Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Rumahku adalah rumah paling berisik. Bukan karena orang-orang yang tinggal bersamaku cerewet atau suka membuat suara yang mengganggu, tetapi karena suara kereta yang tiap hari lewat di dekat rumah. Tidak hanya satu atau dua kali dalam sehari, kereta itu lewat tiap jam. Kadang aku sampai berpikir, mungkin suara kereta lebih sering dari suara manusia yang berbicara di rumahku.
Saking seringnya kereta itu lewat, aku bahkan bisa mengenali jenis kereta hanya dari suaranya. Aku bisa tahu kereta itu datang dari arah mana dan mau menuju ke mana tanpa perlu melihat jadwal keberangkatannya. Jika ada orang yang bertanya kapan kereta berikutnya lewat, aku bisa menjawab dengan akurasi 100 persen, tanpa perlu mengecek apapun. Rasanya, aku sudah lebih mengenal kereta yang lewat di depan rumahku daripada tetangga-tetanggaku.
Selain suara deru kereta, rumahku juga dipenuhi dengan suara klakson motor dan mobil yang tak sabar menunggu palang pintu perlintasan kereta untuk dibuka. Aku sering bertanya-tanya, apa mereka tidak sadar bahwa apapun yang mereka lakukan—seberapa keras pun mereka membunyikan klakson—tidak akan bisa mempercepat palang pintu yang sudah pasti turun dengan kecepatan yang sangat lambat itu? Seolah-olah mereka berharap palang pintu besi itu bisa mendengar dan menjadi lebih cepat hanya karena semangat mereka.
Tapi ternyata, ada yang lebih bodoh dari sekadar membunyikan klakson tanpa alasan. Ada orang-orang yang benar-benar nekat melintas meskipun palang pintu sudah tertutup rapat. Apakah mereka tidak mengerti arti dari palang pintu yang tertutup? Bukankah itu berarti kereta akan lewat, dan tidak ada cara lain untuk menghindarinya? Setiap kali aku melihat orang-orang seperti itu, aku bertanya-tanya apakah mereka tidak tahu bahaya yang mereka hadapi.
Dan aku tahu, mereka tahu. Mereka tahu bahwa kereta akan lewat. Tapi mereka tetap melintas, seperti aturan tidak berlaku bagi mereka. Seolah-olah mereka merasa, "Ah, biarkan saja, paling tidak aku bisa lebih cepat sampai." Itu bukan hanya ceroboh, itu bodoh. Tetapi, ada yang lebih bodoh dari itu. Ada yang lebih mengerikan.
Baru saja, aku melihatnya. Ada seorang pengendara motor yang dengan tenangnya mengangkat palang pintu yang menutupi jalurnya. Dengan tangan kiri, dia mengangkat palang pintu yang berat itu, sementara tangan kanannya menarik gas motornya agar motornya bisa melintas. Aku hanya bisa terdiam melihatnya. Dia melakukannya dengan sangat santai, seolah apa yang dia lakukan adalah hal yang biasa, yang sah-sah saja. Dia tidak peduli pada tanda peringatan, pada suara sirine ambulans yang makin dekat, pada bahaya yang sedang mengintai.
Aku bahkan sempat berpikir, apakah dia benar-benar tidak tahu apa yang sedang dia hadapi? Bukankah dia bisa saja kehilangan nyawanya? Bukankah dia tahu bahwa kereta bisa datang kapan saja, dengan kecepatan yang bisa menghancurkan tubuhnya dalam sekejap? Tapi, tidak. Dia tidak peduli. Semua orang yang ada di sekitar perlintasan itu sepertinya sudah kehilangan rasa takut, atau lebih tepatnya, rasa hormat terhadap bahaya.
Aku hanya bisa diam, terpaku. Rasanya seperti ada bagian dari diriku yang hilang, terhapus, setiap kali melihat pemandangan seperti itu. Aku ingin berteriak, tapi tidak ada yang akan mendengarku. Aku ingin menghentikan orang itu, tapi siapa yang mau peduli? Semua orang hanya sibuk dengan urusan mereka sendiri, seakan-akan dunia ini berjalan tanpa konsekuensi apapun. Dan aku, hanya bisa duduk di sini, di rumahku yang paling berisik, dengan suara kereta, klakson, dan sirine yang terus berdengung tanpa henti.
Apa yang aku bisa lakukan? Apa yang bisa mengubah kebodohan ini? Mungkin tidak ada yang bisa mengubahnya. Orang-orang akan terus melanggar aturan, kereta akan terus melintas, dan suara sirine akan terus memenuhi udara. Mungkin itu takkan pernah berhenti, karena mungkin inilah cara kita hidup. Dengan kebisingan, dengan kebodohan, dengan kecelakaan yang tak terhindarkan.
Dan aku, tetap akan duduk di sini. Di rumah yang paling berisik, menyaksikan semuanya tanpa bisa berbuat banyak. Pun bahkan dengan kecelakaan yang terjadi sore itu. Kamu pasti tahu kronologinya tanpa aku jelaskan panjang lebar. Informasi yang bisa aku berikan adalah 2 motor dan 1 mobil sedang tertabrak dan terseret kereta sepanjang 300 meter. 1 orang menjadi korban jiwa karena tidak berhasil keluar dari mobilnya yang tiba-tiba mati di atas rel yang bergetar.
Saat itu, aku sedang menyapu halaman dari debu yang pasti datang lagi setelah beberapa menit. Aku tidak melihatnya secara langsung, tapi aku bisa mengetahui hal itu akan terjadi ketika mendengar teriakan dari pengendara motor yang mau berhenti di belakang palang pintu kereta. Suara teriakannya cukup keras, panik, mungkin karena dia baru saja menyadari bahwa ada yang salah, atau mungkin sudah tahu bahwa kereta datang dan dia terjebak.
Aku dengan santai berjalan keluar dari rumah dan menatap layar ponselku. Mencari nomor kontak yang aku simpan yang bukan teman dekatku. Aku menyimpannya karena pasti ada saat aku butuh untuk menghubunginya. Nomor tersebut adalah nomor kantor polisi yang dekat dengan rumahku. Aku sudah beberapa kali menghubungi mereka, dan setiap kali aku melakukannya, mereka tahu pasti apa yang akan terjadi—karena kecelakaan di perlintasan kereta ini sudah terlalu sering.
Nada menunggu telepon terhubung keluar dari speaker ponselku. Telepon terhubung beberapa detik setelah terdengar suara klakson nyaring dari kereta dan diikuti dengan tubrukan besi dengan besi. Suara itu begitu keras, seolah dunia ini berhenti sejenak, sebelum semuanya kembali berlanjut. Aku tidak merasa terkejut. Sudah terlalu sering mendengar suara yang sama. Sambil melaporkan kalau ada kecelakaan di perlintasan kereta dekat rumahku, aku berjalan mendekati area kecelakaan untuk mengetahui apakah ada korban.
Sesampainya di lokasi, aku melihat pemandangan yang begitu mengenaskan. Motor dan mobil itu ringsek—mobilnya ringsek parah, bagian depan penyok, kaca depan pecah, dan ban belakangnya terlipat ke dalam. Semua terlihat seolah-olah mereka baru saja dihantam benda yang jauh lebih besar. Motor-motor itu hancur, seperti benda mainan yang dipukul keras. Satu motor terlempar jauh dari tempat semula, sementara motor lainnya tertinggal di tengah jalan, roda depan yang bengkok dan setangnya terlepas. Semua kendaraan itu tampak seperti benda asing yang terkapar begitu saja di tengah rel.
Aku menarik nafas panjang, mencari nomor telepon rumah sakit terdekat untuk meminta dikirimkan ambulans ke lokasi kejadian. Aku dengan cepat menemukan nomornya setelah aku scroll kontaknya ke paling bawah. Aku tidak memiliki banyak nomor yang memiliki nama R sampai Z, jadi kata "rumah sakit" langsung muncul di daftar kontak. Aku menekan nomor itu, menunggu beberapa detik hingga seseorang di sana mengangkat telepon.
"Tolong kirimkan ambulans ke perlintasan kereta dekat rumah saya," kataku, secepatnya. Setelah itu, aku menggantungkan telepon dan kembali menatap lokasi kecelakaan yang sudah ramai oleh orang-orang yang mulai berdatangan.
Yah, beginilah kehidupanku dengan keberisikan ini. Aku sebenarnya ingin pindah dari rumah ini, mencari tempat yang lebih tenang, lebih damai. Tapi sayang, ekonomi tidak mencukupi. Biaya hidup dan biaya pindah rumah lebih mahal daripada yang aku kira. Aku harus tahan—tahan dengan suara kereta yang terus datang, dengan klakson kendaraan yang terus berdengung, dan dengan kecelakaan yang terus terjadi. Aku harus sigap jika kejadian seperti ini terulang kembali, karena sudah begitu seringnya.
Jujur saja, kejadian ini sedikit lebih lama dari pada dugaanku. Aku kira paling cepat, beberapa minggu lagi pasti ada kecelakaan semacam ini. Tapi, ternyata, kejadian ini datang lebih lama dari yang aku duga. Kalau saja kejadian ini lebih lama lagi, atau bahkan tidak terjadi sama sekali, mungkin aku bisa menikmati tinggal di sini. Mungkin aku bisa tidur nyenyak tanpa gangguan.