Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Pa, minggu depan aku sidang skripsi.” Ucap Andhita di sela makan malamnya bersama Papa.
“Hmm. Terus kenapa?” jawab Papa. Masih dengan aura dingin, dan tak peduli seperti biasanya.
Andhita menarik senyum pahit yang ia coba sembunyikan dari tatapan sang ayah. Seperti biasa, Ta! Lu ada tapi seolah tak terlihat! Ngapain juga kasih laporan, apalagi berlagak minta didoakan. Lucu! Gumam Andhita dalam hati.
“Terus kenapa kalau kamu mau sidang? Semuanya udah dibayarkan, kan? Apa lagi?” tanya Papa tanpa keramahan sedikitpun.
“Gak, Pa. Cuma mau kasih tau dan minta doa dari Papa aja.” Jawab Andhita sambil menahan perih dalam hatinya.
“Oh.” Jawab Papa dengan sangat singkat yang langsung bangkit dari kursinya dan meninggalkan Andhita di ruang makan sendirian.
Ini bukanlah kejadian pertama yang Andhita dapatkan dari Papanya. Mestinya enggak harus sesakit ini, Ta. Bukannya udah biasa dengan perlakuan seperti itu? Andhita bertanya kepada dirinya sendiri.
Ya! Sikap dingin, tak peduli, dianggap tak ada, bahkan seringkali disebut sebagai anak pembawa sial, sudah sering kali Andhita dapatkan semenjak lima tahun lalu ketika sang mama pergi untuk selamanya.
Andhita menyeka air mata yang sudah siap terjun bebas dari ujung matanya. Sebisa mungkin ia menahan rintik air matanya sambil membereskan piring kotor dan meja makan agar terlihat rapih kembali.
Selesai membereskan piring-piring dan dapur serta ruang makan, Andhita kembali ke kamarnya. Ia segera merebahkan badan di atas tempat tidurnya yang hanya berukuran 60 x120cm. Ia merasa sangat lelah. Bukan karena pekerjaan rumah apalagi persiapan sidang skripsinya. Karena yang membuatnya merasa sangat lelah adalah sikap papanya sendiri. Bertahun-tahun lamanya Andhita berada di keadaan yang sama sekali membuat ia tak nyaman. Bertahun-tahun pula ia terjebak dalam keadaan merindukan kedua orangtuanya.
Andhita membalikkan badan, menatap potret mama dan papanya yang ia pajang di atas nakas samping tempat tidur. Ia pun merubah posisinya. Ia duduk di pinggir tempat tidur sambil menatap potret mama dan papa yang kini sudah berada dalam genggamannya.
“Aku berdosa banget ya, Ma? Udah membuat Mama harus meninggalkan Papa secepat ini?” lirih Andhita sambil menatap potret sang Mama yang tersenyum begitu manisnya.
“Ma, semenjak Mama pergi, aku bukan cuma kehilangan Mama. Aku juga kehilangan Papa. Papa ada secara fisik di sini, aku yang menemani Papa setiap hari semenjak Mama pergi. Tapi nyawa dan hati Papa gak ada lagi buat aku, Ma. Aku rindu Papa yang dulu. Aku rindu Papa yang hangat dan perhatian sama aku, Ma. Dosa ku besar banget ya, Ma? Sampe Tuhan harus menghukumku seperti ini?” lanjut Andhita sambil menatap potret Mama dan Papa nya bergantian. Ia biarkan wajahnya basah oleh air mata. Ia membiarkan bulir air mata itu membicarakan kerinduan yang menyesakkan dadanya selama ini.
***
Lima tahun lalu.
Andhita baru saja melewati hari terakhir ujian sekolahnya. Sebagai tanda syukurnya, Andhita meminta ijin kepada Mama untuk pergi jalan-jalan dengan sahabat-sahabatnya sepulang sekolah sebagai bentuk perayaan kecil-kecilan karena mereka sudah melewati hari-hari ujian sekolah yang cukup menjadi beban untuk mereka.
Dengan segala pertimbangan, Mama mengijinkan Andhita pergi bersama sahabat-sahabtnya itu. “Tapi nanti pulangnya Mama yang jemput. Kasih tau aja kalian jalan kemana.” Titah sang Mama kepada Andhita. Dengan senang hati Andhita mengiyakan pesan sang Mama.
Setelah seharian penuh berjalan-jalan bersama sahabat-sahabatnya, Andhita merasa puas. Senyum tak lepas dari wajahnya. Ia kemudian ingat pesan mama untuk menghubunginya saat sudah siap untuk dijemput pulang.
"Ma, aku di mall biasa ya. Sebentar lagi pulang." Ucap Andhita ketika sambungan telepon dijawab oleh Mama.
“Tunggu di situ, Mama segera jemput.” Suara hangat Mama memberikan rasa aman dan nyaman di telinga Andhita.
“Oke, nanti aku tunggu di lobi pintu utama aja ya, Ma.”
“Iya. Tunggu ya.”
Andhita menunggu dengan hati penuh gembira, membayangkan akan menceritakan keseruan hari ini pada Mama di perjalanan pulang.
Namun, menit berlalu hingga tanpa terasa sudah bergulir satu jam. Mama belum juga datang. Berkali-kali Andhita melirik jam di ponselnya, sambil matanya panjang menatap jalan menunggu Mama datang dengan vios kesayangannya. Kalau dari kantor Mama harusnya lima belas menit juga udah sampe. Ini kenapa belum keliatan juga ya? Bisik hati Andhita yang sudah mulai cemas. Hingga akhirnya telepon dari Papa masuk.
“Andhita, kamu di mana sekarang?” suara Papa terdengar berbeda, lebih cepat dan cemas.
“Di mall biasa, Pa. Lagi nunggu Mama jemput ini. Mama tadi bilang sudah mau jemput aku.” Jawab Andhita.
“Pulang sendiri, sekarang!”jawab Papa dengan begitu tegasnya.
“Tapi, Pa.”
“Papa bilang pulang sendiri, sekarang!” Dengan cepat papa memotong ucapan Andhita.
“Mama … Mama kecelakaan, kondisinya kritis sekarang.” Lanjut Papa singkat, seakan berat mengatakan hal itu.
Dunia Andhita terasa runtuh seketika. Kakinya lemas, jantungnya berdegup tak karuan.
“Nyokap gue kecelekaan, Re.” Ucap Andhita kepada Rena yang masih setia menemaninya. Rena berusaha menenangkan, namun Andhita tak bisa mendengar apa pun. Dengan tatapan kosong, derai air mata, juga rasa bersalah yang mendadak memeluknya erat, ia hanya terdiam duduk tanpa tau harus berbuat apa.
Sehari pasca kecelakaan itu, Mama meregang nyawa di ruang ICU. Rasa bersalah Andhita semakin menjadi. Murkanya sang Papa tak bisa ia hindari. Sejak hari itu, Andhita disebut sebagai anak pemberi musibah. Bahkan yang menyebutnya seperti itu adalah ayahnya sendiri. Lelaki sebagai cinta pertamanya. Lelaki pertama tempat ia berlindung.
***
Andhita menggenggam potret itu semakin erat, mengingat malam itu—malam yang tak pernah ia bayangkan akan menjadi malam terakhirnya bersama Mama. Dalam pikirannya, ia selalu membayangkan bahwa jika ia tidak pergi bersama teman-temannya, mungkin Mama masih ada di sini.
Ia ingin meminta maaf pada Papa atas hari itu. Namun setiap kali ia mencoba, hanya dingin yang didapatnya. Andhita tidak pernah mendapat kesempatan untuk menjelaskan atau meminta pengertian Papa. Hanya kesedihan, rasa bersalah, dan jarak yang semakin lebar yang ada di antara mereka.
Andhita pulang larut malam, membawa kepenatan setelah sidang skripsi yang akhirnya selesai. Seusai sidang skripsi, Andhita tidak segera pulang ke rumah. Ia memilih untuk singgah sebentar ke makam Mama. menceritakan bagaimana perjuangannya untuk bisa sampai menyelesaikan kuliahnya tanpa mama, juga kehangatan sang papa.
Sesampainya di rumah, ia menemukan Papa duduk di ruang tamu, terlihat termenung dengan tatapan kosong.
“Sidang sudah selesai, Pa,” ucapnya pelan, berharap ada sedikit kehangatan dari Papa.
Papa menatapnya sejenak, kemudian mengangguk singkat tanpa berkata apa-apa. Seperti ada sesuatu dalam dirinya yang memberontak, Andhita tidak lagi bisa menahan perasaannya. Ia pun segera duduk di samping Papa setelah meletakkan beberapa bawaannya di sofa kecil di sampingnya.
“Papa, aku cuma ingin Papa tahu, aku sudah melakukan yang terbaik. Aku sudah berusaha untuk sampai di titik ini. Aku hanya ingin Papa bangga atas pencapaianku, Pa.”
Papa tak sedikitpun bergeming.
“Tapi kenapa Papa selalu melihat aku sebagai anak yang membawa sial? Kenapa aku selalu disalahkan atas kepergian Mama?” Suaranya mulai bergetar. Tangisnya pun mulai pecah.
Papa masih terdiam, matanya sedikit membelalak, seakan kalimat itu menusuk jauh ke dalam dirinya. Beberapa detik berlalu tanpa ada respons. Andhita merasa lega, sekaligus takut. Andhita menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. Namun, hatinya sudah telanjur memanas.
“Papa tahu nggak, selama lima tahun ini aku selalu merasa sendirian. Aku kehilangan Mama, lalu Papa juga pergi.”
“Papa ada, gak pernah pergi. Dan kamu tau itu.” Sergah Papa cepat.
“Papa memang ada di sini, tapi aku merasa seperti anak yatim. Setiap hari aku merasa bersalah karena Mama pergi saat ingin jemput aku, dan aku tahu Papa menyalahkanku! Papa ada di sini, tapi Papa menjauh. Aku merasakan itu, Pa!”
Papa terdiam, ekspresinya masih dingin, tapi ada bayangan rasa sakit di matanya. “Papa … nggak pernah bermaksud begitu, Ta.”
“Kalau nggak, kenapa Papa selalu bersikap seolah aku ini nggak penting? Kenapa semenjak nggak ada Mama perhatian Papa hanya berupa materi, uang, uang dan uang? Aku cuma mau Papa sadar aku masih di sini, Pa. Aku rindu Papa yang dulu. Yang hangat. Yang perhatian. Papa yang … pernah sayang sama aku dengan begitu sempurna.” Tangis Andhita semakin pecah.
Papa menghela napas panjang, dan untuk pertama kalinya, tatapannya melunak. Ia meletakkan tangannya di atas lututnya, suaranya rendah dan berat.
“Papa kehilangan arah waktu Mama pergi, Ta. Selama ini … Papa nggak tahu cara menghadapi rasa bersalah dan kehilangan itu. Papa pikir dengan menyalahkan, dengan bersikap dingin, semua rasa itu bakal hilang. Tapi ternyata justru Papa membuat jarak kita semakin jauh.”
“Papa tahu, setiap malam aku selalu bertanya-tanya, apa aku memang salah? Apa aku yang buat Mama pergi? Apa aku sejahat itu dalam hidup Papa? Dan kenapa Papa nggak pernah kasih aku jawaban?” getar suara Andhita mengucapkan itu.
Papa akhirnya menundukkan kepalanya. “Kamu nggak pernah salah, Ta. Mama pergi karena kecelakaan, itu bukan salahmu. Tapi Papa butuh waktu lama untuk menerimanya. Papa menyesal nggak pernah kasih kamu kesempatan untuk bicara.” Ujar Papa dengan suaranya yang mulai serak.
Andhita semakini terisak, dan tanpa disadari, Papa meraih tangannya. Ini pertama kali sejak bertahun-tahun mereka saling berjarak dan menjauh. Semenjak lima tahun berlalu, mungkin ini sentuhan pertama Papa kepada Andhita, sentuhan dengan penuh perasaan. Hangat, sekaligus menyakitkan.
“Aku rindu Mama, Pa. Aku rindu keluarga kita yang dulu. Aku cuma ingin kita bisa kembali, walaupun mungkin nggak sempurna seperti dulu. Dita rindu Papa yang dulu. Yang selalu ada buat Dita di kondisi apapun. Dita cukup kehilangan Mama, Pa. Dita nggak mau kehilangan Papa. Dita kangen Papa.” Lirih suara Andhita mengutarakan isi hatinya.
Papa mengangguk pelan, matanya basah. “Papa juga rindu, Ta. Dan kalau kamu mau, kita bisa mulai lagi. Mungkin pelan-pelan, tapi Papa janji nggak akan biarkan kamu merasa sendirian lagi.”
“Dita boleh peluk Papa?” tanya Dita sambil menatap wajah Papa dengan matanya yang basah.
Tanpa menjawab, Papa menarik Andhita kedalam pelukannya.
Hangat. Menenangkan. Merasa aman dan nyaman. Itulah yang dirasakan Andhita. Kehangatan, rasa nyaman dan aman yang selama lima tahun ini ia kehilangannya.
“Dita kangen Papa. Jangan menjauh lagi ya, Pa. Dita minta maaf.” Lirih Andhita dalam pelukan Papa.
Dengan lembut Papa mengecup puncak kepala Andhita. Ada getar rindu yang tak bisa dipungkiri oleh Papa. Juga ada rasa bersalah atas sikapnya yang selama ini mengabaikan dan menyalahkan putri semata wayangnya itu.
“Papa yang minta maaf. Kamu nggak salah, Ta. Maaf sudah membuat kamu harus merasa kehilangan Papa juga.”
Andhita tak dapat menjawab apapun. Pelukannya semakin erat. Tangisnya pun semakin pecah. Kali ini, tangis yang berderai dari matanya adalah tangis haru karena kembalinya Papa yang selama ini ia rindukan. Tuhan, tolong panjangkan waktuku dan Papa untuk bisa selalu bersama. Untuk menebus segala kerinduan yang selama ini ku simpan sendirian. Tolong, jangan jemput Papa untuk pulang sebelum aku membahagiakannya.