Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Pencuri Kerdil
1
Suka
580
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Suatu ketika aku melihatmu dari balik jeruji besi, dengan tangan yang terborgol dari kebebasan; bahwa sekedar ingin mencintai dirimu saja, aku mati-matian dalam menjalaninya. Lantaran hati, raga dan jiwaku sudah terikat akan keabadian yang tak berbentuk itu, yang juga akan menjeratmu ke dalam neraka serupa, apabila memaksa agar kau bersedia menunggu; maka aku putuskan untuk mengatakan, “Ada hati yang harus aku jaga, dan itu bukan kau.”

Tatkala kata-kata yang menyakitkan ini terlontar seperti hiasan, seakan satu-satunya yang paling dapat jiwaku lakukan hanyalah menyakiti, maka air mata akan kelaraan dari pipi bening tersebut seolah menjalar ke sanubari, menyetrum ujung kepalaku hingga kali ini mungkin aku akan benar-benar mati. Sungguh penyiksaan yang keji setelah lancang menyakiti pelita paling indah dari dunia; bidadariku, pujaanku, cintaku, dengan pengkhianatan yang tidak akan bisa ditebus. Namun engkau masih lumrah, menganggap iblis di dalam diriku sama seperti dirimu; manusia suci.

“Cinta bolehlah tidak berbalas.” ucapmu, menggosok mata merah yang tatapannya sudah seperti jarum bagiku, namun enggan sekali jika tidak menatapnya kembali, kendati mungkin kaca bening yang menghiasi indahnya dirimu, akan menjadi kali terakhir untuk disimak baik-baik oleh kebejatan sosokku. “Maka biarlah aku mengusap kapalamu sekali lagi, karena disanalah ingin kutanamkan kata bahwa meski bara api mengancamku agar berpisah denganmu, aku masih akan menunggu.”

Dan engkau akhiri pengucapanmu sembari menunjukan kegetirannya. Merajang hatiku hingga selembut debu; menyakiti aku sampai tidak sanggup lagi mata kering dan tubuh tak berjiwa ini menahan diri agar tidak bernestapa. Aku rubuh dalam kaki yang tidak bisa terduduk, sebab tidak boleh bilamana dirimu melihatku merasakan sengsara akibat kehilangan ini. Aku sudah bulat untuk membiarkanmu pergi tanpa diriku, meninggalkan sosokku dalam balutan kejahatan yang dirangkum dalam bejana besi ini. Aku tidak hanya terpenjara, tapi juga mati. “Sudah puan, aku tidak ingin kau menunggu. Biarlah aku mati sendiri, tak elok kecantikanmu kau hiaskan pada penjahat keji yang setiap langkahnya dicemooh hewan-hewan jalang.”

Dengan kata ini, besi yang memisahkan tubuh kita menjadi sepele semata, bilamana hati keduanya sudah ditenggelamkan dalam kegelapan yang tidak bisa disusupi cahaya. Binar matamu tidak lagi penting, sanggup untuk diabaikan, meski payah sekali aku memaksanya, sebab makna dari sorot itu masih begitu besar bagiku. Kau masih berarti, namun tidak bisa untuk diakui.

Lantas, kau pun pergi. Aku harap jalan yang telah kau ambil ini, meyakinkanmu, bahwa mencintai sosokku yang hina adalah satu-satunya kebusukan dalam dirimu, sementara selain aku, menjadi keindahan untukmu.

Sehingga berakhirlah aku di sini; di dalam kesedihan yang semakin menyiksa di setiap detiknya. Tak sanggup lagi diriku berdiri menopang kegamangan dalam jiwaku, maka bersimpulah tubuh yang telah kehilangan nyawanya – bersama derai air mata yang tidak reda meski berjam-jam ditertawakan. “Ah, mungkin setragis inilah diriku, hingga mulut manapaun tidak bisa bersimpati padanya.”

Aku merasakan, andaikata berpasang-pasang mata yang menyaksikan kita berkuasa melahap kesengsaraan ini dengan tertawanya; dan manakala pedih di dalamnya menjadi guyonan belaka. Maka tak ubahkan daritaku yang disiratkan sebagai bahagia bagi mereka, menjadi pula bahagia buatku? Alangkah senangnya bilamana itu terjadi, karena pasti aku tidak akan setersiksa ini menguliti tubuhku sendiri dengan kehilangan, sekaligus mendengarkan hujatan sebab tidak sejantan itu mempertahankan wanita di sisinya, hingga lengkap sudah tulang belulang yang masih dipaksa bernafas disebutkan sebagai; aku dengan ketidakberdayaannya.

“Tapi, apa yang aku bisa harapkan dari manusia?” batinku, mendengar kelakar mereka yang masih gencar mencemooh. Mereka adalah pria-pria berjakun tebal, berseragam ketat dengan perut rakus yang menelan segalanya, termasuk harga diri. Sampai-sampai kain sorban tidak cukup luas untuk menutupi kebesaran perut mereka dari ketamakan. Kendati demikian, tak juga mereka menjadi raja, hanya duduk di sana, mencari hiburan dalam nestapa laki-laki yang baru saja kehilangan hatinya. Tidakkah ini adil untukku, Marti? Setidaknya, masih ada sisa rendah hati di dalam jiwaku.

Namaku Ruth, orang buangan. Kemarin seseorang meneriakiku maling, karena kebetulan tidur di depan kios yang baru saja kecurian. Bukan aku, tentu saja. Aku hanya tidak sengaja tergeletak di sana, dengan tidak berdaya. Tapi gelandangan tidak akan dipercaya. Marti datang lantaran menerima panggilan itu, bahwa kekasih (yang berdasarkan anggapanku saja bahwa kami memang kekasih) telah dipenjara karena terdakwa dituduh mencuri. Kasus ini bukan yang pertama, bukan juga yang kedua, sebab sudah hafal sekali orang-orang itu kepadaku. Seolah tempat ini adalah hotel langganan yang membiarkanku menginap sehari atau dua hari saat kelaparan melanda. Ada-ada saja, dahulu aku ini. Bahkan kini, aku pun masih mengada-ada.

Tapi bukan demikian ceritanya, sungguh. Untuk yang satu ini, aku benar-benar tidak mencuri, perutku telah kenyang, dahagaku sudah terpuaskan, aku duduk sebentar di teras yang pintunya tertutup. Namun malam membiaskan kesadaran dalam mimpi yang indah, bila suatu ketika aku bisa meminang Marti dalam kehangatan dan kemuliaan surgawi. Kendati mimpi hanyalah mimpi, bagitulah enggan bagiku untuk bangun meski sadar beberapa orang menggonggong di depanku. Mereka pula meludah, memandang rendah sosok yang kotor ini sebab jauh dari kesucian mereka. Aku tidak merasa terhina, karena tempat bagi umat telah disiapkan sedemikian hingga rapinya oleh Tuhan. Bilamana nafsuku menentangnya, di sanalah iblis bersemayam dalam jiwaku dan mengubahku menjadi kawan mereka lantaran kesombongan sudah menjalar hingga kesumsum paling dalam. Aku tidak menerimanya, lebih baik jika dunia tidak menyambutku, tapi Tuhan tetap masih mengulurkan tangan. "Ah, aku melantur lagi."

Tentu saja, orang laknat seperti ku tidak pantas berbicara Tuhan. Aku datang ke bumi kerdil ini 6 bulan yang lalu, sebagai orang buangan, seperti kataku sebelumnya. Kenapa buangan? Aku berkewarganegaraan asing, yang bersusah payah untuk dideportasi agar bisa meninggalkan negeri yang tidak menganggapku keluarga. Namun seremeh apapun masalah yang aku timbulkan, tidak urung juga mereka menyerah mempertahankan diriku di tanah ini. Entah terlalu cinta, ataukah aku yang tidak sebejat itu dalam menjalankan dosa? Aku tidak tahu, hanya saja aku sudah berupaya untuk pergi, namun mereka tidak ingin melepaskan.

 Dosaku tidak sebesar itu, katanya. Aku hanya pencuri kecil yang mengambil anak dari ibunya karena mereka terlalu asyik dengan gawai kecil di tangan. Saat itu, sepeda motor hendak menghantamnya, namun mata yang buta teralihkan dari yang berharga, karena mereka terlena sesaat oleh cahaya yang sebenarnya merusak jiwa-jiwa mereka, sehingga kuambil sebentar bayi itu dari keranjang beroda mereka, lalu menggendongnya menjauh, sampai seseorang merutukiku dan memanggilku bangsat. Ah, aku tidak keberatan. sebab aku memang mencuri nyawa dari malaikat mautnya. Itu kali pertama sebutan orang buangan melekat padaku, lantaran tidak punya apa-apa selain kebusukan ingin mengambil milik orang lain.

Mulanya, aku ini hanya pendatang, jauh melintasi lautan untuk menyapa segelintir orang yang tidak kukenal. Senang sekali aku menatap keindahan mereka dari balik lensaku. Namun beberapa kepicikan, membuatku kehilangan segalanya. “Bodoh kali, kau tuan.” katamu dahulu Marti, saat mendengar ceritanya. Aku ditipu pedagang yang telah menjambret harta berhargaku, hingga jadilah diriku yang saat ini.

Ah, aku tidak menyesal, sebab mereka menyatukan aku denganmu, Marti. Kendati memang tidak sebahagia itu ceritanya. Aku masih orang asing yang tidak sepatutnya tinggal berlama-lama di sini. Suatu hari ragaku harus pulang, sekalipun jiwaku menetap karena terpikat akan cinta yang dipancarkan oleh wanita cemerlang ini. Sayangnya, rencana itu pun hanya wacana. Tak bisa juga aku pulang sebab segala harta yang kupunya telah sirna. Enam bulan lamanya aku berupaya untuk segera pergi, “Tak segampang itu, nyatanya.”

Aku selalu gagal hingga bertahan terlampau lama di sini. Maka kekejian demi kekejian rela kuperbuat agar tanah ini membenciku, membuangku jauh menuju kampung halaman. Aku dirundung keputusasaan besar, sebab potret-potret yag ingin kutangkap hanya nestapa yang tidak berujung, yakni diriku sendiri. Aku adalah gambaran paling sempurna yang disebut dengan kemalangan, kemiskinan dan putus asa. Andaikata seseoang bisa menangkap kilat-kilat di mataku yang nyaris padam, niscaya dia akan dihadiahi sebuah pujian panjang dari mahakaya paling sempurna; derita.

Baiklah, kembali lagi ke cerita tadi, saat seseorang menyebutku maling. Aku tertidur di depan sana, dan mendengar seekor anjing menggaung. Kata warga setempat, ada sesuatu yang halus lewat di sana, yang tak kasat oleh mata, dingin rabaannya, hingga lembut sekali kebardaannya. Bulu kudukku sungguh berdiri, merinding nian rasanya. Ketakutan menggerogot seluruh tubuhku, dan jatuhlah aku dalam tidur yang tidak bangun sampai bocah-bocah mengarakku dengan tali yang terikat di leher, sementara diriku bukanlah hewan ternak. Mereka jadikan aku piaraan lalu digiringlah ke jeruji ini. Sebenarnya, aku tidak mengerti sama sekali apa yang sudah terjadi. Jika memang maling, apa yang sebenarnya aku curi? Hati wanita; jiwa yang nyaris mati, entahlah. Kepalaku sepenuhnya pening lantaran tuduhan mereka yang tidak tampak. Jika tuduhan ini, bisa membuatku pulang; tidak lah mengapa aku menjadi penjahat. Namun jika tuduhan ini membuatku mati di sini, . . .

Itu pun juga tidak mengapa, mungkin. Sesungguhnya telah lelah aku dalam jumlah kepedihan yang merambat di kakiku ini. Enggan sekali untuk melanjutkan langkah yang semakin berat saat jiwaku berontak dan nekat. Diriku ingin menyerah, maka biarlah aku menyerah. Sungguh, di tanah yang kau cinta ini Marti, aku ingin sekali kembali ke bumi. Pelan saja, aku akan menunggumu, meski kau tidak perlu buru-buru. Tapi; “Jangan bersedih sedemikian dalam, tuan.” ucap seseorang, laki-laki tua yang berseragam sipir. Dia salah satu yang sempat berkelakar karena kepedihan yang dilarangnya untuk terlalu diratapi. Lucu, bukan dirinya?

“Tetapi, hanya itu yang aku punya.”

“Setiap yang bernyawa itu juga ada bahagianya.”

“Lantas mengapa saya di sini?”

“Karena harusnya, tuan yang paling tahu jawabannya.”

“Matikan saja aku, lelah sekali menerka-nerka jawaban dari pertanyaan yang aku lontarkan sendiri.”

“Janganlah demikian pilu tuan, biar saya ceritakan sebentar saja.”

Dan panjanglah orang tua itu menceritakannya, meski sebagian tidak bisa aku mengerti karena perbedaan makna yang sempat aku pelajari sebentar. Dari kata-katanya, aku mengilhami sesuatu Marti, bahwa hanya dirimu yang bisa ku maknai dengan sempurna. Namun, aku tetap harus mengartikan ceritanya, memaknai semampunya, dan sejauh telingaku menangkap, dahulu sekali ada seseorang yang menipuku. Itu benar, kau pun tahu itu Marti, dan kau lah penyelamatku.

Penipu itu menututku lantaran mencuri seorang bayi, padahal sebenarnya aku ingin menolongnya semata. Ia meminta sebuah ganti rugi besar, hingga hilanglah apa yang aku punya; semuanya. Beberapa hari kemudian, aku kehilangan kameraku, salah satu nyawa yang membuatku merasa hidup; selain kau, tentu saja Marti, dan yang bersemanyam dalam tubuh ini. Dia pedagang, yang menawarkan makanan dengan harga terlalu besar. Aku tidak berdaya, sebab orang buangan tidak akan ada yang membelanya, kecuali wanita budiman jelmaan bidadari. Dia menengahi pertengkaran ku dengan pedagang itu, dan membujuk dengan kata-kata manis bahwa sebaiknya menyerahkan nyawa kecil tersebut yang sebenarnya seharga dua puluh ribu piring dengan nasinya. Tapi tak mengapa, lantaran jiiwaku mendapatkan kebaikan baru, yang rela membela dan menolongku dalam kenestapaan.

Marti adalah nyawa lain yang harus aku jaga. Sejak hari itu, aku mulai bergantung, aku mengikuti cara apa yang katanya bisa membuatku pulang. Tapi kian hari, jiwaku terasa terjerat dan enggan untuk pergi, maka Tuhan mengabulkannya. Aku tetap di sini, meski tubuhku serupa tulang belulang, yang membusuk di tanah asing. Siapa sangka, aku hanyalah alasan. Aku sebatas alat yang digunakan mereka untuk mengelabui orang lain. Katanya, pedagang yang mengambil kameraku adalah kawanmu, Marti. Sekaligus orang tua yang menuntut anaknya, adalah kawanmu yang lain lagi. Mereka bersekonkol menahanku di sini. Sementara aku mengira bahwa pertemuan kita semata-mata disebabkan oleh cinta.

“Bodohnya...” celetukku, menertawai diri sendiri, Marti. Aku mengerti sekarang, mengapa orang-orang kerap mengolokku. Mereka berkelakar keras sembari mengata-ngataiku bodoh; aku memang bodoh.

Sosok yang sebenarnya pencuri adalah kamu dan semua kawan-kawanmu. Kalian mengambil perhiasan di kios yang tutup saat aku terlelap. Aku merasa ada sosok halus yang melelapkanku, karena memang hanya Marti yang mampu. Aku tidak bangun lantaran terlalu cinta akan kenyamanannya, dan ia sisipkan satu buah permata yang tidak bernilai agar orang mengataiku maling saat upayamu selesai. Maka berakhirlah aku di sini hari ini.

Jika bukan karena cahaya yang tampak menyilaukan dari wajahmu, aku pastilah sudah melihat bahwa tangan halus yang senantiasa merengkuhku itu, juga diikat kebebasannya. Kau telah tertangkap, meski lihai sekali muslihatmu dalam membodohiku, atau kah sebenarnya memang telah buta mataku dari kebenaran? Lantaran orang lain dapat melihat dengan jelas tipu dayamu yang keji dan tak berhati padaku. Kau pun mengatakan bahwa akan terus menunggu, seolah ingin mengajakku ke neraka yang tidak akan padam.

 “Marti, sayang. Jika maumu demikian akan kulakukan.” ujarku. Tapi Tuhan tidak demikian baik. Kebesarannya tidak membuatku menyatu denganmu, Marti. Tanah ini akhirnya memulangkanku. Aku kembali ke tempat asalku, setelah memperoleh kebebasan.

Sekarang, aku memang kehilangan waktu, aku juga kehilangan cinta, namun dari lensa yang sempat memotret keindahan, di sana ada sosokmu, Marti yang tak sengaja tersimpan atau memang sengaja kau letakkan, agar senantiasa aku tertelan ke dalam matamu yang jernih dan bermuslihat.

“Ahh, rupanya ia diam-diam menggunakannya untuk dirinya sendiri.”

Gambar itu aku pajang dalam ukuran besar, yang ku bentuk seperti mozaik 3 dimensi. Sebuah pose saat wanita ini sedang berkebaya dan berjarik buketan yang menutupi separuh lutut dan menyisakan betis yang terbuka mulus hingga ke telapak kaki tanpa alas. Ia sedikit berjinjit dan tangannya menyedekap satu lutut, atau separuh berjongkok sambari menolehkan wajah; mengusap kucing liar yang bertengger dibahunya dengan pipi. Sebutku, “Pencuri kerdil.”

Bahwa memang dia telah mencuri hati yang tengah tersesat dengan raganya yang penuh tipu daya akan ketentraman. Meski demikian sakit, rupanya aku masih mencintainya.


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Pencuri Kerdil
Dina prayudha
Cerpen
Bronze
Tetangga Hingga Surga
Nurul Arifah
Novel
Bronze
CINTA BEDA USIA
Fiximu Novelis
Novel
Bronze
Still Waiting for A Reason
Roormniax
Novel
True Love
salisa
Novel
Gold
Mansfield Park
Mizan Publishing
Novel
Gold
Snow Flower and The Secret Fan
Mizan Publishing
Novel
Bronze
KATA {Karel Tiara}
A T A M I
Novel
Bronze
KITA BICARA TENTANG RASA
Dera Mutia
Novel
Romantic Destination (I Still Love You) Part 2
Alita
Flash
Bronze
Dongeng Paling Gila
Nuel Lubis
Novel
Bronze
Sudut Lancip
Zaga Masi
Novel
Gold
Sequence
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
Sampah Di Bulan Juni
Yuni Sarah
Novel
Bronze
Gengsi karena Cinta
LSAYWONG
Rekomendasi
Cerpen
Pencuri Kerdil
Dina prayudha
Cerpen
Karung Beras
Dina prayudha
Cerpen
Boulevard
Dina prayudha
Cerpen
Kuku Rusmi
Dina prayudha
Cerpen
Bayi Ceropong
Dina prayudha
Cerpen
Bronze
Mengawini Surtijah
Dina prayudha