Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
Pelelangan
0
Suka
3
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Apa tidak ada emosi yang kamu rasakan?” Dokter Sari melihat dengan dalam, seolah mencari celah emosi dari gadis yang tetap berekspresif datar.

“Kurasa tidak,” sahut Sana sambil menelengkan kepalanya.

Ini konsultasi kesekian kalinya bagi Sana, ia merasa bahwa psikiater sebelumnya tidak berhasil membuat ia sembuh. Meski, Sana sama sekali tidak mengerti bagian mana dari dirinya yang harus ia sembuhkan. Ia melakukan konsultasi dengan psikiater atas desakan dari Nirma, sahabatnya.

“Kamu bertingkah aneh, itulah yang membuatku khawatir, kamu seperti tidak sadar, tahu-tahu aku menemukan pisau itu kamu arahkan ke tanganmu,” dengan bernada geram, Nirma memberikan formulir dari RSJ Santa Maria pada Sana.

Kematian Nara seharusnya mengguncang Sana, seperti kebanyakan orang yang kehilangan seseorang. Namun alih-alih begitu, Sana justru tidak merasakan apa-apa. Sana tahu bahwa ada yang hilang dalam hidupnya, tapi ia pikir itu hal biasa yang pasti dialami setiap manusia. ia heran, mengapa manusia selalu membesar-besarkan sesuatu, hanya karena melihat sesuatu yang berbeda. Termasuk Nirma saat melihat dirinya.

“Sepertinya saya tidak akan melanjutkan konsultasi ini kedepannya,” ujar Sana, ia merasa konsultasi ini tidak diperlukan.

“Saya mengerti, pasti sulit bagimu untuk mengekspresikannya,” tutur Dokter Sari tersenyum,”Meski begitu, saya sangat mengharapkan kamu buat tetap berkonsultasi terkait masalahmu,” raut wajah yang begitu kentara di Dokter Sari. Ekspresi yang biasa kudapatkan dari orang-orang.

Sana menggeleng, “Saya rasa itu tidak perlukan Dok, saya baik-baik saja,” ia tersenyum, meski hatinya tidak merasakan hal yang sama. Senyum itu hanya formalitas untuk segera mengakhiri pembicaraan.

“Jika kamu tidak ingin melanjutkan konsultasi ini, saya menyarankan metode lebih baik dari ini,” usul Dokter Sari, ia memberikan formulir pada Sana. Dalam kertas tersebut, tertulis pelelangan manusia. Pantaskah Dokter melakukan hal illegal seperti ini? Sana berpikir begitu, namun pikiran itu hanya ia simpan sendiri dalam kepalanya.

“Pelelangan manusia, itu tidak seperti yang kamu pikirkan, disini kamu akan menemukan seseorang yang bisa kamu ambil untuk menjadi bagian hidupmu,” ujar Dokter Sari seakan menjawab kebingungan Sana, “Kamu tahu, setiap manusia punya nilai yang didasarkan pada tujuan hidupnya, anggap saja nilai itu sama seperti mata uang, meski di tempat terkotor pun, selembar uang masih bisa digunakan, karena masih punya nilai, begitu juga manusia,” jelas Dokter Sari menunjukkan grafik persenan dari nilai hidup manusia.

 “Jika nilai manusia dalam titik nol, maka ia tidak ada bedanya dengan barang tidak berguna kan? Sama seperti kertas biasa yang ini,” Dokter Sari mengambil selembar kertas Hvs kosong, lalu merobeknya menjadi beberapa bagian, “meski saya merobeknya, maka tidak ada yang peduli,”

“Tapi hubungannya bagi saya? Dan apa untungnya bagi saya untuk mengambil seseorang untuk hidup bersama?” Sana menjejali Dokter Sari dengan banyak pertanyaan.

Dokter Sari tersenyum tipis, seakan sudah menduga pertanyaan tersebut. Sana merasa ganjil setiap kali wanita itu menunjukkan senyumannya, ia terlalu sering tersenyum sampai terkesan itu hanya dibuat-buat.

“Saya berpikir, jika kamu menemukan seseorang yang tepat, maka bisa memicu emosi-emosimu muncul,” jelas Dokter Sari.

“Tapi bagaimana saya tahu ini orang tepat?” tanya Sana dengan skeptis.

“Untuk itu, kamu tidak perlu khawatir, saya sudah menyesuaikan dengan situasi kamu saat ini, dan latar belakang dari orang yang akan kamu beli ini, sudah dijelaskan secara rinci disini," Dokter Sari mengarahkan Sana pada halaman selanjutnya.

           Nama: Kila

           Usia : 23 tahun

           Nilai Manusia: -100

 Sana terkejut karena nilai manusia yang ditunjukkan, ternyata bukan menginjak angka nol tapi minus. Gadis bernama Kila itu hanya hidup sendiri, beberapa kebiasaannya mengingatkan Sana pada Nara. Mungkin saja ini hanya kebetulan, karena setiap orang punya setidaknya 7 kembaran di dunia. Saking rendahnya nilai manusia dari Kila, gadis itu hanya dihargai 1 rupiah. Harga yang keji untuk manusia. Ini jelas kejahatan.

Namun karena penasarannya lebih besar dari kecurigaannya, Sana memutuskan untuk membeli gadis ini. Jika ini merugikannya, maka Sana tinggal melaporkan dan menuntut RSJ ini. Tidak ada yang perlu ditakuti selama ada polisi di dunia ini.

Kila, begitulah gadis itu dipanggil. Hanya gadis biasa yang Sana temukan dimana-mana. Ia punya banyak teman, aktif dalam organisasi kampus, parasnya yang cantik itu menarik perhatian para pria. Meski begitu, tidak ada yang menarik perhatiannya. Tanpa sadar, Sana jadi sering mengamatinya. Awalnya Sana mendekati dalam jarak jauh, tapi semakin lama jarak itu semakin menipis. Bahkan ia sampai rela menghabiskan tabungannya untuk membeli apartemen di sebelah apartemen milik Kila.

 Setiap kebiasaan Kila sangat mirip dengan Nara. Aneh, itulah yang Sana pikirkan.

“Orang ini mengikutiku, Pak,” Sana yang terciduk pun, dilaporkan oleh Kila. Saat itu, tanpa sengaja Kila memergoki. Polisi terus melihat Sana dengan tatapan penuh selidik, dari atas sampai bawah, memberi segudang pertanyaan pada Sana, seperti memastikan sesuatu.

“Kami saudara. Sepertinya ada kesalapahaman disini, ini pertama kalinya bagi saya bertemu dengannnya, kami terpisah karena beberapa alasan,” jelas Sana. Kila terperangah, matanya melongo.

“Itu bohong, Pak. Aku sama sekali tidak mengenalnya, ia terus memperhatikanku sepanjang waktu,” sangkal Kila.

“Tentu saja kan? Saudara pasti memperhatikan saudaranya,” timpal Sana tanpa ekspresi.

Setelah perdebatan panjang, Sana berhasil mendapatkan kepercayaan polisi. Ia menunjukkan kartu keluarga, yang ia buat sendiri. Kila bergidik ngeri ketika melihatnya. Namun Kila tidak punya kesempatan untuk menyangkal, karena kartu keluarga tersebut benar-benar terlihat seperti aslinya. Polisi bahkan mengkonfirmasi keasliannya dengan menghubungi Lembaga yang membuatnya, dan itu memang kartu keluarga asli.

“Sebaiknya, kalian berdua bicarakan baik-baik permasalahan kalian,” polisi menatap Kila dan Sana dengan tatapan iba.

Kila pulang dengan rasa geram, diikuti Sana dari belakang. Tidak ada pembicaraan diantara mereka berdua. Meski begitu, Kila tidak tahan dengan situasi seperti ini.

“Sebenarnya apa masalahmu? Berhenti mengikutiku,” Kila menatap tajam Sana.

“Jadi seperti ini sosokmu yang sebenarnya?”

 Kila mengernyitkan dahi, “Eh?”

Sana menelengkan kepalanya,”Biasanya kamu selalu tersenyum,” ia lalu mengarahkan telunjuk ke kedua mata Kila,” tapi matamu itu. Seperti tidak menikmatinya,”

Kila terkekeh lalu menghela nafasnya,”Aku tidak apa yang kamu katakan, tapi kumohon berhentilah mengikutiku,”

“Aku tidak bisa melakukannya,” ujar Sana.

“Kenapa?”

“Aku sudah membelimu. Barang yang sudah kubeli, harus kugunakan lebih dulu,” jelas Sana membuat Kila terkejut sekaligus marah, sampai ia menampar Sana dengan keras.

“Brengsek,” umpat Kila, “tidak hanya menguntit orang, bahkan kamu bersikap kurang ajar seperti ini,”

“Aku tidak bohong, aku mengatakan yang sebenarnya,” Sana memperlihatkan formulir yang ia dapat dari Dokter Sari. Kila melihatnya, membaca setiap poin yang tertulis di kertas tersebut.

Seketika Kila bergidik ngeri, rasanya ketakutan itu menjalari tubuhnya. Apa yang dikatakan oleh Sana, sudah melewati batas. Ia tidak tahu lagi harus bereaksi apa. Pikiran Kila terasa buntu.

Nafas Kila yang naik turun, memburu seakan tenggorokannya tercekik. Lalu tiba-tiba Kila kehilangan kesadaran.

Samar-samar suara hujan deras itu terdengar, bau khas tercium dari tetesannya. Kila mengerjapkan matanya beberapa kali. Sana yang duduk di samping tempat tidurnya, menunggu gadis itu terbangun dengan sabar.

Ketika kesadaran Kila pulih, ia sontak terperanjat mundur sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. Setelah melihat sekitar, ia baru menyadari bahwa saat ini ia sedang berada di kamarnya. Sana membawa Kila ke apartemennya. Namun, bukan itu yang Kila khawatirkan, tapi mengapa gadis itu tahu tentang kode sandi dari apartemennya? Padahal ini kali pertama, Sana menginjakkan kaki disini.

Nafas Kila seakan tercekat, begitu Sana menghampirinya sambil menempelkan punggung tangannya ke dahi.

“Masih demam ternyata, jika istirahat sebentar lagi, mungkin panasmu akan turun,” ujar Sana. Meski, ucapan gadis itu terdengar peduli. Tapi Sana tidak sekali pun menunjukkan raut khawatir.

Kemudian Sana memberikan semangkuk bubur hangat, meniup beberapa kali dan menyuapkannya pada Kila.

“Makanlah, setelah ini minum obat,” ujar Sana. Kila tetap menutup mulutnya.

“Aku tidak akan pergi, meski kamu berusaha mengusirku,” lanjut Sana, seakan membaca pikiran Kila.

Kila sangat ingin melawan, tapi tubuhnya yang sakit, membuat ia merasa berat untuk bergerak. Ia hanya bisa pasrah, menerima suapan bubur tersebut dengan isi kepala yang penuh dengan pertanyaan.

Tidak hanya merawat Kila, Sana juga membersihkan beberapa pakaian kotornya. Kemudian membersihkan apartemen Kila tanpa banyak bicara.

Kila mengamati Sana, gadis yang tiba-tiba datang dalam hidupnya. Awalnya ia bersikap waspada. Namun, karena Sana tidak melakukan sesuatu yang membahayakannya. Kila mulai menurunkan kewaspadaannya.

Tiga hari kemudian, Kila mulai sembuh dari sakitnya. Sana datang setiap hari ke apartemennya. Seolah itu sudah menjadi bagian hidup Kila.

“Boleh aku tanya sesuatu?” tanya Kila menatap Sana yang tengah menyantap sarapannya.

“Tentu, kamu boleh tanya apa saja,” jawab Sana setelah meminum segelas air.

“Soal formulir itu, apa maksudnya?” Kila penasaran.

Selama beberapa saat Sana terdiam, lalu ia menaruh sendoknya dengan rapi. Setiap gerak-geriknya seperti sesuatu yang sempurna dan ditata sejak awal.

“Ah itu ya, aku baru saja membelimu dari agen pelelangan. Aku tidak bisa merasakan emosi apapun seperti kebanyakan orang, aku tidak mengira itu jadi masalah. Jadi, seseorang menyarankanku untuk membelimu,” jelas Sana. Kila berusaha untuk mencerna apa yang gadis itu katakan, tapi pikirannya terasa akan meledak.

“Kenapa aku?” Kila menuntut jawaban dari Sana.

“Karena kamu tidak punya nilai. Bahkan nilaimu menunjukkan -100,..” Sana menggantung ucapannya, ia berpikir sejenak,” mungkin bisa dibilang, kamu berada di ambang kematian, disebut mati tidak, disebut hidup juga tidak,” lanjut Sana. Ucapan Sana membangkitkan sesuatu dalam diri Kila. Ia bisa saja memilih untuk tidak percaya omong kosong itu. Namun, apa yang Sana jelaskan adalah benar, Kila memang tidak punya tujuan hidup.

Tujuan hidup adalah sesuatu yang ingin dicapai. Namun, pemikiran tersebut hanya keinginan naif yang dibuat untuk menghibur seseorang. Begitulah yang Kila pikirkan, kehidupan tidak selalu bisa diatur sesuai keinginan, beberapa harus dikorbankan, entah demi seseorang yang dicintai, atau sesuatu yang terdengar bodoh seperti mengorbankan diri demi orang-orang yang sebenarnya menginginkan kematiannya.

Kila sudah lupa, kapan terakhir kali ia merasa aman dalam hidupnya. Keluarganya yang hancur, pengkhianatan dalam pertemanan, dan seorang pria yang melecehkannya, seperti merenggut kemampuan Kila untuk mempercayai seseorang. Kecurigaan itu terus tumbuh, semakin liar dan merusak, menciptakan topeng baru yang membiaskan identitasnya.

Seperti sebuah keajaiban, hidup Kila yang semula tidak berwarna menjadi sedikit berwarna, karena kehadiran Sana. Memang benar, Sana bukan orang interaktif, bahkan cenderung pasif. Namun, perhatian kecil yang diterima Kila darinya. Membuat hati Kila merasa hangat.

Awalnya Kila tidak mempermasalahkan kehadiran Sana, tapi semakin lama, gadis itu mulai protektif terhadap segala hal yang Kila lakukan.

Seperti hari ini, ia membuang tugas teman-teman Kila, ke tempat sampah.

“Apa yang kamu pikirkan?!” bentak Kila. Sana memandang Kila tanpa ekspresi.

“Ini bukan tugasmu, jadi kamu tidak perlu menyelesaikannya,” ujar Sana.

“Tetap saja, kamu tidak bisa membuangnya,” Ketika Kila mau mengambil kembali, Sana menahannya.

“Tugas mereka, biar mereka yang kerjakan. Untuk apa susah payah menyenangkan mereka, padahal mereka saja tidak menghargaimu,” Sana menatap lekat-lekat Kila.

Kila menepis tangan Sana dengan kasar. Ia tidak tahan dengan sikap Sana yang terkesan seenaknya.

“Tahu apa kamu soal mereka? Ketemu aja enggak pernah, berhenti mencampuri urusan orang lain,” cibir Kila dengan geram.

Sana menghela nafas,” Aku tahu semuanya, termasuk betapa buruknya orang-orang yang kamu sebut teman. Aku hanya ingin melindungimu, itulah yang sepantasnya kulakukan sebagai keluargamu,”

Kila terkekeh, “Keluarga? Yang benar saja, kamu hanya orang aneh yang terus mengikutiku karena terobsesi padaku, masuk ke apartemen orang seenaknya, dan menunjukkan formulir aneh padaku,”

“Tapi kamu tidak menolaknya? Kamu tetap membiarkan aku masuk, meski tahu aku orang asing?” Sana mendekati Kila, membuatnya selangkah mundur hingga punggungnya membentur tembok.

“Kita berdua sama-sama saling membutuhkan, aku butuh kamu untuk memicu emosiku muncul. Kamu butuh aku untuk kesepianmu hilang,” jelas Sana, menatap lekat-lekat Kila.

Kila mendorong Sana, sampai jatuh tersungkur,”Aku tidak kesepian, kamulah yang kesepian, jangan seenaknya menyimpulkan sesuatu. Aku membencimu, melihatmu saja rasanya memuakkan, pergi dari sini!” 

Kila mengusir Sana dari apartemennya. Nafasnya tercekat, padahal ini keinginannya sejak lama. Tapi, entah kenapa hatinya terasa sakit begitu mengusir Sana.

Hari-hari tanpa Sana, tidak ada yang berubah. Hanya perasaan sepi, yang Kila tidak pahami.

“Habis ini ada kelas kan?” Oscar menopang dagunya dengan bosan, kemudian ia beringsut mendekati Kila,”Eh Kila, nanti sore luang enggak?”

“Aku luang. Kenapa?” Kila penasaran.

“Ada tempat yang ingin aku tunjukkin ke kamu,” Oscar tersenyum. Kila mengangguk.

“Baiklah,” ujar Kila.

Oscar membawa Kila ke sebuah taman bermain yaitu Destinasi Wisata Nirwana, nama terlalu mencolok untuk ukuran tempat yang menyuguhkan berbagai wahana anak-anak.

Seketika Kila bisa melupakan Sana sejenak. Keputusannya keluar bersama Oscar, adalah ide yang bagus. Begitulah yang Kila pikirkan pada awalnya.

“Sebentar lagi tutup, sebaiknya kita pulang,” ajak Kila.

“Tunggu dulu, ada satu tempat lagi yang belum kita kunjungi,”

Kila menautkan kedua alisnya,”Tempat apa?”

“Karaoke,” Oscar tampak antusias.

Begitu sampai di tempat karaoke, Oscar memilih lagu dengan gembira. Sebenarnya laki-laki itu sudah lama menyukainya. Namun, entah kenapa Kila tidak bisa membuka hatinya. Ia lebih nyaman dengan hidup sendirinya, alih-alih berkomitmen dengan seseorang.

Setelah lelah bernyanyi, Oscar merebahkan tubuhnya. Nafasnya terengah, ia menyeka keringat didahi. Lalu meminum air lemon yang sudah dipesan olehnya. Tiba-tiba suasana menjadi sunyi, terlalu hening sampai Kila menjadi begitu gelisah.

Kila melihat jam tangan, “Aku pulang duluan ya, besok ada kelas,” ia pun pergi, tapi Oscar menahan tangannya. Menarik Kila ke pelukannya.

“Temani aku disini, kumohon sebentar saja,” ujar Oscar memelas. Kila menepis tangan Oscar.

“Lain kali saja,” Kila menjauh dari Oscar. Begitu gadis itu berbalik, Oscar memeluknya dari belakang, membuat ingatan Kila tentang pemerkosaan pun bangkit. Kila sontak berteriak.

Alih-alih merasa bersalah, Oscar justru geram. Ia memojokkan Kila ke tembok dan membekap mulutnya.

“Apa yang kamu lakukan?! Kamu sengaja melakukannya, agar orang mengira aku ini brengsek?” Mata Oscar menajam, seakan menguliti Kila.

“Aku ini sudah lama menyukaimu, aku berusaha untuk menjadi seseorang yang layak bagimu,” suara lirih Oscar bergetar, ia tersenyum getir. Hingga kemudian, raut wajah kecewa itu, berubah menjadi kebencian, “kamu selalu menghindariku, apa kurangnya aku bagimu Kila?! Aku tidak bisa hanya sekedar teman, aku ingin kamu jadi milikku,”

Oscar hendak mencium bibir Kila, namun gadis itu memalingkan wajahnya. Air matanya yang menggenang pun turun begitu saja. Dengan sekuat tenaga, ia mendorong pria itu dan membuatnya meringis kesakitan. Kila pun melarikan diri.

Sayangnya, Oscar tidak menyerah. Ia tetap mengejar Kila. Memanggil-manggil namanya dengan penuh obsesi. Hingga ia berhasil mencengkeram lengan Kila.

“Lepas! Lepaskan aku!” teriak Kila.

“Tidak! aku tidak bisa membiarkanmu pergi, aku mencintaimu Kila,” ujar Oscar dengan keras kepala, “Aku sudah mengorbankan segalanya untuk mendapatkanmu, membayar teman-temanmu untuk memberiku informasi tentangmu. Aku tidak bisa berhenti sampai sini saja,”

Dada Kila seperti dihantam sesuatu, terasa menyakitkan. Sampai ia tidak tahu, apa ia harus takut atau kecewa karena mendengar kebenarannya. Seumur hidupnya, Kila tidak pernah percaya dengan kebaikan seseorang. Manusia adalah makhluk terkeji yang selalu mementingkan dirinya sendiri, berlindung dibalik kata mencintai, hanya untuk menjadikan seseorang kepemilikannya. Bagaimana seseorang bisa punya nilai hidup, jika sejak awal nilainya tidak pernah diberi ruang untuk bersuara? Itulah yang Kila pikirkan. Alih-alih mencapai sesuatu sebagai tujuan, Kila berpikir bertahan hidup saja sudah lebih dari cukup baginya.

Di saat keputusasaan merasuki diri Kila, seseorang muncul seperti pahlawan yang diceritakan dalam novel-novel. Suara pukulan benda tumpul mengenai pundak Oscar. Perasaan lega menguar kuat dalam diri Kila, ketika ia melihat seseorang yang begitu dirindukannya. Dia adalah Sana.

Air mata Kila membuncah, tubuhnya bergerak sendiri memeluk gadis itu. Parfum mix buah-buahan, terasa menenangkannya. Kila dapat merasakan tangan Sana mengelus kepalanya.

 “Kamu baik-baik saja, ada aku disini,” ujar Sana dengan pelan.

“Maaf, aku menyakitimu. Kupikir aku tidak akan pernah melihatmu lagi,” isak Kila. Sana menyeka air matanya, menatap lembut padanya. Wajah yang semula tanpa ekspresi itu, kini memperlihatkan raut yang lebih teduh dan menenangkan Kila.

“Aku tidak bisa pergi darimu, makanya aku kembali kesini,” Sana tersenyum tipis. 


….

 

“Begitu ya, syukurlah itu bisa efektif memicu emosimu,” Dokter Sari meletakkan vas bunga di meja. Kemudian duduk di kursi yang menghadap langsung ke Sana dan Kila.

“Awalnya aku ragu ini akan berhasil. Aku bahkan hampir menyerah saat semuanya berjalan tidak sesuai rencana,” ujar Sana tersenyum tipis, lalu ia menoleh ke Kila. Keduanya saling menggenggam satu sama lain, “tapi aku merasa lebih hidup dari sebelumnya, aku penasaran bagaimana itu bisa bekerja,”

“Kamu tahu, bahwa di dunia ada istilah manusia punya setidaknya 7 kembaran. Memang masih belum ada fakta ilmiah yang membuktikan itu, tapi bisa saja ini mungkin terjadi,” Dokter Sari menyuguhkan teh Sarabba ke cangkir Kila dan Sana. Asap mengepul dari teh yang diseduh.

“Diperkirakan, manusia membagikan gen yang sama dengan manusia lain sebanyak 99,5 persen, sementara sisanya sekitar 0,5 persen, sehingga menyebabkan membuat manusia tampak berbeda dengan yang lain. Mungkin karena susunan genetik itulah, seseorang bisa punya penampilan sama dengan orang lain, meski tidak pernah bertemu,” jelas Dokter Sari tersenyum tipis, lalu meminum tehnya.

“Tapi itu hanya berlaku dari penampilan, bukan kepribadian dok. Dalam kasusku, aku melihat Nara dalam diri Kila, ia sangat mirip dengan Kakakku dari caranya bicara dan kebiasaannya,” ujar Sana menjelaskan apa yang ia rasakan.

Dokter Sari tersenyum tipis, lalu menaruh kembali cangkirnya ke meja.

“Sebenarnya pelelangan itu hanya dorongan eksternal untuk mengetahui apa cukup efektif untuk membuat emosimu keluar, dengan menggunakan orang yang mirip dengan Nara secara penampilan. Tapi jika sampai kepribadiannya mirip, saya rasa itu karena dua kemungkinan,”

“Apa itu Dok?” Sana yang penasaran pun bertanya.

“Pertama pola Familiarity Bias, karena cenderung merasa aman dengan hal-hal yang familiar, kamu akan langsung mengaitkannya dengan sosok penting dalam hidupmu, entah dari cara bicara, berpikir, atau nada bicara. Kedua karena faktor transference atau alih emosi, artinya kamu memindahkan perasaan, ekspresi, atau interaksi dari seseorang yang kamu kenali, ke orang yang kamu lihat sekarang,” jelas Dokter Sari.

“Begitu ya,” Sana mengangguk.

“Tapi itu bukan masalah, selama itu bisa memberimu rasa aman,” lanjut Dokter Sari.

“Anda benar, Dok. Sebelumnya kami berdua berterima kasih karena sudah membantu banyak hal,” Sana tersenyum.

“Tidak masalah, saya senang bisa membantu. Saya harap kalian berdua bisa hidup bahagia sebagai saudara yang saling mencintai mulai sekarang,” ujar Dokter Sari. 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Thriller
Cerpen
Pelelangan
Linggarjati Bratawati
Flash
Playing God
evenatka
Skrip Film
House Rules (Skrip)
Thata Adi
Novel
Bronze
The Kidnappers!
Haya Nufus
Cerpen
Sebelum Malam Pertama
Reni Refita
Cerpen
Bronze
Dinding
Rere Valencia
Cerpen
Tihtir
Ayub Wahyudin
Novel
Gita and Mey - Ariana Day
Cancan Ramadhan
Flash
Penyusup di Rumah Sakit
Allamanda Cathartica
Novel
NAURA
Cindy Tanjaya
Flash
Bad Innocent Girl
Sathya Vahini
Novel
Kamar Bernapas
Imajiner
Novel
Korban Stetoskop
Nuzulul Rahma
Novel
The Kill Zombies
Novianti
Flash
Monster-Monster di Jendela
Rimadian
Rekomendasi
Cerpen
Pelelangan
Linggarjati Bratawati
Cerpen
Orleander
Linggarjati Bratawati
Flash
Yang Gila Disini Siapa?
Linggarjati Bratawati
Cerpen
Dogma
Linggarjati Bratawati
Cerpen
In Ternebris
Linggarjati Bratawati
Cerpen
Destinasi Wisata Nirwana
Linggarjati Bratawati
Flash
DISKUSI
Linggarjati Bratawati
Cerpen
Laki-laki Hijau
Linggarjati Bratawati
Cerpen
Kāma-Manas
Linggarjati Bratawati
Skrip Film
Jika Bunuh Diri Tendang Saja Kakiku
Linggarjati Bratawati