Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Setiap malam, tepat pukul 01.11, dunia seperti menahan napas.
Lampu-lampu kota meredup sepersekian detik, angin berhenti bergerak, dan bahkan suara jarum jam terdengar lebih pelan. Seolah waktu sendiri sedang menyingkir memberi ruang bagi mereka yang bekerja di antara batas mimpi dan kenyataan.
Itulah saat Para Pengarsip mulai bekerja.
Mereka bukan malaikat. Bukan juga ilmuwan.
Mereka hanyalah manusia yang bertugas menyelamatkan kenangan seseorang sebelum dunia benar-benar melupakannya.
Rendra baru tiga minggu bergabung di Divisi Arsip Memori Manusia (DAMM), sebuah lembaga yang bahkan tidak tercatat di administrasi pemerintahan.
Di kontrak kerjanya tertulis:
“Tugas utama Pengarsip adalah menyelamatkan kenangan terakhir seseorang yang terancam hilang dari jaringan kesadaran kolektif.”
Malam itu, Rendra menerima kasus pertamanya.
Nama subjek: Tasya Ramadhani.
Status: koma, 231 hari.
Risiko kehilangan memori: 97%.
Prioritas: tinggi.
Proses pengarsipan dilakukan lewat mesin bernama LUCID, sebuah alat seperti kapsul tidur dengan kabel-kabel bercahaya yang menghubungkan kepala Pengarsip dengan pasien.
“Begitu kamu masuk ke dalam memori subjek,” kata teknisi menjelaskan, “jangan terlalu lama di sana. Dunia kenangan tidak punya aturan tetap. Jika kamu tenggelam terlalu dalam… kenangan itu bisa menelan balik kesadaranmu.”
Rendra hanya mengangguk.
Ia masuk ke kapsul, dan seketika dunia di sekitarnya larut dalam kabut lembut berwarna biru.
Ia terbangun di taman kota.
Langit di atasnya berwarna oranye. Warna kenangan yang hampir pudar.
Di bangku taman, duduk seorang gadis berambut pendek, wajahnya lembut, dengan mata kosong seperti sedang menunggu sesuatu yang tak akan datang.
“Tasya…” Rendra berbisik, entah untuk memanggil atau memastikan dirinya berada di kenangan yang benar.
Gadis itu menoleh, tersenyum samar.
“Kamu datang lagi.”
“Lagi?” Rendra mengernyit. “Kita pernah bertemu?”
“Sudah tidak terhitung,” jawabnya. “Tapi kamu selalu lupa.”
Hari-hari berikutnya, Rendra terus menyelami memori Tasya.
Ia melihat kilasan hidup gadis itu.
Tasya duduk di kafe kecil, menertawakan candaan temannya sambil mengaduk kopi dingin.
Tasya melukis di atap apartemen, menghadang angin sambil mencoba menangkap warna senja.
Tasya berjalan sendirian di bawah hujan, menengadahkan wajah seolah ada nada kecil yang hanya ia yang bisa dengar.
Namun yang aneh, di setiap kenangan itu selalu ada siluet seorang pria tanpa wajah.
Pria itu berdiri di kejauhan, memperhatikan Tasya dari jauh, tapi setiap kali Rendra mencoba mendekat, kenangan itu bergetar, seperti kaca yang hampir pecah.
“Tasya,” tanya Rendra suatu kali, “siapa pria itu?”
Gadis itu menatap langit yang mulai retak.
“Dia seseorang yang dulu pernah berjanji untuk tidak melupakan aku. Tapi sepertinya… dia yang pertama kali lupa.”
Rendra terdiam.
Ia merasakan sesuatu meremas dadanya dari dalam.
Bukan empati, bukan kasihan. Sesuatu yang lebih dalam, lebih mengganggu.
Suatu malam, saat ia sedang menelusuri arsip Tasya, sistem LUCID mendadak menunjukkan anomali.
File memori bertanda ‘Shared Origin’… artinya, kenangan itu terhubung dengan otak orang lain.
“Mustahil,” gumam Rendra. “Satu kenangan tak bisa dimiliki dua orang.”
Namun ketika ia membuka file itu, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Itu adalah kenangan dirinya sendiri.
Dirinya yang duduk di taman yang sama, berbicara dengan Tasya. Bukan sebagai Pengarsip, tapi sebagai seseorang yang dicintai.
Tasya tertawa di pangkuannya.
Ia mendengar suaranya sendiri berkata:
“Aku takut, Tasya… Kalau suatu hari aku lupa siapa kamu, tolong arsipkan kenangan ini untukku.”
Tasya tertawa sambil mencubit lengannya.
“Mana mungkin kamu lupa? Kamu itu pengarsip paling keras kepala yang pernah aku kenal.”
Rendra terbangun dari mesin LUCID dengan napas tersengal.
Tangannya gemetar, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Ia menatap pantulan dirinya di layar monitor.
Dan seketika merasa asing dengan wajah yang ia lihat.
Keesokan malamnya, ia menemui Kepala Divisi.
“Kenapa sebagian kenangan subjek adalah kenangan saya sendiri?” tanya Rendra.
Sang Kepala hanya menatapnya lama, lalu menjawab datar:
“Karena kamu bukan pegawai baru di sini, Rendra. Kamu sudah dihapus tiga tahun lalu.”
Rendra menatapnya tanpa berkedip.
“Apa maksudnya?”
“Dulu kamu adalah Pengarsip senior. Sangat berbakat. Terlalu berbakat.
Kamu jatuh cinta pada subjek bernama Tasya Ramadhani saat proses pengarsipan, pelanggaran kode etik tingkat tertinggi.”
Rendra membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar.
“Tapi saat proses pengarsipan gagal,” lanjutnya, “kesadaranmu terjebak dalam ingatan Tasya.”
“Terjebak?”
Kepala Divisi mengangguk.
“Itu kasus pertama dan satu-satunya dalam sejarah DAMM. Untuk menyelamatkanmu, kami harus menghapus identitas lamamu, menjadikanmu arsip yang hidup.”
“Jadi…”
“Ya. Kamu bukan manusia seutuhnya. Kamu hanyalah fragmen kesadaran yang kami bangun kembali agar bisa terus bekerja.”
Rendra tertawa.
Tertawa pahit, getir, seperti seseorang yang baru saja menyadari bahwa seluruh hidupnya hanyalah rekaman yang diputar ulang.
Dan semua orang di ruangan itu tahu:
Rendra bukan hanya Pengarsip.
Ia adalah arsip itu sendiri.
Malam itu, Rendra kembali ke LUCID tanpa izin.
Ia ingin bertemu Tasya sekali lagi. Bukan sebagai Pengarsip, tapi sebagai sisa dari seseorang yang pernah berjanji untuk tidak melupakannya.
Begitu ia masuk ke kapsul, dunia nyata padam seperti lampu yang letih.
Dan saat ia membuka mata…
Segalanya sudah berubah.
Kenangan Tasya yang dulu hangat kini sudah nyaris hancur.
Langit oranye yang dulu penuh cahaya kini berubah menjadi abu-abu tua.
Rumput taman seperti terlipat angin yang letih.
Kelopak bunga jatuh satu per satu, melayang di udara seperti debu kuning yang kehilangan gravitasi.
Di tengah semua itu, berdirilah Tasya.
Rambutnya bergerak pelan ditiup angin kenangan.
Wajahnya lembut, tapi dikelilingi retakan halus, seperti kaca yang hampir pecah.
“Kamu datang lagi,” katanya lembut.
“Dan… kamu terlihat lain,” lanjut Tasya.
“Seperti seseorang yang baru menyadari dirinya tidak punya bayangan.”
“Aku baru tahu sesuatu,” ucap Rendra pelan. “Ternyata aku juga cuma kenangan.”
Tasya tersenyum. “Aku tahu.”
“Kamu tahu?”
“Kamu pikir kenangan gak bisa mengenali siapa yang menciptakannya?”
Ia menatapnya dengan mata berkilau. “Kamu adalah bagian dari aku. Dan aku juga bagian dari kamu.”
Rendra menunduk, menahan air mata yang bahkan mungkin tak nyata.
“Kalau dunia melupakanmu… kalau semua orang, semua catatan, semua mesin berhenti mengingat… apa kamu akan benar-benar hilang?”
Tasya menutup mata sebentar, seperti sedang mendengarkan suara yang sangat jauh.
Saat ia membuka mata, jawabannya jatuh selembut hujan pertama:
“Tidak, Rendra.”
Ia menggeleng pelan.
“Selama masih ada satu kenangan yang bertahan… aku tetap ada.”
Ia mendekat.
Begitu dekat hingga hanya tinggal satu helaan napas di antara mereka.
“Dan kenangan itu…”
Tasya meletakkan tangannya di dada Rendra.
“…adalah kamu.”
Alarm LUCID berbunyi nyaring di dunia nyata.
Lampu-lampu merah berkedip liar, menandai sesuatu yang tidak seharusnya terjadi pada mesin apa pun yang berhubungan dengan kesadaran manusia.
Sistem memperingatkan:
"Sinkronisasi Kesadaran Berlebihan. Risiko: Fusi Memori. Pengarsip diminta keluar dari sistem.”
Namun Rendra tak keluar.
Ia justru menggenggam tangan Tasya lebih erat.
Cahaya putih menerjang seperti gelombang laut, melucuti taman, bangku kayu, bahkan langit jingga yang sudah lama menjadi rumah bagi ingatan mereka.
Semua perlahan berubah menjadi serpihan kecil, seperti debu cahaya yang kehilangan arah.
Tasya memandangnya.
Senyumnya lembut.
Terlalu lembut untuk seseorang yang tahu dirinya akan hilang sebentar lagi.
“Rendra…”
Suara itu terdengar pecah, namun tetap hangat. “kalau nanti kamu harus memilih… tolong jangan simpan aku.”
“Apa maksudmu?”
Tasya mengangkat tangannya yang mulai tembus cahaya, menyentuh pipi Rendra dengan penuh rasa yang tak sempat dituliskan siapa pun.
“Karena tubuh… wajah… nama… itu semua akan memudar.” Ia tersenyum.
“Yang harus kamu simpan adalah rasanya.”
“Rasanya?”
“Rasa bahwa kita pernah ada. Karena itu lebih abadi dari siapa kita sebenarnya.”
Dunia di sekeliling mereka runtuh sepenuhnya.
Tasya memudar seperti bayangan yang diterpa matahari.
Dan ketika cahaya terakhirnya pecah menjadi partikel kecil, suara lembutnya bergema satu kali lagi:
“Terima kasih… sudah mengingatku.”
Lalu… gelap.
Beberapa minggu kemudian, seorang Pengarsip baru masuk ke DAMM.
Namanya Livia, seorang Pengarsip junior yang penuh rasa ingin tahu dan ditugaskan menyortir arsip-arsip lama di ruang penyimpanan pusat.
Ruangan itu sunyi, dingin, dan dipenuhi lemari tinggi berisi ribuan file holografik yang berpendar lembut.
Saat ia menelusuri daftar penyimpanan, matanya menangkap sesuatu yang aneh:
Arsip 000 - tidak terdaftar di sistem.
Tidak ada nama.
Tidak ada tanggal.
Tidak ada metadata.
Hanya satu kalimat pendek:
“Kenangan yang Menolak Terhapus.”
Jantung Livia berdebar.
Ia menekan tombol ‘buka’.
Hologram itu menyala, menampilkan sebuah video pendek, tak lebih dari lima belas detik.
Namun adegan itu terasa… hidup.
Seorang pria dan seorang wanita duduk berdampingan di bangku taman dengan langit oranye di belakang mereka.
Tak ada dialog.
Tak ada gerakan dramatis.
Hanya tatapan yang saling berbicara, dan senyum tenang dua orang yang seakan tahu dunia hanya memberi mereka waktu yang sedikit.
Livia terpaku.
Ia merasa seakan sedang mengintip sesuatu yang terlalu pribadi, terlalu rapuh, terlalu nyata untuk disimpan dalam data dingin seperti ini.
Di bawah video itu, muncul sebuah tulisan seperti catatan tangan seseorang:
“Kenangan tidak akan pernah mati.”
- R. & T.