Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
SEEKOR ANAK ANJING BELAJAR MENERKAM DINI HARI TADI dengan ketidaktahuan serta kebodohan dan kemalangan panjang sebagai anak binatang –yang bahkan sejak sebelum hari kelahirannya –telah ditentukan bahwa dirinya akan menjadi keharaman bagi sebagian umat manusia; penguasa dunia yang menempatkan dirinya tepat di bawah kaki tuhan. Barangkali anak anjing tidak boleh melawan sekalipun dia diliputi pemikiran-pemikiran panjang tentang laut, gunung dan beraneka keinginan untuk tahu, menjadi tahu dan berusaha mencari tahu. Itu bukan kapasitasnya. Tugas anak anjing hanya bermain, bermain-main, berlarian, mengejar tulang, meringkuk di kandang serta merelakan dirinya menjadi makhluk yang setia. Tidak ada perselingkuhan. Dia bahkan tidak boleh menempatkan dirinya setara dengan seekor kucing yang hanya dengan kekuatan dua bola mata manisnya dapat menarik perhatian manusia. Pemerdaya sekaligus kunci kekalahan mereka. Beragam konspirasi ditujukan untuk kucing-kucing manis –anak alien yang digadang-gadang bakal menguasai alam raya –sedang Anak Anjing Kita tetap harus terima digambarkan sebagai penjahat dan tukang gigit berbahaya, sumber penyakit. Lalu, salah siapakah ini sebenarnya? Barang tentu tuhan dengan segala kesempurnaannya tidak boleh disalahkan, sekalipun dalam firman-firman itu dia berkata; segala yang terjadi di dunia sudah ditetapkan oleh-Nya. Kekafiran anak anjing telah mendarah daging dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pelimpahan dosa harus dan akan selalu berlaku untuk seekor anjing. Tuhan tidak menyediakan layanan konsumen untuk sekadar mengajukan keberatan apalagi revisi. Sepantasnya, anjing-anjing muda itu mengutuk leluhurnya, mengapa mereka begitu hina sehingga tercatat dalam kitab maha suci; keburukan, kenistaan dan kehinaan? Mengapa mereka tidak menuliskan namanya ke kolom prestasi; kebaikan, keagungan dan kesempurnaan? Terlalu indahkah surga bagi mereka? Terlalu lembutkah keset selamat datang milik tuhan di depan pintu suralaya? Terlalu sempitkah halaman nirwana untuk sekadar memiliki satu kandang anjing kecil? Dan, ketika neraka menyambutnya, leluhur para anjing yang kebetulan masih sangat muda itu berlari tergopoh-gopoh ke arah pintunya, di sana Eblis berdiri gagah menawarkan satu kerjasama. Dan, tanpa perlu berkompromi, anjing muda menyanggupi dengan senang hati.
“Penolong Kami,” begitulah kemudian Eblis mendapatkan gelar agungnya di depan gerbang neraka. Lidah apinya menyala-nyala, membakar habis daging-daging manusia dan beberapa lusin babi bakal makan siang. Eblis tidak menyalakan apinya, sebab dia tak punya cukup daya melakukannya. Tuhan lah yang membuatnya kian memanas, seiring kemurkaan di dadanya kala menyaksikan perjanjian antara musuh –yang dulunya hamba paling setia –dengan ciptaan hinanya. “Tiada kelembutan hati melebihi kasih dan karuniamu. Tiada yang dapat memahami kesakitan-kesakitan kami melebihi kedukaanmu akibat dihinakan oleh tuhan kita. Dan, sebagai sesama makhluk terbuang izinkan aku menggenggam tanganmu, bukan sekadar menengadah dalam puja dan ratapan doa panjang nun melelahkan. Biarkan kami yang terbuang berada di sampingmu. Amin.”
Tanpa persembahan dan kuil-kuil megah, ketulusan para binatang terbuang di dengar langsung oleh Eblis dengan segala kerendahan dan kemurnian hatinya. “Sesungguhnya tidak pantas aku mendapatkan ini semua dari kalian, Kamerad. Percayalah bahwa memang sudah menjadi tugasku untuk melindungi saudara-saudaraku, mengabarkan keberanian dan pengorbanan pada kalian; perjuangan tanpa menunggu uluran tangan tuhan,” kata Eblis bersimbah air mata.
Namun, semua itu tak cukup untuk memadamkan sungai-sungai api yang mengalir di sepanjang lantai neraka. Terdengar jeritan di sana-sini, manusia-manusia ‘kotor’ menggeliat, kulitnya mengelupas, rambutnya rontok, payudaranya ditarik paksa oleh seekor ular besar. Dan oleh kesalahannya sendiri, mereka tetap mengutuk Eblis beserta babi dan anak anjing sebagai alasan penghukumannya. “Kami berdoa kepadamu sepanjang waktu. Kami mengunjungi kuilmu dan memberikan berbagai persembahan. Kami bersujud lebih dari yang kami mampu. Telah kami tutupi tubuh kami sendiri dengan kain-kain suci. Telah kami peluk ajaran-ajaran agung yang kau titipkan lewat pemimpin kami. Telah kami akui kau sebagai pemilik diri kami. Kami setia terhadapmu, tak seperti Eblis dan kawan-kawannya yang sepanjang jalan telah kami rendahkan. Selamatkan kami! Kami bagian darimu! Kami hambamu! Kami menuntut janjimu!” Kemirisan itu kian menjadi terlebih tiap kali Eblis mengajak kawan-kawan binatangnya berkeliling neraka untuk mencari makan pagi. Tulang gosong sisa sarapan penghuni surga, moncong babi yang terlalu tua atau sekadar berdiri di bawah pipa pembuangan toilet surga, berharap air mandi penghuni surga pagi ini cukup memberi mereka penghidupan, setidaknya sekadar untuk membasahi tenggorokan. Anjing kecil bahkan tak pernah membayangkan bagaimana rasanya mandi. Tidak pantas. Terlalu lancang, mengingat statusnya saat ini. Penghuni neraka bukannya di larang mandi, hanya saja mereka tak punya kesempatan sekalipun untuk membayangkan.
“Bukan porsimu memikirkan hal semacam itu!”
Pernyataan itu teramat menyakitkan bagi Anak Anjing Kita yang menginjak remaja. Dia tumbuh sebagaimana gadis seumurannya yang cantik dan memesona, dilimpahi keberkatan dan impian besar selayaknya bidadari-bidadari surga. Hanya saja, dia tak memiliki sepasang sayap putih di punggungnya. Dia tidak membutuhkannya. Kehidupan keras di neraka mengharuskannya rela kehilangan bulu-bulu manis yang membungkus tubuhnya, terbakar dan menyisakan luka menganga serta borok berbau amis. Kulitnya menghitam sempurna, menambah kesan kejam pada diri anak anjing muda kita yang sesungguhnya jelita. Begitulah konsep keiblisan dibangun sedemikian rupa selama berabad-abad dengan segala ketidakmasukakalan di dalamnya. Termasuk tuduhan keji yang di arahkan pada kambing tua berjenggot panjang dengan dua tanduk besar di kepala. Sering kali Anak Anjing Kita melihatnya terduduk di pinggiran sungai neraka sambil membaca buku-buku rampasan. Diam-diam tanpa sepengetahuan tuhan, kambing tua itu telah mencuri kitab penciptaan yang kemudian disalinnya pada sisa belulang manusia.
“Akan kau apakan tulisan-tulisan itu?”
“Mengabarkannya pada manusia.”
Begitulah Si Kambing Tua akan menjawab tiap kali saudara-saudara sebinatangannya bertanya. Lalu, dia akan tersenyum bangga pada dirinya sendiri sebelum akhirnya melanjutkan bacaan itu.
“Bukankah manusia musuh kita?” tanya seekor ular neraka berhati mulia yang sehari-harinya hanya dihabiskan untuk menganiaya manusia. Melempar mereka dari satu sudut neraka ke sudut lainnya, menggetok kepala mereka menggunakan linggis dan batu neraka penuh bara serta melumat daging manusia yang lembut dengan penuh kenikmatan.
Kambing tua itu masih membaca bait-bait buku penciptaan dengan saksama. “Kau membenci manusia bukan karena tidak mengenal mereka, tetapi karena kau tidak mengenal siapa dirimu yang sebenarnya. Dirimu sendiri. Kau lebih dari sekadar seekor ular yang ditugaskan menghukum para pembangkang. Kau tidak akan pernah tahu rasanya menjadi mereka saat kau tidak pernah menempati posisi yang sama, atau paling tidak menyadari bahwa kau sedang berdiri di tempat mereka.”
“Kesesatan macam apa yang sesungguhnya telah menguasaimu?” tanya ular itu kemudian. Dia menggerak-gerakkan ekornya, merasakan sekujur tubuhnya dihinggapi perasaan konyol yang asing sama sekali. “Sebaiknya, segera kembalikan buku-buku curianmu sebelum tuhan menemukannya dan memberimu hukuman besar.”
“Bukankah segala sesuatunya telah diatur?” Kambing Tua malah baik bertanya tetapi suaranya begitu tenang, seakan dia tengah berada di antara ribuan kapas surgawi dikelilingi ribuan bidadari –ini kudengar dari cerita para malaikat, sebab diriku bukan termasuk penghuni nirwana, jadi belum pernah ke sana. Tapi, beberapa kali aku berniat menyusup ke tempat itu. Andai bisa.
Tanpa mereka sadari, Anak Anjing Kita mencerna pembicaraan tersebut dengan keingintahuan yang kian menjadi. Dia meringkuk di antara bebatuan hitam neraka, bersembunyi. Sementara itu, jauh dalam lubuk hatinya dihantui rasa penasaran mengenai apa yang ada di balik buku-buku penciptaan tulisan tangan tuhan. Yang bahkan, Eblis pun belum membacanya. Pria itu terlalu naif, padahal dia bisa saja menjadi tuhan baru untuk kamerad-kameradnya. Toh, kehormatan para binatang buangan terhadapnya jauh lebih besar ketimbang rasa sungkan mereka pada penciptanya. Namun, sebagai mantan pengikut paling setia sepertinya Eblis masih menyimpan rasa cintanya; alias kebodohan, kekonyolan dan ketololan. Semua penghuni neraka tahu betapa Eblis masih sering mendongakkan kepalanya dengan kedua tangan menengadah, memohon pengampunan dan kesejahteraan bagi kamerad-kameradnya. Tiada yang lebih penting dari mereka, termasuk dirinya sendiri. Akan tetapi, kemurahan hati ini justru membikinnya terlempar dari surga. Hati murni hanya milik tuhan saja. Tak ada seorang pun hamba yang boleh menyainginya. Keadilan semacam ini disebut hukum kemutlakan. Jangan banyak bertanya atau kau akan berakhir seperti Lilith. Semua orang mengetahui persis betapa kemalangan bertubi datang menimpa perempuan muda itu, tidak terkecuali Si Anak Anjing Kita. Bahkan hari ini dia berniat mendatangi kediaman Lilith untuk sekadar meminta sedikit susu basi –yang akan diberikannya dengan senang hati –lalu setelahnya, bisa dipastikan bahwa perempuan itu akan mengajak Anak Anjing Kita bercerita hingga sore hari. Sebelum temperatur neraka turun dan menjadi kulkas raksasa dengan berbalok-balok es batu tajam. Kematian datang bersama panas dan dingin, begitulah tuhan menciptakan tubuh manusia sedemikian rapuhnya. Dan, di dalam kepalanya yang digadang-gadang bodoh Anak Anjing Kita tak henti mencerna.
DAN, SEMINGGU KEMUDIAN SEEKOR ANAK ANJING DITEMUKAN MERINGKUK DI ATAS PIRING NASI MILIK PENGHUNI SURGA begitulah kepanikan berlebihan para manusia menjadi sebuah kegemparan yang menakutkan. Memporak-porandakan tatanan kasta kesucian yang selama berabad-abad terjaga dalam kotak kaca; ini semua sepenuhnya menjadi kesalahan penghuni neraka, sebab manusia berada di urutan kedua untuk perkara penghapusan dosa –setelah tuhan lebih tepatnya. Sementara makhluk yang kini telah berubah jadi anjing bakar bumbu kecap merupakan sasaran paling tepat guna dilimpahi hadiah berupa bait-bait dosa. Dalam keempukan dagingnya; dalam kelembutan tulang-belulangnya; dalam kering air liurnya; dalam kelezatan yang tak sanggup digambarkan barang fana. Kesalahan anak anjing jelas tak termaafkan terlebih ketika sumpah serapah keluar dari cungur sekawan penghuni nerakanya, maka bertambah pula kehinaan baginya. Dan meskipun, dagingnya kini habis disantap seisi surga. Tuhan paling suka bagian pahanya seperti daging babi tapi lebih manis dan berserat. Tentu saja dia memakannya sembunyi-sembunyi, saat seisi surga telah lelap di malam hari, saat seorang perempuan meniduri sepuluh malaikat. Namun, sebagai pemimpin yang baik, Eblis tak berdiam diri. Dia menyesali kehinaannya. Dia berjalan pulang dengan penuh kecewa lalu terjatuh di pangkuan kekasihnya. Setidaknya, dia bukan pria yang kesepian, Eblis membatin sambil tersenyum kecil.
HASRAT SEEKOR ANAK ANJING YANG CEPAT-CEPAT INGIN BISA LARI KELILING SURGA DENGAN SEPATU BARU BERWARNA UNGU barangkali merupakan kekonyolan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh penghuni neraka paling mabuk; dalam kegendengan paling akut sekalipun. Bagaimana mungkin seekor binatang mendadak ingin menjadi manusia; mengenakan pakaian manusia; berjalan seperti manusia; memakan makanan manusia; bahkan memanai gincu merah tua nun menyala yang ditemukannya di tempat pembuangan saat sedang mengorek sampah mencari sarapan, bersama seorang kawannya yang juga kebetulan seekor anak anjing kampung berbulu abu-abu? Bersama tumpukan daging cincang sisa makan malam tuhan yang tidak dihabiskan sebab pesta semalam terlalu mengasyikkan. Beberapa ekor babi dipersiapkan untuk menampilkan berbagai jenis tarian; muka mereka diriasi tebal-tebal sehingga mirip manusia betulan.
PELAJARAN PERTAMA UNTUK ANAK ANJING TENTANG MEMBACA DAN MENULIS TELAH DIMULAI SEBELUM PUKUL SETENGAH TUJUH PAGI di kediaman Eblis bersama setumpuk kamerad muda lainnya yang bisa jadi belum begitu memahami persoalan leluhurnya. Bila di sekolah anak manusia pada umumnya kurikulum disusun berdasarkan prinsip ketuhanan –yang pada akhirnya mengantarkan siswa pada kesetiaan akan kitab suci dan sabda-sabda penciptanya, di tempat ini sudah pasti tidak demikian; keagamaan dianggap terlalu pribadi untuk dimasukkan dalam silabus sebab Eblis percaya bahwa menafsirkan “Tuhan” tidak harus selalu seragam. Maka anak-anak diajarkan menyulam, menari, menyanyi kadang-kadang juga membatik di ruang-ruang kosong rumah kepala sekolah mereka. Tidak ada gedung sekolah, atau kursi dan meja, atau buku-buku khusus, atau papan tulis tempat pengajar memberi kotbah. Semua terjadi begitu saja dengan begitu alami, tanpa batas sama sekali.
Lilith menyayangi seluruh didikannya bagai keluar dari kemaluannya sendiri, dalam kandungnya yang dihantui kemandulan akibat pembangkangannya di perkawinan sebelumnya. Maka diajarilah lelaki dan perempuan belum matang itu caranya mengasihi, menanak nasi, membuat sup gurami dan pertahanan hidup lainnya tanpa ketergantungan pada jenis kelamin tertentu.
“Panjang atau lubang itu sama saja,” katanya membikin Anak Anjing Kesayangan Kita manggut-manggut lalu memunguti sisa makanan di kuali. Pertanyaan di kepalanya makin menjadi sampai-sampai dia tak bisa tidur sudah tiga hari. Alhasil kedua matanya menghitam dan loyo, persis burung mati. “Perihal lubang bisa bolong dibobol panjang; panjang pun bisa patah ditelan lubang mentah-mentah.”
KARYA TULISNYA SUDAH DIKIRIMKAN KE ALAMAT REDAKSI surat kabar milik kawan lama Eblis yang kebetulan berlabel manusia hanya di kartu identitas saja. Dimuat dua minggu kemudian dengan upah lima rupiah dan tambahan semangkuk bakso oleh Eblis kala bukti terbitnya dikirim ke sekolah. Impian terbesar Anak Anjing Kita bukanlah menterengkan namanya dalam jajaran penulis muda dengan kisah-kisah romansa, melainkan mengabarkan pada manusia bahwa kebodohan penghuni neraka tidak benar adanya. Amoral bukanlah identitas binatang, melainkan propaganda yang diciptakan oknum tak bertanggung jawab untuk memecah belah saudara kandung. Misi tersembunyi untuk merampas kekayaan para binatang secara brutal tanpa meninggalkan jejak kekejaman.
TUHAN MENGISINGI KORAN YANG DIBELIKAN UNTUKNYA PAGI INI; TISU BASAH DI TOILETNYA LUPA DIISI oleh buruhnya, seorang bidadari bersayap ungu yang tempo hari mengasih Anak Anjing Kita sebungkus roti karena suka dengan cerita buatannya, dikirimkannya lewat seekor burung ababil yang kebetulan sedang terbang sampai ke dapur surgaloka.
Sungguh sedih Si Bidadari sebab koran yang ditunggunya sejak minggu lalu sampai membuatnya begadang telah tercampur dengan tahi tuhan-nya sendiri. Bukan bermaksud mencela, hanya saja dia tak mau merampas bagian milik babi-babi muda peliharaan tuhan yang rela menelan apa saja dari maha terkasihnya itu.
Tapi apa yang bisa dilakukan oleh bidadari pemenuh birahi laki-laki? Dan satu-satunya yang bisa menyelamatkannya hanyalah membaca; mengulik sejarah bukan dari tulisan para ahli surga; seorang sekarat nyatanya jauh lebih bisa dipercaya.
SEEKOR ANAK ANJING YANG KEMUNGKINAN KESAYANGAN KITA DIKABARKAN MENGANDUNG ANAK MANUSIA kegegeran sekali lagi mengguncang indraloka dan neraka secara bersamaan bagaikan petir di siang bolong. Ketidakpantasan ini barangkali terjadi karena keberaniannya menyuarakan keadilan serta keinginannya mencapai tempat yang sama dengan makhluk kesayangan tuhan tersebut. Tapi, mungkinkah harga kesetiaannya pada kamerad-kameradnya sendiri tak lebih mahal dari penis menjijikkan manusia? Serendah itukah harga persaudaraan yang telah dibangun oleh para leluhur sekian abad lamanya?
Sungguh Anak Anjing Kita telah menjelma dalam tubuh seorang perempuan muda di atas tanah becek menenteng tas hitam berisi segulung kain. Tangisannya mengibakan di sepanjang jalan kepulangannya bersama kandung yang kian membesar. Bapak dan ibunya sendiri telah lama mati dikuliti, mayatnya dihanyutkan ke kali. Ini merupakan konsekuensi atas keinginannya sendiri; menjadi manusia bukan berarti bisa bersenang-senang sebab darah seekor anjing sebanyak apa pun dicuci tetaplah mengandung keharaman, kehinaan.
Tuduhan demi tuduhan dihujankan kepadanya bertubi-tubi, sebagaimana dialami maryam kala mengandung putra semata wayangnya. Hanya saja, Anak Anjing Kita yang sudah jadi manusia itu tidak bisa menemukan pohon kurma.
ANAK ANJING KITA KESUSAHAN MENENTUKAN JUDUL UNTUK BUKU SOLONYA yang akan diluncurkan sebulan lagi. Merupakan kebanggan tersendiri para kamerad, mengingat setelah pencekalan besar-besaran di masa itu akhirnya mereka dapat kembali melahirkan seorang seniman. Meskipun Anak Anjing Kita memalsukan identitasnya, menggunakan nama samaran milik manusia.
Selama beberapa minggu, setelah selesai beribadah mereka menyempatkan diri berkumpul di kediaman Lilith dan Eblis untuk memberikan hadiah-hadiah kecil, penyemangat untuk Anak Anjing Kita dan perjuangannya.
“Judul seperti apa yang sebenarnya kau kehendaki?” tanya Kambing Tua Berjenggot yang sebelumnya cuma berdiam diri di rumahnya. Ini jelas mengejutkan bagi siapa saja, termasuk Anak Anjing Kita sendiri. Bahkan Lilith yang baru pulang dari pasar langsung tak sadarkan diri. Tukang tapa datang untuk memberkati. “Ambisi dan keingintahuanmu sudah lama kutunggu-tunggu. Namun, ketahuilah bahwa bukan bagianmu menjamah sejarah.”
GAUN MERAH JAMBU PEMBERIAN PENGGEMARNYA MEMILIKI TALI DIBAGIAN PUNGGUNG persis seperti pakaian yang dikenakan manusia saat mengikuti kontes kecantikan. Tidak hentinya Anak Anjing Kita memandangi pantulan dirinya sendiri. Kemiripannya dengan manusia mendekati sempurna, bahkan rambutnya saja kini dibiarkan memanjang menutupi bahu dengan cat ungu menyala.
“Apa sekarang aku sudah pantas disebut seniman?”
Untuk sebuah karya besar yang mengungkapkan sejarah besar, dirinya baru saja mendapatkan undangan resmi dari tuhan untuk mendiskusikan segala persoalan. Pengungkapan diperlukan guna menerangi jalan sejarah.
Berpamitanlah dia kepada seluruh kawan sekolahnya, tetangga dan seluruh kamerad di akhir minggu lalu tepat setelah mereka melakukan peribadatan. Dalam kekusyukan, untuk pertama kalinya Eblis meminta saudara-saudaranya mengangkat tangan dalam puja atas keadilan yang sebentar lagi akan tuhan limpahkan.
“Perjalanan putri kita masih panjang,” begitulah dia memimpin.
Akan tetapi, dari dalam gubuk busuknya Kambing Tua Berjenggot justru tersenyum meremehkan. Diisapnya cerutu sambil membaca lembar demi lembar karangan remaja tanggung itu. “Tidak lebih panjang dari tali bajunya.”
KITAB JATUH CINTA DISIMPAN TUHAN DALAM TOPELES KACA berdampingan dengan acar pelengkap gulai domba. Telah dikumpulkannya seluruh hamba di aula, menanti tamu istimewa. Sementara itu, di depan istana seorang putra adam tengah memeluk kekasihnya.
“Aku benar-benar muak menjadi manusia.”
Si perempuan berkepala anjing menempelkan tangan ke muka pasangannya, mengelus sepasang pipi berjambang tipis itu penuh kelembutan hingga menyebabkan kekacauan yang lebih besar bagi empunya, kemudian menciumnya lembut betul. “Tidak ada yang perlu kau cemaskan. Ini akan mengawali perjuangan kita.”
Namun sebagai manusia, sudah pasti Putra Adam lebih memahami tatanan kesurgawian.
MELOMPATLAH PUTRA ADAM KE DALAM KUBUR YANG DIGALINYA SENDIRI atas kesadaran penuh dan tanpa paksaan dari pihak mana pun demi menyelamatkan dirinya dari penyesalan yang lebih panjang.
Kemanusiaanlah yang merenggut nyawaku
merobek pembuluh dengan hasrat seorang pembunuh
Sepucuk surat ditemukan dalam saku celananya, ketika jenazah dianggkat dan dibawa ke rumah duka. Disemayamkan bersama tangisan keluarga besarnya. Tuhan sendiri hanya berdiri di ambang pintu lantas berlalu.
TUHAN SEDANG MENULIS CERITA BARU DI RUANG KERJANYA YANG LENGGANG SAAT SEEKOR BABI MENJILATI KEMALUANYA ialah pemandangan paling membingungkan bagi Anak Anjing Kita yang sore itu sedang duduk santai di halaman rumahnya, membaca buku sambil menikmati sore bersama bayi dalam kandungannya. Bagaimana mungkin salinan semacam ini bisa diabsahkan kebenarannya? Kesangsiannya dilandaskan pada pertemuannya dengan tuhan. Tidak mungkin seorang pria selembut dan sebaiknya melakukan kebinalan yang lebih mengerikan ketimbang para pendosa seperti kaumnya –yang dinobatkan sebagai ahli dari segala kesalahan.
UNTUK PERTAMA KALINYA ANAK ANJING KITA MANDI menggunakan air bersih seperti manusia. Dia bahkan mengeramasi rambutnya dengan sabun cuci piring milik Lilith yang ada di dapur.
“Pada siapakah kini aku harus percaya?”
HARI YANG DITUNGGU AKHIRNYA TIBA dan biarkan aku menceritakan kisahnya sebagai seorang pendongeng amatiran, mengiringi tidurmu dengan cerita yang sama dengan tuturan nenekku.
Anak Anjing Kita pada akhirnya mati ditikam oleh tuhan dengan belati, tepat setelah dia selesai mandi dan hendak berganti pakaian. Di atas dipan dia menggeliat meminta pertolongan tapi sayangnya, tak ada satu pun yang mau datang. Reputasinya sebagai manusia dianggap sebagai pelecehan terhadap kamerad-kameradnya.
Jenazahnya ditemukan oleh Eblis dua hari kemudian dengan kondisi mengenaskan. Kemaluannya rusak akibat persanggamaan yang terlalu brutal. Perutnya dioperasi, dikeluarkannya anak dari Anak Anjing Kita secara paksa; ternyata dia punya badan manusia tapi berkepala anjing persis seperti dalam gambaran kitab milik Si Sambing Tua.