Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku mulai bekerja di kapal hari ini. Bersama temanku, Suryadi, kami berdua merantau dari kampung halaman kami menuju pelabuhan ini. Kami bekerja di kapal pengantar barang yang tidak terlalu besar, biasanya kapal kami hanya mengantar barang-barang tertentu, misalnya meubel, patung, atau apapun. Di kapal kami cukup aman, para awak kapal memang diwajibkan bisa beladiri, hitung-hitung menghemat biaya pengamanan. Tapi sepertinya karena memang tak mau keluar biaya lagi, begitu pikirku. Namun, dari selentingan yang kudengar katanya kapal ini ilegal.
Hari ini cuaca sangat cerah, cocok untuk pergi ke laut, ditambah lagi ada barang yang harus dikirim ke luar pulau. Aku dan Suryadi yang tak paham soal itu, tapi akhirnya kami mendapat pekerjaan.
“Hup!”
“Angkat bodoh!”
Yah, kami dimarahin lagi. Perkenalkan, dia adalah pengawas, namanya Pak Gendut, aku tidak mengejeknya lho, tapi itu memang panggilannya. Ia bukan sosok yang ramah bahkan cenderung galak dengan kata-katanya yang agak merendahkan. Orang-orang tua di kampung bilang bahwa namanya atasan pastilah suka begitu, apalagi kalau sama orang desa seperti kami, tinggal kita bisa bertahan atau tidak. Sebenarnya sih mau kusumpahi dia, tapi itulah susahnya cari orang.
Setelah semua selesai diangkat, kami siap berlayar! Jangkar dinaikkan, dan mesin dinyalakan. Kami berlayar! Kami berlayar!
Oke, setelah itu kami melanjutkan pekerjaan kami, membersihkan dek, mengepel.
Sruoott! Gabruk!
“Agh! Pinganggku! He anak baru kalo kerja yang bener!”
Perkenalkan orang yang terpeleset tadi, dia bekerja di bagian dapur, namanya Padrik, aneh ya?
“Maaf mas Padrik, saya nggak sengaja!” seruku lalu menolongnya.
“Huhh.. dasar anak baru! Nama kamu siapa?”
“Saya Elvis mas.”
“Elvis? kayak penyanyi aja,” dia lalu berjalan dan menggerutu, “tampang kek beruk begitu namanya Elvis, gak cocok.”
Setelah mas Padrik agak jauh, Suryadi bergumam pelan, “daripada nama Padrik.”
Mas Padrik menoleh, “apa kamu bilang?!”
“Oh nggak mas! Ini mau lanjut!” seru kami.
Beberapa jam kami berlayar, tibalah kami di pelabuhan berikutnya. Wahh.. Sumatera-Sulawesi memang melelahkan, seminggu lebih karena ada acara transit barang di pelabuhan, jadi makin lama. Lalu kami menurunkan muatan dan memasukkan muatan lagi dari pelabuhan itu. Begitu seterusnya.
Ini hari ke tiga belas kami di lautan, katanya sudah mau sampai Sulawesi. Hari mulai gelap. Para awak kapal yang tidak sedang bekerja melakukan aktivitas masing-masing, entah itu tidur di kabinnya, makan, merokok, atau main remi dengan kapten kami yang baik hati.
Perkenalkan ini kapten kami yang baik, Master Chen, dia orang Taiwan yang sudah mahir berbahasa Indonesia. Sebenarnya atau anehnya, kapal kami memiliki dua kapten. Satu dari Indonesia, yaitu Pak Indro, dia adalah kapten diatas kertas, aliasnya kalau ada masalah yang melibatkan berkas yang tandatangan dia. Sementara presiden aslinya adalah Master Chen sendiri. Benar dugaanku sebelumnya, kapal ini ilegal.
Oke, sekarang aku mulai nyaman di sini. Tapi kuperhatikan wajah Suryadi yang pucat dan agak cemas. Ia duduk dengan posisi tak tenang di atas kasur.
“Tidur aja Sur.” Kataku sambil merebahkan badan, "Atau kamu masih trauma gara-gara jatuh kemarin pas gelombang tinggi?"
“Duh El, kayaknya perasaanku gak enak.”
“Mabuk laut kali.”
“Aku itu sering melaut sama ayahku, jadi kalau aku mabuk laut itu nggak mungkin!”
“Terserahlah.”
Mendadak Suryadi mengajakku keluar, dan kami berdua menghabiskan waktu menghisap berbatang-batang sigaret di atas dek. Lalu seorang navigator kami, Hendra, lewat dengan wajah lega.
“Habis dari mana Hen?” tanyaku.
“Biasa mas, panggilan alam, nggak ada kerjaan ya?”
“Iya nih.”
Tentu saja karena sedang kosong, Hendra mendekat dan ikut merokok di sebelah kami sambil memandangi lautan yang sedang tenang dan langit yang penuh bintang. Benar-benar suasana yang damai. Hendra sedikit menunjukkan kemampuannya dalam membaca arah pada kami. Namun, tiba-tiba benda yang disebut olehnya GPS mati, Hendra tertawa dan mengatakan kalau itu karena baterainya belum diganti. Tanpa kehabisan akal ia mengeluarkan kompas bintangnya pada kami.
“Hhhh.. lama ya? Kalau gak salah kita masih di laut sekitaran eh?” Hendra nampak kebingungan.
“Kenapa Hen?” Tanyaku.
“Kayaknya kita salah belok deh!”
Lalu ia berlari menuju ruang kemudi.
“Kok bisa tahu salah belok ya? Padahal kayaknya sama saja” Suryadi berdecak kagum.
“Yah, namanya juga pinter, gak kayak situ, melaut berkali-kali tetep gak bisa baca arah.”
“Aku kan mencari ikan! Bukan membaca arah bod..”
Brak! Satu hantaman keras berhasil membuat mesin mati. Nyaris saja kami berdua terlempar ke laut saking kuatnya hantaman tersebut. Semua orang keluar dari dalam dan mulai bertanya-tanya seperti kami.
“Hoy! Kalian ayo kemari!” seru Master Chen.
Kapal bergoyang keras karena hantaman itu, sampai-sampai kami kesulitan berjalan. Setelah itu kami masuk ke kabin utama.
“Galih, Suryadi, sama Kacung periksa mesin!”
“Aye-aye!”
“Jabrik, Ahmad, kalian periksa bagian barang!”
“Aye-aye!”
Setelah itu mereka pergi. Tapi Master belum memberi perintah.
“Master, kalau saya?” tanyaku.
“Kamu? Kamu emmm.. coba tenangkan si Padrik saja.”
“Aye-aye!”
Hihhh.. masak aku suruh nenangin mas Padrik ini? Nggak ada yang lebih keren apa?
“Mas Pad?” Aku menengok ke dalam kamarnya.
“Eh, beruk aku takutt..”
“Yaampun.”
“Kita mau tenggelam ya?”
“Nggak kok, udah nih minum dulu.” Kataku sambil menyerahkan sebotol air.
“Nggak.. aku mual! Hoek!”
“Waduh jangan di sini dong!”
“Hooekkhhh..”
Ah! Pake muntah segala lagi!
Brak! Kapal terhantam lagi, tapi kali ini lebih keras.
“Keluar! Ayo Keluar semua!” teriak Master.
Serentak kami berdua bangkit dan berlari keluar. Di luar kami melihat sebuah tentakel raksasa. Demi tuhan! Apa ini?
“Kapten?”
Kapten Indro hanya terbengong saja.
Makhluk itu mengangkat seseorang, dia Suryadi! Lalu ia melahapnya tanpa sisa. Aku tak dapat bergerak ketika melihat kawan dekatku dimakan begitu saja.
“Lari!”
Dor! Dor! Dor! Jabrik menembaki makhluk itu, tapi tak mempan, justru ia malah dimakan. Darah pun mewarnai dek. Lalu kami berlari mengikuti Master. Lalu salah satu tentakelnya berhasil menangkap mas Padrik yang ada di sampingku.
“Aaaaa..”
Lhap! Monster itu memakannya.
Lalu kami lari ke kabin kemudi, hanya tinggal aku, Master Chen, kapten, nahkoda, dan si navigator itu, hanya lima orang!
“Hendra ini dimana?” tanya Kapten.
“Saya juga tidak tahu, GPS mati dan langitnya gelap, saya tidak bisa membaca arah lagi.”
Nahkoda berteriak, “omong kosong! Persetan dengan arah! Kita harus pastikan kalau kita tidak jadi mayat di sini!”
Bruuakkk!!!
“Apa itu?”
“Sepertinya dari belakang!”
Lalu kami terdiam. Ini sungguh diluar dugaan. Mesin mati, mereka mati, monster itu masih ada di sana, dan yang terburuk apa aku akan mati? Dengan gemetar kuraih jimat pemberian Ibuku sebelum melaut, kukalungkan itu di leher dengan tangan gemetaran. Terdengar suara raungan dari kegelapan sana, hingga tiba-tiba suara deburan air laut terdengar keras, sepertinya makhluk aneh itu masuk ke dalam lautan kembali.
“Ada apa ini?” Master menjadi lebih gelisah, “kenapa hening sekali? Hei Elvis periksa sana!”
“S..saya?”
“Pelaut itu berani! Ayo keluar!”
“Aye-aye.”
Matilah aku! Kenapa harus aku sih? Dengan terpasksa aku keluar dan memeriksa keadaan. Sepi?
“Master!” teriakku.
Lalu Master keluar bersama yang lain dan mereka sama terkejutnya. Suasana yang tadinya gelap menjadi terang seperti sore hari tetapi mendung dan penuh kabut, terlihat beberapa bangkai kapal di sekitar kami.
“Kita di mana?” tanya Master linglung.
Bruakkk!! Tentakel itu menembus kabin kemudi. Hendra pun berhasil selamat, tapi tidak dengan yang lain.
“Master kemana lagi kita?!” teriaknya.
“Ikut saya!”
Lagi-lagi kami berlari mengikuti master. Dan kami sampai di depan sampan darurat.
“Kalian cepat naik!” seru Master.
“Master sendiri?” tanyaku.
“Pemimpin yang baik selalu melindungi anak buahnya.”
Lalu ia menurunkan kami ke laut. Itulah kata-kata terakhir yang aku dengar dari Master. Kami kabur dan melihat kejadian mengerikan itu. Kapal terbelah dua dan tenggelam, mungkin master sudah tiada.
“Elvis.”
“Ya?”
“Apa kita akan selamat?”
“Tidak tahu, sekarang kayuh dayungnya.”
“Ya!”
Kami mengayuh sampan itu sejauh mungkin. Tapi sekeliling kami masih lautan. Hendra sudah pingsan karena kelelahan. Dan sebelum pingsan, kulihat tentakel besar mulai mendekat.
Aku terbangun dengan sekujur badanku masih basah kuyup di bibir pantai, tepatnya bagian karang-karang dekat tebing. Hendra yang bersamaku telah menghilang. Di mana aku? Tubuhku dingin dan berat, tapi kupaksakan untuk berjalan hingga sampai pada perkampungan pinggir pantai. Anehnya, tak ada yang menyapaku, tapi kupikir karena penampilanku. Aku berjalan dan berhenti di depan sebuah warung yang masih buka malam-malam. Tapi lagi-lagi mereka tidak sadar aku ada di sana.
"Kalian tahu kapal Marina Medan?" Kulihat seorang pemuda menyebutkan nama tempat kapalku bekerja.
Hendak kujawab, tapi seorang remaja menimpali, "Oh, yang bangkainya hanyut ke sini tadi pagi ya?"
"Ya itu!"
"Katanya semua awak termasuk kaptennya hilang!"
"Pasti gara-gara masuk ke Masalembo! Semua orang tahu kita punya segitiga bermuda di sini, asli Indonesia." Ibu warung terlihat santai sambil membersihkan gelasnya, "Kalian belum lahir waktu peristiwa marina-marina itu."
"Berapa tahun emang?"
Ibu itu memandang ke arahku, seolah ia tahu aku ada di sana mendengarkan mereka, "Itu udah dari tahun delapan puluhan, sekitar empat puluh tahun lalu."
Apa?
Ibu itu tersenyum sejenak padaku dan kembali mengelap gelas, "Yah, tenang-tenang kalian semua di sana yang jadi korban."
Mendengar itu, aku mendadak tersenyum, badanku mulai pudar dan sebelum aku menghilang tiba-tiba angin dari laut berdesir lembut ke arah warung. Terimakasih Bu, selamat tinggal.
Tamat.