Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Peluk Hangat Bapak
3
Suka
695
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Bapak bilang, setelah menjadi bunga, orang-orang akan terus tumbuh dan mekar dengan indah di pekarangan seseorang yang menyayanginya.

Semburat kemerahan berpadu dengan kelam setelah angka di layar benda dalam pergelangan tanganku beralih menunjuk ke arah angka enam. Satu hari yang melelahkan telah terlampaui pikirku. Langit telah menyentuh jingga ketika aku kembali menyemut di jalanan bersama langkah-langkah penuh harap pulang dari kantor.

Dalam langkah pulang, jalanan mulai diselimuti bayang panjang lampu jalan. Dingin angin sore hari ini mengamit Lelah di pundakku, menyusup ke sela-sela baju dan raga yang sudah kehilangan tenaga. Jujur saja, ragaku mengharapkan rebah. Pikiranku pun tak kalah riuh dari padat lalu lintas kota yang tampak bising di sekitar.

Sesampai di rumah, suara tawa kecil terdengar menyambut dari ruang tengah. Dua adikku—Arin dan Alea sedang bermain, sesekali berselisih lalu tertawa lagi seolah pertengkaran beberapa waktu lalu hanyalah adegan kecil dalam drama masa kanak-kanak yang lincah.

Di sudut ruangan, suara Bapak terdengar lembut namun tegas, menasihati Arin yang tampak sedikit cemberut

“Kalau orang tua ngomong itu dengar, Kak. Kamu jangan beli barang-barang karena terlihat lucu saja. Sayang uangnya, lebih baik beli makanan, kenyang. Lain kali jangan boros lagi.”

Aku berhenti sejenak di ambang pintu menatap wajah bapak yang Lelah tapi tetap teduh. Wajah yang tak pernah berubah meski waktu merenggut banyak hal. termasuk merenggut Ibu lima tahun lalu.

Aku duduk perlahan di sofa membuka sepatu yang seharian berada di luar ruangan hangat ini menapak kerasnya dunia. Kedua perempuan kecil itu masih riuh. Garis bibirku ikut merekah melihatnya.

“Dek, kamu sekolah nggak hari ini?” tanyaku pada Alea

Belum sempat ia menjawab, Arin memotong cepat, “Nggak, kak! Dia bolos hari ini, huu… Bolos!”

Alea mendengus kesal, ia berlari ke Bapak mengadu dengan suara kecil hampir menangis. Aku hanya tertawa kecil, lelah namun hangat. Hari ini terlalu penuh untuk ikut larut dalam keributan kecil itu.

Aku masuk lebih dalam ke bagian yang lebih hangat dari rumah ini. Kamarku terlihat berantakan persis seperti terakhir kali aku menginjakkan kaki di sini. aku melepas tas yang sedari tadi mengantung di bahu kemudian menatap diriku di cermin. Bayangan mata sayu dan bahu turun terlihat letih dengan pikiran berantakan. Hari ini rasanya tak ramah bagi hati maupun pikiran. Aktivitas di kantor menguras segalanya. Aku tersadar dari memandang diri di cermin kemudian memilih beranjak membersihkan diri perlahan seolah air bisa membasuh bukan hanya tubuh tapi juga gundah.

Belum lama aku merebah tubuh di ranjang, Bapak memanggil dari luar. Suaranya tinggi dan tegas.

“Cepat makan! Nanti asam lambungmu kambuh lagi!”

“Iya.” Jawabku Lelah

Aku mendesah pelan memutus pelukan hangat guling lalu menuju dapur. Tanganku menyendok nasi dengan gerak malas serta mengambil lauk seadanya kemudian kembali ke kamar. mengunyah sambil membuka laptop. Pikiranku penuh dengan deadline pekerjaan yang menggonggong di belakang kepala.

Satu demi satu halaman telah tersusun. Kata serta talimat beradu dalam keheningan malam. Jam menunjuk tengah malam. Aku berdiri hendak mengisi ulang botol minumku yang kosong. Dalam langkah diam menuju dapur, aku melihat Bapak duduk sendirian di ruang tengah. Lampu remang menyapu wajahnya yang termenung. Tak bergerak, seolah waktu enggan menyentuhnya.

Aku melewati Bapak perlahan tak ingin menganggu lamunannya. Pikiranku mencatat bayangan itu dalam-dalam.

Melepas tangan dari laptop, aku memutuskan kembali ke pelukan ranjang. Namun saat mata terpejam, bayangan Bapak hadir kembali. Pikirku melayang. Apa yang sedang ia pikirkan? Kenapa Bapak belum tidur? Apa malam tak cukup tenang untuknya?

Pertanyaan-pertanyaan itu bercabang dan membayang hingga akhirnya aku terlelap. Hanyut dalam ruang mimpi meninggalkan dunia sejenak membawa segala tanya yang belum sempat terjawab.

Pagi menjelma dengan cahaya pucat yang menyelinap di balik tirai menyilaukan pandangan. Aku terbangun, tapi jiwaku masih belum sepenuhnya kembali. Pikiranku masih terjebak, masih ada sisa bayangan Bapak yang duduk termenung di ruang tengah semalam. Bukan pertama kalinya aku melihat Bapak begitu—terjaga dalam sunyi, hanya ditemani cahaya remang-remang dan kesunyian yang entah bersumber dari mana.

Aku teringat Ibu. Sudah lima tahun sejak kepergiannya. Waktu memang terus berlari, tapi ruang-ruang di rumah ini seakan masih menyisakan suaranya. Aroma masakan yang dulu menyambut setiap langkah pulang, pelukan hangat yang mampu meredam badai hati. Rumah ini, mungkin akan terasa lebih memeluk hangat lagi jika Ibu masih ada.

Air mataku jatuh perlahan. Menetes diam-diam seperti rindu yang tak tahu harus berpulang ke mana.

Kesadaranku kembali saat mataku menyorot pada benda berdenting yang menempel di dinding. Angka tujuh sudah tegak lurus, memberi isyarat bahwa waktu tak pernah menunggu. Aku bergegas bersiap, kembali menyiapkan diri untuk hari yang entah seperti apa. Tubuhku masih lelah dan pikiranku masih samar. Tapi kisah hari ini tak bisa ditunda. Aku harus segera beranjak.

Setengah hari kuhabiskan dalam ruangan dingin, berkutat dengan komputer dan rutinitas yang itu-itu saja. Dunia memutar ulang skenario yang sama. Hanya saja berganti tanggal.

Ketika matahari beranjak tenggelam dengan siluet memerah aku kembali pulang. Tapi kali ini, tak ada tawa kecil yang menyambut. Tak terdengar suara Arin dan Alea yang biasanya riuh seperti dua burung kecil di pagi hari. Rumah terasa lebih sunyi dari biasanya.

Pandanganku langsung jatuh pada Bapak, yang duduk di sudut ruangan. Ia tampak tenang, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang membuatku senyap.

“Assalamu’alaikum,” sapaku pelan.

“Wa’alaikumsalam. Gimana hari ini, Kak? Kerjaan lancar-lancar aja, kan?”

Aku mengangguk, lalu menjawab seadanya, “Gitu-gitu aja, Pak. Sama kayak hari-hari sebelumnya.”

Bapak tersenyum, lalu berkata, “Terima kasih ya, Kak. Sudah bantu Bapak. Kalau nggak ada Kakak… Bapak harus apa, ya?”

Aku tertegun. “Bapak kenapa? Kenapa tiba-tiba ngomong begitu?”

Bapak menggeleng perlahan. Suaranya rendah namun hangat, “Nggak apa-apa, Kak. Bapak Cuma bangga aja. Bangga banget punya kamu.”

Aku terdiam. Antara heran dan haru, aku hanya bisa menjawab lirih, “Bapak aneh ah…, Aku ke kamar dulu.”

“Jangan lupa makan, Kak. Jangan sampai kambuh asam lambungnya,” katanya lagi, seperti biasa.

Aku menjawab sambil melangkah ke kamar, “Aku habis ini mau ke acara ulang tahun temen, Pak. Nanti aku makan di sana.”

Bapak hanya mengangguk. “Kalau gitu, jangan telat makan ya.”

“Iya,” balasku, sambil melengos masuk ke kamar.

Aku membersihkan diri, bersiap dengan pakaian rapi dan parfum ringan. Tapi ada sesuatu yang menggantung di hati. Entah dari tatapan Bapak tadi, atau dari cara ia mengucapkan terima kasih—penuh haru yang nyaris tak biasa.

Langit di luar mulai kelam. Malam kembali datang, seperti ruang sunyi tempat perasaan-perasaan yang tak sempat diungkap siang hari tumbuh dan bergema. Dalam gelap segalanya terasa lebih jujur dan lebih dekat dengan isi hati.

Aku tiba di rumah Ara, temanku sejak SMA yang kini genap dua puluh enam tahun. Rumahnya terang oleh cahaya dan canda. Di sana-sini orang-orang berkumpul saling berbagi cerita dan senyum. Aku berdiri diam, menatap kosong ke arah keramaian yang terasa jauh meski hanya sejangkau tangan.

Keluarga mereka tampak hangat. Lengkap. Saling menggenggam dan tertawa tanpa beban. Entah kenapa, ada sembilu kecil yang menusuk dadaku saat melihatnya. Dalam hatiku, suara lirih bertanya, Kenapa ya ibu pergi begitu cepat? Setiap kali memandang keramaian, ingatanku selalu kembali kepada Ibu. Mungkin rindu hari-hari penuh riuh sebelum Ibu pergi.

Ara menghampiriku sambil tersenyum cerah memutus lamunanku. “Sha! Kamu sendiri aja? Disa sama Lala mana?”

Aku tersenyum kecil. “Disa jemput Lala dulu. Aku duluan ke sini.”

“Ah iya, yaudah ayo masuk,” katanya sambil menarik lenganku lembut. “Eh, mana Ibu? Aku mau salim dulu.”

Ara langsung mengajakku. “Bu, ini ada Aisha,” katanya.

Ibu Ara menoleh, senyumnya ramah. “Eh, halo sayang. Yang lain mana?”

“Mereka datang agak terlambat, Bu,” jawabku sopan.

“Oh yaudah, ayo makan dulu. Makanannya sederhana aja, maaf ya.”

Ara tiba-tiba menyahut, “Aku cuma undang kalian sama keluarga deket aja. Nggak mau rame-rame. Aku lagi banyak kerjaan, nanti capek beres-beresnya.”

Aku tertawa, “Hahahaha dasar kamu.”

Seperkian menit Disa dan Lala datang. Kami akhirnya makan bersama, menyantap hidangan yang katanya “sederhana” padahal sangat melimpah dan lezat. Setiap acara yang diadakan di rumah ini, Ara tak pernah lupa mengundangku. Kami sudah seperti keluarga sendiri. sejak SMP hingga sekarang, lengket seperti lem.

Hati yang penuh adalah satu hal yang selalu kurasakan setiap pulang dari rumah Ara. Penuh tawa, hangat, dan sedikit luka. Aku bahagia bisa berada di tengah riuh keluarga mereka, tapi juga sedih, karena ingin merasakan kehangatan yang penuh itu juga di rumah.

Malam terus merambat. Tawa-tawa masih terdengar, tapi pikiranku melayang. Aku pulang lebih dulu. Kembali ke ruang putih yang kusebut rumah. Ke tempat bapak yang menunggu dalam diam, dan adik-adik yang mungkin sudah tertidur pulas.

Aku tahu, keluargaku tak utuh seperti dulu. Tapi mungkin, dalam segala kekurangannya, rumahku tetap tempat yang penuh cinta walau kadang tak terlalu terlihat. Dan malam ini, aku belajar lagi. bahwa rindu pada keutuhan tak selalu berarti kehilangan. Kadang, itu hanyalah cara hati mengingat betapa berharganya apa yang pernah ada.

Aku pulang cukup larut, hampir tengah malam. Sudah biasa. Bapak tahu jika aku ke rumah Ara atau menghadiri acara di rumah Ara, aku pasti pulang terlambat. Ia tahu, tapi tetap saja menelpon. Khawatir yang tak bisa disembunyikan meski sering tak terucap.

Adik-adik sudah tertidur. Tapi, seperti biasa, Bapak masih terjaga. Duduk sendiri di ruang tengah, melamun dengan pikiran yang melayang entah ke mana. Aku sempat ingin berlalu begitu saja seperti malam-malam sebelumnya, tapi malam ini berbeda. Pertanyaan-pertanyaan yang mengendap di kepala lebih mendesak dari segala ragu. Maka aku mendekat.

“Assalamualaikum, Pak.”

“Waalaikumsalam. Gimana tadi acaranya, Kak?”

“Seru. Aku ketemu Ara, Disa, dan Lala. Kami jarang bisa ngumpul bareng sekarang.”

“Ara kerja di mana sekarang?”

“Administrasi bank. Tapi aku lupa bank apa,” jawabku sambil tertawa kecil.

“Lho, kok bisa lupa? Teman sendiri lho.”

“Lupa, Pak. Kepalaku penuh sama kerjaan.”

“Kamu kesulitan nggak di kantor?”

“Enggak, Pak. Kalau bingung, aku bisa tanya Mas Hasbi,” jawabku sedikit bercanda.

“Hasbi... yang datang ke rumah lima tahun lalu itu?”

Aku berpikir sejenak. “Dia pernah ke rumah?”

“Waktu melayat. Saat Ibu meninggal.”

“Oh iya... aku nggak ingat siapa saja yang datang hari itu.”

Bapak terdiam, matanya beralih menatap kosong lurus ke depan.

“Kamu rindu Ibu tidak, Kak?” tanyanya lirih.

“Bapak tanya kakak? Sudah pasti jawabnnya iya, Pak.”

“Semua orang pasti rindu Ibu, ya?”

“Iya. Termasuk Bapak?”

Bapak mengangguk, “Kamu tidak perlu bertanya itu.”

Aku menatapnya, “Pak... Kakak selalu rindu Ibu. Rindu dimarahi, dinasihati, bahkan disentil karena lupa makan. Sekarang semua itu terasa seperti hadiah yang tidak pernah terlupakan.”

Bapak menatapku kemudian menjawab, “Ibu teriak bukan karena marah, Kak tapi karena sayang. Kamu ngerti itu, kan?”

“Sekarang, aku ngerti, Pak.”

Bapak tersenyum kecil. “Ibu itu seperti jantung rumah ini. Tanpa omelannya, rumah ini terasa kurang”

Aku menunduk kemudian mengangguk setuju, “Iya.”

“Kak, Kita rindu Ibu, tapi Tuhan punya rindu yang lebih besar kepada Ibu. Di mata Bapak, Ibu adalah orang baik. Mungkin, supaya ia tidak perlu terlalu lama merasakan kerasanya menapak dunia, Tuhan memeluk Ibu lebih dulu.”

Aku terdiam. Kata-katanya mengguratkan haru di dada. Bapak melanjutkan, suaranya lembut seperti angin malam ini.

“Kak, Ibu tidak lagi berdiri di tengah kita, tapi Ibu tumbuh dalam hati siapapun yang menyayanginya. Di hati Bapak, di hati kamu, di hati adik-adik. Ibu seperti bunga yang tumbuh dan mekar di pekarangan mereka yang menyiraminya dengan doa dan kenangan.”

Aku nyaris menangis. Tapi malu. Aku adalah anak pertama yang mereka bilang harus terlihat tegar. Tapi Bapak hanya tersenyum. Selanjutnya ia memelukku.

“Tak apa menangis, Kak. Rindu itu manusiawi. Tidak bisa dibendung oleh apapun.”

“Bapak pernah menangis karena rindu Ibu?”

“Tidak,” jawabnya pelan.

“Kenapa?”

Bapak menatap langit-langit. Lalu berkata, “Karena Bapak takut kalau air mata Bapak jatuh, rindu yang membendung itu akan merembes dan mengalir terlalu deras. Bapak tak sanggup menampungnya lagi.”

Aku tak bisa menahan lagi. Seutas air mata meluncur tanpa peringatan dari sungai yang membendung di pelupuk mata. Aku lap cepat-cepat, seolah masih ingin terlihat tegar.

Namun Bapak menatapku, lalu tersenyum. “Kakak nggak perlu malu. Menangis itu bukan berarti lemah. Itu tandanya hati kamu masih hidup. Selama hati kakak hidup, Ibu akan tetap tinggal di sana.”

Aku menarik napas dalam-dalam. Malam kian pekat, tapi rasanya rumah ini lebih terang dari sebelumnya. Bukan karena cahaya lampu, tapi karena kehadiran yang tak kasatmata—Ibu, yang entah bagaimana terasa begitu dekat malam ini.

Aku menatap Bapak, “Pak,” ujarku pelan. “Besok tanggal merah, kan? Ayo kita ziarah ke makam Ibu, bareng-bareng. Terakhir kali kita ke sana sudah enam bulan yang lalu.”

Bapak menoleh pelan, tatapannya menghangat. “Iya, besok pagi-pagi kita ke sana, sama-sama.”

Aku mengangguk, lega. Ada sesuatu yang mengendap di dada, dan ziarah itu seperti langkah kecil untuk menyapa Ibu kembali meski hanya di atas tanah yang diam.

“Kalau gitu, Kak, cepat bersih-bersih terus tidur, ya. Biar nggak telat bangun besok pagi,” kata Bapak, nada suaranya seperti senyumnya yang tak pernah berubah sejak dulu.

“Iya,” jawabku. “Bapak juga tidur, jangan begadang terus.”

Bapak tertawa kecil, lalu mengangguk. “Iya.”

Aku bangkit dari duduk, melangkah perlahan ke kamar sambil mematikan lampu ruang tengah. Tapi sebelum pintu tertutup sempurna, aku sempat menoleh kembali. Bapak masih duduk di sana, kali ini dengan mata terpejam. Mungkin berdoa atau mungkin bersua diam-diam dengan Ibu di dalam hatinya.

Sinar lemah matahari menampakkan diri seiringan dengan angin dingin dan embun bergelayut diujung dedaunan. Pagi-pagi sekali, kami sudah berkumpul di ruang tengah. Udara masih dingin dan kabut belum sepenuhnya terangkat dari bumi. Hari ini kami ziarah ke makam Ibu—meluapkan rindu yang tak pernah bisa benar-benar reda.

Di antara langkah-langkah kecil menyusuri pemakaman, ada satu beban besar yang menggantung di dada. Rindu. Rindu yang tak bersuara tapi mendesak dan memaksa. Rindu yang tak bisa diucap namun terus menggerus.

Ketika sampai di depan gundukan tanah itu, hatiku bergetar. Emosiku bak beradu dan sulit untuk dijelaskan. Tapi di saat yang sama, ada juga damai. Rindu ini sedikit menemukan obatnya.

Kami menyiram makam Ibu bersama-sama, dengan air, dengan doa, dan dengan harapan. Bunga-bunga yang kami letakkan perlahan melengkapi kekosongan gundukan rumah itu. Aku teringat ucapan Bapak semalam bahwa Ibu seperti bunga. Jika terus disirami, ia akan tumbuh dan mekar, bahkan di tanah yang paling sunyi sekalipun.

Matahari mulai meninggi, sinarnya kian terik. Kami pun pulang. Rumah kembali ramai oleh aktivitas kecil yang berbeda-beda. Arin pergi bermain dengan teman-teman sebayanya, Alea menyusul tak lama setelahnya. Aku sendiri memilih menarik diri ke dalam kamar, membaringkan lelah di atas ranjang. Letih bukan hanya dari perjalanan tadi, tapi dari segala hal yang disebut duniawi—pekerjaan, tanggung jawab, dan kehilangan yang tak selesai.

Bapak, pikirku, pasti melakukan hal yang sama. Ia pasti kelelahan. Mungkin sedang tidur siang di kamar.

Setelah waktu berlalu cukup lama, aku bangun. Tubuhku sudah cukup terisi baterai. Rasanya ingin berbincang sebentar dengan Bapak, menceritakan apa yang aku rasakan di makam tadi. Mungkin, Bapak merasakan hal yang sama.

Aku memutus diri dari pelukan hangat kamar mencari Bapak. Bapak tak ada di ruang tengah, aku tak mendapatinya di sana. Ia tidak pula di dapur, atau teras depan. Sepi. Rumah seperti kehilangan satu porosnya.

Aku menuju kamar Bapak. Mengetuk pelan sambil memanggil, “Pak…”

Tidak ada jawaban.

Aku coba lagi, kali ini lebih keras. “Pak, Kakak masuk, ya.”

Masih sunyi.

Aku membuka pintu perlahan. Di sana, di ranjang yang rapi dan tenang itu, Bapak terbaring. Diam. Terlalu diam.

Lidahku kelu, seolah dunia berhenti berputar sejenak hanya untuk membiarkanku tenggelam dalam hening yang menyesakkan tanpa sautannya. Jiwaku luruh seperti ditarik keluar dari tubuh sendiri. Nafas tercekat. Aku mengguncang tubuhnya pelan, memanggil lagi, dan lagi, tapi tak ada yang kembali.

Bapak tak berdiam diri di kamar. Ia memilih diam yang lain. Diam yang paling hening dan kosong. Ia diam, memilih untuk membersamai Ibu untuk selamanya. Melepas diri dari membersamai kami yang masih harus hidup dan bertumbuh dalam dunia ini.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Peluk Hangat Bapak
nindia
Cerpen
Day to day
Keyda Sara R
Cerpen
Para Pencari Kerja
zain zuha
Cerpen
Paduka Yang Mulyo
Kiiro Banana
Cerpen
Melepas Kala
Nurul faizah
Cerpen
Buntu
Albadriyya_haw
Cerpen
Musim Hujan di Bulan Ramadhan
Saskia Azzahra
Cerpen
Bronze
per(t)empu(r)an
Gabriel Marcelino Irawan
Cerpen
Bronze
Keputusan Abah
T. Filla
Cerpen
Work for Home
Khairunnisa
Cerpen
Bronze
LALAT-LALAT BERSAYAP DURI
Sri Wintala Achmad
Cerpen
Kado Terindah untuk Nesya
SITI RAHMATIKA FEBRIANI
Cerpen
Bronze
Setelah Malin Menjadi Batu: Doa Uni Salamah
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Takdir Berbalik
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Tokoh Saya yang Bernama Marya
Haryati SR
Rekomendasi
Cerpen
Peluk Hangat Bapak
nindia
Cerpen
Hangat sebelum Ibu Hilang
nindia