia tahu: darah Penjaga mengalir di nadinya.
Hujan terus turun. Langit Awrenda pulih sedikit demi sedikit.
Dan di Gerbang Awan, seorang Penjaga Hujan baru berdiri, memandang dunia dengan mata biru bercahaya.