Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Pengajian
0
Suka
534
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Siang ini Kota Depok di landa panas. Teriknya teramat menyengat kulit tubuh. Berdiam diri di rumah adalah pilihan yang tepat. Seperti yang aku lakukan saat ini. Rebahan di ruang depan sembari menikmati semilir angin dari kipas angin. Sungguh sejuk rasanya. 

Triingg!!

Triingg!!

Gawaiku berdering keras. Ku biarkan tergeletak di lantai bersisian dengan laptop kerjaku. Segera aku bangun untuk mengecek. Siapa tahu telpon dari si bos.

Begitu ku cek, nama Faqih, sahabatku tertera di layar gawaiku. Panggilan darinya ternyata. Syukur, deh bukan si bos, batinku. Lekas ku angkat panggilan dari Faqih. Barangkali penting.

"Assalamu'alaikum. Ada apa, Qih?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Wa'alaikumsalam. Lagi sibuk gak lu?" Faqih balik bertanya. 

Suara Faqih dari ujung telepon kedengaran agak lesu.

"Kagak hari ini mah. Free gua."

"Ke rumah gua. Temenin."

"Lah, kan ada bokap lu?"

"Belum siuman. Mana bisa di ajak ngobrol. Aneh lu."

"Owh. Beloman, ya. Kirain. Tapi, panas banget di luar oi."

"Pake payung."

"Dih, lu pikir gua cewek sok imut."

"Lagian manja amat jadi laki."

"Iya. Iya. Nanti dah tanggung. Udah mau Zuhur."

"Oke. Gua tunggu di rumah."

"Oh, ya gua mau mampir dulu beli nasi padang. Lu pasti belum makan siang juga, kan?" 

"Hu um."

"Sekalian aja. Mau nitip apa?"

"Bayarin ya."

"Iya."

"Terserah aja dah."

"Bener, ya? Awas lu komplain."

"Iya. Tenang aja, sih."

"Sip."

"Ya udah. Gua tutup, ya."

"Oke."

Faqih memutus panggilan. 

Aku letakkan kembali gawaiku di lantai. Waktu berjalan, lima menit kemudian azan Zuhur berkumandang.

Seusai melaksanakan salat Zuhur berjamaah di masjid, aku bersiap akan menuju ke kediaman Faqih.

Aku dan Faqih menetap di perkampungan yang sama. Hanya saja rumah kami cukup berjauhan. Tetapi, tidak sampai satu kilo meter. Jalan kaki paling memakan waktu sepuluh menit.

Faqih, teman karibku dari zaman SD hingga detik ini.

Faqih adalah bocah pertama yang mau bermain denganku kala lalu, di mana kami masih jadi bocil. Di saat anak-anak yang lain menganggapku aneh dan takut mendekat padaku.

Faqih menerima segala bentuk kekuranganku. Dan juga dia tidak takut padaku yang bisa melihat sosok tak kasat mata. 

Yup, ada masalah dengan penglihatanku. Hehe.. Aku tak menganggapnya istimewa. Oleh sebab itu, sewaktu kecil aku sering teriak-teriak tak jelas. Suka marah-marah. Ketakutan sendiri. Padahal itu karena aku lagi di ganggu dedemit. Aku belum bisa mengontrol diri.

Baiklah, untuk mempersingkat waktu dan menghemat energi, ku putuskan untuk naik motor saja.

Tapi, sebelum otw ke rumah Faqih, seperti yang ku katakan di awal, aku mau melipir dulu ke rumah makan padang langgananku yang berada di pinggir jalan raya. Kudu keluar kampung dulu kalau mau beli apa-apa. Hadeeehh..

****

Rumah Makan Padang Uni Aisyah dan Uda Romli tidak pernah sepi dari pembeli. Begitu sampai di sana, wah ramai. Antreannya cukup panjang. Meski begitu, aku tetap memilih RM Padang ini.

Sebagai warga Indonesia yang disiplin dan ngerti aturan, aku pun ikut mengantre. 

Puk!!

Aku terperanjat manakala merasakan tangan seseorang menepuk bahuku. Dengan cepat aku menoleh ke belakang.

"Hello, Mas Andra," sapa seorang pria berusia 55 tahun sembari tersenyum lebar.

Aku mengenal pria yang berdiri di belakangku itu.

"Eh, Pak Dono. Kirain siapa," kataku sambil nyengir. Lalu ku balikan badanku menghadap beliau.

"Baru keliatan, Mas."

"Iya, Pak. Sibuk kerja."

"Oh, iya. Beli nasi padang juga, nih?" tanyanya sekadar basa-basi.

"Iya, Pak. Lagi males masak. Beli aja lebih praktis. Hehe." Bujangan gini tapi aku bisa masak, lho.

Ku perhatikan saksama diri Pak Dono dari ujung kepala sampai ujung kaki. Semakin hari semakin sehat saja. Badannya yang tadinya kurus tinggal tulang, jadi gemuk lagi. Kembali ke setting-an awal. Wajahnya tampak semringah. Perubahannya secepat itu.

"Makin seger buger aja, nih, Pak Dono."

"Iya, Mas. Kata kyai karena banyak yang do'ain saya. Makanya sembuhnya cepet. Penyakitnya udah minggat. Hehe," papar Pak Dono, di akhiri tawa.

Beberapa waktu lalu di adakan pengajian di rumah Pak Dono. Aku turut hadir bersama Faqih, Pak Rohim beserta bapak-bapak lainnya.

Pernyataannya itu membuat pikiranku menerawang jauh. Ada yang tidak beres.

"Minggat ke mana, Pak?" tanyaku kemudian dengan wajah serius.

Seketika Pak Dono menghentikan tawanya. Gestur beliau tampak kikuk. Barangkali bingung mau menjawab apa.

"Ke—ke laut, Mas. Iya ke laut." Sesaat kemudian Pak Dono menyampaikan jawabannya. Namun, terkesan terbata dan gugup.

Aku tahu itu bukan jawaban yang sebenarnya.

"Oh, ke laut. Bisa aja, nih Pak Dono," responku di iringi tawa palsu.

"Iya, Mas. Ke laut," ulangnya.

Kami pun sama-sama tertawa. Meski, tawa yang terkesan di paksakan.

-Flashback-

Pak Dono mengidap penyakit aneh dan langka. Beberapakali keluar masuk rumah sakit. Akan tetapi, tak kunjung ada perubahan yang signifikan. Segala jenis pengobatan di terapkan. Bahkan, salah satu dokter ada yang langsung melayangkan vonis bahwa Pak Dono tidak bisa di sembuhkan. 

Keluarga Pak Dono jelas marah besar dan salah seorang anak lelaki tertua Pak Dono melayangkan pukulan ke dokter tersebut. Untung bisa di selesaikan secara damai.

Beberapa hari kemudian tersiar kabar bahwasanya keluarga Pak Dono mau mengadakan pengajian di rumahnya.

Di laksanakanlah pengajian tersebut.

Hanya pengajian biasa seperti membaca yasin, tahlil, zikir dan terakhir berdo'a bersama untuk kesembuhan Pak Dono.

Banyak sekali tetangga yang menghadiri. Termasuk aku, Faqih dan Pak Rohim. Menurut info yang beredar, di penghujung do'a bersama akan ada pembagian nasi berkat dan sedikit sembako. Pasti karena itu juga mereka pada hadir.

Pengajian di pimpin oleh seorang kyai yang berdomisili di Jawa Timur. Aku heran kenapa mesti jauh-jauh datengin kyai? 

Ustadz Yusuf, kan juga bisa mimpin. Timbang pengajian kayak gini doang. Pikirku.

Mungkin si kyai punya keistimewaan. Makanya di percaya keluarga Pak Dono.

Aku bisa merasakan energi tak biasa pada diri kyai tersebut.

Pengajian di mulai. Kyai itu duduk di temani keempat anak lelaki Pak Dono. 

Diam-diam ku perhatikan kyai itu. Sepanjang acara, arah mata beliau tak lepas dari Pak Rohim. 

Pak Rohim bersama bapak-bapak lainnya duduk di barisan paling depan. Sementara, aku dan Faqih berada di barisan kedua.

Si kyai tidak sadar jika sedang aku pantau.

Di saat bapak-bapak melantunkan ayat-ayat Surah Yasin, ku lihat mulut kyai itu komat-kamit seperti membacakan sesuatu yang aku sendiri tidak paham. Di tambah sambil matanya terus berpusat ke arah Pak Rohim.

Di situ aku mulai menaruh kecurigaan pada beliau.

Yang lain pada fokus mengaji. Jadi, hanya aku saja yang menyadari sesuatu janggal itu.

****

Tibalah giliranku. Aku maju dan berdiri di samping Uni Aisyah. Aku adalah langganan tetap di sini. Jadi, kami sudah saling akrab.

"Uni, nasi padangnya dua bungkus, ya. Kayak biasanya aja. Sayur nangka sama sambel ijonya agak di banyakin ya," pesanku pada si uni.

"Siap, Mas Andra," balasnya.

Uni Aisyah mulai menyiapkan pesananku. 

"Saya kasih bonus kerupuk kulit, Mas," bisik Uni Aisyah padaku.

Ku lihat tangan wanita itu menyelipkan tiga bungkus kerupuk kulit ke kantong kresek milikku.

"Makasih, Uni."

Tak butuh waktu lama dua bungkus nasi padang telah siap. Ku genggam kresek putih tersebut.

"Ini uni uangnya. Terima kasih." Aku menyerahkan dua lembar uang pecahan dua puluh ribu rupiah kepada Uni Aisyah.

Setelah itu, aku beranjak pergi. Kini gilirannya Pak Dono. Aku keluar. Pak Dono berjalan maju.

"Pak, duluan, ya."

"Ya, Mas. Kapan-kapan kalo ada waktu senggang ikut ngumpul di pos ronda bareng bapak-bapak." Pak Dono mengingatkanku tentang pentingnya berbaur dengan warga sekitar.

"Insyaa Allah, Pak. Mari."

Aku jarang ngumpul bareng bapak-bapak, walau cuma sekadar ngobrol-ngobrol santai, oleh sebab kesibukanku di kantor. Seringkali ambil lemburan juga. 

Biaya hidup lagi tinggi-tingginya. Di sisi lain, aku memimpikan mobil Fortuner. Ingin sekali memilikinya. Tapi, apa daya. Harus nabung dulu baru bisa kebeli. Itulah alasan mengapa aku sangat memprioritaskan pekerjaan dan cuan. 

****

"Nih, nasi padang lu." Aku taruh nasi bungkus milik Faqih di meja panjang ruang tamu.

"Thank, Bro," ucapnya. Lekas menyambar bungkusan tersebut.

Aroma masakan padang begitu menggoda. Tak sabar ingin segera melahapnya.

"Ndra, perkedelnya mana? Wah, parah lu gak di sebutin sekalian," protes Faqih begitu membuka lebar kertas nasi padangnya.

"Pas gua tanya di telpon, kata lu terserah aja. Ya udah terima lah apa yang gua beli. Kan terserah," omelku.

"Lagian kek cewek lu. Makanya kalo gua tanya mau makan apa, jawab! Susah amat ya timbang jawab doang," sambungku, tetap mengomeli lelaki berkacamata itu.

"Ah, gak peka lu," protesnya lagi.

"Pacar juga bukan lu," balasku.

"Terus kalo gua pacar lu, emang lu bakalan peka?" 

"Najis. Gua masih normal, ya. Hih. Amit-amit. Amit-amit." Mendadak aku merinding sekujur tubuh.

Faqih malah tertawa terbahak-bahak melihat ekspresiku.

"Bercanda, weh. Gua juga masih normal. Pengen punya istri kek IU."

"Huek."

"Sirik, dih.

"Udah geh makan. Laper, nih gua."

"Tapi, gimana perkedelnya?" Faqih masih menanyakannya.

"Besok gua bikinin yang segede gaban. Biar lu puas," jengkelku.

"Dih. Ogah," tutur Faqih.

Kami mulai makan bersama-sama.

"Gimana kabar bokap?" tanyaku di sela makan.

"Masih sama. Gak ada perubahan sama sekali. Bingung gua, Ndra sebenernya bokap gua sakit apa, sih?" 

"Sorry, ya gua belum sempet ke rumah lu. Jarang nanyain keadaan lu sama bokap lu. Di situasi kayak gini lu lagi butuh-butuhnya support dari orang terdekat."

"Udah gak usah ngerasa bersalah gitu. Gua tau kok kesibukan lu kek mana. Lagian gua gak mau egois."

Aku mendengar kabar sakitnya Pak Rohim langsung dari Faqih. Pak Rohim yang awalnya sehat-sehat saja mendadak jatuh sakit selang satu hari setelah mengikuti pengajian di rumah Pak Dono.

Sakitnya menjalar begitu cepat. Tak ada tanda-tanda gejala awal.

Yang bikin aku geleng-geleng kepala, Faqih bukannya melarikan bapaknya ke rumah sakit terdekat, tetapi yang dia lakukan yaitu menelepon Dokter Fahrul. Dokter panggilan yang siap di panggil kapan pun dan di mana pun.

Pak Rohim di rawat di rumah. Dan yang menjadi perawat pribadinya adalah anaknya sendiri. 

Yup. Faqih adalah seorang perawat laki-laki. Dia bekerja di rumah sakit swasta di Jakarta. Ada manfaatnya juga Faqih kuliah ambil jurusan keperawatan.

"Kalo lu lagi dinas, bokap lu di titipin ke siapa?" tanyaku, ingin tahu.

"Gua ambil cuti, Ndra," jawab Faqih. 

"Hhmm. Iya. Lu sendirian aja, nih?"

"Nggak juga. Kadang Bi Lina dateng ke sini. Bantu ngurusin bokap gua sekalian bawain makanan," terang Faqih.

"Bi Lina siapa dah?" Jujur aku tak mengenalnya.

"Adek perempuan bokap gua. Dia tinggalnya di Bekasi. Dia, kan perempuan. Lebih telaten ngurus orang sakit. Apalagi yang dia urus kakaknya sendiri," tambahnya.

Ku perhatikan Faqih seperti orang yang ogah-ogahan makan.

"Terus cara ngasih makan ke bokap lu gimana?" tanyaku lagi.

"Lewat selang makanan lah," balas Faqih, singkat.

"Oh, iya iya." Aku manggut-manggut sambil tetap makan.

"Qih, abisin nasi padangnya. Lu harus makan yang banyak. Jaga kesehatan lu. Kalo bukan lu yang ngerawat bokap lu, siapa lagi? Kan, lu anak tunggal sama kek gua," cerewetku.

Ibu Faqih sudah lama wafat.

"Semenjak bokap gua sakit, nafsu makan gua jadi berkurang. Gua takut terjadi apa-apa sama bokap. Takutnya beliau pergi ninggalin gua, Ndra." Faqih mulai berpikiran buruk.

Faqih lalu membersihkan tangannya dari butiran-butiran nasi yang menempel. Lalu dia menyandarkan punggungnya ke sofa.

Ku hentikan aktifitas makanku. "Hush! Tuh mulut asal ngomong aja. Allah gak suka. Lu harus yakin kalo bokap lu pasti sembuh. Anggap ini ujian," tegurku penuh penegasan.

"Bokap lu orang baik. Pasti banyak yang do'a in," imbuhku.

Faqih mengembuskan napas panjang. Saat ini dia sedang di uji. Bapaknya tak jua siuman. Saudara-saudari bapaknya tak banyak membantu.

Selesai makan, aku ingin sekali melihat kondisi Pak Rohim.

****

Kriet…

Pintu kamar di buka pelan oleh Faqih. 

Dia masuk duluan. Aku mengikuti di belakangnya.

"Hah!" Aku terkejut sejadinya tatkala melihat tubuh Pak Rohim di kelilingi aura hitam. 

Baru ini aku menyaksikannya.

"Pak, ada Andra, nih. Dateng mau jenguk bapak. Bapak sadar, dong. Biar bisa ngobrol bertiga lagi kita. Ngobrolin yang seru-seru." Faqih mengucapkan kalimat demi kalimat dengan suara lembut.

Aku dan Faqih kemudian duduk di kursi berbahan plastik. 

Lima hari sudah Pak Rohim terbaring lemah tak berdaya di tempat tidurnya. Beliau di rawat di dalam kamar ini dengan peralatan medis seperti infus yang menempel di tangannya, alat bantu pernapasan (respirator), selang makanan, dan lain sebagainya.

Menurut hasil pemeriksaan Dokter Fahrul, detak jantung serta suhu tubuh Pak Rohim tampak normal. Selagi Faqih bisa menanganinya, Dokter Fahrul tidak begitu mempermasalahkannya. 

Toh, Faqih sudah berpengalaman menangani para pasien di rumah sakit.

Ku tatap wajah Pak Rohim. Tampak redup. Tubuhnya lama-lama menyusut. Jadi kurus.

Entah mengapa aku semakin yakin dengan kecurigaanku selama ini. Pasti ada kaitannya dengan pengajian itu.

Aku menatap wajah lelah Faqih. 

"Qih, ada yang mau gua bicarain ke lu," tuturku pelan, namun serius.

"Udah ngomong aja."

"Jangan di sini. Di luar aja, yok."

"Emang kenapa, sih?"

"Gua ngeliat sesuatu," jujurku.

"Ayo," ajak Faqih, langsung bangkit dari duduknya. 

Kami melangkah keluar dari kamar Pak Rohim.

****

Kami kembali ke ruang tamu. Aku menutup rapat pintu utama. Karena menurutku ini pembahasan yang sensitif dan bersifat rahasia.

"Buruan kasih tau gua, Ndra. Lu liat apa?" Faqih terkesan tidak sabaran.

Aku kembali duduk di sofa. Kami saling duduk berhadapan.

"Sekujur badan bokap lu di kelilingi aura hitam. Itu yang gua lihat," ungkapku dengan mimik sangat serius.

"Hah!" Faqih langsung menunjukkan ekspresi kaget bukan kepalang.

"Kok bisa, Ndra?" tanyanya, masih dengan kekagetannya.

"Bisa. Ada makhluk tak kasat mata masuk ke dalam badan bokap lu. Makhluk itu yang menyebabkan bokap lu sakit sampe belum sadarkan diri sampe hari ini," jelasku.

"Siapa yang udah berbuat jahat kayak gitu ke bokap gua, Ndra? Tega bener tuh orang."

Aku berjalan ke arah jendela ruang depan. Memastikan tidak ada orang luar yang mengintip apalagi menguping pembicaraan kami berdua. 

"Qih, gua curiga sama satu orang," kataku kemudian.

"Siapa?" Faqih terlihat sangat penasaran.

"Pak Dono," ungkapku, sedikit berbisik.

"Kok, lu bisa ngarahnya ke beliau?" 

"Iya. Tadi di rumah makan padang Uni Aisyah gua ketemu sama Pak Dono. Gua perhatiin makin sehat aja beliau. Kayak cepet banget gitu pemulihannya," ceritaku.

Faqih tertegun.

Lalu katanya, "Bokap gua langsung mendadak sakit sehabis menghadiri pengajian Pak Dono. Apa ada kaitannya?"

"Ada!" jawabku tegas.

"Sakit bokap lu bukan sakit biasa, Qih. Penanganannya beda," cetusku.

Kemudian aku ungkapkan semua keanehan-keanehan yang ku temukan sewaktu mengikuti pengajian di rumah Pak Dono.

"Jadi, maksud lu kyai itu mindahin penyakit Pak Dono ke bokap gua?" 

"Betul."

Di situ Faqih terlihat syok luar biasa. 

"Padahal bokap gua sama beliau udah temenan baik sama tetanggaan lama banget. Kok, tega bener." Faqih sungguh tak habis pikir.

"Kita gak tahu isi hati dan isi kepala manusia. Juga sifat aslinya dia."

"Terus tindakan kita apa? Gua gak siap kalo harus kehilangan bokap gua secepat ini." Faqih tak kuasa menahan derai air matanya.

"Gua akan tarik makhluk itu dari badan bokap lu," ucapku tak main-main.

"Kalo bisa sekarang, Ndra."

"Sebentar. Gua koordinasi dulu sama dua penjaga gua."

"Ya udah."

"Gua pinjem kamar lu, ya, Qih. Bentaran aja."

"Silakan."

Setelah mengantongi izin, bergegas aku memasuki kamar Faqih. Ku tutup rapat pintu kamar.

****

Lima belas menit kemudian, aku dan Faqih masuk lagi ke kamar Pak Rohim.

"Tolong selametin bokap gua, ya, Ndra," kata Faqih dengan sorot mata penuh harapan.

Aku mengangguk mantap. Lalu, ku arahkan telapak tangan kananku menghadap ke perut Pak Rohim yang tertutup baju.

"Bismillah," ucapku dengan sungguh-sungguh. 

Tangan kananku mulai melakukan gerakan seperti sedang menarik sesuatu yang berat. 

Ku tarik sekuat tenaga makhluk yang bersemayam di perut, paru-paru serta peredaran darah beliau. 

Setelahnya, ku serahkan makhluk itu kepada dua penjagaku. Faqih tidak akan bisa melihat makhluk yang bersarang di tubuh bapaknya itu.

Sesaat kemudian, kedua netra Pak Rohim lamat-lamat membuka. 

"Qih! Faqih! Gua kenapa lu pasangin alat kek gini, dah? Lepasin, oi!" ucap Pak Rohim tiba-tiba.

Faqih menganga dengan apa yang di saksikannya. Pak Rohim langsung siuman dan pulih.

"Lepasin. Buruan. Malah ngeliatin aja lu," tegur Pak Rohim agak kesal.

"Iya, Pak." Faqih bergerak gesit melepas semua peralatan medis yang menempel di diri Pak Rohim.

Setelah semuanya terlepas, Pak Rohim membangunkan dirinya. 

"Duh, pegel amat badan gua." Pak Rohim meregangkan tubuhnya. 

"Pak? Bapak gak apa-apa?" tanya Faqih.

"Emang gua kenapa, dah?" Pak Rohim ikutan bingung.

Faqih dan aku saling tatap sebentar.

"Lu masak apa, Qih? Laper gua," tanya Pak Rohim seraya meraba rambutnya.

"Rambut gua lepek amat, dah. Bau gak enak lagi," keluhnya.

"Nanti Faqih beliin nasi padang aja, ya, Pak," jawab Faqih dengan wajah bahagia.

"Terserah lu, dah. Gua mau mandi dulu." Pak Rohim bangkit meninggalkan kasurnya. Dia berjalan keluar kamar dengan lancar. Seolah tak terjadi apa-apa.

"Makasih banyak, Ndra." Faqih memelukku seraya loncat-loncat kegirangan.

"Iya. Lu seneng gua ikut seneng, Qih."

"Harusnya lu ke rumah gua dari kemarin, Ndra."

"Iya, ya. Tapi, gimana, gua banyak kerjaan di kantor."

****

Sorenya. Kita bertiga duduk di bangku teras rumah. Sambil menikmati kopi dan gorengan.

"Oh, jadi gua sempet gak sadarkan diri lima hari. Lama juga, ya," tutur Pak Rohim setelah kami ceritakan. Gesturnya terkesan santai.

Pak Rohim lalu mencomot pisang goreng dan memakannya lahap layaknya orang yang tidak makan berhari-hari. Beliau kembali sehat seperti sediakala.

Faqih menyenggol pinggangku. "Ndra, caranya gimana mindahin penyakit ke orang lain?" bisiknya.

"Ada ilmunya. Tapi, mohon maaf ya gua gak bisa kasih tau lu," balasku, berbisik.

"Oke, deh."

Selang beberapa menit, Pak Dono muncul. Tangannya menggenggam map dan pulpen.

"Loh, Pak Rohim udah sehat?" Wajah kagetnya muncul seketika.

"Iya, Pak. Alhamdulillah," jawab Pak Rohim di iringi senyum merekah.

"Pak Dono juga udah sehat lagi, ya. Syukur alhamdulillah," terusnya. 

Wajah Pak Rohim berseri-seri melihat teman baiknya itu sudah sehat. Sudah bisa jalan kemana-mana.

Pak Dono diam di depan pagar. Ku perhatikan gerak-geriknya tampak tak tenang.

"Tenang, Pak. Penyakitnya Pak Rohim udah minggat ke laut," seruku sembari senyum. 

"Gak akan balik lagi," timpal Faqih, agak sinis.

Pak Dono salah tingkah mendengar kalimat-kalimat yang aku dan Faqih lemparkan ke arah dirinya. 

"Ada perlu apa, Pak?" Pak Rohim mulai bertanya.

"Mau nagih iuran warga, Pak," ujar Pak Dono.

"Sini, Pak. Duduk dulu," pinta Pak Rohim.

"Di sini aja, Pak. Saya lagi buru-buru."

"Oh. Qih, tolong ambilin duit." Pak Rohim menyuruh.

Faqih masuk ke dalam mengambil uang pecahan dua puluh lima ribu. Lalu, dia berikan kepada Pak Dono yang menunggu di luar pagar.

"Terima kasih. Saya permisi." Pak Dono dengan langkah terburu-buru pergi.

Faqih duduk lagi di tempatnya.

"Pak, mohon maaf, saya mau ingatkan bapak. Kapan-kapan kalo Pak Rohim di undang lagi ke pengajian buat do'ain orang sakit, ada baiknya niatnya di ubah dikit. Kek semisal dalam hati, "Ya Allah, niat saya membantu meringankan pasien, tapi lindungi saya juga Ya Allah dari perbuatan keji dan mungkar." Gitu, Pak," jelasku baik-baik.

"Emang kudu begitu, ya?" Pak Rohim mengerutkan dahi.

"Iya, Pak. Buat jaga-jaga." Faqih cepat membalas.

Pak Rohim termenung. Mungkin mencoba mencerna perkataanku tadi.

"Mikirin apa, sih, Pak?" tanya Faqih, ingin tahu.

"Kagak."

"Terus bapak paham gak sama penjelasan si Andra barusan?"

"Paham. Paham," respon Pak Rohim.

Tidak semua kyai maupun ustadz melakukan hal demikian, ya. 

**** 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Pengajian
Amelia Purnomo
Cerpen
Bronze
Iblis dan Tom Walker Washington Irving penerjemah : Ahmad muhaimin
Ahmad Muhaimin
Novel
Bronze
Perjanjian~Novel~
Herman Sim
Cerpen
Ada yang Aneh di Rumah Itu
Farchah Ba'dal Chazani
Flash
satan's care
Raja Alam Semesta
Cerpen
Bronze
Bayangan Hitam Di Jendela
Christian Shonda Benyamin
Novel
Gold
Fantasteen 22 Boards
Mizan Publishing
Novel
The Fifth Sense
Iqsal Anaqi Santosa
Novel
SUARA LANGKAH KAKI
Dewi Mandatary S
Cerpen
Bronze
Malam Terakhir Naya
Novita Ledo
Skrip Film
lius cek request
John Doe1
Cerpen
Bronze
Si Kancil Dikeloni Kunti
Andriyana
Novel
Gold
Fantasteen Ghost Dormitory in Hamburg
Mizan Publishing
Flash
MAHLUK ANEH
Reiga Sanskara
Cerpen
Bronze
Senandung Lukisan
Christian Shonda Benyamin
Rekomendasi
Cerpen
Pengajian
Amelia Purnomo
Cerpen
Cosplay Jadi Guling
Amelia Purnomo
Cerpen
Besuk
Amelia Purnomo
Cerpen
Dendam Barbie
Amelia Purnomo
Cerpen
Boneka Terkutuk
Amelia Purnomo
Cerpen
Langkah Sepatu Bot
Amelia Purnomo
Cerpen
Video Call
Amelia Purnomo
Cerpen
Mau Pulang
Amelia Purnomo
Cerpen
Bronze
Ulang Tahun
Amelia Purnomo
Cerpen
Numpang Ke Kamar Mandi
Amelia Purnomo
Cerpen
Bronze
Terror Anggia
Amelia Purnomo