Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kapankah seseorang menyadari kerinduan yang selama ini ia sangkal keberadaannya? Kerinduan milikku menyeruak begitu aku terbangun dari tidurku di tengah malam. Perasaan itu datang bersama sesak di dada yang mencengkeram. Aku akan mati.
***
Renta dan sakit. Rasanya aku tak bisa mati sekarang, ada yang harus kusembuhkan lukanya, rindunya. Ada rasa sakit yang harus kubayar dan kubawa pergi bersama kematianku.
Aku menginginkan sebuah kesempatan untuk menebus dosaku. Dosaku padanya. Cinta yang pasti datang dengan segala sakitnya, berupa kerinduan, rasa takut. Aku telah membiarkannya menyimpan sesuatu yang berharga nan begitu berat.
Ada suara tempias air di dekatku. Suaranya merdu begitu menampar kaca, ditambah hangat matahari pagi yang masuk dari jendela dengan gordennya yang dibuka lebar membuatku ingin mendengkur dan melanjutkan tidurku yang nyaman.
Tempias air? Siapa yang menyiram air dari luar jendela kamar rumah sakit di lantai empat?
Dan begitu kubuka mataku, kaget merambat hatiku sampai ke kepala. Aku tidak ada di rumah sakit. Seharusnya aku di sana karena tubuh tuaku yang makin sakit ditambah kecelakaan kemarin, tapi bagaimana bisa aku ada di rumah teman lamaku ini? Aku menoleh ke segala arah dan mengedipkan mata berkali-kali, barangkali aku hanya terlalu merindukannya dan jadi berkhayal.
Aku menegakkan kepalaku begitu suaranya yang lembut memanggil namaku. Dia muncul dari taman kecilnya yang kusadari masih secantik dahulu. Rambutnya lebih pendek dari yang kuingat. Namun, tetap cantik dengan wajah yang lebih dewasa dari waktu itu. Setitik keringat hendak jatuh dari pucuk hidungnya, menunjukkan matahari pagi ini hangat dan cukup menjemurnya.
Oh, apakah ini mimpi? Dia masih begitu manis dengan rambut pendeknya yang sering kali memantul di setiap langkahnya, yang selalu ia ambil terburu-buru.
Aku terlalu terpesona pada keindahan yang tak pudar sedikitpun setelah tiga puluh tahun, hingga aku tak begitu mendengar perkataannya tentang sesuatu seperti tidur nyenyak, bahkan aku tak sadar sudah berada di posisi yang lebih tinggi darinya dengan kedua tangannya berada di ketiakku. Tunggu, ketiakku?
Aku menggerak-gerakkan tubuhku ribut. Aku yakin aku masih lebih tinggi dan besar darinya, tapi bagaimana dia bisa menggendongku? Di ketiak pula.
“Duh. Iya iya. Maaf deh, sudah mengganggu waktu tidurmu. Setiap pagi, Kamu selalu saja tidur dan tidak menemaniku menyiram tanaman. Padahal aku merawatmu untuk menemaniku di rumah besar ini, dasar kucing pemalas,” ujarnya kesal. Kemudian dia membawaku ke halaman dan menaruhku di pangkuannya.
Kucing? Kucing?! Dia menyebutku kucing?! Dia memanggil aku yang tampan dan gagah ini sebagai makhluk berbulu menggelikan itu?! Hiihh. Tiba-tiba aku geli dengan diriku sendiri.
Namun, kesal itu hilang begitu saja, menjadi kejutan yang hening. Aku bisa melihat sepasang kaki kucing dengan rambut putihnya. Oke, bagaimana bisa tiba-tiba aku jadi kucing? Apakah ini hanya mimpi? Mimpi sebelum mati? Semacam kesempatan lain untuk melihat orang tercinta sebelum meninggalkannya? Entah kenapa aku yakin akan hal itu.
Aku mendongak menatap wajahnya yang tidak berkeriput sebagaimana aku. Oh, ya usianya yang lebih muda dariku, tentu saja, dia masih cukup muda. Gadis kecil pemalu waktu itu telah menjadi wanita percaya diri masih dengan tatapannya yang hangat.
Dahulu, gadis ini adalah gadis yang dengan malu-malu menyatakan perasaannya padaku yang akan segera pergi untuk pindah tempat bekerja, dan setelah itu kami tak pernah bertemu lagi. Aku ingat sekali saat aku hanya tersenyum padanya dan berterima kasih atas perasaan tulus yang ia berikan sepenuh hati, wajahnya memerah, matanya pun berair. Ia selalu menangis begitu ia merasa sangat malu.
Tiana, namanya. Namun, lidahku selalu terpeleset dan terus memanggilnya Tina. Mengingat semua itu berlalu tanpa terasa, membuatku terdiam.
Sejujurnya, aku sendiri menyimpan perasaan yang sama pada anak itu, tapi aku rasa aku tak begitu pantas untuknya, gadis manis yang tampak seperti peri suci. Bersih yang hanya akan menjadi kotor begitu bersamaku, seorang pembunuh bayaran yang kotor dan berdosa. Dahulu, aku sempat menikah dengan seorang rekan kerjaku di organisasi kriminal yang kami ikuti. Kami menikah dengan cinta sementara dan berpisah tanpa keberatan, kemudian aku kembali merindu anak ini. Dihantui perasaan yang entah sejak kapan telah menjadi abadi.
“Kira-kira di mana ya, Kak Teo sekarang?”
“Meong!” Aku di sini!
“Iya, aku tahu. Aku masih saja perempuan bodoh yang menunggu lelaki tidak pasti, aku tahu... Hah...”
“Meong.” Ya, Kau bodoh, Tina.
“Aku merindukanmu, Kak Teo. Jika Kamu tidak kembali, setidaknya bawa juga perasaan ini bersamamu.” Keningnya berkerut sedih. Padahal ini masih pagi, tapi ia malah bersedih. Kenapa kau masih menungguku, Tina? Tidakkah kamu menyadarinya sejak dahulu sekali?
Kali ini, matanya berair bukan karena malu.
Aku terdiam. Tampaknya aku sudah menyakiti gadis tercintaku. “Meong!” Baiklah.
Dia memelukku, mengusap punggung berambut putih ini.
***
Ia membawaku tidur bersamanya, di kasur putih polos dengan selimut bergambar animasi beruang madu kesukaannya. Ia berbicara banyak sebelum akhirnya tertidur. Mungkin bosan karena aku hanya bisa menanggapinya dengan mengeong.
Kami menghabiskan waktu seharian ini tanpa berpisah sedetik pun. Kami berjalan-jalan sebentar di sekitar rumahnya yang tampaknya diperluas. Dia bermain ayunan dengan aku di pangkuannya – entah bagaimana ia bisa melakukannya. Lalu dia memanggang kue, minum teh, bermain gitar, mengelus rambutku – kucing ini – tanpa percakapan apa-apa, seolah ia tahu akan ada yang pergi. Atau mungkin memang dia selalu seperti ini tapi aku hanya terlalu percaya diri.
"Kalau saja aku bisa bertemu dengannya sekali... lagi saja, aku ingin kembali mengatakannya, 'aku jatuh cinta padamu' begitu. Hihi," katanya sembari menatapku sebelum ia tertidur.
"Meong." Aku juga! Aku juga ingin mengatakannya padamu. Aku jatuh cinta padamu, Tina, dan aku ingin mencintaimu lebih lama lagi sebagaimana lamanya hidup dunia ini.
Aku ingin bersamamu lebih lama lagi, tapi aku paling tahu tentang bagaimana seseorang yang akan mati, dan aku tahu aku akan mati sebentar lagi. Aku ingin membawa perasaanmu bersamaku jika aku bisa, jika aku pantas. Aku ingin memelukmu, menggenggam tanganmu. Aku ingin mencintaimu sebagaimana Kau mencintaiku selama ini, aku ingin menjadi pantas untuk itu.
Mencintaimu dan merindumu adalah penebusan dosa atas semua sakit yang kuberikan. Atas perasaan yang membuatmu mengharapkan sesuatu yang sudah pasti patah dan patahan itu menyakitimu. Membuatmu berdarah diam-diam.
Aku mendekat pada wajahnya. Menyentuh hidungnya dengan hidungku. Berhentilah mencintaiku, merindukanku.
***
Tepat pukul empat, Tina terbangun dari tidurnya. Setetes air mata mengalir melewati pipinya. Ada kesedihan yang menggelayut dari lubuk hatinya. Ada yang hilang.
Kehilangan itu membuatnya merasa sedih juga lega di saat yang bersamaan. Ia lega karena tak perlu lagi mengemban perasaan yang diketahuinya tak berbalas ini, tapi ia sedih karena tak lagi memiliki seseorang untuk ia cintai, untuk ia rindui.
Tina memeluk kucingnya yang mengeong, seolah menanyakan alasannya menangis. “Kak Teo... Kak Teo pergi....” isak tangis Tina yang keras memenuhi sisa malam ini yang mulai berisik.
TAMAT