Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
Pelukis Kejam
1
Suka
1,040
Dibaca

Rumah Sakit Jiwa Sastodimojo kentara sepi. Tidak ada satu orang pun yang menjenguk saudara atau kerabat di sini. Bangunan rumah sakit ini sudah tua. Banyak tembok-tembok yang mengelupas. Pohon-pohon rindang menghiasi seakan menyatu dengan gedung.

Vika memandang sejenak bagian depan rumah sakit. Dia merasa bimbang jika adiknya berada di sini. Vika tak percaya bahwa Lina mengalami gangguan jiwa. Lina tak pernah mengalami masalah yang begitu besar. Wanita itu selalu santai menghadapi masalahnya. Apalagi Lina menikmati hidupnya.

“Permisi, ada yang bisa saya bantu?” ujar resepsionis rumah sakit jiwa dengan menatap senyum seolah-olah Vika pengunjung pertama.

“Sus, saya mau ketemu a-adik saya yang dirawat di s-sini. N-Nama Lina Aprilia,” jawab Vika dengan nada bicara terbata-bata karena masih bingung.

“Coba saya cek dulu, apakah ada di daftar pasien.” Wanita itu menatap layar monitor dengar serius. Jemarinya menempel pada layar seakan-akan dapat disentuh.

Setelah hampir satu menit menunggu, wajah resepsionis itu muncul lagi. “Maaf, tidak ada nama pasien bernama Lina Aprilia.”

“Hah! Yang benar? Kata ibu saya, dia dirawat di rumah sakit jiwa ini.” Vika tak percaya dengan ucapan sang resepsionis.

“Saya udah periksa berulang kali, tetapi tidak ada nama adik Mbak.” Sang resepsionis mempertahankan jawabannya.

“Enggak mungkin, enggak mungkin,” ucapannya lirih seraya memegang kepala.

“Lina! Lina! Vika berteriak-teriak memanggil nama adiknya sehingga mengalihkan perhatian beberapa orang di sekitar lobi rumah sakit. Sang resepsionis mencegah Vika untuk tidak berteriak dengan memegangi tubuhnya.

“Kamu pasti bohong! Lina pasti di sini. Kamu pasti menyembunyikan adikku!” Vika menatap tajam kepada sang resepsionis. Suaranya agak tinggi.

“Sudah saya bilang, nama Lina Aprilia tak ada di rumah sakit jiwa ini.” Sang resepsionis juga tidak ingin kalah dengan Vika.

Tiba-tiba datang seorang dokter bernama Lian, menghampiri Vika. “Ada apa ini ribut-ribut?”

“Maaf, Pak. Mbak ini memaksa mencari adiknya yang dirawat di sini, tetapi enggak ada pasien bernama Lina Aprilia.” Sang resepsionis menjelaskan permasalahannya.

“Kamu bohong!” bentak Vika sambil melotot matanya. Dia seperti lupa diri bahkan dia seperti orang gila memanggil-manggil nama adiknya.

“Kamu tenang dulu, ya. Mari ikut ke ruangan saya,” ucap dr. Lian ramah. Vika mengekor mengikuti dokter itu ke ruangannya.

Ruangan dr. Lian yang tak begitu besar, cat warna putih kelabu mendominasi, terdapat beberapa arsip-arsip di meja kerjanya. Vika duduk di hadapan dr. Lian. “Sekarang, ceritakan kenapa kamu menduga bahwa adikmu dirawat di sini?”

“Ibu saya bilang kalau dia dirawat di rumah sakit jiwa ini. Ibu juga bilang kalau ‘Lina gila karena pekerjaannya’. Aku merasa itu benar, dia gila karena tekanan pekerjaannya.” Vika menjelaskan apa yang terjadi.

“Apa pekerjaan adikmu? Bagaimana ciri-ciri fisik adikmu?” tanya dr. Lian hendak memastikan sesuatu.

“Dia seorang pengacara. Dia tidak tinggi, rambut poni warna pirang, matanya sepertiku. Dia sepertiku,” jawab Vika seraya menuding-nuding dirinya.

“Kalian kembar rupanya, cuma beda warna rambut.” Dr. Lian menyimpulkan seraya mengangguk-angguk.

Vika menatap tajam. “Di mana adikku?” 

Dr. Lian hanya diam, tak dapat menjawab karena tidak ada pasien bernama Lina di sini. Dia juga bingung harus melakukan apa. Dr. Lian sudah sepuluh tahun bekerja di Rumah Sakit Jiwa Sastodimojo. Banyak pasien gangguan jiwa di sini, tetapi setidaknya dia hafal sebagian nama-nama pasiennya karena sering berinteraksi dengan mereka.

Ponsel Vika berdering. “Halo, ini siapa?”

“Hai, Vika. Aku Rispo, pakai nomor baru. Aku baru tau bahwa Lina tidak di rumah sakit jiwa.” Suara pria serak di balik ponselnya.

“Terus di mana dia?” tanya Vika cepat dan tak sabar mendengar jawaban Rispo.

“Pulau Angias.”

“Baik. Aku akan ke sana.” Vika menutup teleponnya.

“Dia tak di sini. Dia di pulau Angias.” Vika meninggalkan ruangan dr. Lian tanpa pamit, sedangkan dokter itu hanya menatap aneh seraya geleng-geleng kepala.

Pulau Angias berada di wilayah selatan Kab. Semarang. Pulau kecil yang sepi penghuni. Rencananya dulu akan dijadikan tempat wisata oleh pemerintah daerah, tetapi proyek itu tak berjalan dengan baik. Maka dari itu, pulau kecil itu terlantar. Rumor mengatakan bahwa pulau itu memiliki kegelapan yang berbeda.

Sudah hampir setengah jam Vika menunggu angkutan Prona yang mengarah ke Pulau Angias. Cuaca panas menemaninya hari ini. Sesekali dia memeriksa jam pada ponsel, sudah hampir pukul tiga sore. Dia agak khawatir tidak ada angkutan lagi menuju ke sana. Sebelum ke Pulau Angias, harus ke dermaga Siok agar dapat berlayar ke pulau Angias. Jarak dari dermaga Siok ke Pulau Angias hanya lima belas menit. 

Angkutan Prona warna merah datang, Vika lalu bertanya, “Ke dermaga Siok, Pak?”

“Iya, Mbak,” jawab sang supir yang kira-kira usianya lima puluh tahun.

Di dalam angkutan, tidak ada penumpang lain selain Vika. Dia sempat lirik sana-sini merasa aneh. “Pak, enggak ada penumpang lain selain saya?”

“Dari sini ke Siok, jarang ada, Mbak. Dari Siok ke sini biasanya banyak.” Sang sopir menjelaskan agar Vika tak merasa aneh. Memang, Vika baru pertama kali naik angkutan Prona ke Siok. “Emang mau ngapain di dermaga Siok?”

“Saya mau ke Pulau Angias, Pak,” jawab Vika disambut anggukan dari sang sopir.

“Apa yang Mbak cari di sana?”

“Adik saya, Pak. Kata temenku dia di sana.”

“Sendirian?”

“Iya sendirian. Aku pengen ketemu dia. Kata ibu, dia mengalami depresi. Aku ingin menolongnya agar tidak menderita lagi.”

“Baiklah, Mbak.”

Perjalanan tak terasa sudah hampir sampai di Siok. Benar yang dikatakan sang sopir. Banyak yang menunggu angkutan Prona di tempat ini. Kebanyakan dari mereka adalah wanita paruh baya.

“Kalau mau ke Pulau Angias, temui Erik. Dia menyewakan kapal feri ke Pulau Angias.” Sang sopir memberitahu kepada Vika saat menerima uang.

“Makasih, Pak.”

Wanita rambut pirang itu menuju dermaga Siok dan mendapati pria rambut Man Bund sedang santai mengisap rokok. Dia mematikan rokok saat Vika menghampirinya. “Ada yang bisa saya bantu, Mbak?”

“Mas Erik ya?”

Pria itu mengangguk.” Kok tau nama saya?

“Dari supir Prona.”

Erik mengangguk-angguk. “Oh. Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya mau menyewa kapal feri ke Pulau Angias,” jawab Vika, lalu mengeluarkan beberapa lembar.

“Naik, Mbak. Kita berangkat langsung.” Vika memberikan uang kepada Erik.

Dalam benaknya, ada rasa khawatir kepada Lina. Apa yang adiknya lakukan di pulau terpencil itu? Dia bertanya pada dirinya sendiri. Apakah Lina sudah makan? Tidur di mana? Apakah melakukan yang aneh-aneh atau tidak? Vika begitu cemas sehingga menggigit jempol tangannya. Di sisi lain, Erik fokus mengendarai kapal feri sambil menikmati angin yang menerpanya.

Lima belas menit berlalu, Vika mendaratkan kaki di Pulau Angias. Deburan ombak besar menyambut kedatangannya. Inikah di namakan Pulau Kegelapan? Baginya tidak menyeramkan. Hanya saja, sore ini banyak kabut mengitari pulau ini. Sebelum pergi, Vika meminta nomor ponsel kepada Erik, jika nanti memerlukan jasanya lagi.

Vika menerjang pasir yang lembut sesekali memainkannya. Dia berharap bertemu dengan Lina sesegera mungkin. Namun, tiba-tiba dia memperhatikan dari jauh seseorang sedang melukis dekat pohon. Vika beringsut perlahan-lahan mendekati seorang pria di bawahnya. Siapa tahu dia bisa membantu mencari Lina.

“Permisi, bolehkah aku bertanya?” tanya Vika dengan ramah. Bagaimanapun, dia harus berhati-hati dengan orang asing di pulau jarang berpenghuni.

Pria itu menoleh dengan tatapan datar. Itu membuat Vika agak terkejut. “Boleh. Apa yang bisa aku bantu?”

“Kamu pernah liat wanita ini enggak?” Vika menunjukkan foto Lina pada ponselnya. Pria kepala botak itu memperhatikan dengan saksama, lalu dia menggeleng.

“Aku tak pernah melihat wanita seperti pada foto.” Pria itu melanjutkan melukisnya. 

Vika memperhatikan lukisan itu. Sebuah rumah besar dan dua wanita saling kejar-kejaran. Dia menatap lekat-lekat lukisan itu, tiba-tiba jantungnya bertalu-talu. Vika teringat sesuatu, tetapi entah apa itu. Hanya potongan-potongan kejadian tidak jelas. Vika memegang kepalanya dan tubuhnya hampir ambruk. Dengan sigap pria itu menahan agar tidak jatuh.

“Kamu terlalu capek. Istirahatlah di rumahku,” kata pria itu.

Vika mengangguk masih memegangi kepalanya. Dia memang sedang tidak sehat. Sudah satu bulan ini mengalami pusing secara tiba-tiba. Kata dokter, hanya pusing biasa, tetapi selalu terus-menerus setelah menempuh perjalanan jauh.

Di sebuah ruangan agak gelap—minim pencahayaan, mata Vika terbuka. Pandangannya sedikit buram, lalu dia mengedipkan mata beberapa kali. Sekarang terlihat jelas dia berada di sebuah kamar tak terlalu besar.

Pria bernama Anton sudah menyediakan teh hangat untuknya. Kebetulan dia merasa haus sekali, sehingga menandaskan sampai tak tersisa. Vika merasa lega setelah melampiaskan dahaganya. Anton muncul di balik pintu, lalu menghampirinya. “Bagaimana? Kamu sudah baikkan?”

Vika mengangguk.” Sudah. Namamu siapa? Dan di mana aku ini?”

“Aku Anton dan kamu berada di kamarku. Maaf, pencahayaan kurang.” Anton meninggalkan Vika. Itu membuat Vika bingung. Anton kembali hanya memperlihatkan kepalanya di pintu. “Kamu Vika Aprilia ‘kan?”

Vika mengangguk dan merasa aneh. Anton menghilang sepenuhnya dari balik pintu. Tubuh Vika semakin berat saja. Entah apa yang terjadi dengan tubuhnya. Seluruh tubuhnya pegal-pegal. Saat menapaki ubin, ujung kakinya seperti menginjak duri. 

“Tubuhku kenapa ini?” tanyanya kepada diri sendiri.

Pada pukul sepuluh malam Vika terbangun dari tidurnya karena mendengar erangan seekor anjing. Perlahan dia turun dari ranjang, lalu berjalan keluar kamar. Sampai di luar kamar, matanya melotot seolah-olah hendak keluar mendapati anjing terpanggang. Dia menatap ngeri melihat tubuh anjing sudah gosong bersama dengan erangan-erangan kesakitan.

Vika mencari Anton ke kamarnya. Lelaki itu sedang tertidur pulas, tetapi Vika mendapati korek gas berada di atas nakas dan berpikir Anton yang memanggang anjing itu.

Vika membangunkan Anton. Saat pria itu terbangun sambil mengambil korek gas, Vika bertanya, “Apa kamu memanggang anjing di ruang depan?”

Anton tak menjawab, hanya bisa tersenyum, lalu menjentik-jentikkan korek gas. Dia tertawa sambil menatap Vika yang kebingungan. “Orang lapar, apa pun akan menjadi santapan. Lapar ingin membunuh sebagai sebuah obsesi.”

Vika perlahan mundur saat Anton berdiri. Pria itu mendekatinya. “Jangan mendekat! Kamu pembunuh hewan dan kamu psikopat. Berhenti mendekat!”

Anton tak peduli dengan ucapan Vika. Dia tetap terus beringsut mendekati Vika seolah-olah akan menjadi mangsa berikutnya. Vika yang sudah keringat dingin, hanya bisa mundur sampai keluar kamar. Tidak ada pilihan lain, Vika harus keluar dari rumah ini meski jalannya agak pincang. Sepertinya Anton telah memberi obat bius pada teh yang diminum tadi sore.

Ternyata Anton seorang psikopat, pikirnya.

Vika berlari ke pintu. Sialnya, pintu itu terkunci dan kunci tak menggantung di sana, sepertinya Anton sengaja sudah mempersiapkan ini semua.

“Kamu cari ini?” Anton memamerkan kunci rumah sambil tertawa.

“Sialan!” gerutu Vika. Dia tak dapat berbuat apa-apa. 

Saat Anton mendekatinya, sedangkan Vika melemparkan apa saja yang ada di sekitar seperti buku tebal, bantal sofa, alat selancar sampai kursi kayu. Namun, Anton sangat santai menghindar, bahkan membakar bantal sofa menggunakan korek gas di tangannya.

“Biarkan aku pergi,” ucap Vika, “aku ingin mencari adikku di pulau ini.”

“Kamu tak menemukan siapa pun selain aku!” jawab Anton dengan suara gaharnya.

“Aku mohon jangan bakar aku.” Suara Vika bergetar saking takutnya. Baru kali ini dia berhadapan dengan psikopat. Biasanya hanya menonton di TV.

Anton menjambak rambut Vika, lalu menjentikkan korek gas di depan matanya. Seluruh tubuh wanita itu gemetar, sepertinya dia akan mati di tangan Anton. Api itu akan membakar tubuhnya. Namun, Anton memasukkan korek api ke dalam kantongnya, kemudian menyeret Vika ke sebuah ruangan. Ruangan ini ruang lukis milik Anton, berisi lukisan-lukisan. Vika tersungkur, kepalanya menatap pinggiran meja. Lelaki itu tertawa keras seolah telah memenangkan pertandingan.

Sementara, Vika membalikkan badan, lalu bergerak mundur dan menabrak tabung berisi kuas. Tanpa sepengetahuan Anton, tangan Vika meraih kuas, menyembunyikan di belakang tubuhnya.

Anton berjongkok di hadapannya. “Kamu telah menghilangkan apa yang aku sukai. Menghilangkan dia kesayanganku.”

“Ap-apa maksudmu? Aku tak mengerti,” jawab Vika terbata-bata.

“Kamu seorang pembunuh Vika. Pembunuh adikmu sendiri!” bentak Anton memperlebar matanya.

“Tidak!” Vika menancapkan bagian bawah kuas ke arah mata Anton sehingga pria itu mengerang kesakitan.

Dalam posisi kesakitan mata Anton yang menancap kuas, Vika berusaha mengambil korek gas di kantong celana Anton. Dia berhasil mengambilnya, kemudian Vika berlari ke dapur, dan kembali membawa minyak tanah. Dia menyiram minyak tanah ke tubuh Anton, lalu menyalakan korek gas dan melemparkannya. Vika menyaksikan tubuh Anton terbakar hingga hangus. Pekikan kesakitan yang keluar dari mulut Anton membuat wanita itu tertawa keras bahkan tertawa jahat.

Vika menatap lukisan-lukisan tentang pembunuhan. Itu semua lukisannya. Lukisan bagaimana dia pembunuhan adiknya. Lina dia bunuh seperti Anton. Pria itu sebenarnya tidak ada di dunia nyata. Semua itu hasil delusi pikirannya, seolah-olah Anton itu ada dalam dunia nyata. Vika membunuh Lina atas rasa iri karena adiknya selalu mendapat keuntungan dalam segala hal. Dia selalu menderita karena tak pernah mendapatkan keadilan apa pun. Bahkan ibunya jarang memberi perhatian kepadanya.

Rumah di Pulau Angias ini adalah miliknya. Memang benar Vika menyewa kapal feri, tetapi saat perjalanan ke sini, dia mencekik Erik dari belakang dan membuangnya ke laut seperti sampah. Sementara itu, dia tak pernah mengunjungi Rumah Sakit Jiwa Sastodimojo. Rumah sakit itu hasil dari delusi.

Setelah puas dengan tertawanya, Vika menaburkan minyak tanah pada tubuhnya, lalu membakar dirinya sendiri.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Thriller
Cerpen
Pelukis Kejam
Chesar Kurniawan
Novel
M.A.T.A.D.O.R
mahes.varaa
Novel
KELESAH
Yunita R Saragi
Flash
PIL-KA-DES
M. Yofi Prayoga
Novel
Crown
Arzen Rui
Novel
Meja Bundar
Hendra Purnama
Novel
Gold
Origin
Mizan Publishing
Flash
Bronze
BURST!!!
Shabrina Farha Nisa
Novel
Munyerau
Rizky aditya
Novel
QUITE
El
Novel
Died In The Secret Room
Adine Indriani
Novel
Bronze
WAR-TEL 89
Rizal Syaiful Hidayat
Novel
Bronze
OBSESI
KUMARA
Novel
Gold
Fantasteen: Lucid Dream
Mizan Publishing
Novel
Bronze
DEBAT
Bakasai
Rekomendasi
Cerpen
Pelukis Kejam
Chesar Kurniawan
Cerpen
Saranggola
Chesar Kurniawan
Novel
The Author: Seven Clue
Chesar Kurniawan