Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Mohamad Ibnu Sayuti atau lebih dikenal dengan nama umum Sayuti Melik adalah seorang Perintis Kemerdekaan Indonesia yang tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai Pengetik Naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, dan juga mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang menjabat dari tahun 1971-1982.
Dilahirkan pada tanggal 25 November 1908, anak dari Abdul Mu'in alias Partoprawito, seorang bekel jajar atau kepala desa di Sleman, Yogyakarta. Sedangkan ibunya bernama Sumilah. Pendidikan dimulai dari Sekolah Ongko Loro (Setingkat SD) di desa Srowolan, sampai kelas IV dan diteruskan sampai mendapat Ijazah di Yogyakarta.
Nasionalisme sudah sejak kecil ditanamkan oleh ayahnya kepada Sayuti kecil. Ketika itu ayahnya menentang kebijaksanaan pemerintah Belanda yang menggunakan sawahnya untuk ditanami tembakau. Ketika belajar di sekolah guru di Solo, 1920, ia belajar nasionalisme dari guru sejarahnya yang berkebangsaan Belanda, H.A. Zurink. Pada usia belasan tahun itu, ia sudah tertarik membaca majalah Islam Bergerak pimpinan Haji Misbach di Kauman, seorang ulama yang berhaluan kiri. Ketika itu banyak orang, termasuk tokoh Islam, memandang Marxisme sebagai ideologi perjuangan untuk menentang penjajahan. Dari Haji Misbach ia belajar Marxisme. Perkenalannya yang pertama dengan Bung Karno terjadi di Bandung pada 1926.
Tulisan-tulisannya mengenai politik menyebabkan ia ditahan berkali-kali oleh Belanda. Pada tahun 1926 ditangkap Belanda karena dituduh membantu PKI dan selanjutnya dibuang ke Boven Digul (1927-1933). Tahun 1936 ditangkap Inggris, dipenjara di Singapura selama setahun. Setelah diusir dari wilayah Inggris ditangkap kembali oleh Belanda dan dibawa ke Jakarta, dimasukkan sel di Gang Tengah (1937-1938).
Sepulangnya dari pembuangan, Sayuti berjumpa dengan SK Trimurti, dan terlibat dalam berbagai kegiatan pergerakan secara bersama. Akhirnya pada 19 Juli 1938 mereka menikah. Pada tahun itu juga mereka mendirikan surat kabar Pesat di Semarang yang terbit tiga kali seminggu dengan tiras 2 ribu eksemplar. Karena penghasilannya masih kecil, pasangan suami-istri itu terpaksa melakukan berbagai pekerjaan, dari redaksi hingga urusan percetakan, dari distribusi dan penjualan hingga langganan.
Trimurti dan Sayuti Melik bergiliran masuk keluar penjara akibat tulisan mereka mengkritik tajam pemerintah Hindia Belanda. Sayuti sebagai bekas tahanan politik yang dibuang ke Boven Digul selalu diawasi oleh Politieke Inlichtingen Dienst (PID). Pada zaman pendudukan Jepang, Maret 1942 koran Pesat diberedel Japan, Trimurti ditangkap Kempetai, Jepang juga mencurigai Sayuti sebagai orang komunis.
Pada 9 Maret 1943, diresmikan berdirinya Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dipimpin “Empat Sekawan” Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kiai Mas Mansoer. Saat itu Soekarno meminta pemerintah Jepang membebaskan Trimurti, lalu membawanya ke Jakarta untuk bekerja di Putera, dan kemudian di Djawa Hookoo Kai, Himpunan Kebaktian Rakyat Seluruh Jawa. Dan lalu Trimurti dan Sayuti Melik dapat hidup relatif tenteram. Sayuti terus berada di sisi Bung Karno.
Sayuti Merupakan bagian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk 7 Agustus 1945 dan diketuai oleh Ir. Soekarno, menggantikan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dibubarkan cepat. Anggota awalnya adalah 21 orang. Selanjutnya, tanpa sepengetahuan Jepang, keanggotaan bertambah 6 orang termasuk didalamnya Sayuti Melik.
Sayuti Melik termasuk dalam kelompok Menteng 31, yang berperan dalam penculikan Sukarno dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945. Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang.
Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan.
Latar: Ruang makan rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jakarta. Setelah Soekarno, Hatta, dan Subardjo selesai merumuskan teks Proklamasi Klad (tulisan tangan Soekarno). Di ruangan lain, beberapa tokoh muda dan tua menanti. Sayuti Melik dan B.M. Diah ada di dekat tempat pengetikan.
Percakapan di Ruang Depan
(Ir. Soekarno membawa naskah konsep Proklamasi tulisan tangan, mendekati kerumunan tokoh-tokoh yang menanti, termasuk Sayuti Melik, Soekarni, B.M. Diah, Chaerul Saleh, dll.)
Soekarno: (Menyerahkan naskah kepada hadirin) Saudara-saudara, naskah Proklamasi sudah selesai kita rumuskan bersama. Sekarang mari kita tentukan siapa yang akan menandatangani. Saya mengusulkan agar semua yang hadir di sini turut membubuhkan tanda tangan, seperti yang dilakukan oleh Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat.
(Timbul bisik-bisik. Soekarno, dari golongan pemuda, maju dengan tegas.)
Soekarno: Maaf, Bung! Kami dari golongan pemuda menolak usulan itu. Kita meraih kemerdekaan ini atas usaha bangsa sendiri, bukan atas hasil pemberian PPKI atau pihak manapun. Jika semua yang hadir ikut menandatangani, akan terkesan Proklamasi ini adalah keputusan sekelompok orang, bukan murni dari kehendak rakyat Indonesia!
(Suasana menjadi tegang. Terdengar beberapa suara setuju dan tidak setuju.)
Sayuti Melik: (Berjalan maju, berbicara dengan tenang namun mantap) Saya sependapat dengan Bung Soekarni. Proklamasi ini harus murni. Untuk menghindari kesan itu, dan demi menegaskan persatuan kita, saya usulkan cukup Dwi Tunggal Proklamator saja yang menandatangani!
Soekarno: Dwi Tunggal? Maksudmu, Sayuti?
Sayuti Melik: Ya, Bung Karno dan Bung Hatta! Sebagai wakil dari seluruh Bangsa Indonesia. Kita ubah saja kalimat penutupnya. Jangan "Wakil-wakil Bangsa Indonesia," tapi "Atas nama Bangsa Indonesia." Itu akan lebih mengena di hati rakyat!
Dalam suasana tegang itu, Sayuti memberi gagasan, yakni agar Teks Proklamasi ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia. Usulnya diterima dan Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti untuk mengetiknya. Ia mengubah kalimat "Wakil-wakil bangsa Indonesia" menjadi "Atas nama bangsa Indonesia".
Mohammad Hatta: (Mengangguk, setelah mempertimbangkan) Usulan yang baik, Sayuti. Itu akan memberikan bobot yang lebih besar dan menghindari keraguan. Bagaimana, Saudara-saudara?
(Setelah diskusi singkat, usulan Sayuti Melik disepakati.)
Soekarno: Baik! Kita sepakat. Sayuti, tolong siapkan mesin tik. Ketik naskah ini dengan rapi dan resmi. Gunakan usulan perubahanmu tadi.
Sayuti Melik: Siap, Bung! Segera saya laksanakan!
Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo di rumah Laksamana Muda Maeda. Wakil para pemuda, Sukarni dan Sayuti Melik. Masing-masing sebagai pembantu Bung Hatta dan Bung Karno, ikut menyaksikan peristiwa tersebut. Setelah selesai, dini hari 17 Agustus 1945, konsep naskah proklamasi itu dibacakan di hadapan para hadirin. Namun, para pemuda menolaknya. Naskah Proklamasi itu dianggap seperti dibuat oleh Jepang.
Percakapan Saat Pengetikan
(Sayuti Melik menuju mesin tik yang dipinjamkan, ditemani oleh B.M. Diah. Ia mulai membaca naskah tulisan tangan Soekarno.)
Sayuti Melik: (Membaca naskah klad) "Proklamasi. Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja. Djakarta, 17 - 8 - '05. Wakil-wakil bangsa Indonesia."
B.M. Diah: Apa ada yang perlu dirapikan, Sayuti? Tulisan tangan Bung Karno sedikit sulit dibaca di beberapa bagian.
Sayuti Melik: Ada tiga poin, Diah. Pertama, kata 'tempoh' akan saya ganti menjadi 'tempo'. Ini lebih ringkas dan baku.
B.M. Diah: Setuju.
Sayuti Melik: Kedua, di bagian penanggalan, tertulis "Djakarta, 17 - 8 - '05." Saya akan perjelas menjadi "Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05." Agar lebih resmi.
B.M. Diah: Tepat sekali.
Sayuti Melik: Dan yang paling penting, sesuai kesepakatan tadi, saya ubah "Wakil-wakil bangsa Indonesia" menjadi "Atas nama bangsa Indonesia." Setelah itu kita beri ruang untuk tanda tangan Bung Karno dan Bung Hatta.
(Sayuti Melik mulai mengetik dengan cepat dan teliti. Mesin tik berbunyi berisik di keheningan dini hari itu. Setelah selesai, ia menarik kertas dan memeriksanya.)
Sayuti Melik: Sudah selesai. Naskah Proklamasi yang otentik! Sekarang saatnya kita serahkan kepada Bung Karno dan Bung Hatta untuk ditandatangani.
B.M. Diah: (Melihat naskah yang diketik) Sempurna, Sayuti. Sebuah kehormatan bisa menyaksikan proses ini.
(Sayuti Melik membawa Naskah Proklamasi yang sudah diketik ke hadapan Soekarno dan Hatta untuk ditandatangani, mengakhiri peranannya dalam penyusunan naskah bersejarah tersebut.)
Setelah Indonesia Merdeka Sayuti menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada tahun 1946 atas perintah Mr. Amir Syarifudin, Sayuti ditangkap oleh Pemerintah Republik Indonesia karena dianggap sebagai orang dekat Persatuan Perjuangan, serta dianggap bersekongkol dan turut terlibat dalam "Peristiwa 3 Juli 1946". Setelah diperiksa oleh Mahkamah Tentara, Sayuti dinyatakan tidak bersalah. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, Sayuti ditangkap Belanda dan dipenjarakan di Ambarawa. Sayuti dibebaskan setelah selesai Koferensi Meja Bundar. Pada tahun 1950, Sayuti diangkat menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan DPR-GR sebagai Wakil dari Angkatan '45 dan menjadi Wakil Cendekiawan.
Sebenarnya Sayuti dikenal sebagai pendukung Soekarno. Hal ini terbukti dengan Sayuti yang menjadi anggota PNI. Namun, ketika Bung Karno berkuasa, Sayuti justru tak "terpakai". Dalam suasana gencar-gencarnya memasyarakatkan Nasakom, Sayutilah orang yang berani menentang gagasan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme). Sayuti mengusulkan mengganti Nasakom menjadi Nasasos, dengan mengganti unsur "kom" menjadi "sos" (sosialisme). Sayuti juga menentang pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. Tulisannya, Belajar Memahami Sukarnoisme dimuat di sekitar 50 koran dan majalah, yang kemudian dilarang.[10] Artikel bersambung itu menjelaskan perbedaan Marhaenisme ajaran Bung Karno dan Marxisme-Leninisme doktrin Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika itu, Sayuti melihat PKI hendak membonceng karisma Bung Karno.
Sayuti Melik tidak setuju dengan Soekarno yang menjadi presiden seumur hidup dan berbalik mengkritik PKI lewat tulisan-tulisannya. Sejak Hatta turun dari kursi wakil presiden pada tahun 1956, Soekarno tampil sebagai satu-satunya orang yang memimpin di pemerintahan. Sejak tahun 1959, Soekarno menetapkan sistem Demokrasi Terpimpin. Hal tersebut berhubungan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan sistem seperti ini, kekuasaan Soekarno selaku presiden menjadi lebih kuat. Sayuti Melik menentang sistem Demokrasi Terpimpin yang diprakarsai oleh Soekarno.