Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tubuhku membeku saat Sally mengutarakan semua rahasia yang selama ini dipendamnya. Rahasia yang terlalu mustahil untuk menjadi nyata, tetapi tidak dapat sepenuhnya kubantah.
“Aku paham kalau kamu tidak percaya kepadaku.” Sally kembali berbicara dengan tenang, tetapi aku bisa melihat bagaimana dia terus menjambak rambut emasnya yang kini berpendar kemerahan. “Selama ini aku diam karena tidak ingin membuatmu bingung. Tapi karena kamu memaksa ….”
“Tentu saja aku lebih dari sekadar kebingungan, Sally,” sahutku tegas. Aku berdiri dari tempatku duduk di sisi Danau Martel, mengabaikan mata hijau zamrud Sally yang menatap sendu. “Bagaimana mungkin aku bertemu denganmu ratusan tahun yang lalu? Itu tidak masuk akal!”
“Semua yang berhubungan denganku memang tidak selalu masuk akal, Liam. Bukankah begitu?”
Jawaban lirih Sally seketika membuat lidahku kelu. Sanggahan yang tadinya siap kuucapkan menghilang begitu saja, berganti dengan sensasi kekeringan yang memaksaku menelan ludah berkali-kali.
Apa ini? Seharusnya aku bersikeras membantah semuanya, tetapi mengapa bibirku tidak mau bergerak?
“Jangan menatapku seperti itu. Aku sudah sangat tersiksa memberitahumu semua ini.” Suara Sally terdengar bergetar. “Seharusnya kita tetap menghabiskan waktu bersama dengan bahagia, sama seperti waktu-waktu lalu. Kamu tidak tahu apa pun tentangku, dan hanya aku yang menahan kepedihan ini. Aku pernah melihatmu mati perlahan karena usia tua. Aku juga pernah mendengarmu mati di medan perang. Tapi aku masih bisa menahan semua itu, karena pada akhirnya, kamu pasti akan kembali.”
Aku memalingkan muka. Pandanganku jatuh pada permukaan air danau yang beriak pelan, dinaungi oleh banyak stalaktit dari langit-langit gua. Cahaya dari obor yang kupasang menerangi pola garis yang menghiasi setiap jengkal dinding gua. Terlihat indah. Namun, tidak satu pun dari pemandangan itu bisa melegakan dadaku yang sesak.
Ratusan tahun … sudah selama itu Sally menanti kekasihnya?
Beberapa bulan lalu, aku bertemu dengan Sally secara tidak sengaja saat aku memasuki Gua Naga yang katanya memiliki daya tarik misterius. Orang-orang menyebar rumor bahwa ada Aloja—makhluk penunggu air serupa wanita—yang bersembunyi di sana. Makhluk itu menakuti semua orang dengan suara tangisannya yang meracuni danau. Kabarnya, dia terus menangis karena menantikan kekasihnya yang tidak kunjung datang dan menenggelamkan semua pengunjung yang bukan belahan jiwanya.
Sungguh cerita yang dibuat-buat, tetapi cukup membuat banyak orang tidak bernyali untuk memasukinya.
Sedikit tertantang, aku pergi sendirian dan berakhir memilih jalan yang salah. Lama aku berputar-putar di dalam gua hingga akhirnya menemukan danau lalu memutuskan untuk beristirahat di sana. Rasa lelah mungkin telah membuatku kurang waspada, sebab aku tidak menyadari kehadiran orang lain sampai Sally menyapaku dari balik salah satu stalagmit.
“Aku hanya gadis biasa yang tinggal di desa dekat sini.” Seperti itu Sally memperkenalkan dirinya. “Biar aku antar kamu keluar.”
Bahkan sejak pertemuan pertama, aku telah merasakan aura yang berbeda dari Sally yang membuatku sengaja datang ke gua berkali-kali hanya untuk bertemu dengannya. Warna rambut dan mata gadis itu seolah-olah menyihirku untuk selalu mendekat dan menghabiskan sebagian besar waktuku dengannya.
Banyak hal di dunia ini yang tidak Sally ketahui. Dia bahkan tidak tahu bahwa wabah flu telah merenggut begitu banyak jiwa di negara kami sejak dua tahun lalu dan gelombang baru diperkirakan akan datang di tahun ini. Aku memperingatkan Sally untuk tidak ke gua selama beberapa waktu, tetapi jawabannya saat itu membuatku bingung.
“Aku tidak tahu pasti, tapi sepertinya wabah terhebat sekalipun tidak akan membuatku pergi dari sini.” Sally menjawab sambil tersenyum getir.
Aku tidak bertanya lebih lanjut, khawatir dia akan merasa tidak nyaman. Pada akhirnya aku membulatkan tekad untuk terus menemui Sally, meski harus menggunakan masker kain yang menutupi sebagian wajahku.
Sally tidak pernah suka melihatku menggunakan itu. Masker hanya akan menutupi ekspresi bahagia, katanya. Lagi-lagi aku tidak mengerti mengapa Sally begitu terobsesi untuk melihat wajahku sepenuhnya, tetapi kini aku tahu alasannya.
“Biar kupastikan sekali lagi,” ucapku setelah terdiam beberapa saat. “Jadi, kamu adalah wanita yang dibicarakan orang-orang, dan menurutmu … aku adalah reinkarnasi dari kekasihmu di masa lalu?”
“Kamu adalah kekasihku, Liam,” jawab Sally tegas sambil menyingkap baju di bagian punggungnya, memperlihatkan sebuah sayap putih yang telah menyusut karena lama tidak digunakan. “Tidak peduli berapa kali kamu dilahirkan, bagiku kamu tetap seorang petualang yang sama, yang memperlakukanku dengan baik meski seluruh dunia mengutuk keberadaanku. Satu-satunya manusia yang telah merangkulku dan membuatku mengerti apa arti cinta.”
“Apa kau sadar kita berada di mana? Reinkarnasi? Di negara ini?” Aku mendengkus. “Lagipula, bagaimana kamu bisa yakin bahwa aku adalah kekasihmu? Jika reinkarnasi itu nyata, aku yakin penampilanku telah banyak berubah.”
“Hati manusia tidak mudah berubah, aku bisa merasakannya. Menurutmu kenapa kakimu membawamu datang ke gua ini? Jauh di dalam alam bawah sadarmu, kamu tahu bahwa aku selalu di sini, di tempat kita pertama kali bertemu.”
Dapat kurasakan setetes air mata jatuh ke pipiku. Aneh. Aku bukan pemuda yang mudah menangis, aku yakin itu. Bahkan saat orang tuaku meninggal dunia karena wabah, aku menahan duka yang kurasakan dengan terus bepergian seorang diri. Namun, kali ini kesedihanku begitu meluap, seakan-akan menegaskan bahwa rasa sakit ini telah begitu lama kupendam. Segera kuusap wajahku kuat-kuat.
Jari-jariku berkedut, ingin mengusap tetesan air yang juga mengalir di pipi Sally, tetapi sebisa mungkin aku menahannya.
Aku sama sekali tidak meragukan Sally. Raut wajah gadis itu tidak menyiratkan kebohongan sedikit pun. Ditambah lagi, sulit bagiku untuk menyangkal semuanya karena penuturan Sally telah membuat mimpi-mimpi aneh yang selama ini kualami menjadi masuk akal.
Sering aku terbangun di tengah malam karena terkejut melihat sosok Sally menangis meraung, tangannya tidak lepas menggenggam tanganku. Di lain waktu, aku sendiri harus mengatur napas serta menyeka keringat dingin dari keningku karena bermimpi ditusuk pedang. Pedang tajam itu menembus tubuhku, mengambil seluruh tenagaku hingga aku tidak bisa melakukan apa pun selain berlutut dan membisikkan satu nama.
Sally.
Kukira aku memimpikan semua itu hanya karena tergila-gila kepada gadis asing yang bahkan tidak kuketahui asal muasalnya. Aku mungkin berharap memiliki kisah cinta yang sangat berkesan dengannya hingga berkhayal macam-macam. Rupanya semua itu bukan sepenuhnya khayalan.
Seharusnya aku senang, ternyata aku dan Sally terikat begitu erat. Takdir kami telah menyatu sejak lama. Akan tetapi, yang kurasakan saat ini hanya pilu.
“Aku pergi. Kali ini aku tidak akan pernah kembali,” ujarku sambil berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan gadis yang masih terdiam di tempat dengan tangis sesenggukan.
Sally sama sekali tidak menahanku.
“Tidak apa-apa jika di kehidupan kali ini kamu tidak menerimaku. Aku hanya harus kembali berusaha nanti. Kamu adalah tujuan hidupku satu-satunya,” balasnya dengan lirih. “Addio, amore mio (1) ….”
Ucapan perpisahan itu terdengar menyedihkan, tetapi aku tidak berhenti melangkah. Aku harus melakukan ini demi kami berdua … demi Sally.
Aku tidak bisa membiarkan Sally terus menghabiskan keabadian dengan cara seperti ini. Pedih hatiku membayangkan dirinya yang menungguku tanpa kepastian, lalu harus mengulang perkenalan dan semua tahap pendekatan karena aku sama sekali tidak ingat tentang masa lalu kami. Mustahil Sally tidak tersiksa karenanya.
Semuanya harus berakhir hari ini. Sally harus menyerah terhadap cinta kami dan fokus kepada tujuan hidup lain yang akan membuat keabadiannya lebih bermakna.
Penyesalan mungkin akan menggerogoti dadaku setelah perpisahan ini, tetapi itu bukan apa-apa dibandingkan dengan penderitaan yang akan terus Sally alami kalau sampai aku memilih untuk tetap tinggal.
Aku kembali mengenakan masker setelah berada di luar gua, lalu menelusuri jalan lengang yang sudah sangat familier untukku. Hari sudah semakin gelap, desa terasa sangat sepi dengan banyaknya pintu rumah yang tertutup. Tangisan samar dari anak-anak yang kesakitan serta mayat binatang yang belum sempat disingkirkan dari jalanan membuat suasana semakin mencekam.
Pemandangan mengerikan ini selalu bisa kulupakan setiap kali aku bertemu dengan Sally. Sayangnya, mulai hari ini aku tidak lagi memiliki distraksi yang berarti.
Dengan cekatan, aku memasuki rumah dan mengemas barang-barang ke dalam tas tanpa memedulikan kakak laki-lakiku yang menatap heran. Entah apa yang harus kubawa, aku hanya ingin memiliki sesuatu yang akan membuatku selalu ingat tempat ini.
“Kakak tidak akan pernah menahanmu, pergilah sesuka hatimu,” ujar Kakak kemudian. “Hanya saja, pastikan kamu akan kembali ke sini. Ingatlah selalu bahwa setidaknya ada satu orang istimewa yang selalu menantimu.”
Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Apa Kakak tahu tentang aku dan Sally? Aku memang tidak pernah merahasiakan kepergianku ke Gua Naga, tetapi tidak kusangka Kakak akan mengetahui semuanya dan tidak mengatakan apa-apa sampai hari ini.
“Ini keputusan tepat,” gumamku sambil menganggukkan kepala. “Sejak awal, dunia kami terlalu berbeda.”
“Tidak satu pun dari kalian bisa memilih hidup sebagai apa.” Kakakku menghela napas dalam. “Kuharap kamu benar-benar yakin dengan keputusanmu.”
Keputusanku sudah bulat. Aku harus pergi sejauh mungkin. Dengan begitu, aku tidak akan terlahir kembali di tempat ini.
Jangan sampai aku bertemu Sally lagi dan melanjutkan lingkaran setan ini. Sally terlalu berharga untuk terkekang dalam kutukan cinta masa lalu.
Pasti ada alasan, mengapa Sally diciptakan sebagai makhluk abadi. Alasan yang jauh lebih besar dan berharga daripada kisah cinta dengan manusia biasa. Aku harus melepaskannya agar dia bisa bebas meraih alasan itu. Agar dia bisa berjalan ke mana pun dia mau, terbang menjelajahi dunia di luar gua yang lembap dan sempit.
***
“Halo, apa kau tersesat? Aku bisa mengantarmu ke luar dari sini.” Seorang gadis bermata hijau menyapa dengan senyum manis. “Namaku? Sebut saja Salvatrice alias Sally. Seseorang yang berharga telah memberiku nama itu.”
Tamat.
Catatan:
1) Selamat tinggal, Cintaku.