Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Aksi
Penjaga Bayangan di Hutan Arken
0
Suka
352
Dibaca

---

Penjaga Bayangan di Hutan Arken

Di tepi sebuah desa kecil bernama Eldra, terhampar hutan tua yang selalu diselimuti kabut tebal—Hutan Arken. Tidak ada satu pun penduduk desa yang berani masuk terlalu jauh ke dalamnya. Orang-orang bilang, hutan itu hidup. Pohon-pohonnya bisa berbisik, dan bayangan-bayangannya menatap balik siapa pun yang menjejakkan kaki di sana.

Namun malam itu, Rian, seorang anak laki-laki berusia lima belas tahun, menyalakan lentera kecil dan melangkah ke dalam hutan. Ia tahu risiko yang menantinya, tapi tekadnya jauh lebih besar daripada rasa takut yang menggigit di dada.

“Ayah belum kembali…” bisiknya lirih. Sudah tiga hari sejak ayahnya, seorang pemburu desa, hilang di dalam hutan itu.

Rian menoleh ke belakang. Cahaya dari desa tinggal setitik, seperti bintang yang hampir padam. Ia menarik napas panjang, menggenggam lentera lebih erat, lalu melangkah lebih dalam.

Kabut mulai menebal. Rian hanya bisa melihat beberapa langkah di depan. Akar-akar menjulur seperti tangan, dan angin dingin berdesir membawa suara-suara samar—seolah ada yang berbisik di antara dedaunan.

> “Kembalilah… sebelum bayangan menemukanmu…”

Rian berhenti sejenak, tapi tidak mundur. Ia sudah mendengar banyak cerita tentang roh penjaga hutan, tentang Bayangan Arken, makhluk gelap yang dikatakan menelan jiwa siapa pun yang menodai kesunyian hutan. Tapi dalam hatinya, ada suara lain: Ayah menunggumu.

Langkahnya berlanjut.

---

Beberapa jam kemudian, ia tiba di sebuah dataran kecil yang diterangi cahaya bulan. Di tengahnya berdiri batu besar berlumut dengan ukiran aneh berpendar biru samar. Simbol itu tampak hidup, berdenyut seperti jantung.

Rian menunduk, menelusuri pola itu dengan ujung jarinya. Begitu disentuh, cahaya biru itu menyebar, dan udara di sekitarnya bergetar. Lentera di tangannya berkelap-kelip, lalu—

> “Kau tidak seharusnya ada di sini.”

Suara berat dan dalam menggema dari kegelapan. Rian tersentak, menoleh ke segala arah. Dari balik pepohonan, muncul sosok tinggi berbayang pekat. Matanya merah menyala seperti bara.

Rian melangkah mundur, tapi tanah di bawah kakinya terasa beku. “Aku… aku mencari ayahku,” katanya dengan suara gemetar.

Bayangan itu diam sejenak, lalu berbisik pelan, “Setiap yang hilang di Arken tidak selalu ingin ditemukan.”

Rian menggigit bibirnya. “Aku tidak percaya itu! Ayahku pasti masih hidup!”

Dari balik kabut, sosok itu bergerak maju. Wujudnya mulai jelas—tinggi, berjubah kabut, dengan bayangan yang terus berubah bentuk. “Kau membawa lentera, cahaya dari luar hutan. Cahaya itu menantangku,” ucapnya dengan nada marah.

Rian menatap lentera di tangannya. Nyala kecil itu tampak menentang kegelapan di sekitarnya. “Kalau cahaya ini membuatmu takut, berarti aku tahu siapa kau sebenarnya,” katanya, mencoba berani.

Makhluk itu tertawa—tawa berat yang menggema di seluruh hutan. “Berani sekali anak manusia. Tapi apakah kau tahu cahaya itu juga bisa menelanjangi kebenaran yang ingin kau sembunyikan?”

Sebelum Rian sempat menjawab, bayangan itu mengangkat tangannya. Dunia di sekelilingnya berguncang. Pohon-pohon menjerit, dan kabut berubah menjadi pusaran bayangan. Lentera di tangan Rian bergetar hebat, lalu padam.

Gelap total.

---

Ketika Rian membuka matanya lagi, ia sudah tidak berada di hutan. Ia berdiri di sebuah padang hijau di bawah langit biru. Burung-burung bernyanyi, dan angin bertiup lembut. Di kejauhan, terlihat sosok ayahnya sedang memancing di tepi danau.

“Rian!” Ayahnya tersenyum, melambai.

Tanpa berpikir panjang, Rian berlari menghampiri. “Ayah! Aku tahu Ayah masih hidup!” Ia memeluk sang ayah erat. Rasanya begitu nyata—hangat dan penuh rindu.

Namun tiba-tiba, air danau memantulkan bayangan lain: bukan dua manusia, melainkan satu anak lelaki memeluk sosok tanpa wajah, hitam seperti asap.

Rian mundur dengan ngeri. “T-Tidak…”

Sosok ayahnya menatap dengan mata kosong. “Kau tidak ingin kembali ke dunia yang menyakitimu, bukan?” suara itu bukan suara ayahnya lagi—tapi suara Bayangan Arken.

“Lihat, di dunia ini tidak ada kehilangan, tidak ada tangis. Hanya ketenangan abadi.”

Rian memejamkan mata, hatinya berdebar hebat. Ia tahu ini bukan kenyataan. Ia tahu ia harus melawan. Ia menatap lentera di tangannya—anehnya, meski padam, masih terasa hangat.

Ia berbisik, “Cahaya tidak pernah benar-benar padam…”

Dari lubuk hatinya, muncul sinar kecil. Lentera itu menyala lagi—kecil, tapi cukup untuk memecah kegelapan semu di sekitarnya. Dunia ilusi itu mulai retak. Padang rumput menghitam, dan sosok ayah palsu itu menjerit.

> “Kau tidak akan lolos, pewaris cahaya!”

Rian berlari sekuat tenaga. Ia menembus lapisan gelap itu, dan saat ia kembali sadar, ia sudah kembali ke hutan Arken—terengah-engah, lentera di tangannya kini bersinar terang biru.

Bayangan Arken berdiri di hadapannya, mengamuk, wujudnya berkobar seperti api hitam.

“Aku tidak takut padamu lagi,” kata Rian.

“Takut adalah bagian dari kehidupan, bocah. Tanpanya, kau hanyalah cahaya yang akan terbakar sendiri.”

Rian menatap batu berukir itu lagi. Kini ia memahami: simbol itu bukan perangkap, melainkan segel. Ayahnya mungkin mencoba menutup kekuatan kegelapan ini… dan gagal.

“Kalau begitu,” gumam Rian, “aku akan melanjutkan tugasnya.”

Ia menempatkan lentera di atas batu itu. Cahaya birunya menyatu dengan simbol kuno. Udara mendesing, angin berputar kencang. Bayangan Arken menjerit, tubuhnya tercerai-berai menjadi kabut hitam yang diserap oleh batu berpendar itu.

Suasana hening. Hutan terasa berbeda—lebih hidup, tapi tidak lagi mengancam. Lentera kini padam dengan tenang, dan batu itu memancarkan cahaya lembut seperti napas yang tenang.

Rian jatuh berlutut, kelelahan. Dalam bisu malam, ia mendengar suara samar seperti bisikan yang lembut:

> “Kau telah mengembalikan keseimbangan, penjaga baru Arken.”

---

Pagi menjelang. Matahari pertama menembus celah pepohonan, mengusir sisa kabut. Rian berjalan kembali ke desa dengan langkah gontai. Ia tidak menemukan ayahnya, tapi hatinya kini mengerti sesuatu: sebagian dari ayahnya telah menjadi bagian dari hutan ini, menjaga agar kegelapan tidak bangkit lagi.

Setibanya di desa, orang-orang menatapnya dengan terkejut. “Kau… selamat? Tidak mungkin!”

Rian hanya tersenyum kecil. Ia menatap ke arah hutan yang kini tampak damai di kejauhan. “Hutan itu bukan tempat terkutuk,” katanya pelan. “Ia hanya membutuhkan penjaga.”

Malam berikutnya, ketika bulan purnama naik tinggi, lentera biru di rumah Rian kembali menyala—tanpa disentuh siapa pun. Dari jendela, cahaya itu menembus kabut tipis di tepi hutan, seolah memberi salam pada sesuatu yang tak terlihat.

Dan di dalam Hutan Arken, di antara pepohonan yang tenang, bayangan tinggi berjubah kabut menunduk hormat. Suara beratnya berbisik di antara daun:

> “Selamat datang, Penjaga Bayangan yang baru.”

---

🕯️ Akhir

Cahaya lentera perlahan padam, menyisakan kehangatan di hati Rian. Hutan Arken kini tenang, bebas dari bayangan kelam. Namun, di setiap desir angin, namanya tetap dikenang selamanya.

---

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Aksi
Novel
Musor
Ganik
Cerpen
Penjaga Bayangan di Hutan Arken
Kenny ongko
Novel
Apsara
Ghozy Ihsasul Huda
Novel
Lari, Sepak, Ulangi!
Ganik
Novel
TITIK BUTA
Shireishou
Novel
Vip Trusted Malaysia apk new version
vip malaysia
Flash
Bronze
Politikus adalah Pemain Golf Jenius
Silvarani
Cerpen
Pertarungan Antara Kebaikan dan Kejahatan
Luiz Fernando
Novel
ZERO: a secreat cold blooded killer
semburat lintang
Novel
Hunter for The Phantom
godok
Flash
I like You Very Much, But I"m Afraid...
d Curly Author
Novel
Bhairava
Ghozy Ihsasul Huda
Novel
Bronze
98 JUNI
Putri Tari Lestari
Flash
Dewi The Super Woman Part. 2
Bramanditya
Novel
Perjalanan Tsubasa Ozora
Rifqi Rifansyah
Rekomendasi
Cerpen
Penjaga Bayangan di Hutan Arken
Kenny ongko