Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Yuda menurunkan dus terakhir dari bagasi mobil sewaan, menghela napas panjang, lalu mengelap keringat di pelipisnya. Rumah kontrakan mungil ini berdiri di gang sempit pinggir kota, hanya lima menit dari pabrik tempatnya bekerja. Tidak terlalu bagus, tapi cukup. Yang penting murah, bersih, dan… tidak banyak tetangga ingin tahu.
Ia menutup pintu besi yang sudah karatan lalu memeriksa kunci jendela satu per satu. Matahari baru saja tenggelam, dan cahaya oranye terakhir masih memantul di jendela kaca buram dapur. Rumah ini terdiri dari dua kamar tidur, satu ruang tamu kecil, dapur sempit, dan kamar mandi di pojok belakang. Di luar, ada sumur lama yang sudah ditutup cor-coran semen. Di dalam, suasana seperti rumah tua kebanyakan: sedikit bau lembap, cat yang mengelupas, dan langit-langit yang tampak terlalu rendah. Tapi Yuda tak terlalu peduli. Hidup sudah cukup rumit untuk mempermasalahkan estetik.
Malam itu, setelah makan nasi bungkus dan merapikan tempat tidur, Yuda duduk di kasurnya sambil menyalakan radio kecil. Ia tidak punya televisi. Tidak butuh. Lagu-lagu tahun 90-an mengalun pelan dari radio butut. Hening menyelimuti rumah, kecuali suara jangkrik dari luar dan gesekan pelan pohon pisang di samping rumah. Ia memejamkan mata.
Namun, beberapa menit setelah memadamkan lampu, terdengar sesuatu.
“Ssshhh… sshhh…”
Yuda membuka mata. Matanya menatap langit-langit.
“Ssshhh… Yuda…”
Ia langsung duduk tegak.
Itu… suara. Seperti bisikan. Tapi bukan dari luar jendela. Bukan juga dari radio. Ia merasa suaranya datang dari atap rumah—tepat di atas tempat tidur. Nadanya lirih, nyaris seperti desahan, tapi jelas menyebut namanya.
Yuda menyalakan lampu dan berdiri. Langit-langit rumah itu hanya papan tripleks tipis. Ia menatap titik di mana suara itu berasal, namun tak ada apa-apa. Ia mencoba menenangkan diri. Mungkin hanya angin. Mungkin suara tetangga. Ia mengambil minum, mematikan lampu lagi, dan memaksakan diri tidur.
Tapi malam itu ia tidak benar-benar tidur.
Keesokan paginya, Yuda pergi ke warung dan mencoba bertanya pada ibu warung tua di ujung gang.
“Ada apa, Mas?” tanya si ibu sambil mengaduk kopi.
“Rumah yang saya sewa itu, sebelumnya ditinggali siapa ya, Bu?”
Si ibu berhenti mengaduk. “Itu rumah Pak Harun dulunya. Tapi udah lama kosong. Mungkin… lima tahun lebih.”
“Kenapa kosong lama?”
Ibu warung menunduk. “Nggak ada yang betah. Gitu aja, Mas. Tapi kalau Mas kuat, ya bagus.”
Yuda mengernyit. “Maksudnya?”
“Kadang… ada suara-suara,” jawab si ibu pelan. “Tapi mungkin cuma tikus. Rumah tua, kan.”
Yuda tidak berkata apa-apa lagi. Tapi kata "suara" itu membuat perutnya terasa tidak nyaman.
Malam kedua.
Langit di luar hujan gerimis. Atap rumah mengetuk-ngetuk dengan irama tidak beraturan. Yuda mematikan lampu, menarik selimut, dan menutup mata.
Lalu…
“Yuda… kamu ingat?”
Ia membuka mata. Kali ini suaranya lebih jelas.
“Yuda… kamu masih bohong, ya?”
Yuda memekik dan bangkit dari kasurnya. Ia menyalakan lampu dengan gemetar. Tidak ada siapa pun. Tapi suara itu tidak seperti ilusi. Itu nyata, dan bahkan menyebut sesuatu yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
“Masih bohong?”
Tidak ada yang tahu tentang itu. Tentang kejadian di masa lalu yang ingin ia kubur dalam-dalam.
Keringat dingin menetes di lehernya. Yuda menatap atap, lalu perlahan naik ke kursi. Ia menempelkan telinga ke langit-langit tripleks itu.
Hening.
Sampai tiba-tiba—
TOK. TOK. TOK.
Tiga ketukan. Tepat dari balik papan, seolah seseorang menunggu dia membalas.
Yuda jatuh dari kursi.
Dan malam itu, ia tahu: sesuatu ada di atas. Dan tahu siapa dirinya sebenarnya.
Pagi harinya, Yuda bangun dengan mata merah dan kepala berat. Tidur semalaman hampir tak terjadi. Ia hanya berguling-guling dalam selimut sambil menatap langit-langit yang diam, namun terasa hidup.
Ia tak berani naik ke atap, tapi pikirannya tak henti bertanya. Apakah itu suara roh? Makhluk gaib? Atau… hanya bisikan nuraninya yang mulai memberontak?
Setelah mandi dan minum kopi hitam, Yuda memutuskan menyelidiki rumah itu lebih dalam. Ia mengambil senter dan membuka lemari kecil di kamar tamu yang kemarin belum sempat disentuh. Di dalamnya, tertumpuk beberapa barang lama yang berdebu: buku agenda, beberapa foto hitam putih, dan sebuah boneka kayu kecil tanpa wajah.
Yuda menggigil melihat boneka itu. Ia tidak tahu kenapa, tapi ia merasa seolah boneka itu sedang memperhatikannya. Ia menaruhnya kembali dan memilih membuka buku agenda tua.
Tulisan tangan di dalamnya milik seseorang bernama “Harun”.
“Malam ini terdengar lagi. Bisikan dari atas. Tapi aku tak pernah berani naik. Aku takut… suara itu menyebut namaku.”
“Aku kira aku gila. Tapi Dina juga mendengarnya. Bahkan ia melihat… sesuatu merayap di langit-langit.”
Yuda menelan ludah. Nama Harun… itu nama pemilik lama rumah ini, bukan? Dan siapa Dina? Istrinya?
Ia membalik halaman lain.
“Dina hilang. Aku pergi ke kantor, dan saat pulang… tak ada jejak. Tapi di atas, aku mendengar tangisnya. Suara itu menirukan dia. Tapi aku tahu, itu bukan Dina.”
Yuda langsung menutup buku itu dan memeluk dirinya sendiri. Pagi itu, matahari bersinar terang di luar jendela, tapi hawa di dalam rumah serasa jatuh ke suhu kutub.
Sore harinya, Yuda membeli tangga lipat dan membawa pulang dengan tergesa. Ia merasa harus melihat isi loteng itu. Apapun yang bersembunyi di atas, ia tak tahan lagi dikejar rasa penasaran dan ketakutan yang menggerogoti.
Langit mulai menggelap. Suara adzan terdengar dari kejauhan saat ia mulai membuka panel kecil di sudut langit-langit ruang tamu. Tangga bergoyang ringan di bawah kakinya, dan bau kayu tua menyeruak saat lubang loteng terbuka.
Ia menyorotkan senter.
Debu tebal menyelimuti seluruh permukaan. Ada kotak-kotak tua, sarang laba-laba, dan… jejak kaki. Ya, jejak kaki kecil, seperti milik anak-anak, melintasi debu dengan arah acak. Tidak hanya satu pasang—ada banyak.
Yuda menahan napas.
Lalu… ia melihat sesuatu bergerak di sudut. Gerakan cepat. Kecil. Seperti… tangan.
Ia menjulurkan senter ke arah itu, namun tidak menemukan apa pun. Tapi saat ia hendak menurunkan senter, sebuah suara muncul di telinganya, sangat dekat—sangat nyata.
“Kamu naik… akhirnya…”
Yuda terjatuh dari tangga. Tubuhnya menghantam lantai dengan keras. Pandangannya kabur, napasnya tercekik.
Saat ia membuka mata, ia melihat bayangan tipis merayap di langit-langit… seolah menyatu dengan kayu dan debu. Benda itu… atau entitas itu… tidak berbentuk jelas. Hanya sekumpulan kabut hitam dengan tangan kurus dan jari-jari terlalu panjang.
“Kau sudah tahu, kan? Kenapa semua ini terjadi…”
Malam itu, Yuda berbaring di kasur dengan tubuh gemetar dan pikiran melayang-layang. Ia tahu sekarang, sesuatu memang mendiami rumah ini—sesuatu yang bisa berbisik, meniru, dan tahu rahasia terdalam seseorang.
Ia memejamkan mata.
Dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia bermimpi tentang kejadian yang ia pikir telah ia kubur: malam saat ia dan dua temannya kabur dari tempat itu… dan satu orang tidak pernah kembali.
Dalam mimpi itu, ia mendengar suara dari atas…
“Kenapa kamu tinggalkan aku, Yuda…?”
Sejak malam ia jatuh dari tangga, Yuda mulai bermimpi buruk setiap hari. Mimpi yang bukan sekadar bunga tidur—melainkan potongan masa lalu yang dulu coba ia kubur dalam-dalam. Tapi mimpi itu semakin lengkap tiap malam, seperti potongan puzzle yang akhirnya bersatu.
Ia masih remaja saat itu. Bersama dua sahabat: Andre dan Jefri. Tiga bocah nekat yang menyusuri bangunan tua tak jauh dari kompleks rumah mereka. Bangunan bekas rumah sakit jiwa yang ditinggalkan pasca kebakaran. Sebuah tantangan malam Jumat untuk “buktikan keberanian.”
Tapi mereka tidak semua kembali.
Jefri… hilang malam itu.
Yang tersisa hanya teriakan dan langkah-langkah berlari tak tentu arah. Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan Andre dan Yuda tak pernah membicarakannya lagi. Trauma membuat mulut mereka terkunci.
Namun kini, suara di atap itu… memanggil namanya, dan kadang—menyebut nama Jefri.
Pagi hari, Yuda mendatangi rumah Andre yang sekarang tinggal di luar kota. Ia tak sanggup menghadapi semua ini sendiri. Setelah kontak singkat dan janji ketemuan di stasiun, Andre langsung mengenalinya.
Wajah Andre tampak lebih tua dari usianya, dan ia langsung menatap Yuda dengan cemas.
"Apa kau... dengar suaranya juga?" tanya Andre tanpa basa-basi.
Yuda mengangguk perlahan.
"Aku pikir itu cuma aku yang merasa bersalah."
Mereka duduk di warung kecil dekat rel kereta, membicarakan malam itu dengan pelan—hati-hati seolah takut sesuatu bisa mendengar.
"Aku... aku pikir kita meninggalkan Jefri. Tapi malam itu, aku melihat dia ditarik... oleh sesuatu. Bukan manusia. Bukan..." suara Andre bergetar.
Yuda menunduk. Ia juga melihatnya. Tapi ia memilih berlari.
"Rumah itu, tempat aku tinggal sekarang... aku rasa itu punya hubungan dengan kejadian itu."
Andre mengerutkan dahi. "Bagaimana bisa?"
"Aku temukan catatan lama. Nama pemiliknya Harun. Istrinya juga hilang. Tapi yang paling aneh—aku dengar suara Jefri di loteng. Suara yang... bukan milik manusia."
Malam itu, setelah kembali dari pertemuan dengan Andre, Yuda mulai menyusun keberaniannya. Ia yakin bahwa apa pun yang menghantui rumah ini, bukan hanya entitas asing, tapi juga penyesalan yang tak selesai.
Ia kembali membuka panel ke loteng, membawa senter, jimat kecil pemberian ibunya, dan rekaman suara yang ia setel dari ponsel: suara Jefri saat kecil, satu-satunya yang masih tersisa dari video lama.
Ketika suara itu diputar, suasana loteng berubah. Udara mendadak dingin, dan dari sudut, sosok hitam kembali muncul. Tapi kali ini... bentuknya lebih jelas.
Sosok itu menyerupai anak remaja, tapi wajahnya rusak. Bukan karena luka, tapi seperti dipahat ulang oleh kegelapan.
"Kenapa kalian lari...?" Suaranya serak, patah-patah, tapi jelas menyimpan luka.
Yuda menggigil, tapi ia memberanikan diri bicara.
"Maaf... maaf kami tinggalkan kamu. Kami takut. Aku pengecut..."
Sosok itu mendekat, perlahan, mengambang tanpa suara.
"Aku berusaha keluar. Tapi rumah itu... rumah ini... menahanku. Suaraku hanya sampai ke atas."
Yuda merasa berat di dadanya. Loteng itu bukan sekadar ruang kosong—ia menyimpan pengorbanan yang tertinggal.
Sosok itu perlahan meredup, lalu menunjuk satu titik di lantai loteng. Sebuah papan kayu yang tampak berbeda dari sekitarnya.
Dengan gemetar, Yuda mencungkil papan itu. Di bawahnya, terdapat kotak besi kecil, berkarat, dengan inisial “J.S.”
Isinya?
Potongan pakaian sobek, dan kalung kecil berbentuk kompas. Kalung milik Jefri.
Yuda menangis malam itu. Tangis yang selama ini ia tahan. Saat ia memeluk kotak itu, suara dari atas terdengar lebih pelan.
"Sekarang kamu dengar aku…"
Dan suara itu, akhirnya... diam.
Hari-hari setelah penemuan kotak itu terasa berbeda bagi Yuda. Rumah itu, yang dulu terasa dingin dan menyesakkan, kini lebih sunyi—tapi dalam arti yang lebih damai. Tak ada lagi suara langkah di loteng. Tak ada lagi bisikan yang menyeret mimpi-mimpi buruknya.
Namun, sunyi yang tersisa bukan tanpa luka. Yuda tahu, penyesalan tak pernah benar-benar hilang. Tapi ia telah menghadapi ketakutan itu, bukan dengan pelarian, melainkan keberanian untuk mengaku dan meminta maaf.
Tiga hari kemudian, Yuda dan Andre pergi bersama ke tempat dulu mereka kehilangan Jefri: bangunan tua yang kini tinggal puing. Di antara semak liar dan tembok yang tinggal separuh, mereka berdiri diam dengan kepala tertunduk. Di tangan Yuda, kotak besi berkarat itu masih ia genggam erat.
"Jefri tak pernah ingin kita dihantui," ucap Andre pelan. "Ia cuma... ingin didengar."
Yuda menggali tanah di bawah pohon tua yang masih berdiri di sisi timur bangunan. Di sana, mereka menguburkan kotak itu. Tak ada doa panjang, hanya keheningan dan bisikan maaf yang terlambat.
Sebuah angin lembut berhembus melewati wajah mereka.
Beberapa minggu berlalu. Yuda menata ulang rumah. Loteng ditutup permanen, bukan karena takut, tapi karena kini ia tahu, yang bersemayam di sana telah tenang.
Ia mulai menulis diari, membagi kisahnya ke komunitas online. Bukan untuk tenar, tapi sebagai bentuk tanggung jawab—agar tak ada yang mengabaikan suara-suara kecil yang minta didengar.
Satu malam, saat duduk di ruang tamu sambil membaca, ia mendengar langkah kecil di atap.
Deg.
Tapi hanya satu langkah. Lalu sunyi.
Yuda menutup bukunya dan tersenyum. "Selamat jalan, Jef."
Dan malam pun benar-benar tenang.
Tamat.