Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Pembunuh yang Kucintai
0
Suka
99
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Jangan jadi pemalu katanya. Jangan mengurung diri katanya. Jangan jadi pendiam katanya. Jangan, jangan, dan jangan. Selalu kata "jangan" yang menjadi awalan favorit ucapannya. Dari takut hingga menjadi muak adalah perkembangan respon yang aku perlihatkan setiap kali mendengarnya. Aku tahu bahwa aku tidak dapat mengubah orang lain, mengontrol mereka seperti yang aku mau. Oleh karena itu, aku memilih untuk merubah diriku, aku mulai mengambil sisi positif dari kata-kata itu dan setiap kali aku merasa muak, aku berusaha mencari orang lain untuk mendengarkan keluh kesahku. Namun, lagi-lagi yang kudengar hanya kata 'jangan' yang akan diikuti dengan kata-kata larangan lainnya.

"Jangan didengarkan, biarkan saja!"

"Jangan dimasukkan ke hati kata-kata seperti itu!"

"Jangan lihat sisi negatifnya, kamu juga bisa mengambil sisi positif dari kata-kata itu."

Persetan dengan kata 'Jangan'.

Aku Lyra, gadis berumur 20 tahun yang saat ini sudah mencapai tingkat muak mendengar nasehat, larangan dan pendapat siapapun itu. Bukannya aku tidak pernah berbuat salah dan mencari arah tujuan, hanya saja semua yang membuatku muak selalu mengandung kata 'jangan' di dalamnya. Seakan-akan tidak ada kata lain yang dapat digunakan. Bagaimana rasanya dibesarkan penuh dengan larangan dan tuntutan sedari kecil? Melelahkan bukan? Semua larangan ada alasannya, namun, semua yang dilarang juga ada sebabnya. Tidak pernahkah mereka merasa ada yang salah jika sang anak melakukan sesuatu yang menyebabkan hal itu dilarang?

Besar dan tumbuh di lingkungan keluarga dan orang tua yang selalu melarang tanpa menjelaskan alasannya dan memikirkan apa penyebab dari hal tersebut dilarang memang terasa sangat melelahkan, terlebih sebagai anak, tidak ada yang bisa dilakukan selain menuruti semua petuah dan larangan yang ada. Anak selalu berada dalam 'mode siaga' dan terjebak dalam posisi di ujung tanduk. Jika tidak menurut akan dicap sebagai 'pembangkang' atau 'anak yang durhaka' dan jika menurut, anak akan tumbuh dalam tanda tanya dan tidak memahami apa yang membuatnya salah.

Saat ini, ingin sekali rasanya aku berteriak dan memberitahu orang tua dan keluargaku bahwa mereka adalah penyebab semua hal yang 'salah' dalam diriku. Terutama ayahku. Banyak yang mengatakan bahwa ayah adalah sosok pahlawan bagi anak perempuannya, ia adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. Dari pernyataan tersebut, aku bertanya-tanya. Jika memang ayah adalah pahlawan, apakah ada pahlawan yang membunuh orang yang seharusnya ia selamatkan? Jika memang ayah adalah cinta pertama, bagaimana bisa cinta pertama begitu menyakitkan hingga menyebabkan trauma abadi bagi yang mencintai? Entahlah. Bagiku semua pernyataan itu sangat tidak masuk akal.

Aku tahu, seharusnya aku mendatangi tenaga professional seperti psikolog atau psikiater untuk menghilangkan trauma dari diri ini. Namun, aku mengurung niat itu. Alasannya karena aku sangat tahu bahwa aku harus menceritakan apa yang membuat diriku trauma dan sakit, di titik itu bagaimana bisa aku mengatakan bahwa itu semua adalah ulah orang tuaku? Sementara di sisi lain, orang tuaku sangat menyayangiku, bagaimana aku bisa membuat mereka terdengar seperti penjahat?

............

"Ayah. lihatlah aku sudah menulis sebuah buku dan diakui oleh penerbit!" Aku berlari dengan sangat antusias sambil menunjukkan buku karyaku pada Ayahku.

"Buku macam apa itu?! Hanya orang bodoh yang mau membacanya, jangan asal menulis!"

Hatiku seketika hancur, apa memang karyaku sebodoh itu? Ayah bahkan hanya membaca judulnya saja, Mengapa ia mengatakan bahwa karyaku sejelek itu? Apa aku memang tidak pantas menulis? Bagaimana jika nantinya aku diharuskan membuat karya dan hasilnya sejelek ini? Aku sudah mengikuti pedoman dan kelas menulis, lalu kenapa hasilku sangat mengecewakan? Apakah aku memang bodoh dan tidak bisa mengerti satu hal pun?

Satu kalimat menyakitkan yang dilontarkan langsung menimbulkan banyak pertanyaan di benakku yang masih sangat muda itu. Aku mulai mempertanyakan diriku sendiri. Namun, aku tidak ingin menyerah begitu saja. Akhirnya aku memutuskan, jika Ayahku tidak bisa mengapresiasi diriku maka aku akan mendapatkannya dari orang lain. Diam-diam aku kembali menulis dan menghubungi banyak penerbit dan mengikuti beberapa perlombaan. Aku menjadikan kata-kata Ayahku sebagai motivasi untuk menjadi penulis yang baik. Namun, tetap saja seberapa keras aku berusaha, takdirku sebagai anak hanya akan selalu menjadi tempat yang salah.

"Kenapa kamu tidak memberitahu ayah, jika karya mu terbit lagi? Kau kan bisa beri tahu ayahmu!"

Lagi-lagi benakku bertanya saat mendengar perkataan itu. Bagiamana bisa aku menunjukkan apa yang sudah aku capai jika respon ayah semenyakitkan itu? Aku bahkan sampa mempertanyakan diriku sendiri saat mendengar respon ayahku saat iru. Ajaibnya aku mendengar respon itu setiap kali aku berusaha menunjukkan pencapaianku sampai akhirnya aku menyerah dan melakukan semuanya diam-diam. Aku kembali menjadi anak yang bersalah karena tidak memberitahu ayahnya tentang pencapaiannya sendiri. Lagipula, apa yang akan ayahku katakan jika aku memberitahunya? Tidak mungkin ayahku akan memberikan kata-kata apresiasi atau kata-kata yang positif. Apa gunanya jika aku beritahu?

......

"Ayah, aku pikir sebaiknya kita mengikuti saran dari guru 'A'. Dipikir berulang kali pun, yang dikatakan guru 'A' ada benarnya." Aku berusaha memberikan pendapat pada Ayahku ketika keluarga kami sedang menghadapi masalah.

"Nggak, cara itu tidak akan berhasil!" Ayah merespon lagi-lagi dengan nada tinggi.

"Tapi,..."

"Sudah dibilang tidak akan berhasil, kamu ini kenapa susah sekali diberi tahu?!" Kali ini, Ayah membentakku hanya karena aku memberikan pendapat yang berbeda dari pemikirannya.

Benakku kembali bertanya, Kenapa ayah sebegitu tidak terima, padahal aku sudah berusaha mencari solusi yang mungkin bisa membantu. Kenapa aku tidak bisa memberikan pendapat yang sejalan dengan pemikiran ayahku? Kenapa ayah memarahiku hanya karena aku berbeda pendapat? Apa aku memang tidak berguna?

Setelah berulang kali berinisiatif memberi pendapat dan membantu mencari solusi ketika ada masalah dan selalu mendapat respon yang tidak jauh berbeda. Aku memutuskan untuk menyerah, aku tidak akan mencoba apapun lagi, aku hanya akan diam menyimak dan mengamati apa yang tengah terjadi. Diam seperti batu. Akan tetapi, aku tetap saja salah.

"Kau ini sudah besar, seharusnya kamu membantu untuk menyelesaikan masalah, bukannya malah diam dan tidak melakukan apa-apa!" Ya, Ayahku kembali menyalahkan diriku.

Aku sudah berusaha merubah diriku, usaha juga ada batasnya. Ketika semua terasa sia-sia bukankah tidak apa-apa jika bagiku memutuskan untuk menyerah dan tidak mengusahakan apapun? Apa menyerah juga merupakan kesalahanku? Apa tidak bisa Ayahku merasakan jadi diriku yang selalu berada di ujung tanduk? Aku bahkan tidak merasa nyaman di rumah.

Ayah, apakah kau tahu bahwa dirimu sudah berulang kali membunuh diriku sehingga aku terus menerus mempertanyakan diriku, apa aku memang tidak berguna? Ayah, jika kau melihat aku menjadi pemalu, pendiam dan tidak sesuai dengan ekspektasimu. Itu semua karena ulahmu sendiri. Semakin aku bertumbuh dewasa, trauma dan ketakutan bahwa diri ini tidak berguna terus menghantuiku hingga saat ini. Ayah, aku muak. Tolong jangan bunuh aku lagi. Aku mohon.

......

"Ibu, aku rasa kata-kata ayah sangat menyakitkan, bukankah ayah tidak boleh seperti itu?" Aku bertanya pada ibu setelah menenangkan diri dengan menangis di kamar mandi.

"Kau sendiri tahu ayahmu begitu. Jangan dimasukkan ke dalam hati, turuti saja!"

Bahkan ibuku yang sudah lama menyerah malah membuatku semakin muak. Aku tidak membutuhkan pembelaan namun, aku tidak melakukan kesalahan apapun dan aku yang disuruh untuk terus mengalah. Ibuku bahkan terkesan tidak peduli dan melanjutkan kegiatannya setiap kali aku bercerita atau memamerkan sesuatu. Jika ibuku juga merespon seperti itu, lalu pada siapa lagi aku bisa menceritakan dan memamerkan pencapaianku?

Pada akhirnya aku memilih untuk diam. Hati ku berkata akan lebih baik jika orang tua ku tidak tahu apa-apa tentang diriku. Aku melangitkan keluhanku.

'Tuhan, aku muak. Aku benci harus terjebak di setiap saat aku berdebat dengan ayahku.'

'Tuhan, aku rindu diriku yang lama, aku muak harus terus menerus diam. Tidak bisakah Engkau menghidupkan kembali diriku yang lama?

'Tuhan, aku muak, aku lelah, tidak bisakah aku lepas dari situasi ini?'

Tidak peduli seberapa sering aku melangitkan keluhanku. Aku harus menerima kenyataan bahwa orang yang membunuh mental dan keberanianku adalah Ayah dan Ibuku. Orang tuaku. Aku tidak akan pernah bisa menyimpan dendam atau membenci mereka. Sesulit apapun keadaanku, aku tetap tidak akan bisa menukar orang tuaku dengan orang lain. Aku tidak ingin menjadi anak dari orang lain selain, Ayah dan Ibuku. Aku, diriku yang telah lama mati dan diriku yang sangat ini hanya akan bisa menyayangi orang tuaku. Aku tidak bisa mengubah mereka sampai kapanpun.

Dari situasi memuakkan dan perasaan sayang inilah aku hanya bisa melangitkan permintaanku.

"Tuhan, aku memang sudah muak, tapi tolong hapus keluhku secepat mungkin agar aku bisa kembali melangitkan keluhku yang selanjutnya."

Tuhan, aku menyayangi orang tuaku meskipun mereka membunuh diriku berulang kali.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Pembunuh yang Kucintai
Kaylasyifa Azzahrie
Cerpen
Pahlawan Tanpa Tanda Apa-apa
Wina Alda
Cerpen
MENTARI GADIS DESA
Fatihah Nur jannah
Cerpen
Bronze
Waktu
precious
Cerpen
Bronze
Usman dan Ujang, Suatu Kali
Harsa Permata
Cerpen
Bronze
Ini tentang Cinta; Mati
Andriyana
Cerpen
Saya ingin pulang
Andi Bayu Putra
Cerpen
Bronze
Maghdiraghar Nyurathala
JWT Kingdom
Cerpen
Gadis & Rongsokan
Raka Santigo
Cerpen
Guru Utara dan Selatan
Irvinia Margaretha Nauli
Cerpen
Bronze
Di Bawah Tebing Terjal Pemanjatan
Ismail Ari
Cerpen
Bronze
Overtime
Aylanna N. Arcelia
Cerpen
Bronze
Lentera Pecah
Alya Nazira
Cerpen
Bronze
Pelukis Jalanan
AnotherDmension
Cerpen
Who Let The Dog Out
Yuna Thrias
Rekomendasi
Cerpen
Pembunuh yang Kucintai
Kaylasyifa Azzahrie
Flash
Bronze
Intuisi
Kaylasyifa Azzahrie
Cerpen
Please, Give Me Back My Self
Kaylasyifa Azzahrie
Cerpen
No Offense But,
Kaylasyifa Azzahrie
Cerpen
Dear His Future Girlfriend...
Kaylasyifa Azzahrie
Flash
Bronze
Sepertiku
Kaylasyifa Azzahrie
Novel
The Five
Kaylasyifa Azzahrie