Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit sore di kota kecil itu mulai menguning, membentuk siluet pepohonan yang bergoyang perlahan ditiup angin. Suara bel sekolah menjadi penanda hari pelajaran terakhir menjelang kelulusan. Di bangku taman belakang sekolah, Nayla duduk bersandar pada pohon mahoni, menyibak helaian rambutnya yang tertiup angin. Di sebelahnya, Ares duduk sambil memainkan dawai gitar kecil yang selalu ia bawa ke mana pun.
"Hari ini rasanya terlalu cepat," gumam Nayla sambil menatap langit. "Kayak kita baru kemarin mulai kelas satu."
Ares tersenyum kecil, matanya tak lepas dari jemarinya yang memainkan dawai. “Atau mungkin kita yang terlalu lambat menyadari kalau semuanya akan berubah.”
Nayla menoleh padanya. Ada gurat resah di wajah Ares yang tak bisa ia abaikan. Ia mengenal Ares sejak mereka masih duduk di bangku TK—anak laki-laki dengan suara lantang dan tangan penuh cat air. Sejak saat itu, mereka tak pernah benar-benar terpisah.
“Kamu pernah ngebayangin kita bakal kayak gini?” tanya Nayla pelan.
“Kayak gimana?”
“Duduk berdua... nunggu waktu pergi.”
Ares tertawa kecil. “Nay, kita udah duduk berdua sejak umur lima tahun. Bedanya sekarang... duduknya pakai perasaan.”
Nayla terkekeh, tapi tak bisa menahan rona merah yang muncul di pipinya. Ia tahu apa yang dimaksud Ares. Beberapa bulan terakhir, ada sesuatu yang tumbuh di antara mereka—tak terucap, tapi terasa. Pandangan Ares yang dulu hanya penuh canda, kini sesekali mengandung makna yang membuat jantung Nayla berdebar. Sentuhan-sentuhan kecil saat mereka berjalan bersama pun terasa berbeda.
“Kalau waktu bisa berhenti,” kata Nayla pelan, “aku mau berhenti di detik ini.”
Ares menghentikan petikannya. Ia menatap Nayla, lama, seolah ingin menangkap tiap garis wajahnya dan menyimpannya dalam ingatan. “Tapi waktu enggak pernah peduli sama permintaan manusia.”
Mereka terdiam. Suara angin, suara anak-anak kelas lain yang sedang foto-foto, dan suara bel sekolah yang berulang kali berdentang menjadi latar bagi dua hati yang diam-diam menahan kecemasan. Hari-hari terakhir SMA terasa seperti menuruni tangga yang sudah mereka tapaki bertahun-tahun—dan kini, di ujungnya, mereka harus memilih jalan masing-masing.
“Jadi,” kata Nayla akhirnya, “kamu jadi berangkat, kan?”
Ares menunduk, menarik napas dalam. “Iya. Bulan depan. Beasiswa itu... mimpi aku dari dulu, Nay.”
Nayla mengangguk, mencoba tersenyum. Ia tak ingin Ares ragu. Tak ingin menjadi alasan Ares menyesali langkahnya. Tapi di dalam dirinya, rasa takut merayap perlahan. Takut kehilangan, takut sendiri, dan lebih dari itu—takut bahwa Ares akan menemukan kehidupan yang membuatnya tak ingin kembali.
"Aku senang buat kamu," katanya akhirnya, "sungguh."
Ares menatapnya, seakan tahu ada kata-kata yang tak terucap. “Dan kamu sendiri? Gimana rencana kuliahmu?”
Nayla terdiam sejenak. Ia belum pernah menceritakan sepenuhnya. Ibunya baru saja didiagnosis penyakit kronis yang membuat Nayla harus menunda kuliah. Semua uang tabungan kini diprioritaskan untuk pengobatan. Ia tak ingin Ares merasa bersalah. Namun, menyembunyikan kenyataan pun terasa berat.
“Masih belum pasti,” jawab Nayla singkat. “Kayaknya aku akan istirahat setahun. Bantu-bantu di rumah dulu.”
Ares mengernyit. “Kamu oke?”
“Enggak sepenuhnya. Tapi hidup nggak selalu harus oke, kan?”
Ares meletakkan gitarnya dan menggenggam tangan Nayla. “Kamu perempuan paling kuat yang aku kenal.”
Dan untuk sesaat, Nayla ingin percaya itu benar. Bahwa kekuatan bisa datang hanya dari genggaman tangan seseorang yang peduli. Tapi di dalam dadanya, badai kecil sudah mulai mengumpul. Ia tahu musim akan berganti. Dan bersama pergantian itu, persahabatan mereka tak akan pernah sama lagi.
Senja turun perlahan, membalut sekolah dalam cahaya emas yang lembut. Di taman itu, dua sahabat—yang mungkin telah jatuh cinta—duduk diam. Kata-kata mereka sedikit, tapi hati mereka bicara keras. ...