Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
PENGAKUAN DOSA
2
Suka
34
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Anisa mengusap – usap pipinya yang merah lalu berhati – hati menyentuh dahinya yang bengkak. Dea-sahabatnya-menatapnya penuh kekhawatiran hingga geleng – geleng kepala.

“Cerailah Nis! Tidak ada yang bisa kamu harapkan lagi dari suamimu itu. Sudah cukup kamu dibuatnya babak belur!”

Dea untuk kesekian kalinya membujuk dan menasehati Anisa agar mau bercerai dari suaminya yang abusif.

“Awalnya cuma mukul lengan, naik lagi mukul pundak. Lalu mencekik leher dan berlanjut menampar hingga menonjok kepala. Apalagi yang kamu tunggu Anisa? Selamatkanlah dirimu dari laki – laki itu!”, Dea berusaha menekan perasaan geram di hatinya.

Anisa kembali mengusap – usap pipinya sambil menatap dinding, menerawang. “Aku takut jadi janda.” Ucapnya.

Kening Dea berkerut dalam. Ia bingung dengan apa yang ditakutkan sahabatnya itu.

“Takut apa, Nis? Kamu masih tetap bisa makan dan punya uang kalaupun berpisah dari Soni.”

Anisa menghela napas dalam – dalam lalu menoleh pada Dea tajam. “Takut omongan orang!”, bentaknya. “Kamu nggak tahu rasanya menjadi was – was akan mendapat sindiran dan hujatan seperti apa kalau aku nekat menjanda. Orang – orang menganggap perceraian itu sebagai aib!”.

Anisa membuang muka dengan kesal. Matanya kembali menerawang. Sesekali keningnya ikut berkerut seperti Dea. Banyak pikiran negatif bercokol di kepalanya. Kalau ia nekat mengikuti nasehat sahabatnya, tentunya ia akan menjadi bulan – bulanan keluarga besarnya berikut dengan masyarakat kampungnya. Di keluarganya, cerai itu tabu. Perbuatan yang dibenci Tuhan. Berani bercerai sama saja artinya dengan melawan Tuhan. Begitu juga dengan adat di kampungnya. Tidak sepantasnya dilakukan. Wanita harus bisa mempertahankan rumah tangga. Atau akan dianggap buruk perangai jika sampai bercerai. Seperti yang terjadi pada Mbak Sri, janda setengah baya dari RT sebelah. Ia disebut sebagai perempuan nakal setelah menjanda. Pun ketika ia masih bersuami, namanya santer disebut sebagai istri yang tidak pandai melayani suami sehingga sang suami terjerat rayuan perempuan malam di kota.

Tidak ada satu pun rumah tangga yang bercerai di keluarga besar Anisa. Seburuk apapun perilaku lelakinya. Walaupun riwayat para lelaki di dalamnya pernah selingkuh dan berperilaku sangat pemalas. Maka, Anisa akan menjadi yang pertama jika melakukan perpisahan dari sang suami. Terbayang olehnya bagaimana ia akan menjadi bahan gosip keluarganya sendiri. Bahkan mungkin saja nanti ia akan dikucilkan karena dianggap membuat malu. Namanya pasti akan dicap buruk selamanya.

“Kemarin - kemarin alasanmu tidak mau berpisah karena masih cinta. Kamu yakin Soni akan menyesal dan berubah menjadi lebih baik. Sekarang kamu takut akan digosipkan dan juga menuai hujatan. Jadi sebenarnya kamu ini hanya mencari – cari alasan supaya tidak bercerai kan?”.

Pernyataan Dea menembak telak Anisa. Rasanya wanita itu akan meledak. Sudahlah di KDRT, sekarang sahabat satu – satunya yang menjadi tempatnya berkeluh kesah ikut menekannya pula. Anisa dan Dea berpandangan cukup lama. Dea berusaha mencari kata – kata yang tidak menyinggung, namun akhirnya kelepasan juga, sedangkan Anisa berharap Dea tidak akan pernah menghakiminya seperti itu.

“Menikah itu rumit Dea. Tidak segampang orang yang berpacaran bisa putus hubungan kapan saja. Aku punya tanggung jawab untuk tidak membuat malu orang tua dan seluruh keluarga. Kamu tidak akan mengerti itu!”, Anisa bicara sambil terengah – engah menahan kekesalan.

Dea memutar bola mata sambil menghembuskan napas pelan. Ia sebenarnya bosan setiap kali sahabatnya mengadu telah mendapat kekerasan. Segala solusi telah ia utarakan. Harusnya permasalahan rumah tangga Anisa bisa cepat terselesaikan. Andai saja Anisa mau mengerti, andai saja wanita itu mau menurut. Tentu penderitaannya yang didapat dari sang suami akan segera berakhir.

“Aku paham dengan posisimu. Tapi kamu juga harus peduli dengan keselamatanmu. Soni bisa saja lebih gila lagi. Siapa yang tahu kalau dia nanti akan menganiaya kamu hingga kamu sekarat. Masih mending kalau kamu cuma masuk rumah sakit. Kalau sampai nyawamu yang melayang bagaimana?” Dea berusaha membujuk lagi.

Anisa mengusap pipinya sambil merenung. Ia sebenarnya takut pada Soni. Takut suaminya akan kelewatan menghajarnya. Apalagi Soni sudah semakin berani unjuk gigi kekuatan tangan dan kakinya. Anisa sadar kalau ia sering diperlakukan sebagai samsak. Tapi, menjanda bukanlah solusi. Tekanan setelah perceraian pasti akan lebih parah lagi. Ia hanya bisa mengandalkan uang tabungan hasil giatnya bekerja saat masih gadis, jika keluarganya menolak membantunya. Dan ia akan kehilangan arah dalam hidupnya jika keluarganya tidak lagi bersikap hangat padanya akibat aib yang dibuatnya. Maka dengan keyakinan hati yang dangkal, Anisa menguatkan diri menatap mata Dea dan berucap lirih, “Soni tidak mungkin membunuhku.”

***

Rumah itu sangat ramai dengan tetangga dan warga yang berdatangan silih berganti. Tujuh hari yang lalu telah selesai acara doa yang dilantunkan dengan tangisan tanpa henti. Anisa hanya duduk diam sendiri. Tak ikut berdoa apalagi menangis. Orang tuanya yang malah tiada henti meminta maaf padanya dengan air mata membanjiri wajah senja mereka. Kumpulan keluarga besar ikut memperlihatkan wajah menyesal. Namun, ada segelintir kerabat dan warga yang tidak punya empati mencoba menghibur dengan anggapan tentang apa yang terjadi tentunya sudah takdir Ilahi.

Sementara itu, Dea mengunci diri di kamar sahabatnya. Ia menangis dengan penuh penyesalan. Rasanya baru kemarin Anisa mengadu kembali telah dihantam dengan kursi hingga dahinya bengkak lagi. Anisa menangis meraung di seberang telepon. Dea pun kembali membujuknya untuk segera bercerai. Namun, Anisa kembali kebingungan. Terus menyangkal kalau harus bercerai. Dea dengan kesal menutup telepon dan memblokir kontak sahabatnya itu. Ia tidak mau lagi ikut campur urusan rumah tangga Anisa. Apapun yang terjadi biarlah Anisa tanggung sendiri. Jika memang bercerai tidak akan pernah menjadi solusi, maka tanggunglah penderitaan yang telah Anisa pilih dengan pasti. Dan kini Dea menyesali, seandainya saat itu ia lebih keras membujuk, mungkin saja Anisa masih akan bernapas saat ini. Namun, sejak delapan hari yang lalu, Anisa hanya duduk sendiri menatap wajah – wajah yang mengucapkan bela sungkawa lewat foto hitam putihnya yang dipajang di ruang keluarga.

Dea menangis tersedu – sedu, berganti – ganti memeluk dan memandangi foto Anisa yang terbalut bingkai mungil. Wanita itu merasa kepalanya pusing dan ia pun berbaring di kasur. Aroma parfum Anisa yang tertinggal di sprei membuat tangis Dea semakin menjadi. Ia menangis dengan suara tertahan. Seandainya saja ia bertekad kuat untuk memisahkan Anisa dari suaminya yang jahat itu. Sudah pasti Anisa masih tetap bernyawa saat ini. Ah, penyesalan demi penyesalan terus menghujam pikirannya. Dea mengangkat foto Anisa ke langit – langit lalu menatap foto itu dengan bibir yang mencebik.

Saat ini, Soni sedang diburu polisi. Entah ke mana lelaki itu pergi dan bersembunyi. Mungkin saja kerabatnya atau teman lelaki itu yang menyembunyikannya. Sudah delapan hari sejak peristiwa penganiayaan yang melenyapkan nyawa istrinya terjadi. Namun, Soni belum tertangkap juga. Licin benar lelaki itu. Sama licinnya saat ia menutupi perselingkuhannya dengan banyak wanita. Hingga Anisa tidak mampu mencium bau bangkai pengkhianatan lelaki yang dipanggilnya suami itu.  

“Hah”, desah Dea yang menghembuskan napas dengan keras. Kepalanya benar – benar pusing. Ia ingin tidur dan melupakan semuanya. Kecerobohannya, kebodohan sahabatnya, dan pengkhianatan Soni. Dea juga ingin menutup kedua telinganya dari mendengar suara tangisan pilu kedua orang tua Anisa. Tangisan penyesalan yang tiada guna. Anisa sudah terlihat menderita sejak lama. Dasar orang tuanya saja yang menutup mata. Sekarang, mereka memanen hasil tradisi taat pada suami tanpa boleh membantah sama sekali. Bukan perceraian yang ternyata menjadi aib, melainkan perbuatan menantu mereka yang sadis. Anak perempuan mereka telah mati, sedangkan si menantu kabur melarikan diri. Mereka menuntut keadilan yang seharusnya diperjuangkan saat Anisa masih bernyawa. Bukannya malah membiarkan kekerasan itu terus berlangsung dengan alasan menjaga agama. Kasihan Anisa… Para kerabat yang dikhawatirkannya akan menghujat hingga mengucilkannya ternyata tak bisa berbuat apa – apa. Tidak ada pembelaan. Hanya sekedar ucapan bela sungkawa murahan. “Semua sudah takdir Tuhan”, kata mereka.

Dea menatap foto Anisa dengan seksama. Wajah itu memang lugu dan naif. Air mata semakin mengucur deras di pipi Dea hingga membasahi seluruh wajahnya. Ia dihantui penyesalan yang dalam.

“Ampuni aku, Nis. Maafkan aku. Kalau saja aku bisa memutar waktu, aku akan memaksamu meninggalkan lelaki itu secepat mungkin. Dan aku tidak akan berhubungan dengan dia lalu merasa cemburu dengan selir – selirnya. Percayalah Anisa, aku tidak bermaksud merebutnya darimu. Aku hanya ingin kalian berpisah dengan segera. Agar aku bisa menebus dosa – dosaku dengan menikahinya dan membuat selir – selirnya menjauh. Sahabatku, percayalah aku benar – benar tidak menyangka akan begini jadinya.” 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Kita & Saling Part 1
Aneke Putri
Skrip Film
DI JARAK 5788 KILOMETER
Wulan Witriyanti
Cerpen
Bronze
Sembunyi dibalikata Baik-baik Saja
Lilis Alfina Suryaningsih
Cerpen
PENGAKUAN DOSA
Refy
Skrip Film
The Superstar Is Fallin (In Love)
Maya Suci Ramadhani
Flash
Bronze
Semenjak Anak Kita Lahir
Silvarani
Novel
Bronze
Cinta Buta Sulungku
Rosalia
Novel
Para Pencari Cinta
Topan We
Skrip Film
Love ?
Agusti Yudhatama
Skrip Film
mengantarkan pada kebahagiaan
Selvi Diana Paramitha
Cerpen
Bronze
Milo dan Silo
Foggy FF
Cerpen
Bronze
Penjaga Musala Tak Mau Salat
Sulistiyo Suparno
Novel
Bronze
Tinggi dari Awan
Yesno S
Skrip Film
Tell Me What Your Wish?
Humming-Moon
Flash
Satu Pagi di CGK
annastasia
Rekomendasi
Cerpen
PENGAKUAN DOSA
Refy
Cerpen
Bronze
TRAUMA
Refy
Cerpen
Penyesalan Rianti
Refy
Cerpen
Bronze
Di Tengah Malam
Refy
Cerpen
OKB yang Sombong
Refy