Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam menjelma jadi bara, mengisi rongga dadaku dengan keberanian yang entah dari mana datangnya.
Jalan-jalan gelap berbisik lirih, seolah ikut menyulut api perlawanan. Kabar itu sudah merebak, riuh di telinga rakyat kecil yang saban hari dicekik peraturan, dijadikan sapi perah, dan dipaksa tunduk pada pemimpin yang hanya hafal kalimat ancaman, bukan kesejahteraan.
Aku hanyalah bagian dari kalangan bawah, sisa-sisa manusia yang diperas tanpa pernah dipandang. Setiap aturan baru terasa seperti jerat yang makin mencekik, memeras peluh, lalu menelantarkan kami.
Konon, katanya semua kebijakan demi rakyat. Entah rakyat yang mana, karena kami tak pernah masuk diantaranya.
Tapi malam ini, aku berdiri dalam imajinasiku: di depan barisan ribuan manusia yang sudah jengah. Kami akan menggugat.
Kami akan memaksa kursi kekuasaan goyah. Kami ingin didengar, meski hanya sekali sebelum suara kami kembali dikubur.
Namun lamunan tentang esok buyar saat pintu rumahku digedor keras, seakan hendak dijebol oleh murka.
Aku buka pintu, dua pria tegap berdiri di sana. Wajahnya seperti batu, dingin, tanpa gurat belas kasih.
“Selamat malam, Mas,”
ucap salah satunya, datar, seakan salam hanyalah basa-basi sebelum tikaman.
“Ada apa?”
tanyaku, meski jawabannya sudah kutebak.
Langsung saja ia menelanjangi maksud kedatangannya.
“Besok, batalkan aksi. Jangan melakukan hal bodoh.”
Nadanya keras, matanya bringas.
“Oh… jadi kalian suruhan itu.”
Suaraku bergetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang dipaksa menahan diri.
“Katakan pada majikanmu, rakyat sudah tak tahan. Kebijakan yang dibuat hanya untuk melindungi langit kekuasaan, bukan bumi tempat kami berpijak.”
Mereka saling pandang, lalu salah satunya maju setapak.
“Apa kamu tidak sayang nyawa?”
Nyawa. Kata itu meluncur begitu enteng, seakan manusia hanyalah dadu yang bisa dibuang ke selokan. Aku menatap matanya.
“Aku yang memulai semua ini, dan aku yang akan mengakhirinya. Bahkan kalau taruhannya nyawaku sekalipun, aku tak gentar.”
Kalimat itu meluncur begitu saja, meski aku tahu keberanian sering kali hanya ilusi yang lahir dari putus asa.
Ia menatapku, tersenyum sinis, lalu mendekat, suaranya serupa bisikan racun.
“Kamu masih terlalu polos. Tidak tahu bagaimana politik bekerja. Kalau sampai kekuasaan itu goyah, bukan kau yang pertama mati. Orang tuamu. Orang-orang dekatmu. Itu taruhannya.”
Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada ancaman pistol. Aku berteriak, mengancam akan melapor.
Tapi siapa yang akan peduli? Aparat? Mereka hanya muncul ketika ada mayat, dan itu pun kalau korban bukan lawan penguasa.
Kedua pria itu pergi, meninggalkanku dengan amarah yang menggerogoti tulang.
Aku jatuh terduduk, tetapi pikiranku tercebur ke dalam pusaran ketakutan. Bukan takut kehilangan nyawa sendiri—aku sudah siap menumpahkannya di jalanan.
Yang kubenci adalah kenyataan bahwa darah orang tuaku, yang terlalu berharga, kini dijadikan kartu tawar-menawar.
Besok, ribuan orang akan tetap berdiri. Tapi aku? Aku mendadak lumpuh. Lidahku beku.
Aku, yang memulai nyala, dipaksa menutup suara dengan ancaman keluarga. Ironi ini lebih kejam daripada borgol.
Seorang orator yang siap menyalakan gelombang, kini bisu oleh permainan paling kotor di republik: gertak dan sandera.
Malam ini aku belajar satu hal: penguasa tak takut pada rakyat yang marah. Mereka hanya takut pada rakyat yang nekad.
Itu sebabnya kami selalu dijinakkan—dengan ancaman, dengan intimidasi, atau dengan jerat keluarga yang tak bersalah.
Aku ingin percaya bahwa perubahan masih mungkin. Tapi untuk sementara, biarlah aku menutup mulut.
Bukan menyerah, hanya menunda teriakan. Karena di tanah ini, keadilan memang tidak pernah jatuh dari langit.
Ia selalu dipetik dengan tangan yang berdarah—dan entah kapan giliran kami tiba.
*****
Epilog
Sejarah negeri ini selalu ditulis dengan tinta ketakutan. Setiap keberanian yang mencoba menantang, selalu dipatahkan dengan cara yang paling pribadi: mengiris keluarga, menodongkan harga diri, atau menukar nyawa orang-orang terdekat jadi taruhan politik.
Begitulah cara kekuasaan menjaga singgasananya, bukan dengan cinta rakyat, melainkan dengan teror yang disamarkan sebagai nasihat bijak.
Ironi terbesar adalah kami, rakyat kecil, hanya punya dua pilihan yang sama pahit: diam dalam hisapan aturan, atau bersuara lalu diseret ke liang.
Malam itu aku mengerti, perlawanan bukan sekadar soal berani berteriak.
Perlawanan adalah bagaimana bertahan hidup tanpa kehilangan alasan untuk terus marah.
Mereka bisa membungkam mulutku, tapi tidak bisa merampas keyakinan bahwa suara kami akan menemukan jalannya sendiri.
Tak ada tirani yang abadi, bahkan yang paling licik sekalipun. Ancaman hanya menunda, tidak pernah mematikan.
Besok, mungkin aku tidak berada di barisan depan. Mungkin namaku akan tenggelam bersama ribuan wajah lain yang pernah mencoba melawan.
Tapi aku tahu bara yang kutanam malam ini akan terus bersembunyi di dada banyak orang.
Bara yang perlahan menyala jadi api, lalu membakar meja-meja rapat, kursi-kursi empuk, dan gedung-gedung yang berdiri di atas kebohongan.
Dan ketika hari itu tiba, penguasa akan sadar: semua gertak, semua ancaman, semua sandera—tak lagi cukup untuk meredam gelombang.
Karena rakyat yang dipaksa bungkam akan selalu menemukan cara baru untuk bicara. Suara tidak pernah mati, ia hanya berganti mulut.