Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Penjaga Cahaya di Langit Utara
0
Suka
26
Dibaca

Angin malam meluncur lembut di atas tebing Auralis. Dari puncak bukit itu, langit tampak seperti lautan yang berdenyut, dipenuhi cahaya aurora yang berwarna hijau, ungu, dan biru. Di bawahnya terbentang hutan es yang sunyi, diselimuti kabut dingin yang memantulkan cahaya bintang.

Di tepi tebing berdiri seorang gadis muda bernama Nara. Matanya yang kelabu memantulkan sinar langit di atasnya, sementara rambutnya menari tertiup angin dingin. Di tangannya tergenggam sebuah liontin kristal biru pucat — satu-satunya peninggalan dari ayahnya, seorang penenun cahaya yang hilang tujuh tahun lalu dalam badai bintang.

Setiap malam, Nara menatap ke langit utara. Ia bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat orang lain — benang-benang cahaya yang menghubungkan bintang satu dengan yang lain, berkilau lembut seperti sulur halus di angkasa. Namun malam ini, salah satu benang itu padam. Bintang di ujungnya, Polaris, meredup perlahan.

“Tidak mungkin…” bisiknya.

Seketika, udara di sekelilingnya menjadi berat. Cahaya aurora yang biasanya menari lembut kini tampak bergoyang tak beraturan.

Dalam hatinya, Nara tahu: ketika Polaris kehilangan cahayanya, keseimbangan dunia pun terancam.

Keesokan paginya, kabut turun dari pegunungan. Dari balik kabut itu muncul sosok lelaki muda berjubah perak. Ia tampak asing, namun matanya memantulkan warna langit pagi — biru cerah dan dalam.

“Apakah kau Nara?” tanyanya dengan suara tenang, tapi tegas.

“Iya… siapa kau?” balas Nara curiga.

“Aku Kael, penjaga dari Menara Utara. Cahaya bintang Polaris padam semalam, dan hanya kau yang bisa menyalakannya kembali.”

Nara mengerutkan kening. “Aku? Aku cuma gadis biasa.”

Kael menatap liontin di lehernya. “Itu Kunci Aether. Kau adalah keturunan terakhir dari Penenun Cahaya — darahmu terhubung langsung dengan bintang.”

Liontin itu bergetar pelan, memancarkan sinar biru lembut. Nara terdiam. Ia ingat bagaimana ayahnya selalu berkata bahwa cahaya sejati tidak pernah mati, hanya berpindah tempat. Mungkinkah itu maksudnya?

Sebelum Nara sempat bertanya lebih jauh, suara gemuruh datang dari dalam hutan. Pohon-pohon bergetar. Dari kegelapan muncul bayangan hitam besar dengan mata merah menyala — Wraith, pemakan cahaya.

Kael menghunus pedangnya yang berpendar seperti aurora. “Lari, Nara!”

Namun tubuh Nara terpaku. Ia melihat benang cahaya di udara bergetar hebat, seolah meminta tolong. Nalurinya bergerak lebih cepat dari pikirannya. Ia mengulurkan tangan ke udara — dan benang itu menempel di jarinya. Seketika, cahaya biru meledak dari tubuhnya, menghantam Wraith hingga lenyap menjadi abu.

Kael menatapnya tak percaya. “Kau… baru saja menggunakan Tenunan Cahaya tanpa pelatihan.”

Nara terengah. “Aku tidak tahu apa yang kulakukan. Aku hanya… merasakannya.”

Kael menatapnya dalam, lalu mengangguk. “Kau benar-benar pewaris Polaris.”

Perjalanan mereka menuju Menara Polaris pun dimulai. Mereka menyeberangi lembah beku, berjalan di antara pepohonan kristal yang berkilau di bawah cahaya aurora. Di sepanjang jalan, Nara belajar mengendalikan kekuatannya — menenun cahaya untuk menerangi jalan, menghangatkan udara, bahkan menenangkan makhluk malam yang tersesat.

Namun setiap kali ia menggunakan tenaganya, liontin di lehernya semakin redup.

“Kenapa cahayanya makin lemah?” tanya Nara suatu malam saat mereka beristirahat di bawah pohon es.

Kael menatap api unggun kecil yang berwarna biru. “Kau belum terbiasa menenun cahaya. Cahaya itu datang dari jiwamu, bukan dari batu itu. Jika hatimu ragu, nyalanya juga akan redup.”

Nara menunduk. “Aku takut. Kalau aku gagal, dunia akan gelap selamanya.”

Kael tersenyum kecil. “Kau tahu, bahkan bintang pun pernah padam. Tapi mereka selalu kembali bersinar — bukan karena mereka kuat, tapi karena mereka tahu ada yang menunggu cahaya mereka.”

Kata-kata itu menenangkan Nara, meski ia belum sepenuhnya mengerti.

Beberapa hari kemudian, mereka tiba di padang datar di mana Menara Polaris berdiri. Menara itu tinggi, menjulang menembus awan, seluruh tubuhnya berlapis batu putih yang memantulkan warna aurora. Tapi puncaknya retak — dan dari celah itu mengalir bayangan pekat.

“Wraith sudah mencapai menara,” kata Kael. “Jika kita terlambat, semua bintang akan padam.”

Nara menatap menara itu dengan napas bergetar. Ia memegang liontinnya erat. “Aku siap.”

Di dalam menara, udara terasa berat. Setiap langkah bergema, setiap bayangan tampak hidup. Di puncak, mereka menemukan Cermin Langit, lingkaran besar dari kristal perak yang seharusnya memantulkan cahaya bintang. Kini cermin itu gelap, berputar seperti pusaran air.

Dari sana muncul Wraith — jauh lebih besar daripada sebelumnya. Tubuhnya seperti asap hitam yang berputar, dengan mata merah menyala.

“Kau pikir bisa menyalakan cahaya itu lagi?” desisnya.

“Cahaya hanya ada selama aku mengizinkannya.”

Kael maju dengan pedang di tangan. Pertempuran dimulai. Cahaya aurora bertabrakan dengan bayangan hitam, menciptakan kilatan di langit. Tapi Wraith terlalu kuat. Kael terlempar ke dinding, dan pedangnya patah menjadi dua.

Nara berlari padanya. “Kael!”

Kael menatapnya dengan mata lemah. “Kau harus menyalakan kembali Polaris. Gunakan hatimu, bukan ketakutanmu.”

Nara berbalik ke arah cermin. Air matanya menetes. “Aku tidak bisa… aku bukan Ayah.”

Dari dalam dirinya terdengar gema lembut, seperti bisikan: “Cahaya tak pernah hilang, hanya berpindah hati.”

Ia memejamkan mata. Dalam kegelapan pikirannya, ia melihat kenangan — ayahnya tersenyum sambil menunjuk langit, suara tawa di pagi hari, pelukan hangat saat badai. Semua kenangan itu berkilau seperti bintang.

Ia membuka mata, menatap Wraith yang melangkah mendekat. “Kau salah. Cahaya tidak butuh izinmu.”

Liontin di dadanya pecah, melepaskan serpihan cahaya yang melayang di udara. Nara menenun serpihan itu menjadi pola di udara — ribuan benang cahaya membentuk jaring besar yang berpendar seperti sayap. Cahaya biru meledak, menelan seluruh ruangan.

Wraith menjerit panjang, tubuhnya hancur menjadi debu hitam yang terserap ke dalam cermin. Suara ledakan besar bergema, dan langit di luar berubah terang.

Ketika cahaya mereda, Nara terjatuh lemah. Cermin Langit bersinar sempurna, memantulkan cahaya bintang ke segala penjuru. Di langit, Polaris kembali bersinar, lebih terang dari sebelumnya.

Kael mendekat, memegangi bahunya. “Kau berhasil.”

Nara tersenyum samar. “Aku tidak melakukannya sendiri.”

Kael menatapnya penuh hormat. “Kau lebih dari sekadar pewaris. Kau adalah Penjaga Cahaya sejati.”

Mereka berdua berdiri di balkon menara, menatap aurora yang kini menari damai. Langit tampak hidup kembali.

Beberapa bulan kemudian, Nara kembali ke desa asalnya. Orang-orang menyambutnya sebagai pahlawan, tapi ia tidak merasa demikian. Ia hanya merasa… tenang.

Setiap malam, ia duduk di tebing tempat semuanya bermula. Di sana, cahaya Polaris selalu tampak paling terang. Ia tahu, di balik cahaya itu, ayahnya pasti tersenyum.

Kael terkadang berkunjung, membawa kabar dari Menara Utara. Mereka berbincang lama tentang bintang, tentang dunia, dan tentang arti menjadi cahaya.

Suatu malam, saat aurora menari indah, Nara berkata pelan,

“Cahaya bukan untuk disembunyikan. Ia harus dibagikan.”

Kael menatapnya dan mengangguk. “Dan kau telah membagikannya pada dunia.”

Nara tersenyum, memejamkan mata, membiarkan angin malam meniup lembut rambutnya. Liontin di lehernya kini hanya berupa pecahan kecil, tapi di dalamnya masih berdenyut cahaya halus — tanda bahwa cahaya sejati tak pernah padam.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Perjamuan Malam Sullivard
Populartflower
Cerpen
Bronze
CARA KAWUL MERAYAKAN LEBARAN
fileski
Cerpen
Bronze
Apa Salahku Ibu?
Siti Nashuha
Cerpen
Penjaga Cahaya di Langit Utara
Caryll S
Novel
Sampiran Durian
Azul
Novel
Kisah LDR paling jauh
Ari Septiana
Novel
Bronze
Upon The Sorrow
Riski Nasution
Novel
EVOIA
Sasa
Novel
Friendship
alviiswari
Flash
Bronze
Tikus Di Kamar
Viola khasturi
Flash
Bronze
KJM
Lora Arkansas
Cerpen
Bronze
Ramayana Moksa
Imajinasiku
Cerpen
Bronze
Mengapa Kamu Selingkuh
AndikaP
Novel
Gold
Spotlight
Mizan Publishing
Novel
Gold
Snow White Merebut Kembali Kerajaan Kaspar
Bentang Pustaka
Rekomendasi
Cerpen
Penjaga Cahaya di Langit Utara
Caryll S