Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan turun sejak pagi hari, membasahi atap Menara Senja yang megah sekaligus muram. Awan menggantung kelabu di atas kota, seolah menjadi simbol dari apa yang sedang terjadi dalam hati para penjaga waktu. Walau Arka telah ditangkap dan jaringan pengkhianat berhasil diputus, gelombang ketegangan belum benar-benar surut.
Galih duduk di ruang observasi temporal, menatap bola kristal di tengah meja yang berdenyut pelan memancarkan cahaya biru. Bola itu dikenal sebagai Hati Kronos—artefak kuno yang menjadi inti pemantauan garis waktu. Namun pagi ini, cahaya yang biasanya stabil dan menenangkan tampak bergetar, seolah menunjukkan retakan tak kasatmata.
“Apakah ini efek dari celah waktu yang dibuka Arka kemarin?” gumamnya.
Nara masuk membawa tumpukan kertas hasil analisis. “Ada sesuatu yang lebih besar, Galih,” ujarnya. “Celah itu tidak hanya retak di satu titik. Ada distorsi yang menyebar ke berbagai zaman. Kita kehilangan jejak stabil pada lima garis waktu alternatif.”
Galih berdiri dengan kaget. “Lima sekaligus?”
“Ya. Salah satunya bahkan menunjukkan kemungkinan terjadinya distorsi memori pada masa lalu. Orang-orang mulai lupa siapa mereka sebenarnya.”
Galih tahu ini berbahaya. Jika masa lalu bisa diubah sedemikian rupa hingga ingatan orang-orang ikut terdistorsi, maka sejarah bisa ditulis ulang oleh siapa pun yang memiliki kekuasaan atas waktu.
“Kita harus menutup celahnya sekarang,” kata Galih tegas.
Namun Mara, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Masalahnya, Galih… celah itu sudah berakar. Ini bukan lubang biasa. Ini retakan. Dan retakan itu muncul bukan hanya karena Arka. Ada sesuatu… atau seseorang… yang telah mengganggu stabilitas waktu jauh sebelum semua ini.”
Galih menarik napas panjang. “Jadi ada pihak ketiga?”
Nara mengangguk perlahan. “Dan kemungkinan mereka sudah tahu keberadaan Jejak Asal.”
Semua terdiam. Jejak Asal adalah titik awal dari semua garis waktu—sebuah momen yang menjadi poros dari seluruh struktur temporal. Dalam legenda penjaga waktu, jika Jejak Asal hancur atau diubah, maka seluruh realitas bisa runtuh dan membentuk dunia baru dengan hukum yang berbeda.
“Kita harus menemukan Jejak Asal lebih dulu daripada mereka,” kata Galih, sekarang dengan nada mendesak. “Kalau tidak, semua pengorbanan kita akan sia-sia.”
—
Hari itu, mereka memulai pencarian. Galih, Mara, dan Nara menyusup ke dalam Arkib Abadi, ruang terlarang yang hanya bisa diakses oleh pimpinan tertinggi ordo. Dengan menggunakan kunci waktu milik almarhum kakek Galih, mereka berhasil membuka gerbang menuju lorong yang menyimpan catatan garis waktu purba.
Lorong itu sepi dan dingin. Di dinding-dindingnya terpahat ribuan simbol kuno dan nama-nama yang pernah memegang peran penting dalam sejarah dunia. Mereka menelusuri jejak informasi hingga sampai di satu panel kristal besar yang memuat peta waktu purba.
“Ini dia,” kata Nara sambil menyorot titik berwarna merah menyala di tengah peta. “Titik inilah yang selama ini dijaga ketat oleh Ordo. Ini adalah lokasi Jejak Asal.”
Galih menatap peta itu dengan hati berdebar. “Ini… di wilayah Atlantika. Tapi wilayah itu sudah tenggelam sejak ribuan tahun lalu.”
Mara tersenyum tipis. “Bukan tenggelam, Galih. Disembunyikan.”
Mereka segera merancang perjalanan waktu ke masa saat wilayah Atlantika masih berdiri. Galih menyiapkan kapsul temporal yang mampu membawa mereka ke tahun 9570 SM, saat peradaban tertua di dunia baru saja memasuki fase keemasan.
—
Perjalanan waktu ke masa itu tidak mulus. Di tengah lorong temporal, mereka dikejutkan oleh guncangan keras. Kapsul bergetar hebat dan sistem navigasi kacau.
“Ada kekuatan dari luar yang mencoba mengalihkan kita!” seru Nara.
Galih berjuang mengendalikan tuas manual. “Pegang erat! Kita tidak akan keluar dari jalur!”
Dengan susah payah, mereka berhasil tiba di tepi sebuah daratan luas berwarna keemasan, dengan bangunan menjulang dari batu giok dan emas. Langit terlihat lebih cerah, dan udara penuh dengan energi yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
“Inilah Atlantika…” gumam Mara dengan takjub.
Namun tak butuh waktu lama, mereka sadar bahwa mereka tidak sendirian. Dari kejauhan, bayangan hitam bergerak—pasukan bertopeng hitam dengan lambang spiral terbalik di dada mereka.
“Ordo Abyss sudah sampai duluan,” kata Galih, menyiapkan senjata waktu di pinggangnya. “Dan mereka pasti sedang mencari Jejak Asal.”
Mereka menyelinap ke dalam kota kuno, mencoba berpacu dengan waktu untuk menemukan lokasi artefak. Petunjuk dari peta kuno membawa mereka ke sebuah kuil tersembunyi di bawah danau kristal.
Saat mereka masuk ke dalam ruangan utama kuil, mereka mendapati sebuah altar berbentuk jam pasir raksasa yang melayang di udara. Di dalam jam pasir itu berputar titik cahaya kecil yang terasa… hidup.
“Jejak Asal…” bisik Galih.
Namun sebelum mereka bisa menyentuhnya, sebuah ledakan terjadi di belakang. Pasukan Abyss berhasil mengikuti mereka. Di depan barisan musuh itu berdiri seorang wanita berambut putih dengan mata berwarna perak.
“Aku sudah menunggu kalian,” ucapnya dingin. “Jejak ini tidak akan kalian bawa.”
Galih melangkah maju, pelan tapi penuh keteguhan. “Siapa kau?”
Wanita itu tersenyum, dan dunia terasa runtuh saat ia menyebut namanya. “Namaku Seraphine. Aku adalah pelindung dunia yang baru… dunia yang akan kami bentuk setelah menghancurkan yang lama.”
Dan pertempuran pun dimulai—bukan hanya untuk mempertahankan waktu, tetapi untuk menentukan apa yang akan menjadi kenyataan.
Seraphine berdiri angkuh di hadapan mereka, tubuhnya tampak bersinar samar dalam cahaya jam pasir yang melayang di altar kuil kuno. Rambut putih peraknya berkilau seperti benang waktu, dan mata peraknya—dingin, dalam, dan penuh keyakinan—membuat Galih merasa seolah ia sedang ditatap oleh sosok yang telah hidup jauh melampaui masa.
“Aku telah menanti saat ini selama berabad-abad,” katanya tenang. “Jejak Asal bukan milik kalian. Dunia ini telah rusak sejak awal. Sudah waktunya dihapus dan dibentuk kembali.”
Galih berdiri di depan Mara dan Nara, menahan laju pasukan Abyss yang mulai menyebar mengitari mereka. Ia menggenggam kuat senjata waktu di pinggang, tapi ia tahu, ini bukan sekadar pertempuran fisik. Ini pertarungan keyakinan.
“Kalau kau pikir kehancuran adalah satu-satunya jalan untuk perubahan,” ujar Galih dengan suara keras, “maka kau bukan penyelamat. Kau tirani baru dengan wajah malaikat.”
Seraphine menyipitkan mata, lalu melambaikan tangannya ke udara. Saat itu juga, ruang waktu di sekeliling mereka mulai bergetar. Dinding kuil bergeser perlahan seperti tertarik oleh kekuatan gravitasi yang tak kasatmata. Jejak Asal, yang berada di dalam jam pasir, mulai berpendar semakin kuat, berdenyut seperti jantung yang terancam pecah.
“Galih, dia sedang mencoba mengaktifkan sinkronisasi balik!” seru Nara panik. “Kalau berhasil, semua waktu akan ter-reset ke nol!”
“Aku tahu!” Galih menggertakkan giginya, lalu melesat ke depan, menerobos pasukan Abyss. Senjata waktu di tangannya meledakkan gelombang denyar, membuyarkan ruang sejenak dan menghentikan waktu di radius sempit.
Mara dan Nara menyusul dari sisi kiri dan kanan, melemparkan granat temporal yang memperlambat gerak pasukan Abyss. Namun Seraphine tetap berdiri di tempat, tak tersentuh.
“Kalian takkan bisa menyentuhku,” ujarnya tenang, lalu menekuk jemarinya.
Galih tiba-tiba terlempar ke udara, seperti ditarik oleh gaya magnet yang tak terlihat. Tubuhnya menghantam pilar batu, membuat napasnya tercekat. Mara menjerit dan menembakkan senjata plasma waktu ke arah Seraphine, tapi sinar itu diredam oleh medan pelindung yang menyala di sekeliling wanita itu.
“Kau tak paham,” ucap Seraphine sambil melangkah perlahan ke arah jam pasir. “Jejak Asal bukan sekadar alat. Ini adalah kebenaran pertama. Dan aku—”
“Tapi kau tak berhak menentukannya sendirian!” teriak Nara, melemparkan belati waktu ke arah altar. Belati itu menancap tepat di dasar jam pasir, memicu gelombang resonansi yang membuat seluruh ruangan terguncang.
Seraphine menghentikan langkahnya. Matanya menatap tajam. “Kalian akan mati dalam waktu kalian sendiri.”
Ia mengangkat kedua tangannya, dan seketika, waktu di dalam ruangan mulai pecah seperti kaca—kilatan adegan masa lalu, masa kini, dan kemungkinan masa depan beterbangan di udara. Ruangan itu menjadi semacam pusaran visual dari segala kemungkinan realitas. Galih melihat sekilas bayangan dirinya mati di medan perang, melihat Mara berubah menjadi pengkhianat, dan Nara yang hilang dalam ruang hampa.
“Ini... ini manipulasi ilusi waktu!” desis Galih, mencoba memusatkan pikirannya.
Namun Mara mulai gemetar. “Aku... aku melihat ayahku… dia... dia masih hidup?”
“Jangan percaya apa pun yang kau lihat!” teriak Galih.
Galih memaksa pikirannya fokus, lalu menyalakan gelang waktu di lengannya—perangkat cadangan yang bisa menyinkronkan ulang persepsi temporal.
Dengan sekali ketukan, ia melepaskan gelombang penyeimbang yang membuat ilusi runtuh. Mara dan Nara terhuyung, kembali sadar.
“Fokus ke jam pasir!” seru Galih.
Mereka bertiga menyerbu maju, menghindari serangan waktu dari Seraphine yang terus memanipulasi bentuk dan arah ruangan. Dinding bergeser seperti teka-teki, lantai menghilang dan muncul lagi, langit-langit berubah menjadi medan perang.
Namun Galih terus bergerak. Ia tahu, satu-satunya cara menghentikan Seraphine adalah menjauhkan Jejak Asal darinya.
Dalam satu lompatan berani, Galih menghunus bilah waktu yang dibuat dari fragmen jam purba. Ia menancapkannya di antara garis retak pada jam pasir, memaksa aliran energi untuk berhenti.
“Tidak!” teriak Seraphine, melesat ke arahnya.
Terlambat.
Gelombang cahaya menyembur dari jam pasir, memukul semua yang ada di dalam ruangan. Ruang menjadi putih. Suara menghilang.
Galih terbangun di padang ilalang, langit kelabu bergulung di atasnya. Angin bertiup lembut. Ia mendengar suara air, dan samar—suara tawa.
Ia bangkit pelan, melihat Mara duduk di tepi sungai, tertawa bersama Nara. Tapi sesuatu terasa... aneh.
“Dimana kita?” tanya Galih.
Mara menoleh. “Aku pikir... kita selamat.”
Nara mengangguk. “Tapi waktu... tidak lagi seperti dulu. Kita ada di antara masa dan masa.”
Galih berdiri. Jauh di ujung langit, ia melihat Menara Senja berdiri, tapi warnanya memudar, seperti bayangan dari kenangan lama.
“Kita belum selesai,” katanya pelan. “Jejak Asal mungkin berhasil diselamatkan, tapi Seraphine… dia belum kalah.”
Dan benar saja, dari balik kabut, sebuah suara menggema.
“Waktu... selalu bisa diputar ulang.”
Galih memutar tubuhnya. Seraphine berdiri di kejauhan, terluka, tapi tersenyum.
“Ini baru permulaan,” katanya dingin.
Angin di padang ilalang membawa aroma logam dan sesuatu yang lebih tua dari waktu. Galih menatap Seraphine yang berdiri dalam kabut, rambut peraknya tertiup pelan, matanya bersinar dengan keyakinan fanatik yang tak goyah meski tubuhnya jelas terluka. Dunia di sekeliling mereka bukanlah masa lalu, kini, atau masa depan—ini adalah ruang sela, wilayah di antara waktu, di mana segala kemungkinan menggantung tanpa bentuk pasti.
“Bagaimana kau bisa tetap hidup?” tanya Galih. Suaranya tenang, tapi tubuhnya siaga. Mara dan Nara berdiri di belakangnya, menyusun ulang senjata waktu mereka dengan cepat.
Seraphine tersenyum. “Jejak Asal tidak bisa dihancurkan. Itu bukan objek… itu kesadaran. Dan aku telah menyatu dengannya.”
Mara mencengkeram lengan Galih. “Kalau benar dia bersatu dengan Jejak Asal, maka dia bisa mengakses semua probabilitas garis waktu. Bahkan yang belum pernah terjadi.”
Nara menambahkan, “Kita mungkin tidak lagi melawan manusia. Kita melawan kehendak waktu itu sendiri—yang kini memiliki tubuh dan pikiran.”
Galih menatap tanah. “Berarti kita harus menemukan titik tetap. Satu kebenaran yang tak bisa diubah oleh kemungkinan. Sesuatu yang menjadi jangkar bagi realitas.”
Seraphine mengangkat tangannya. Seketika, langit terbelah seperti kaca pecah, dan dari celahnya turun kilatan gambar-gambar masa lalu: perang besar, bayi yang lahir dan kemudian hilang, kota yang runtuh sebelum sempat dibangun, dan sosok Galih—tapi bukan dia yang sekarang. Sosok itu mengenakan jubah panjang keemasan dan membawa stempel waktu di tangannya.
“Itu aku?” gumam Galih bingung.
“Versimu… dalam kemungkinan di mana kau tidak pernah meninggalkan Ordo,” jawab Seraphine sambil berjalan mendekat. “Dalam garis waktu itu, kau menjadi Kepala Penjaga. Dan kau yang menegakkan keseimbangan.”
Galih mematung. Wajahnya yang lain terlihat tegas, bahkan kejam. Pandangan mata yang dingin, tanpa empati.
“Aku pernah melihatnya dalam mimpi,” katanya pelan. “Tapi… aku takut. Takut menjadi seseorang yang kehilangan hatinya demi menjaga waktu.”
Seraphine kini berdiri hanya beberapa langkah di depannya. “Itu sebabnya aku membawamu ke sini. Untuk memilih. Dunia akan selalu berubah, Galih. Tapi waktu butuh penjaga. Yang kuat. Yang tak terikat oleh moral fana.”
Mara melangkah maju. “Dan siapa kau untuk memutuskan itu? Kau menyatu dengan kekuatan yang bukan milik siapa pun. Kau menciptakan tirani baru.”
Seraphine menatap Mara, lalu Nara, lalu kembali ke Galih. “Mereka memanipulasimu. Mereka takut akan apa yang bisa kau jadi. Tapi aku… aku melihat potensimu yang sesungguhnya. Bersama, kita bisa membangun dunia baru. Tanpa batasan. Tanpa waktu.”
Galih menutup matanya sejenak. Dalam kegelapan, ia melihat semua kemungkinan—hidup sebagai penguasa, sebagai pengkhianat, sebagai korban, bahkan sebagai seseorang yang lenyap tanpa nama dalam sejarah. Tapi ada satu garis waktu yang selalu kembali padanya: saat pertama kali ia memutuskan untuk melindungi orang lain, bukan karena perintah, tapi karena hatinya.
Ia membuka mata. “Kalau aku harus memilih… maka aku pilih yang membuatku tetap manusia.”
Seraphine tidak bereaksi. Tapi matanya—untuk sesaat—menunjukkan kilatan kekecewaan. “Sayang sekali.”
Ia menjentikkan jari.
Dunia di sekeliling mereka runtuh seperti pasir. Tanah retak, langit menjadi lautan api, dan tubuh mereka semua mulai terurai menjadi garis-garis cahaya. Mara berteriak. Nara mencoba mengaktifkan pelindung waktu, tapi terlalu lambat.
Namun tepat saat kehancuran mencapai puncaknya, gelang waktu Galih menyala sendiri. Cahaya biru yang sangat kuat menyembur keluar, menciptakan gelembung pelindung di sekitar mereka bertiga. Di tengah kekacauan itu, sebuah suara terdengar—halus, nyaris seperti bisikan angin.
"Engkau memilih... dan waktu mendengarkan."
Galih merasakan sesuatu merasuk ke dalam dirinya, bukan seperti kekuatan, melainkan pemahaman. Ia mengerti sekarang: Jejak Asal bukan untuk dimiliki, bukan pula untuk dihancurkan. Ia harus diakui, diterima, dan dijaga dengan kesadaran bahwa setiap kemungkinan adalah cermin dari jiwa mereka sendiri.
Gelembung waktu memunculkan sebuah pintu—tinggi, terbuat dari cahaya, berdetak seperti detak jantung. Tanpa ragu, Galih memimpin Mara dan Nara masuk ke dalamnya.
—
Mereka tiba di ruang baru. Ruang itu seperti tidak berujung—cermin-mirip-air melapisi dinding, langit-langit, dan lantai. Di setiap cermin, tergambar realitas berbeda: beberapa penuh cahaya, yang lain gelap gulita.
“Satu dari semua ini adalah kebenaran utama,” kata Nara pelan. “Yang bisa menjadi jangkar waktu.”
Mara berjalan mendekati salah satu cermin dan melihat dirinya—tua, bijak, dikelilingi anak-anak kecil yang belajar tentang sejarah. “Ini… masa depan di mana aku menjadi guru,” bisiknya.
Galih melihat satu cermin. Ia melihat dirinya sendiri duduk di bangku taman, membaca buku, wajahnya damai. “Aku berhenti jadi penjaga waktu… hidup sebagai orang biasa.”
Seraphine muncul kembali, tapi kali ini ia tidak menyerang. Ia menatap mereka dengan tenang, berdiri di depan cermin paling tengah—yang tidak memantulkan apa-apa.
“Inilah cermin yang belum ditentukan. Masa depan yang belum ditulis. Jika kalian ingin melindungi waktu… kalian harus menuliskan realitas ini dengan pilihan kalian sendiri.”
Galih melangkah maju. Ia menyentuh permukaan cermin kosong. Dalam sekejap, ia merasakan semua garis waktu menyatu dalam pikirannya. Ia bisa melihat, merasakan, bahkan mencicipi kehidupan lain yang bisa terjadi—namun ia tetap memilih satu hal.
“Aku akan menulis masa depan… tempat waktu tidak dikendalikan… tetapi dihormati.”
Dengan kata-kata itu, cermin menyala. Gelombang cahaya memenuhi ruang, dan perlahan… semuanya kembali.
—
Galih terbangun di ruang observasi Menara Senja. Di sekelilingnya, semua normal. Tidak ada retakan waktu. Tidak ada kabut. Tidak ada Seraphine.
Tapi ia tahu, semuanya nyata.
Mara duduk tak jauh darinya, membaca dokumen. Nara sedang menyesuaikan panel kristal. Mereka semua kembali—tapi dunia telah sedikit berubah.
Galih berjalan ke balkon menara dan memandang kota yang terus bergerak di bawahnya. Jam besar berdentang—waktu terus berjalan.
Tapi kali ini, untuk pertama kalinya, Galih tak merasa dikejar.
Ia tahu, bagian terakhir akan segera datang. Namun bukan dalam bentuk perang, melainkan dalam bentuk keputusan terakhir.
Suara lonceng besar di Menara Senja berdentang delapan kali saat matahari terbenam dengan warna jingga yang seolah menyulam langit. Galih berdiri di balkon atas menara, jubah Penjaga Waktu tergantung di bahunya, tapi kali ini tanpa simbol kekuasaan. Hanya kain polos berwarna kelabu, tanda bahwa dia kembali menjadi pelindung, bukan penguasa.
Sejak pertemuan terakhir dengan Seraphine di Ruang Cermin Waktu, dunia perlahan menata dirinya kembali. Distorsi dan keretakan ruang-waktu yang sebelumnya tak terkendali mulai mereda. Beberapa bagian sejarah tetap berubah, tetapi kini stabil. Jejak Asal tidak lagi tampak sebagai alat—melainkan sebagai entitas diam yang hanya berbicara pada mereka yang benar-benar mau mendengar.
Mara dan Nara bergabung dengannya, membawa laporan terakhir dari Dewan Temporal.
“Mereka menyetujui pembentukan jalur waktu netral,” ujar Nara sambil menyerahkan tablet holografik. “Tak ada pihak yang diizinkan memanipulasi sejarah untuk kepentingan kekuasaan. Termasuk Ordo maupun fraksi masa depan.”
“Untuk pertama kalinya, masa depan bebas,” tambah Mara. “Bukan ditulis oleh kekuatan, tapi oleh kesadaran kolektif.”
Galih mengangguk pelan. Tapi hatinya belum tenang sepenuhnya.
“Seraphine,” katanya lirih. “Masih ada kemungkinan dia muncul kembali, bukan?”
Mara menatap cakrawala. “Dia tidak hancur. Hanya... terpecah. Saat cermin waktu mengembalikan garis utama, serpihannya terurai ke berbagai cabang kemungkinan. Dia bukan lagi satu sosok. Tapi ide. Dan ide tak bisa dibunuh.”
“Kita tidak bisa mengawasi semua garis waktu,” gumam Nara. “Tapi kita bisa menjaga jangkar dunia. Itu sudah cukup.”
Galih terdiam. Kata-kata Nara seperti gema dari masa lalu. Ia teringat percakapan dengan Ayahnya—seorang penjaga waktu yang mati muda karena pengkhianatan Ordo. “Tugas kita bukan menghentikan masa depan. Tapi menjaganya tetap terbuka untuk semua pilihan.”
Ia menghela napas dan berkata, “Kalau begitu, tugasku belum selesai.”
Tiga hari kemudian, Galih berdiri di ruang utama Menara Senja, tempat di mana waktu paling murni mengalir. Di hadapannya, berdiri anak-anak muda dari berbagai latar belakang. Mereka adalah calon Penjaga Baru—generasi yang lahir tanpa beban sejarah, tapi dengan rasa ingin tahu yang tulus.
“Kalian tak di sini untuk menjadi dewa,” ujar Galih dalam pidato pengukuhannya. “Waktu bukan alat. Bukan senjata. Dan bukan hadiah. Ia adalah jalinan dari segala cerita yang pernah dan belum terjadi. Kalian adalah pelindung jalinan itu.”
Salah satu calon, seorang gadis kecil bernama Lyra, mengangkat tangan. “Bagaimana kalau kami gagal, Kak Galih? Bagaimana kalau kami justru mengacaukan waktu?”
Galih tersenyum. “Kalau itu terjadi, kalian akan memperbaikinya. Dengan hati. Dengan keberanian. Dan dengan kesadaran bahwa kalian tidak sendiri. Penjaga Waktu tidak pernah sendirian.”
Seketika, Mara dan Nara masuk dari pintu belakang, membawa dua benda berkilau: stempel waktu dan bilah kebenaran, dua artefak kuno yang sebelumnya disimpan oleh Ordo dan digunakan untuk memanipulasi sejarah.
Galih menerima keduanya, lalu memandang anak-anak itu. “Hari ini, kita kembalikan benda-benda ini ke tempatnya. Bukan sebagai senjata. Tapi sebagai pengingat.”
Ia memimpin mereka naik ke puncak menara, ke ruang rahasia yang hanya bisa diakses oleh mereka yang pernah terhubung langsung dengan Jejak Asal.
Di sana, di bawah kubah kristal yang menampilkan aurora waktu, Galih menempatkan artefak-artefak itu di atas altar batu. Lalu ia berbalik, menghadapi generasi baru Penjaga.
“Selanjutnya adalah kalian.”
Lyra melangkah ke depan, lalu mengangkat stempel waktu. Tapi ketika menyentuhnya, tidak terjadi apa-apa. Tak ada cahaya. Tak ada getaran. Hanya keheningan.
“Kenapa tidak bereaksi?” tanya Lyra bingung.
“Karena waktu sudah bebas,” jawab Nara. “Kekuatan itu kini hanya akan muncul jika dibutuhkan. Dan mungkin… itu tanda bahwa kalian belum membutuhkannya sekarang.”
Malam itu, Galih berjalan sendirian di halaman bawah Menara. Angin malam lembut menyapu wajahnya. Ia berhenti di bawah pohon tua, tempat di mana dulu ia pertama kali menemukan serpihan jam waktu saat masih menjadi murid.
Ia duduk, memandangi langit. Di antara bintang-bintang, ia bisa merasakan garis waktu—tak lagi sebagai beban, tapi sebagai nyanyian yang hidup.
“Apakah semua ini akan bertahan?” tanyanya dalam hati.
Suara langkah pelan terdengar. Mara duduk di sampingnya, membawa dua cangkir teh hangat.
“Tak ada yang bertahan selamanya,” ujarnya tenang. “Tapi itulah indahnya waktu. Ia terus berubah. Dan kita belajar untuk ikut tumbuh bersamanya.”
Galih mengangguk. Mereka duduk dalam diam. Tak perlu banyak kata.
Dan jauh di tempat yang tidak bisa dijangkau siapa pun—di antara percabangan waktu yang rumit—seberkas cahaya bergerak. Serpihan Seraphine, kini hanya berupa bisikan, menyatu dengan garis-garis realitas baru.
Ia bukan lagi musuh, bukan lagi ancaman, tapi bagian dari sejarah yang telah selesai ditulis.
Dan di pusat segala kemungkinan, satu nama tetap berdiri:
Galih — Penjaga Terakhir.
SELESAI