Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
PELANGI USAI BADAI
0
Suka
753
Dibaca

Aku masih ingat dengan sangat jelas, seolah baru kemarin, pagi yang sejuk saat cahaya matahari menembus tirai kamar rumah sakit. Aroma antiseptik bercampur bau susu bayi yang samar adalah pengingat konstan akan keajaiban sekaligus kenyataan pahit yang kini mendekapku. Di pangkuanku, malaikat kecilku, Amir, terlelap damai. Kulitnya yang kemerahan, jari-jari mungilnya yang menggenggam erat jempolku, adalah anugerah terbesar dalam hidupku.

Mas Andra, suamiku, duduk di samping ranjang, menatap Amir dengan sorot mata yang sulit kujelaskan. Ada kebahagiaan di sana, jelas sekali. Senyum tipis mengembang di bibirnya, dan tangannya dengan lembut mengusap pipi mungil putranya. "Dia mirip sekali denganmu, Fatma," bisiknya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. Kalimatnya, alih-alih menghangatkan, justru menusukku. Mirip denganku? Apakah itu sebuah pujian atau justru kepedihan? Aku hanya membalas dengan senyum getir.

Di balik wajah ceria yang kupaksakan, hatiku bergejolak. Rasa perih mengantung, seperti awan mendung yang siap menumpahkan badai kapan saja. Aku meragukan durasi kebahagiaan ini. Setiap sentuhan Andra pada Amir, setiap kata yang ia ucapkan, terasa seperti pasir yang licin, tak bisa kugenggam. Aku tahu, aku hanya tahu, kebahagiaan yang kurasakan ini, kebersamaan dengan Mas Andra dan Amir, adalah fatamorgana yang bisa lenyap kapan saja. Ketakutan itu mencengkeramku, mengoyak setiap serat optimisme yang tersisa.

Kusandarkan kepalaku pada sandaran ranjang, memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan badai dalam jiwa. Saat kubuka mata, kutatap wajah polos Amir yang tertidur lelap. Tanganku bergerak otomatis, mengelus lembut kepala mungilnya yang masih diselimuti rambut tipis. Aku berbisik, hanya cukup untuk didengar oleh diriku sendiri dan si kecil dalam pelukanku. "Janji Mama, Nak. Mama akan selalu melindungimu dari segala ujian. Apapun yang terjadi, Mama akan pastikan kamu bahagia, aman, dan dicintai." Bisikan itu adalah sumpah, janji suci seorang ibu yang tak akan pernah kulanggar, bahkan jika itu berarti harus mengorbankan seluruh duniaku.

Andra mendengar bisikanku. Ia mengangkat pandangannya dari Amir, menatapku dengan tatapan yang kembali dingin, tatapan yang seringkali membuatku merasa seperti orang asing di sampingnya. Tatapan yang mengusirku jauh dari lubuk hatinya. Aku mengalihkan pandangan, kembali menatap Amir, membiarkan kehangatan tubuhnya menepis sedikit dinginnya pandangan suamiku.

Malam itu, di kamar rumah sakit yang temaram, aku merasa diriku terpecah. Satu sisi ingin merengkuh kebahagiaan yang baru saja datang, sisi lain ditarik mundur oleh bayangan masa lalu yang tak pernah pergi. Masa lalu yang berjarak empat bulan, namun membekas begitu dalam, mengukir luka yang tak kasat mata.

Empat bulan lalu, rumah mewah Andra yang seharusnya menjadi "istana" impianku justru menjadi saksi bisu kehancuran batinku. Aku masih sangat ingat hari yang paling kelam dalam hidup rumah tanggaku. Aku sedang menyiram bunga-bunga flamboyan di halaman depan, menghirup aroma tanah basah dan kelopak merah muda yang gugur. Kedamaian yang kucari di tengah keindahan tanaman itu mendadak terenggut oleh suara klakson mobil yang memekakkan telinga.

Sebuah mobil sport berwarna merah menyala berhenti mendadak di depan pintu gerbang. Seorang wanita keluar dari mobil tersebut, rambutnya pirang panjang tergerai, bibirnya merah menyala, dan matanya menyiratkan kemarahan yang membara. Itu Valerie. Ia datang dengan aura destruktif, layaknya badai yang tiba-tiba menerjang. Aku, yang selama ini hanya mendengar namanya disebut-sebut sebagai 'teman lama' Andra, kini melihatnya secara langsung, dan instingku berteriak: bahaya.

 

Valerie menerobos masuk tanpa permisi, mengabaikan Pak Mahmud, satpam yang mencoba menghalanginya. Matanya yang tajam menatapku dari ujung kaki hingga ujung rambut, seolah aku adalah sampah yang mengotori pemandangan. "Jadi, ini dia wanita kampung yang berani-beraninya mengambil Andra dariku?" suaranya melengking, penuh penghinaan. Aku merasakan pipiku memanas, namun berusaha menahannya. Aku tidak ingin terlihat lemah di depannya.

"Ada perlu apa Anda kemari?" tanyaku, suaraku bergetar meski kucoba setenang mungkin.

Valerie tertawa sinis, tawa yang menusuk telinga. "Perlu apa? Aku datang untuk mengusirmu, tentu saja! Kau pikir kau siapa? Anak panti tidak jelas sepertimu berani-beraninya merebut calon suami orang! Kau tidak tahu malu?"

Kata-kata "anak panti tidak jelas" melukai hatiku lebih dalam dari silet manapun. Seolah-olah latar belakangku adalah sebuah kutukan, sebuah dosa yang tak terampuni. Air mata sudah menggenang di pelupuk mataku, namun aku bersumpah tidak akan membiarkannya jatuh. Tidak di depan wanita ini.

"Saya istri sah Mas Andra. Jadi, tolong jaga ucapan Anda," balasku, berusaha menjaga martabatku.

Valerie semakin mendekat, tatapan matanya mengancam. "Istri sah? Kau pikir pernikahan di atas kertasmu itu artinya apa? Omong kosong! Kau tahu? Andra terpaksa menikahimu karena ibunya. Hahaha! Lucu sekali! Kau hanyalah boneka yang dipajang untuk memenuhi tuntutan sosial!" Ia mengeluarkan ponselnya, mengacungkan layar ke hadapanku. "Kau tahu apa ini? Video mesum kami! Kalau kau tidak mundur, aku akan menyebarkan ini ke seluruh dunia. Kau akan dipermalukan, dan Andra akan sangat membencimu karena sudah merusak reputasinya!"

Mataku terbelalak melihat adegan di layar ponsel Valerie. Jantungku serasa berhenti berdetak. Video itu... keintimannya yang vulgar... itu adalah Andra. Suamiku. Dan wanita di video itu adalah Valerie. Tenggorokanku tercekat. Semua kekuatanku luruh. Dunia serasa berputar, dan kakiku lemas.

Air mata yang tadinya kutahan kini mengalir deras, membasahi pipiku. Bukan hanya karena penghinaan Valerie, tapi karena pengkhianatan yang nyata, yang kini terbukti di depan mata. Aku tidak hanya dipermalukan, aku juga dihancurkan. Hancur karena mengetahui bahwa suamiku, yang kupikir hanya dingin dan tak acuh, ternyata menyimpan rahasia kelam dan masih mencintai wanita lain. Valerie tersenyum penuh kemenangan melihat reaksiku. Ia telah berhasil menghancurkanku.

"Pergilah, Fatma. Sebelum kau semakin terluka," ucapnya, nadanya kini lebih tenang, namun penuh ancaman. "Aku hanya memberimu peringatan." Setelah mengatakan itu, Valerie melenggang pergi, meninggalkan aku terisak-isak di tengah halaman. Angin sejuk yang tadi membelai rambutku kini terasa seperti cambukan, membawakan bau parfum Valerie yang menusuk hidung dan meninggalkan jejak pilu di jiwaku. Hari itu, kediaman ini terasa seperti sangkar berlapis emas yang tiba-tiba berubah menjadi neraka.

Aku adalah Fatma. Sebuah nama yang terukir di dinding panti asuhan tempat aku dibesarkan. Meski tumbuh tanpa orang tua, aku tak pernah berhenti belajar dan bermimpi. Aku berhasil menyelesaikan kuliahku sebagai sarjana ekonomi dengan predikat cumlaude dan merintis usaha daring kecil-kecilan menjual kerajinan tangan. Hidupku sederhana, penuh perjuangan, tapi setidaknya, aku merasa mandiri dan berharga.

Lalu datanglah Mas Andra, putra tunggal pemilik PT Golden Asia, sebuah perusahaan raksasa yang bergerak di bidang properti dan investasi. Dunia kami bagai bumi dan langit. Ia adalah seorang pria tampan, berpendidikan tinggi, dan pewaris tunggal kerajaan bisnis. Pertemuan kami dimulai dari inisiatif Ibu Andra. Ia adalah wanita yang sangat berpegang teguh pada tradisi, namun entah mengapa, mencari menantu "sesuai" dari panti asuhan terkemuka. Ia ingin menantu yang sederhana, rendah hati, dan tahu diri, namun tetap berpendidikan. Singkat cerita, aku terpilih.

Pernikahan kami adalah sebuah perjodohan, sebuah kesepakatan bisnis dan sosial di mata keluarga besar Andra. Bagiku, ini adalah harapan akan sebuah keluarga, sebuah rumah yang tak pernah kumiliki secara utuh. Aku naif, mungkin. Aku percaya pada janji suci pernikahan, pada potensi cinta yang bisa tumbuh dari kebersamaan.

Namun, realitas menamparku dengan keras. Aku baru mengetahui bahwa Andra memiliki kekasih, Valerie, setelah kami menikah. Bukan dari Andra sendiri, melainkan dari bisik-bisik para pelayan, dari tatapan-tatapan kasihan, dan dari gelagat Andra yang seringkali menghindariku, sibuk dengan ponselnya. Saat itu, pernikahan kami terasa seperti kontrak tanpa hati. Andra, suamiku, adalah pria yang pendiam, seringkali dingin, dan sangat tertutup perihal perasaannya. Ia memenuhi kewajibannya sebagai suami sebatas tuntutan sosial, tidak lebih. Malam-malam yang kulalui di rumah megah itu terasa sunyi, seperti aku hidup sendirian. Keberadaanku di sampingnya terasa hambar, tak berarti.

"Kau hanya boneka yang dipajang," ucapan Valerie bergema di kepalaku. Memang benar. Aku merasa seperti itu. Pernikahan ini, yang seharusnya menjadi awal baru, justru menjadi awal dari kehancuran harga diriku. Aku terperangkap dalam situasi yang bukan pilihanku sepenuhnya, terpaksa berhadapan dengan wanita dari masa lalu Andra, dan merasa semakin terasing di rumah yang seharusnya menjadi milikku. Rasa kesendirian dan kekecewaan itu semakin dalam, mengikis habis harapan yang perlahan kubangun.

Satu bulan setelah kedatangan Valerie yang mengerikan, kehamilanku semakin membesar. Perutku yang membuncit adalah satu-satunya sumber kebahagiaan dan kekuatan yang kumiliki. Aku seringkali berbicara pada Amir dalam kandunganku, menceritakan impian-impian kecil dan berjanji untuk memberikan ia kehidupan yang lebih baik. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. 

Pagi itu, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Andra. Aku sedang menyiapkan sarapan di dapur, mencoba membunuh waktu dan pikiran dengan kesibukan. Jarang sekali Andra mengirimiku pesan, biasanya hanya hal-hal penting dan formal. Rasa penasaran bercampur cemas mencengkeram. Kubuka pesan tersebut. Mataku membaca rentetan kalimat yang membuat darahku berdesir dingin.

"Ingat kalau setelah melahirkan kau tak pergi aku yang akan mengusirmu."

Kalimat pendek dan lugas itu bagai hantaman keras di dadaku. Naskah itu... seolah ditulis dengan es, membekukan darahku. Andra. Suamiku. Pria yang telah berjanji di depan Tuhan dan banyak saksi, kini dengan terang-terangan mengusirku. Setelah semua penderitaan yang kurasakan karena Valerie, kini giliran Andra sendiri yang menusukku dari belakang.

Ponsel terlepas dari genggamanku, membentur lantai marmer dengan bunyi pelan, namun efeknya bagai dentuman bom di telingaku. Aku mundur perlahan, punggungku membentur meja dapur, membuat beberapa piring kecil bergeser. Rasa mual melilit perutku, bukan karena kehamilan, tapi karena sakit yang tak terhingga. Air mata yang selama ini kucoba tahan, kini tumpah ruah, mengalir deras membasahi wajahku. 

Jadi, benar. Andra memang menginginkanku pergi. Mungkin ia tahu tentang Valerie, atau mungkin ia sendiri yang meminta Valerie datang. Pikiran itu membuat hatiku semakin hancur berkeping-keping. Aku merasa sepenuhnya tidak diinginkan. Dikhianati oleh dua orang yang seharusnya menjadi tumpuan hidupku. Suamiku dan wanita yang ia cintai. Perasaan ini mengikis habis harapan terakhirku pada pernikahan ini. Tak ada lagi yang tersisa.

Aku membayangkan Amir. Anakku. Bagaimana ia akan tumbuh di lingkungan yang penuh kepalsuan ini? Bagaimana ia akan merasakan dinginnya kasih sayang dari ayahnya yang hanya menginginkan ibunya pergi? Tidak. Aku tidak akan membiarkan Amir merasakan penderitaan yang sama. Tekadku bulat. Aku harus pergi. Bukan karena Andra mengusirku, tapi karena aku harus melindungi Amir dari semua kepedihan ini.

Malam itu, aku tidak bisa tidur. Setiap kali memejamkan mata, kalimat Andra terngiang-ngiang. Aku menatap perutku yang membesar, mengusapnya dengan air mata. "Maafkan Mama, Nak. Mama harus mengambil keputusan ini. Semua demi kamu." Keputusan itu berat, sangat berat, namun demi Amir, aku harus kuat. Aku harus mengakhiri semua penderitaan ini.

Pagi itu, udara terasa dingin menusuk tulang, sama dinginnya dengan hatiku. Amir baru berusia seminggu. Aku sudah merencanakan segalanya. Malam sebelumnya, setelah bergumul dengan air mata dan pikiran, aku memberanikan diri. Aku tahu aku tidak bisa lagi menunda. Aku tidak bisa tinggal di kediaman Andra, tidak setelah semua yang terjadi, tidak setelah ultimatum dari suamiku sendiri.

Dengan hati-hati, aku menyiapkan sebuah koper. Bukan koper besar yang biasa dibawa untuk perjalanan jauh, melainkan koper berukuran sedang, berisi beberapa pasang pakaianku dan semua perlengkapan penting Amir: popok, botol susu, selimut favoritnya, dan beberapa baju mungil. Setiap barang yang kumasukkan ke dalam koper terasa berat, seolah membawa beban ribuan ton kesedihan dan pengorbanan. Aku bahkan tak sanggup membawa banyak, hanya yang paling esensial.

Di meja nakas, kutinggalkan sepucuk surat untuk Andra. Kutulis dengan tangan gemetar, setiap huruf seolah meneteskan air mata.


Mas Andra,

Aku tahu ini mungkin yang Mas Andra inginkan. Aku pergi. Aku membawa Amir bersamaku. Mas Andra tidak perlu khawatir atau merasa bersalah. Kami akan baik-baik saja. Aku harap Mas Andra bisa bahagia dengan Valerie, wanita yang Mas Andra cintai._

Aku hanya ingin melindungi Amir. Dia pantas mendapatkan kebahagiaan sejati, bukan kebahagiaan palsu yang hanya ada di atas kertas. Jangan cari kami. Kami akan memulai hidup baru, di mana kami bisa menemukan kedamaian yang sesungguhnya.

Terima kasih untuk segalanya, dan selamat tinggaL

Fatma


Setelah menaruh surat itu di tempat yang mudah ditemukan, aku menggendong Amir yang tertidur pulas dalam dekapanku. Kehangatan tubuhnya adalah satu-satunya penenang. Aku memandangi sekeliling kamar, menatap semua perabotan mewah, setiap sudut ruangan yang seharusnya menjadi tempat kami membangun kenangan. Namun, semua itu kini terasa hampa, dingin, dan asing. Aku tidak akan merindukan kemewahan tersebut. Yang kurindukan adalah rumah, sebuah keluarga yang utuh, yang tak pernah kudapatkan di sini.

Langkah kakiku terasa berat saat aku menuruni tangga utama. Setiap anak tangga seperti memisahkan aku dari mimpi yang tak pernah terwujud. Para pelayan yang sibuk dengan pekerjaan pagi mereka menatapku dengan tatapan heran. Aku hanya bisa membalas dengan senyum tipis, menyembunyikan badai di balik wajahku. Aku tak ingin mereka tahu. Tak ingin ada lagi yang mengasihani atau menghakimiku.

Saat aku melangkah keluar dari pintu utama, sebuah hembusan angin pagi yang dingin menyambutku. Pohon flamboyan yang dulu sering kusirami, kini bergoyang pelan, seolah mengucapkan selamat jalan. Di bawah bayang-bayang pohon rindang itu, aku siap meninggalkan semuanya. Meninggalkan rumah yang seperti sangkar, meninggalkan pernikahan yang tak berdasar, dan meninggalkan pria yang tak pernah benar-benar mencintaiku. Demi masa depan yang kupercayai lebih baik untuk Amir. Masa depan yang penuh ketidakpastian, namun setidaknya, masa depan yang kami pilih sendiri. Aku mengecup lembut kening Amir, berbisik, "Kita akan baik-baik saja, Nak. Mama akan menjagamu." Kombinasi kesedihan, kepedihan yang mendalam, dan kekuatan baru yang muncul dari keputusan besar tersebut kini menyelimuti diriku. Aku siap menghadapi dunia sendirian, meskipun berat. Aku tidak tahu ke mana aku akan pergi, tapi aku tahu, ini adalah satu-satunya jalan.

Tepat ketika kakiku melewati gerbang besar rumah Andra, langkahku terhenti. Sebuah mobil mewah, yang sangat kukenal, melaju kencang dan berhenti tepat di depanku. Jantungku mencelos. Andra. Ia keluar dari mobilnya dengan raut wajah kebingungan, matanya menatap koper di tanganku dan Amir dalam gendonganku.

"Fatma? Kau mau ke mana dengan semua itu?" tanyanya, suaranya terdengar panik.

Aku menatapnya, ada gurat lelah di wajahnya, juga semacam kepanikan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aku menghela napas, mencoba menenangkan diriku. "Aku pergi, Mas," jawabku, suaraku parau. "Aku pergi supaya Mas Andra bisa bahagia dengan Valerie. Kami tidak akan mengganggu hidup Mas Andra lagi."

Andra mengerutkan keningnya. "Valerie? Apa yang kau bicarakan? Apa maksudmu bahagia dengan Valerie?" Ekspresinya menunjukkan kebingungan yang tulus, bukan pura-pura.

"Jangan pura-pura tidak tahu, Mas. Valerie sudah memberitahuku semuanya. Tentang Mas Andra yang tidak mencintaiku, tentang video Mas Andra bersamanya, dan bagaimana Mas Andra memaksaku pergi setelah melahirkan," kataku, setiap kalimat terasa seperti mengiris luka lama. Air mata kembali menggenang, namun aku berusaha menahannya agar tidak jatuh.

Wajah Andra berubah pucat. Ia menatapku dengan pandangan terkejut, seolah baru pertama kali mendengar cerita tersebut. "Video? Valerie mengancammu? Dan aku... aku mengusirmu?" Ia terdengar sangat terkejut, suaranya dipenuhi ketidakpercayaan. 

"Ya, Mas. Mas sendiri yang mengirimkan pesan itu kepadaku," balasku, menahan isakan.

Andra mengusap wajahnya kasar, seolah memijat pening di kepalanya. "Aku tidak pernah mengirim pesan seperti itu, Fatma! Aku tidak pernah mengusirmu! Itu semua pasti ulah Valerie!" Ia mendekatiku, tangannya terulur ingin menyentuh lenganku, namun aku mundur. "Valerie... dia sudah menikah, Fatma. Dia sudah menikah dengan pacar bulenya, Tommy, dan pindah ke Sydney empat bulan yang lalu. Dia sudah tidak ada di Indonesia." 

Kepalaku berputar. Valerie sudah menikah? Pindah ke Sydney? Empat bulan yang lalu? Itu berarti... sejak awal Valerie mengancamku, ia sudah tidak lagi bersama Andra? Dan pesan yang mengusirku itu... bukan dari Andra? Kebenaran yang tak terduga itu menghantamku seperti gelombang. Semua yang selama ini kuterima sebagai kenyataan, ternyata adalah kebohongan besar. Kesalahpahaman yang begitu dalam, telah menghancurkan hatiku dan hampir membuatku kehilangan segalanya.

"Tapi... tapi dia menunjukkan videonya padaku, Mas. Dia bilang Mas Andra memaksaku pergi," suaraku melemah, nyaris tak terdengar.

"Itu video lama, Fatma! Sangat lama. Dan dia mengambil ponselku saat aku lengah, mungkin saat aku tidur, untuk mengirim pesan itu. Aku sedang ada di luar kota waktu itu, Fatma. Aku juga mencari tahu kenapa ia bisa bersikap begitu dan mengancammu. Aku ingin melindungimu, tapi aku tidak ingin kau tahu tentang masa laluku yang buruk dengannya. Aku pikir ia sudah pergi, sudah tak ada lagi. Aku ingin memulainya lagi bersamamu, dengan Amir," jelas Andra, suaranya penuh penyesalan dan keputusasaan. "Aku juga berpikir kau dingin karena kau tahu aku punya masa lalu buruk, jadi aku menjaga jarak. Maafkan aku, Fatma. Maafkan kebodohanku."

Mataku membelalak. Jadi, selama ini, Andra tidak sepenuhnya dingin. Ia hanya menjaga jarak, mungkin karena ia sendiri merasa bersalah dan khawatir akan masa lalunya. Semua kekhawatiranku, semua rasa sakit yang kurasakan, sebagian besar berasal dari kesalahpahaman yang begitu kompleks. Aku terkejut dan bingung. Kebenaran ini mengubah seluruh persepsiku tentang situasiku dan Andra. Andra kemudian menatapku dengan tatapan yang memohon. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi, Fatma. Kau istriku, dan Amir adalah putraku. Kembali ke rumah, sekarang." Kata-kata itu, yang tadinya terasa seperti perintah, kini terdengar seperti permohonan tulus. Ia tidak ingin aku pergi. Ia benar-benar tidak menginginkanku pergi. Kebenaran ini membuyarkan keraguanku, mengganti semua kesedihan dengan sejumput harapan yang baru tumbuh.

Andra mendekatiku perlahan, tatapannya kini tak lagi dingin, melainkan dipenuhi penyesalan, kehangatan, dan sebuah janji yang tak terucap. Ia melihat air mata di wajahku, air mata yang kini bukan lagi karena kepedihan, melainkan karena kelegaan dan kebingungan. Dengan lembut, tangannya terulur, meraih jemariku yang dingin. Ia menggenggamnya erat, seolah tak ingin melepaskan, seolah ingin memastikan aku tak akan pernah meninggalkannya lagi. 

Kupejamkan mata sejenak, merasakan sentuhan hangat di tanganku. Saat kubuka mata, ia mengecup jemariku lembut, tatapan matanya lurus menembus jiwaku, penuh kejujuran yang tak pernah kulihat sebelumnya.

"Aku sayang sama kamu, Fatma," bisiknya, suaranya bergetar, namun tegas. "Aku sayang sama kamu, dan aku mencintai Amir. Maafkan aku karena kebodohanku, karena ketidakmampuanku mengungkapkan perasaanku. Maafkan aku karena membuatmu menderita."

Air mata Andra menetes, membasahi tanganku. Ini adalah kali pertama aku melihatnya menangis. Seorang pria yang selalu tampak tegar dan dingin, kini menumpahkan perasaannya di hadapanku. Hati yang tadinya hancur berkeping-keping kini mulai merasakan kehangatan yang menjalar.

"Jadilah bidadariku, Fatma," lanjutnya, suaranya sedikit parau. "Kini dan nanti. Selamanya. Aku janji, tak akan ada duri lagi dalam kehidupan rumah tangga kita. Aku akan melindungimu dan Amir dengan segenap jiwa ragaku."

Angin pagi yang sejuk bertiup pelan, mengusap wajah kami, seolah menjadi saksi bisu dari janji yang diucapkan Andra. Kelopak bunga flamboyan merah muda berguguran, menari-nari di udara sebelum mendarat lembut di tanah, menciptakan karpet alami di bawah kaki kami. Di bawah pohon flamboyan yang rindang itu, di gerbang rumah yang hampir kutinggalkan, kami bersatu kembali. Bukan hanya fisik, tapi hati dan jiwa kami.

Aku menatap Andra, melihat kejujuran di matanya, merasakan ketulusan dalam genggaman tangannya. Semua beban yang selama ini menghimpitku serasa terangkat. Rasa tidak berharga, rasa tidak diinginkan, semua itu lenyap. Aku mengangguk, air mata kebahagiaan kini membasahi pipiku. "Aku juga sayang sama Mas Andra," balasku, suaraku bergetar. "Aku janji akan menjadi bidadari terbaik untukmu dan Amir."

Andra tersenyum. Senyum tulus yang selama ini kuharapkan. Ia merengkuhku erat, memelukku dan Amir dalam satu dekapan hangat. Aroma tubuhnya yang maskulin, kehangatannya yang menenangkan, adalah apa yang selama ini kurindukan. Aku memejamkan mata, merasakan kedamaian yang mendalam. Akhirnya, aku diterima. Aku dicintai. Aku diakui sebagai "bidadari" dalam kehidupan suamiku dan anakku.

Di bawah pohon flamboyan, kami tidak hanya mengucapkan janji, tetapi juga mengukir ulang masa depan. Masa depan yang tidak lagi dipenuhi kesalahpahaman, ketakutan, atau bayang-bayang masa lalu. Masa depan yang akan kami bangun bersama, dengan landasan cinta yang kuat dan tanpa keraguan. Kami tahu, perjalanan di depan mungkin tidak akan selalu mulus, tapi dengan cinta yang tulus dan kepercayaan yang telah kami bangun, kami siap menghadapi apapun. Kisah kami baru saja dimulai, sebuah janji baru di sudut jiwa yang kini dipenuhi cahaya harapan. Amir kecil dalam dekapan kami, adalah simbol dari cinta yang tumbuh dari abu penderitaan, siap bersinar terang. Akankah janji itu kekal, abadi, mengatasi badai yang mungkin masih menunggu di masa depan? Hanya waktu yang bisa menjawabnya, namun pagi itu, di bawah flamboyan, kami percaya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
PELANGI USAI BADAI
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
Dua Kunci
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Keputusan Abah
T. Filla
Cerpen
Yang Tak Pernah Tersembuhkan
Lukman hakim
Cerpen
Obrolan di Malam Hari
Hai Ra
Cerpen
Bronze
My Weird Online Friend
Rosa L.
Cerpen
Bronze
Maghdiraghar Nyurathala
JWT Kingdom
Cerpen
Bronze
Manusia Dan Mesin
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
INSOMNIA
Intan Andaru
Cerpen
Bronze
Pelajaran Menulis Cita-Cita
Nana Sastrawan
Cerpen
Bronze
Keajaiban Dokter Risna
Syaa Ja
Cerpen
Bronze
Salah Jalan
Fitri Yeni Musollini
Cerpen
KISAH DI BALIK HUJAN
Penulis N
Cerpen
Bronze
Kakek dan Bisma
Anggrek Handayani
Cerpen
Sebuah Dermaga untuk Pulang
Tresnaning Diah
Rekomendasi
Cerpen
PELANGI USAI BADAI
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RAHIM TERLARANG
ari prasetyaningrum
Cerpen
PAHIT GETIR CINTA
ari prasetyaningrum
Cerpen
PATAH HATI DI UJUNG ADAT
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
PETAKA BONEKA TERKUTUK
ari prasetyaningrum
Cerpen
TERTAWAN SANG KETOS
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH TERPAUT DI DERMAGA CINTA
ari prasetyaningrum
Cerpen
BERLIAN YANG TERCAMPAK
ari prasetyaningrum
Cerpen
PERSAHABATAN YANG CULAS
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
JODOHKU, IBU SATU ANAK
ari prasetyaningrum
Cerpen
ANTARA ANDIKA, ANNISA DAN AMALIA
ari prasetyaningrum
Cerpen
URBAN LEGEND DESA ARUMDALU
ari prasetyaningrum
Cerpen
BERKHIANAT DEMI SI BULE
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RENDANG UNTUK IBU MERTUA
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
JALAN HIDAYAH DI BALIK SENJA
ari prasetyaningrum