Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Fajar baru saja menyapa kota metropolis itu dengan semburat jingga di balik gedung-gedung pencakar langitnya. Di sebuah gang sempit yang terlupakan di kawasan industri, seorang pemuda berambut acak-acakan tengah duduk di atas tumpukan kardus lusuh, matanya terpaku pada sebuah benda kecil yang bersinar redup di telapak tangannya.
Alat itu, sebesar kotak korek api, tampak sederhana tapi memancarkan aura misterius yang membuat siapa pun yang memandangnya penasaran. Dia menggosok-gosok alat itu dengan jari-jari gemetar, mencoba mengingat bagaimana cara mengoperasikannya.
Namanya Galih. Pemuda berusia 24 tahun ini hidup di batas antara terang dan gelap, antara harapan dan keputusasaan. Setelah dipecat dari pekerjaannya di sebuah bengkel mesin, Galih menemukan alat ini secara tak sengaja di pasar barang antik yang penuh dengan pedagang aneh dan cerita-cerita usang.
“Alat ini… aku rasa bukan barang biasa,” gumam Galih pelan. Ia memutar alat itu ke sana kemari, memperhatikan tombol kecil yang tersembunyi di sisi bawah.
Tiba-tiba, sebuah dentingan halus terdengar, dan layar mini yang tersembunyi menyala dengan angka yang terus berputar mundur — detik demi detik.
Galih menelan ludah. Apa yang baru saja dia sentuh?
Tangan kanannya spontan menekan tombol itu, dan seketika, dunia di sekelilingnya terasa melambat. Orang-orang yang lewat di gang terlihat bergerak seperti gerakan lambat di film. Seekor kucing yang biasa melintas dengan cepat sekarang melayang-layang seolah-olah dunia berhenti berputar.
Galih membeku, matanya membesar. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan jantung yang berdetak kencang. Alat kecil di tangannya itu, entah bagaimana, mampu memperlambat waktu.
Namun, rasa penasaran segera berubah menjadi ketakutan saat dia menyadari bahwa alat itu juga menghisap sesuatu dari dirinya—seperti energi hidup yang lambat menghilang.
“Berapa lama aku bisa bertahan kalau terus menggunakan ini?” pikirnya cemas.
Hari-hari berikutnya menjadi serangkaian percobaan dan kegelisahan. Galih terus mencoba alat itu dengan hati-hati, mulai dari memperlambat waktu saat ia berhadapan dengan kemacetan jalan raya, hingga menghentikan detik saat ia merasa waktu terlalu cepat berlalu.
Tapi setiap kali alat itu aktif, tubuhnya semakin lemah. Ia merasa seperti kehilangan sesuatu yang tak bisa dijelaskan, sesuatu yang berhubungan dengan hidupnya sendiri.
Di suatu malam, saat Galih duduk di bangku taman sambil memandangi alat itu, tiba-tiba sebuah suara asing memecah keheningan.
“Kau tahu apa yang kau pegang?” suara itu datang dari bayangan gelap yang berdiri di belakangnya.
Galih terkejut dan berdiri cepat, berbalik menghadap sosok itu. Seorang pria tinggi dengan jaket kulit hitam, mata tajam seperti mengintimidasi.
“Apa maksudmu?” tanya Galih dengan suara gemetar.
Pria itu melangkah maju dan duduk di bangku sebelahnya. “Alat itu adalah kunci dari sesuatu yang lebih besar. Organisasi yang mengawasi waktu… mereka mencari siapa pun yang memiliki itu.”
Galih menelan ludah, merasa darahnya berdesir. “Organisasi? Maksudmu ada orang lain yang mengatur waktu?”
Pria itu mengangguk pelan. “Ya. Dan mereka tidak akan membiarkan alat itu jatuh ke tangan yang salah. Kau harus hati-hati, Galih.”
Sejak malam itu, hidup Galih berubah drastis. Ia tahu bahwa alat yang dia pegang bukan hanya benda misterius yang bisa memperlambat waktu, tapi juga sumber bahaya yang mengintai setiap langkahnya.
Organisasi itu mulai mengirim orang-orang bayangan untuk memburunya, dan Galih harus berlari di antara detik yang hilang, berusaha memahami kekuatan alat itu dan melindungi dirinya dari ancaman yang semakin dekat.
Namun, di balik semua itu, ada satu pertanyaan yang terus menghantui pikirannya:
Apa sebenarnya harga dari mencuri waktu?
Sejak pertemuan malam itu, hidup Galih berubah seperti terperangkap dalam pusaran waktu yang kacau. Setiap detik yang berlalu membawa ketegangan baru, dan suara langkah yang tidak pernah dia dengar sebelumnya mulai mengikuti di belakangnya.
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya meninggi ketika Galih sudah berdiri di depan cermin kecil di kamar kosannya yang sempit. Tangannya menggenggam alat kecil itu dengan erat, seolah-olah itu satu-satunya jangkar yang bisa membuatnya tetap waras di tengah kegilaan yang menyergap.
“Aku harus tahu lebih banyak,” bisiknya pelan pada diri sendiri.
Setelah malam penuh kekhawatiran, Galih sadar bahwa hanya dengan memahami alat itu dan organisasi yang mengincarnya, dia bisa berharap bertahan.
Dia merogoh kantong jaket dan mengeluarkan sebuah buku catatan usang yang selama ini dia bawa diam-diam. Buku itu bukan catatan biasa—di halaman depannya tertulis dengan tinta pudar sebuah kalimat dalam bahasa yang tak dia mengerti, namun beberapa halaman berikutnya berisi catatan tentang waktu, dimensi, dan kekuatan-kekuatan yang melampaui pemahaman manusia biasa.
Beberapa minggu lalu, ketika membeli alat itu di pasar barang antik, penjual misterius yang mengenakan jubah gelap sempat berbisik, “Jangan salah gunakan, atau kau akan kehilangan lebih dari sekadar waktu.”
Galih menggelengkan kepala, mencoba mengabaikan peringatan itu. Tapi kini, peringatan itu terasa seperti bayangan yang terus membayanginya.
Pikirannya melayang ke pertemuan dengan pria berjaket kulit hitam—yang kini selalu muncul dalam mimpinya. Ia tidak tahu siapa pria itu, tapi suaranya dan tatapan matanya sudah membekas dalam ingatan Galih.
Tiba-tiba ponsel berdering. Galih cepat mengangkatnya.
“Halo?”
Suara perempuan lembut namun tegas terdengar, “Galih, ini Nara. Aku tahu kau sedang dalam masalah. Aku punya informasi yang bisa membantumu, tapi kita harus bertemu segera.”
Galih menelan ludah. Nama itu tak asing baginya. Nara adalah seorang jurnalis yang terkenal dengan investigasi terhadap organisasi rahasia dan konspirasi pemerintah.
“Di mana kita bertemu?” tanya Galih.
“Di kafe tua di ujung Jalan Merdeka. Dua jam lagi. Jangan bilang siapa-siapa,” kata Nara sebelum menutup telepon.
Galih memandang alat di tangannya. Dua jam terasa begitu lama, tapi ini kesempatan satu-satunya untuk mencari jawaban.
Dengan tergesa, ia memasukkan alat itu ke dalam saku jaket dan bergegas keluar.
Kafe tua di Jalan Merdeka memang tidak banyak berubah selama puluhan tahun. Lampu redup, aroma kopi yang khas, dan suara piano yang lembut menyelimuti ruangan. Di sudut, seorang wanita berambut pendek dengan kacamata bundar duduk menunggu, sesekali menatap ke pintu masuk.
Galih berjalan mendekat, jantungnya berdetak cepat. “Nara?”
Wanita itu tersenyum kecil. “Kau datang tepat waktu. Itu bagus.”
Mereka duduk berhadapan. Nara menatap serius ke arah Galih. “Aku sudah tahu tentang alat itu. Dan tentang organisasi yang mengejarmu.”
Galih mengernyit. “Kalau kau tahu, kenapa kau tidak mencegah ini dari awal?”
Nara menarik napas panjang. “Karena mereka terlalu kuat, dan rahasia mereka dijaga ketat. Bahkan aku harus menyamar untuk mendapatkan informasi ini.”
Dia mengeluarkan sebuah flashdisk dan meletakkannya di atas meja. “Ini adalah data yang aku kumpulkan tentang organisasi itu. Mereka bernama ‘Chronos’—penguasa waktu bayangan yang mengendalikan aliran waktu demi keuntungan mereka sendiri.”
Galih menatap flashdisk itu dengan penuh rasa ingin tahu sekaligus takut. “Jadi aku tidak sendirian?”
Nara mengangguk. “Tidak. Ada beberapa orang lain yang tahu tentang Chronos dan berusaha melawan. Tapi mereka tersebar dan terancam punah.”
Suasana menjadi sunyi. Galih membuka flashdisk dengan laptop tua yang dibawa Nara. Data yang muncul adalah catatan, foto-foto rahasia, dan diagram rumit yang menjelaskan bagaimana Chronos memanipulasi waktu dengan teknologi dan ilmu hitam.
Salah satu dokumen menampilkan foto seseorang—seorang pria paruh baya dengan tatapan dingin. “Ini adalah pemimpin mereka, Arka. Dia yang mengawasi semua operasi pencurian waktu.”
Galih merasa bulu kuduknya berdiri. “Kalau mereka tahu aku punya alat ini, aku dalam bahaya besar.”
Nara mengangguk. “Itulah mengapa kau harus berhati-hati. Mereka bisa datang kapan saja.”
Tiba-tiba, suara pintu kafe terbuka dengan keras. Seorang pria bertubuh kekar masuk, matanya menyapu ruangan dengan tajam. Galih dan Nara langsung saling berpandangan.
“Sudah waktunya,” bisik Nara. “Kita harus pergi.”
Mereka bergegas keluar melalui pintu belakang kafe, menembus keramaian jalan yang mulai siang. Galih merasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat. Organisasi itu sudah dekat.
Dalam pelarian, Galih bertanya, “Apa yang harus aku lakukan sekarang?”
Nara menggenggam tangan Galih. “Kita harus mencari ‘Penjaga Waktu’—mereka yang menjaga keseimbangan waktu dan bisa membantumu mengendalikan alat itu.”
“Penjaga Waktu? Apa itu nyata?” tanya Galih ragu.
Nara tersenyum tipis. “Banyak hal yang tidak bisa dijelaskan oleh akal sehat, tapi aku yakin kau akan menemukan jawaban di sana.”
Perjalanan mereka baru saja dimulai. Di balik bayangan waktu yang terus bergerak, ancaman Chronos semakin membayangi. Galih harus mempersiapkan diri menghadapi pertarungan bukan hanya untuk hidupnya, tapi untuk nasib waktu itu sendiri.
Galih dan Nara meninggalkan kafe dengan perasaan campur aduk antara cemas dan harapan. Jalanan kota yang biasanya terasa ramai kini bagai medan perang tersembunyi di mana setiap bayangan bisa menjadi ancaman. Mereka tahu Chronos tidak akan menunggu lama untuk mengambil kembali alat yang kini berada di tangan Galih.
“Di mana kita mulai mencari Penjaga Waktu?” tanya Galih saat mereka berjalan menyusuri gang-gang sempit di sisi kota.
Nara menatap ke arah langit yang mulai mendung. “Menurut informasi yang aku kumpulkan, mereka tersembunyi di sebuah tempat bernama ‘Menara Senja’, sebuah gedung tua yang sudah lama ditinggalkan di pinggiran kota. Tempat itu dulu menjadi markas rahasia kelompok yang menjaga keseimbangan waktu.”
Galih mengerutkan dahi. “Kenapa aku tidak pernah dengar tentang tempat itu?”
Nara menghela napas. “Karena semua yang berhubungan dengan waktu selalu diselimuti rahasia dan mitos. Hanya sedikit orang yang tahu keberadaan Menara Senja, apalagi yang berani masuk ke sana.”
Langkah mereka semakin cepat, namun hati-hati. Galih menyadari betapa alat kecil di sakunya kini menjadi beban sekaligus harapan. Ia merasa seperti buronan dalam permainan besar yang tak sepenuhnya dia mengerti.
Malam mulai merayap ketika mereka tiba di pinggiran kota, di mana sebuah bangunan tinggi dan suram berdiri di antara reruntuhan. Menara Senja. Pintu-pintu besi berkarat dan jendela-jendela yang pecah memberi kesan menakutkan, tapi juga memancarkan daya tarik misterius.
“Ini tempatnya,” ujar Nara dengan suara pelan.
Galih menarik napas dalam-dalam dan melangkah masuk. Suara langkah mereka bergema di lorong-lorong gelap. Bau debu dan kelembapan menyelimuti udara, membawa kenangan masa lalu yang terlupakan.
Setelah menyusuri beberapa koridor, mereka sampai di sebuah ruangan yang terlihat seperti ruang kontrol. Di tengah ruangan, sebuah meja kayu penuh dengan peta, jam-jam antik, dan alat-alat mekanik rumit.
Tiba-tiba sebuah suara lembut memecah keheningan. “Kalian pasti Galih dan Nara.”
Dari bayangan muncul sosok seorang wanita tua dengan mata tajam namun penuh kebijaksanaan. “Aku Mara, salah satu Penjaga Waktu.”
Galih dan Nara saling berpandangan, merasa lega sekaligus waspada. Mara melanjutkan, “Kalian datang di waktu yang tepat, tapi juga berbahaya. Chronos semakin dekat dan semakin berani.”
Mara menjelaskan bahwa Penjaga Waktu adalah sekelompok orang yang memiliki kemampuan untuk menjaga dan mengatur aliran waktu agar tidak kacau. Mereka tidak menggunakan teknologi seperti Chronos, tapi kekuatan alami dan pengetahuan kuno.
“Alat yang kau pegang, Galih, adalah kombinasi teknologi dan energi waktu yang sangat berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah,” ujar Mara serius.
Galih bertanya, “Bagaimana aku bisa mengendalikan alat ini tanpa merusak diriku sendiri?”
Mara mengangguk, “Itulah alasan kau harus belajar dari kami. Tapi prosesnya tidak mudah dan penuh risiko.”
Selama berminggu-minggu, Galih berlatih di bawah bimbingan Mara dan beberapa Penjaga Waktu lain. Ia belajar memahami ritme waktu, cara mengalihkan energi alat tanpa harus kehilangan bagian dari dirinya, dan pentingnya menjaga keseimbangan antara waktu yang dipinjam dan waktu yang harus dikembalikan.
Namun, latihan itu juga membawa tekanan besar. Setiap kali Galih menggunakan alat itu, rasa lemah dan kehilangan energi semakin terasa. Kadang ia bertanya-tanya apakah ia bisa bertahan sampai akhir.
Di luar Menara Senja, ancaman Chronos semakin nyata. Seorang agen dari organisasi itu berhasil melacak mereka dan menyerang dengan teknologi canggih yang mampu membekukan waktu di area terbatas.
Pertarungan sengit pun terjadi di lorong gelap Menara Senja. Galih yang masih belajar harus menggunakan segala kemampuannya untuk menghindar dan melawan. Dengan bantuan Nara dan Mara, mereka berhasil menggagalkan serangan itu, tapi itu hanya awal dari pertempuran panjang.
Setelah pertarungan, Galih duduk terengah di ruang latihan. Mara mendekat dan berkata, “Kau sudah menunjukkan keberanian, tapi ingat, kekuatan terbesar adalah kendali atas dirimu sendiri, bukan hanya alat itu.”
Galih menatap alat di tangannya dengan penuh tekad. “Aku harus terus berjuang. Bukan hanya untuk diriku, tapi untuk semua yang bergantung pada waktu ini.”
Mara tersenyum tipis, “Bagus. Karena Chronos tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan.”
Di luar, bayangan-bayangan gelap bergerak cepat di antara reruntuhan kota, membawa kabar buruk tentang perang waktu yang akan datang.
Suara gemuruh hujan turun membasahi kota ketika Galih berdiri di puncak Menara Senja. Kilatan petir sesekali menerangi langit kelabu yang mengancam, seolah mengiringi kegelisahan dalam dadanya. Hari-hari yang berlalu terasa semakin berat, beban tanggung jawab yang dipikulnya terus bertambah, dan bayang-bayang Chronos semakin nyata menghantui setiap langkahnya.
Di ruang latihan, Mara sibuk mengawasi perkembangan Galih. Perjuangan mengendalikan alat pencuri waktu semakin menuntut fokus dan energi yang luar biasa. Setiap kali Galih menggunakan alat itu, ia merasakan tarikan kuat yang menggerogoti tubuh dan jiwanya.
“Ini bukan sekadar permainan,” kata Mara dengan suara tegas. “Kau harus bisa mengendalikan waktu, tapi jangan sampai waktu mengendalikanmu.”
Galih mengangguk pelan, menatap alat yang dipegangnya. Satu detik yang salah, dan konsekuensinya bisa fatal — bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk keseimbangan waktu seluruh dunia.
Malam itu, Nara datang membawa kabar buruk. “Mereka semakin dekat,” katanya sambil menarik napas dalam. “Chronos telah mengirim tim elit mereka untuk menyerang Menara Senja.”
Galih menatap wajah Nara penuh kekhawatiran. “Apa yang harus kita lakukan?”
Nara menepuk bahunya dengan penuh semangat. “Kita bertahan dan melawan. Ini bukan hanya tentang alatmu, tapi tentang masa depan waktu itu sendiri.”
Persiapan perang bayangan pun dimulai. Para Penjaga Waktu bersiap mengamankan Menara Senja, mengatur siasat dan pertahanan terbaik yang mereka miliki. Galih berlatih keras untuk memperkuat kontrol atas alat itu, berusaha menekan efek samping yang selalu menyerang setiap kali ia mengaktifkan kekuatannya.
Di ruang rahasia bawah tanah Menara, Mara mengeluarkan peta digital yang menampilkan pergerakan pasukan Chronos di seluruh kota. “Mereka menguasai teknologi canggih yang mampu membekukan waktu di area tertentu,” jelas Mara. “Kita harus pandai mengatur strategi agar tidak terjebak.”
Galih mengangguk, merasakan ketegangan meningkat. Ia sadar, perang ini bukan hanya soal kekuatan fisik, tapi juga kecerdasan dan ketahanan mental.
Beberapa jam kemudian, serangan pertama datang. Bayangan hitam bergerak cepat menyusup ke dalam Menara Senja. Pasukan Chronos menggunakan alat yang memancarkan gelombang waktu, membuat pergerakan para Penjaga melambat dan kesulitan bertahan.
Galih merasakan getaran aneh saat alat kecil di tangannya mulai berdenyut. Ini saatnya — ia harus menggunakan kemampuannya untuk memperlambat waktu di sekitar musuh agar bisa memberikan kesempatan kepada Penjaga lainnya melawan.
Dengan napas terengah, Galih menekan tombol di alat itu. Dunia di sekitarnya melambat. Setiap gerakan musuh terasa seperti dalam film lambat, memberi kesempatan baginya dan rekan-rekannya untuk melawan balik.
Namun, efek sampingnya langsung terasa. Tubuhnya seakan terbakar dari dalam, dan energi hidupnya terkuras dengan cepat. Galih menggigit bibir, berusaha menahan rasa sakit.
“Sabar, Galih!” teriak Mara dari kejauhan. “Kendalikan energi itu, jangan sampai kau kehilangan dirimu!”
Dengan segala upaya, Galih belajar mengatur napas dan fokus, menstabilkan aliran energi dalam tubuhnya. Ia mampu memperpanjang waktu perlambatan hingga beberapa menit, cukup untuk membuat musuh mundur.
Pertempuran itu sengit dan melelahkan. Namun, keberanian dan kerja sama para Penjaga membuat mereka mampu mempertahankan Menara Senja dari serangan pertama Chronos.
Setelah pertempuran, suasana di Menara menjadi sunyi dan penuh waspada. Galih duduk di ruang latihan, tubuhnya lemah tapi matanya penuh tekad. Mara mendekat, duduk di sampingnya.
“Kau sudah melangkah jauh, tapi ingat, perang ini belum berakhir,” kata Mara pelan. “Chronos akan terus mencoba. Mereka memiliki banyak sumber daya dan taktik licik.”
Galih mengangguk. “Aku sadar, dan aku siap.”
Nara datang membawa secangkir teh hangat, memberikan semangat kepada Galih. “Kau bukan hanya pejuang waktu, tapi harapan bagi kita semua.”
Malam itu, di tengah hujan deras, Galih menatap alat pencuri waktu di tangannya. Ia tahu perjuangan masih panjang. Namun, di balik rasa takut dan kelelahan, ada sebuah tekad yang semakin kuat.
Untuk menjaga waktu, dia harus menjadi penjaganya.