Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Panas merayap seperti dendam yang diwariskan turun-temurun. Tak selesai di satu generasi, tak ditebus oleh satu reformasi.
Langit terlalu terang untuk berbohong, tapi tetap terlalu palsu untuk memberi harapan.
Aku duduk di bawah pohon tua yang menggugurkan daunnya satu-satu, seperti menyerah pada musim yang tak adil.
Keringat menetes dari pelipis, menodai kertas-kertas lamaran kerja dalam stopmap lusuh di sampingku—warnanya telah pudar, persis seperti harapanku.
Sebulan lebih aku mengetuk pintu, mengulang senyum yang sudah sungsang, menunggu panggilan yang tak pernah datang.
Tapi pintu tak lagi mengenal ketulusan. Mereka cuma peka pada kode. Pada pemilik kasta. Pada amplop yang tak berani disebutkan isinya di ruang publik.
Seorang lelaki tua duduk di sebelahku. Bajunya kumal, kulitnya legam dijilat waktu, tapi matanya… entah kenapa, seperti mengenali luka yang kupunya.
“Lagi nyari kerja, Mas?” tanyanya.
“Iya, Pak,” jawabku pelan. Suaraku seperti tenaga terakhir hari ini—dan mungkin, minggu ini.
Ia menunjuk sebuah bangunan megah di seberang.
Dinding kacanya menjulang dengan sinisme—memantulkan matahari, juga semua mimpi yang ditolak di depan resepsionis.
“Itu perusahaan, lagi cari karyawan. Kalau Mas mau, saya bisa bantu.”
Aku menoleh. Kecut. Pahit. “Sudah, Pak. Sudah pernah saya lamar. Tapi sampai sekarang, belum ada panggilan.”
Ia tertawa pendek. Bukan tawa bahagia. Tapi tawa orang yang sudah lupa cara menangis.
“Mas... sekarang ini, kalau mau masuk, harus ada orang dalam. Dan ya… tahu sendiri lah, kalau bisa, sekalian bawa pelicin. Baru bisa gerak.”
Aku diam, menarik napas. Rasanya seperti menelan koin logam yang berkarat—tajam dan getir.
“Lho, Pak… Saya cari kerja karena gak punya duit buat makan. Masa iya, buat kerja malah harus bayar?”
Ia menepuk bahuku. Lembut, tapi seperti palu dari pengadilan sunyi.
“Mas… di negeri ini, hidup bukan soal bisa atau pintar. Tapi soal kenal siapa. PNS, pegawai, pejabat, wartawan, semua pakai jalur pelumas. Rahasia umum yang bahkan anak TK pun sudah mulai hapal.”
Aku tertunduk. Bukan pasrah, hanya kehilangan alasan untuk menyangkal.
Apa yang harus kutolak, kalau semua yang benar dianggap bodoh?
“Kalau Mas serius,” katanya sebelum pergi, “besok bawa pelicinnya. Saya bantu. Pasti diterima.”
Lalu ia bangkit, melangkah pergi seperti peran figuran yang selesai menyampaikan satu babak ironi—lalu lenyap, meninggalkan panggung muram bernama kenyataan.
Aku tetap duduk. Tapi pikiranku berjalan jauh. Menyusuri lorong berita yang selalu sama:
Anak juara olimpiade gagal masuk universitas negeri.
Sarjana menganggur jadi joki ojek.
Cumlaude jadi buruh pabrik.
Dan anak pejabat magang di kementerian sebelum punya ijazah. Tanpa antre. Tanpa tes. Tanpa tahu apa arti meritokrasi.
Mungkin aku nyaris lupa semua itu. Karena terlalu sering terdengar, berita seperti itu jadi hanya latar.
Bukan luka lagi, cuma dekorasi kemunafikan nasional.
Negeri ini, pelan-pelan mensterilkan rasa marah kita. Nurani kita disuntik anestesi tiap hari lewat layar kaca, sinetron motivasi, dan khutbah sukses yang disponsori.
Kita diajari bermimpi sejak kecil, tapi tak diberi tangga untuk memanjatnya.
Kita disuruh bersaing, tapi garis awal-nya sudah dipisah: yang satu di lapangan lumpur, yang lain di ruangan ber-AC.
Dan saat akhirnya ada yang berhasil bertahan… ia tetap ditendang. Karena tak punya marga, atau kenalan, atau 'alumni'.
Di negeri ini, otak hanya pajangan.
Ijazah hanya properti.
Kejujuran hanya romantisme.
Dan kepintaran…?
Tak ada artinya,
kalau kamu tak punya nama belakang.
Epilog
Hari mulai gelap. Tapi tak ada yang padam, selain keyakinan.
Angin sore mengusik sisa peluh di pelipisku, seperti tangan halus yang mencoba menyeka, tapi terlalu lambat—segalanya sudah kering, mengeras bersama kecewa.
Aku berdiri. Bukan karena semangat baru, tapi karena tahu, kalau aku terus duduk, aku akan jadi bagian dari trotoar ini.
Dilupakan. Diinjak. Dijadikan pijakan orang-orang yang mewarisi jalur cepat, sambil mencibir dari balik kaca mobil gelap—mobil yang mungkin dibeli dari dana motivasi rakyat.
Di kejauhan, gedung-gedung tinggi masih memantulkan mentari dengan pongah.
Tapi kini aku tak menatap ke atas. Aku menunduk. Mencari bayangan sendiri, memastikan aku belum hilang.
Belum sepenuhnya larut dalam sistem yang hanya mencatat keberhasilan, bukan perjuangan.
Yang memberi panggung pada pemenang, tapi menghapus nama semua petarung yang tak sempat sampai garis akhir.
Besok pagi mungkin aku akan kembali mengetuk. Bukan karena yakin pintu akan terbuka, tapi karena aku tak mau berhenti hanya karena kuncinya dicuri.
Atau mungkin aku akan memilih jalan lain—mendirikan usaha kecil dari sisa tabungan, atau menulis semua ini di dinding digital agar ada yang tahu, bahwa kami pernah mencoba.
Kami pernah waras. Kami pernah percaya. Sebelum akal sehat jadi barang antik, dan integritas dikurung di museum etik.
Negeri ini mungkin tak memberiku pekerjaan, tapi ia telah memberiku cerita. Luka.
Dan kesadaran: bahwa dalam sistem yang hanya adil untuk segelintir, menjadi jujur bukan kelemahan—itu bentuk paling sunyi dari pemberontakan.
Dan mungkin, itu cukup… untuk hari ini.