Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pendekar Cidurian
Air Suci dari Cidurian
Pagi-pagi benar, saat ayam kampung baru setengah niat berkokok dan tukang bubur belum buka lapak, Kang Wira sudah berdiri di pinggir Sungai Cidurian. Pakai kolor ijo tentara, kaus oblong kusam, dan sepatu boot bekas tambang yang kalau diinjak kayak bunyi tut-tut kereta mini di pasar malam.
Di tangan kanannya ada ember cat bekas yang udah dilukis tangan sendiri—gambarnya ikan mas lagi muntah. Di tangan kirinya ada botol kaca bekas sirup Marjan, isinya air sungai yang berwarna abu-abu kecokelatan. Kaya susu basi dicampur oli.
"Ini air berkah," katanya sambil mengangkat botol ke langit, kayak ritual. "Berwarna seperti masa depan. Suram tapi tetap mengalir."
Orang-orang lewat di jembatan beton atasnya cuma bisa geleng-geleng. Ada yang ketawa, ada yang ngelus dada, ada juga yang nyeletuk, "Istrinya ninggalin dia tuh gara-gara sungai, katanya dulu."
Kang Wira cuek. Buat dia, Sungai Cidurian bukan cuma aliran air. Itu mah kata orang awam. Buat dia, Cidurian itu ibu. Ibu yang sedang sekarat. Dan tugas anak yang baik adalah menjaga ibunya. Walau ibunya bau.
Dulu, waktu kecil, Kang Wira sering nyebur di Cidurian bareng temen-temen sekampung. Airnya jernih, ikannya banyak. Kalo berenang, mata melek pun nggak perih. Sekarang? Baru nyelupin jempol, udah gatal seminggu. Pernah ada anak kecil mandi di situ, langsung merah-merah sekujur badan. Disangka diguna-guna. Ternyata bukan. Tapi air sungai yang udah kaya kuah kimia.
Sungai ini, katanya, membelah Kabupaten Serang dan Tangerang. Tapi yang jelas dipotong bukan cuma peta, tapi juga nasib. Di...