Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Pelangi untuk Mentari
0
Suka
20
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Libur sekolah, Mentari ikut Mama pergi ke pasar. Setelah selesai berbelanja kebutuhan untuk seminggu, Mama mengajaknya pulang. Mereka berboncengan dengan motor bebek kesayangan Mama, menyusuri jalan desa yang mulai basah. Langit yang sejak pagi mendung akhirnya tak lagi menahan diri—hujan deras pun tumpah dari langit, membasahi perjalanan mereka.

“Wah, deras sekali!” seru Mama sambil memperlambat laju motor.

Mentari menggenggam erat tubuh Mama dari belakang, tubuh mungilnya menggigil terkena percikan air hujan.

Mereka akhirnya berhenti dan berteduh di sebuah warung kecil di pinggir jalan. Mama membeli segelas teh hangat untuk dirinya, sementara Mentari hanya memandangi hujan dengan mata berbinar, seolah ada keindahan di balik derasnya air yang jatuh.

Tak lama, hujan mulai reda, berubah menjadi gerimis tipis. Mama mengusap kepala Mentari.

“Ayo, Nak. Kita lanjut pulang sebelum hujannya turun lagi.”

Mentari mengangguk, lalu ikut Mama bersiap menaiki motor. Tapi langkahnya tiba-tiba terhenti. Matanya menangkap sesuatu dari arah got di dekat jalan.

Seekor anak kucing kecil berwarna oranye tergeletak di sana. Bulunya kotor penuh lumpur, menggumpal dan melekat di kulit tipisnya. Tubuhnya kurus kering, tulang rusuknya tampak menonjol seakan ia sudah lama menahan lapar. Kakinya bergetar, berusaha bertahan agar tidak terseret arus kecil yang mengalir deras di got.

Sesekali, tubuh mungil itu goyah, hampir hanyut bersama lumpur dan dedaunan yang terbawa air. Tapi dengan sisa tenaga, ia mencakar tepi got, mencoba bertahan hidup. Suara mengeongnya terdengar lirih, serak, putus-putus—lebih mirip rintihan daripada panggilan.

Lalu, di tengah keputusasaan itu, matanya yang basah menatap Mentari. Mata kecil yang lemah itu memancarkan sesuatu—sebuah harapan tipis, seolah berkata: tolong jangan biarkan aku sendirian…

Mentari tercekat. Tatapan mata kecil itu membuat hatinya bergetar hebat. Seolah ada suara tanpa kata yang merambat masuk ke dalam dadanya, merobek rasa kasihan yang mendalam.

“Mama… kucingnya kasihan sekali…” bisiknya, nyaris tak terdengar di antara rintik hujan.

Air mata bening mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak tahan melihat tubuh mungil itu berjuang sendirian, kurus, gemetar, dengan mata yang begitu memohon.

Mama menoleh, matanya ikut memandang ke arah got. Ia sempat menghela napas panjang. “Mentari, jangan dekat-dekat. Itu kucing liar, badannya kotor sekali. Bisa sakit kalau kamu pegang.”

Tapi seakan tak mendengar, Mentari melangkah mendekat. Sepatunya terperosok ke tanah becek, baju putihnya ikut basah. Ia berjongkok, menatap kucing kecil itu dari dekat. Suara mengeong lirih kembali terdengar, seolah menyambutnya.

Tanpa pikir panjang, tangan mungil Mentari terulur. Ia mengangkat tubuh basah itu dengan hati-hati, takut menyakitinya. Lumpur menempel di telapak tangannya, bau anyir menusuk hidungnya, tapi Mentari tidak peduli.

Kucing itu mengeong pelan, lalu merapat ke dada Mentari. Seperti menemukan pelukan pertama yang hangat dalam hidupnya.

Mama terdiam beberapa detik, melihat anaknya yang basah, kotor, tapi matanya berbinar penuh keteguhan. Akhirnya Mama menyerah, menggeleng sambil tersenyum tipis.

“Ya ampun, kamu ini… baiklah. Tapi jangan dekatkan ke wajahmu dulu, ya. Nanti kita mandikan di rumah.”

Mentari mengangguk cepat, lalu memeluk erat kucing kecil itu. Senyumnya mekar, seolah hujan yang baru saja menetes dari langit berubah jadi pelangi di hatinya.

“Mulai sekarang, kamu ikut aku, ya. Aku kasih nama kamu… Pelangi. Karena kamu muncul setelah hujan.”

Perjalanan pulang dilanjutkan. Kali ini, Mentari duduk di jok belakang dengan hati-hati, sambil menggendong kucing kecil itu di balik jaket tipisnya agar tidak semakin kedinginan. Sesekali, ia merasakan tubuh mungil itu bergetar, lalu mengeong lirih seolah takut.

“Tenang, Pelangi… sebentar lagi kita sampai rumah,” bisik Mentari sambil mengusap pelan kepala kecil yang basah itu.

Mama sempat singgah sebentar di sebuah petshop kecil di pinggir jalan. Ia membeli sampo khusus kucing dan makanan kucing. “Biar kucingmu ini bersih dulu, Nak. Nanti kalau sudah sehat, baru bisa main sama kamu.”

Sesampainya di rumah, Mentari berlari kecil, tak sabar membawa Pelangi ke kamar mandi. Mama sudah menyiapkan baskom berisi air hangat, dan Mentari segera menaruh kucing kecil itu dengan hati-hati, siap membersihkan bulu oranye yang kotor.

“Mentari, pelan-pelan ya, jangan sampai air masuk telinganya,” ujar Mama.

Mentari mengangguk serius, lalu mulai menuangkan air hangat ke tubuh Pelangi. Kucing kecil itu sempat mengeong keras, tubuhnya menegang, tapi tangan lembut Mentari menenangkan dengan usapan penuh hati-hati.

“Tidak apa-apa, Pelangi. Aku di sini…” ucapnya lirih.

Sampo khusus kucing dituangkan Mama ke telapak tangan Mentari, lalu ia menggosok lembut bulu oranye kecil itu. Perlahan, lumpur dan kotoran yang melekat luruh bersama busa, menyingkap warna oranye indah di balik tubuh yang tadinya kusam.

Pelangi menatap ke arah Mentari dengan mata bulatnya yang kini tampak lebih jernih. Ada kilau berbeda, seolah rasa takutnya perlahan hilang dan berganti dengan rasa percaya.

Mentari tersenyum, hatinya menghangat. “Lihat, Ma… matanya cantik sekali. Kayak lagi senyum ke aku.”

Mama hanya tersenyum sambil mengeringkan Pelangi dengan handuk. Setelah selesai, tubuh mungil itu dibungkus hangat, lalu dibaringkan di pangkuan Mentari.

Pelangi mengeong pelan sekali, lalu menempelkan kepalanya di tangan Mentari. Mata kecilnya berkilau setiap kali memandang wajah anak itu.

Sejak hari itu, setiap tatapan Pelangi seolah bercerita: “Kau yang menyelamatkanku… sekarang aku milikmu, ya?”

Mentari pun jatuh cinta pada tatapan itu—tatapan penuh rasa percaya dan kasih sayang yang tulus.

Setelah tubuhnya bersih dan sedikit menghangat, Mama meletakkan sebuah mangkuk kecil berisi makanan basah kucing di lantai. Aroma harum segera memenuhi ruangan.

Begitu Pelangi melihatnya, ia langsung meronta dari gendongan Mentari. Dengan langkah gontai dan kaki kecil yang masih gemetar, ia menyeret tubuhnya mendekati mangkuk. Tanpa menunggu, ia menunduk dan melahap makanan itu dengan rakus—suara “hap… hap…” terdengar terburu-buru, seolah ia takut makanan itu akan hilang sebelum sempat ia habiskan.

Mentari menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Ya Tuhan, Ma… lihat. Kasihan sekali, sepertinya Pelangi belum makan berhari-hari…”

Bulu oranye kecil itu kini basah oleh air mata yang jatuh dari pipi Mentari. Ia meraih kepala Pelangi, mengusap lembut sambil berkata lirih, “Makanlah, Pelangi… jangan takut, di sini kamu tidak akan kelaparan lagi.”

Namun, meski makanan sudah habis, Pelangi masih menjilat mangkuk kosong itu, lidah mungilnya terus bergerak mencari remah terakhir. Tubuhnya kurus, perutnya kempis, seakan menyimpan jejak panjang penderitaan yang baru saja ia lewati.

Mama menambahkan sedikit lagi makanan, dan kembali Pelangi melahapnya dengan lahap, sampai akhirnya tubuh mungil itu terhuyung-huyung karena terlalu lelah. Ia kemudian rebah di pangkuan Mentari, matanya perlahan terpejam, perut kecilnya akhirnya terisi, untuk pertama kalinya setelah entah berapa lama ia berjuang sendiri di jalanan.

Mentari mengecup lembut kepala kecil itu, berbisik, “Sekarang kamu sudah aman, Pelangi. Kamu tidak sendirian lagi…”

Malam itu, kamar kecil Mentari terasa lebih hangat dari biasanya. Lampu tidur kuning redup memancarkan cahaya lembut, menerangi ranjang mungil dengan sprei bergambar bunga-bunga. Di atas bantal, Pelangi meringkuk, bulu oranyenya yang sudah kering terlihat kusut namun lebih lembut setelah dimandikan.

Mentari berbaring di sebelahnya, masih terjaga. Tangannya yang mungil mengelus perlahan punggung kecil Pelangi. “Tidurlah, Pelangi… aku akan jagain kamu,” bisiknya pelan, seolah takut membangunkan kucing kecil itu.

Pelangi menggeliat sebentar, lalu menempelkan tubuh kurusnya ke dada Mentari. Suara dengkuran halus—“prrr… prrr…”—mulai terdengar, getarannya terasa sampai ke tangan kecil Mentari. Itu adalah suara tenang, tanda bahwa Pelangi merasa aman.

Air mata Mentari kembali menetes, tapi kali ini bukan karena sedih. Ia terharu mendengar suara itu, seakan Pelangi sedang berterima kasih dengan caranya sendiri.

“Ma, dengar nggak?” panggil Mentari setengah berbisik, matanya menatap Mama yang berdiri di ambang pintu.

Mama tersenyum lembut. “Iya, Nak. Itu tandanya dia bahagia bisa ada di sini.”

Mentari memeluk Pelangi lebih erat. Kucing kecil itu meringkuk semakin dalam, seolah menemukan rumah setelah lama tersesat. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama kelaparan dan kedinginan, Pelangi tidur dengan tenang—tanpa rasa takut, tanpa rasa lapar, hanya hangat dan cinta dari sahabat barunya.

**

Hari-hari setelah itu terasa berbeda bagi Mentari. Setiap pagi, begitu bangun, hal pertama yang dilihatnya adalah Pelangi yang sudah duduk manis di samping bantal, menatapnya dengan mata bulat berbinar. Kadang-kadang, kucing kecil itu mengeong pelan, seolah berkata, “Selamat pagi, Mentari.”

Mentari akan terkekeh kecil, lalu mengelus kepala Pelangi. “Selamat pagi juga, Pelangi. Ayo, kita sarapan.”

Di meja makan, Pelangi duduk rapi di lantai, menunggu mangkuk kecilnya diisi. Mama biasanya sudah menyiapkan makanan kucing dari petshop. Begitu mangkuk itu diletakkan, Pelangi langsung melahapnya dengan lahap—meski kali ini tidak seputus asa seperti pertama kali datang. Setiap suapan kecil tampak ia nikmati, sesekali berhenti hanya untuk menengok ke arah Mentari, matanya berbinar seolah berkata: terima kasih, aku tidak lapar lagi.

Sepulang sekolah, Mentari sering kali berlari kecil ke halaman rumah, disambut Pelangi yang berlari tergopoh-gopoh dengan langkah kakinya yang lincah meski tubuhnya kecil. Kadang Pelangi melompat ke pelukan Mentari, kadang ia sekadar menggesekkan tubuhnya ke kaki Mentari sambil mengeong manja.

Di sore hari, keduanya duduk di teras, menyaksikan langit desa berubah jingga. Mentari bercerita tentang apa saja—tentang sekolah, tentang teman-temannya, tentang mimpi-mimpinya. Pelangi, meski tak bisa menjawab, selalu menatap dengan tatapan yang penuh, seolah benar-benar mengerti.

Mama sering kali tersenyum dari dalam rumah, melihat anaknya yang kini punya sahabat kecil. “Mentari, Pelangi itu bukan cuma kucing, ya. Dia juga teman yang setia.”

Mentari akan mengangguk mantap, lalu memeluk Pelangi erat.

“Pelangi bukan cuma kucing, Ma. Dia keluargaku sekarang.”

Dan malam-malam kembali terasa hangat, karena Pelangi selalu tidur di sisi Mentari—dengkurannya yang lembut jadi lagu pengantar tidur, menemani setiap mimpi indah.

Bulan demi bulan berlalu, kehidupan Mentari tidak lagi terasa sepi. Sejak hadirnya Pelangi, hari-hari kecilnya selalu terisi tawa dan cerita baru. Kemanapun ia pergi, kucing oranye itu selalu setia menemaninya—seperti bayangan kecil yang tak pernah mau lepas.

Seperti sore itu, ketika Mama menyuruh Mentari membeli garam di warung Bu Siti. Jaraknya tidak terlalu jauh, hanya melewati jalan kecil yang dipenuhi pohon-pohon rindang dan deretan rumah tetangga.

“Baik, Ma! Aku pergi sebentar ya,” seru Mentari riang sambil melangkah keluar rumah.

Dan tentu saja, Pelangi langsung menyusul dari belakang. Tubuhnya kini sudah lebih besar, bulunya lebat berkilau, pipinya sedikit gembul karena selalu makan dengan lahap. Tapi tingkahnya tetap sama lucunya.

“Pelangi, ayo cepat! Jangan sampai ketinggalan!” teriak Mentari sambil menoleh ke belakang.

Pelangi mengeong keras, lalu berlari dengan kaki mungilnya. Kadang ia melompat-lompat kecil, kadang justru tersandung kerikil dan hampir terguling. Mentari tergelak, suaranya pecah oleh tawa.

Di pertigaan jalan menuju RT sebelah, Pelangi sempat mendahului Mentari, lalu berhenti mendadak di tengah jalan. Mentari yang berlari kecil hampir menabraknya. “Huh, Pelangi nakal! Kamu sengaja ya ngerjain aku?” omelnya sambil manyun, tapi matanya tetap berbinar penuh sayang.

Pelangi justru berguling di tanah, memperlihatkan perut gendutnya, lalu mengeong manja. Mentari tak tahan untuk tidak jongkok sebentar dan mengelus kepala sahabat kecilnya. “Dasar kamu, Pelangi. Untung lucu banget.”

Begitu sampai di warung Bu Siti, Mentari masuk membeli garam, sementara Pelangi duduk manis di depan pintu. Ekor oranyenya bergoyang-goyang, matanya tak lepas memandang Mentari dari balik pintu warung.

Tak lama kemudian, Mentari keluar dengan kantong kecil berisi garam. Begitu melihatnya, Pelangi langsung berdiri dan mengeong keras, seolah menyambutnya dengan gembira: “Ayo, kita pulang sama-sama!”

Mentari terkikik, lalu mengangkat Pelangi sebentar, memeluk tubuh gembul itu penuh sayang. “Kamu beneran sahabatku, Pelangi. Selalu nemenin aku kemana-mana.”

Pelangi merapatkan kepalanya ke pipi Mentari, membuat anak itu tersenyum makin bahagia.

Mereka berjalan pulang beriringan melewati jalan RT, Mentari dengan kaki mungilnya yang berlari-lari kecil, sementara Pelangi berusaha mengikuti di sisi tuan kecilnya. Sesekali ia mencoba melompat riang. Bulunya yang masih basah menempel tanah, meninggalkan jejak kecil di jalan becek.

Meski begitu, setiap kali ketinggalan, Pelangi segera mengeong pelan, lalu berlari kecil lagi untuk menyamakan langkah. Mentari menoleh sambil tersenyum hangat, menunggu kucing mungil itu sampai bisa berjalan di sampingnya.

Di sore sederhana itu, kebahagiaan terasa begitu utuh—seolah dunia hanya milik mereka berdua. Hujan sudah benar-benar berhenti, hanya menyisakan genangan air di sepanjang jalan tanah. Mentari melangkah hati-hati, tak ingin membuat Pelangi semakin kesulitan.

Mentari menoleh ke belakang sambil tersenyum hangat. “Ayo, Pelangi, sebentar lagi sampai rumah,” katanya penuh sayang.

Namun senyum itu segera pudar ketika dari arah tikungan, muncul sosok anak laki-laki berbadan besar dengan langkah congkak. Ia mengunyah permen karet dengan suara berisik, matanya langsung menangkap Pelangi yang berjalan di sisi Mentari.

“Eh, eh, lihat tuh!” serunya keras, tertawa meledek. “Kucing got! Hahaha, kotor banget!”

Mentari menegang. Ia tahu betul suara itu. Dodot. Anak nakal dari RT sebelah yang terkenal suka bikin ulah.

Dodot melangkah lebih dekat, matanya menyipit nakal. “Hei, Mentari, kasih kucing itu ke aku! Biar aku bawa pulang, terus tak jadiin sate! Hahaha!”

Tawa Dodot pecah keras, menggema di jalanan sepi itu.

Pelangi mengeong lirih, tubuh kecilnya gemetar, lalu merapat erat ke kaki Mentari. Matanya yang basah memandang ke atas, seolah memohon perlindungan.

“Dodot! Kamu jahat sekali! Jangan ganggu Pelangi!” seru Mentari lantang, suaranya pecah menahan tangis. Ia cepat-cepat merentangkan tangan, berdiri di depan Pelangi, berusaha melindunginya.

Dodot hanya semakin terbahak, menepuk-nepuk tangannya sendiri. “Halah, kamu ini! Cuma kucing jelek aja kok dibela-belain! Mending dimakan aja sekalian!”

Mentari menggigit bibirnya kuat-kuat, dadanya sesak. Tapi ia tidak bergeming. “Aku nggak akan kasih Pelangi ke kamu! Dia temanku!”

Pelangi kembali mengeong lirih, suaranya serak dan menyayat hati, seolah ikut menegaskan kata-kata Mentari.

Dodot melangkah maju dengan wajah menyeringai, tangannya terulur hendak menyingkirkan Pelangi. Mentari buru-buru menghalangi, berdiri kokoh di depannya meski tubuh mungilnya gemetar.

“Jangan sentuh Pelangi!” teriaknya dengan suara lantang.

Dodot mendengus kesal. “Minggir, ah! Dasar anak kecil bawel!” Tanpa sadar, ia mendorong Mentari cukup keras.

Tubuh kecil itu terhuyung ke belakang dan jatuh ke tanah yang becek. Plastik garam yang dibawanya pun ikut terlepas dari genggaman, isinya tumpah berserakan ke tanah basah. Mata Mentari memanas, bukan hanya karena sakit di sikunya, tapi juga karena rasa takut kalau Pelangi akan diambil.

Saat itulah sesuatu yang tak terduga terjadi.

Pelangi, yang sejak tadi gemetar ketakutan, tiba-tiba melompat maju dengan mata membara. Suaranya berubah, tidak lagi lirih melainkan raungan kecil penuh keberanian. “Miaaawwwr!”

Dengan cepat, kucing oranye mungil itu mencakar lengan Dodot, lalu meloncat ke pundaknya dan mencakar wajahnya. Dodot menjerit kaget, “Aaaakh! Sakit! Lepasin, kucing gila!” Ia berusaha menepis, tapi Pelangi semakin garang, cakarnya menggores pipi Dodot hingga ia terhuyung panik.

Mentari terbelalak, setengah takut setengah terharu, melihat sahabat kecilnya berani melawan demi melindunginya.

Jeritan Dodot akhirnya memecah keheningan sore. Beberapa warga keluar rumah, dan tak lama kemudian langkah cepat seorang pria terdengar mendekat.

“Ya Allah! Ada apa ini?!” suara berat itu membuat semua menoleh.

Pak RT muncul dengan wajah kaget, matanya terbelalak melihat Dodot yang berlari kecil sambil menepis-nepis Pelangi yang masih berusaha menyerang.

“Pak! Tolong! Ada kucing mau bunuh saya!” teriak Dodot panik, wajahnya merah penuh goresan.

Pak RT mendekat dengan dahi berkerut, bingung melihat adegan aneh itu: seekor kucing kecil yang biasanya terlihat rapuh, kini berubah buas demi melindungi tuan kecilnya yang masih terduduk di tanah, menangis sambil memeluk plastik garam yang sudah rusak.

Pak RT buru-buru melangkah, suaranya lantang.

“Dodot! Berhenti teriak-teriak! Itu kucing kecil, masa kamu kalah sama kucing?”

Ia menepuk tangan Dodot agar Pelangi terlepas. Pelangi akhirnya melompat turun, lalu lari kecil kembali ke sisi Mentari. Tubuh mungilnya masih berdiri tegak, bulunya berdiri, ekornya mengembang, matanya menatap tajam ke arah Dodot seakan siap menyerang lagi bila Mentari diganggu.

Mentari cepat-cepat meraih Pelangi dan memeluknya erat, air matanya menetes deras. “Nggak apa-apa, Pelangi… aku di sini,” bisiknya sambil mengusap punggung kucing kecil itu.

Dodot masih meringis sambil mengusap pipinya yang penuh goresan. “Pak… lihat ini! Saya dicakar kucing jelek itu!” rengeknya, setengah menangis.

Pak RT menghela napas panjang, lalu menatap Dodot dengan tatapan tajam.

“Dodot! Kamu ini memang nakalnya kebangetan. Kamu yang ganggu duluan, dorong Mentari sampai jatuh, sekarang malah salahin kucingnya. Hah, apa kamu nggak malu? Badanmu besar, tapi kerjaannya ganggu anak kecil!”

Dodot terdiam, bibirnya manyun, tapi matanya masih penuh kesal. “Saya cuma bercanda, Pak…” gumamnya lirih.

“Bercanda apanya?! Bercanda kok bikin anak orang jatuh sampai nangis! Bercanda kok mau nyakitin hewan kecil yang nggak salah apa-apa! Kalau orang tuamu tahu, mereka pasti sedih kamu jadi anak nakal begini.” Suara Pak RT meninggi, membuat beberapa warga yang menonton ikut mengangguk setuju.

Mentari masih terisak, tapi kali ini merasa sedikit lega. Ia menatap Pak RT dengan mata berkaca-kaca, lalu berbisik, “Terima kasih, Pak…”

Pak RT mendekat, mengusap kepala Mentari lembut. “Sudah, Nak, jangan nangis. Kamu anak yang baik, sudah berani melindungi teman kecilmu. Kucingmu juga hebat, dia berani melawan meski kecil. Kalian berdua saling jaga, ya.”

Pelangi mengeong pelan, seolah mengerti kata-kata itu.

Dodot, yang makin malu karena jadi pusat perhatian, akhirnya menunduk. “Maaf…” gumamnya lirih, meski jelas wajahnya masih dongkol.

Pak RT mengibaskan tangannya. “Sudah, pulang sana! Jangan ulangi lagi kalau nggak mau saya panggil bapakmu!”

Dodot langsung berlari menjauh, meninggalkan mereka dengan wajah cemberut.

Mentari menghela napas lega, lalu menatap Pelangi. “Kamu berani sekali, Pelangi… aku bangga sama kamu.”

Pelangi menempelkan tubuhnya ke kaki Mentari, matanya berbinar, lalu mengeong sekali lagi—seolah berkata: aku akan selalu melindungimu.

Mentari pulang dengan pakaian penuh tanah, lututnya sedikit lecet, dan plastik garam yang ia bawa robek. Mama yang sedang menata belanjaan di dapur langsung terkejut melihat anaknya.

“Ya ampun, Mentari! Kamu kenapa ini? Kok sampai kotor begini?!” seru Mama sambil cepat menghampiri.

Mentari masih terengah, tapi matanya berbinar penuh semangat. Ia langsung memeluk Pelangi yang berdiri gagah di sisinya, lalu berkata cepat dengan suara penuh antusias.

“Ma, tadi Dodot nakal sekali! Dia dorong aku sampai jatuh, terus Pelangi… Pelangi langsung marah, Ma! Dia loncat ke Dodot, nyakar mukanya, dan Dodot sampai teriak-teriak! Hahaha, hebat sekali kan, Ma?!”

Tangannya bergerak-gerak heboh, seakan ia sedang mengulang adegan serunya. Meski lututnya perih, semangat Mentari sama sekali tidak surut.

Mama terperaangah, “astaga, jadi Pelangi yang nolongin kamu?”

“Iya, Ma!” jawab Mentari mantap, wajahnya berbinar penuh kebanggaan. “Pelangi itu berani sekali. Padahal tadi dia gemetar ketakutan, tapi begitu aku jatuh… dia langsung lindungin aku. Kayak… kayak pahlawan kecil gitu, Ma!”

Pelangi yang duduk di lantai menatap ke arah Mentari dengan mata bulatnya. Mendengar namanya disebut-sebut, kucing kecil itu mengeong pelan lalu mengibaskan ekornya, persis seperti ingin ikut nimbrung dalam percakapan. Ia kemudian meloncat ke pangkuan Mentari, lalu mendengkur sambil menempelkan kepala mungilnya ke dagu sang tuan kecil.

Mentari terkikik, matanya berbinar makin cerah. “Tuh kan, Ma… dia ngerti kalau aku lagi cerita tentang dia. Lihat, dia senyum tuh!”

Mama sampai menutup mulutnya, berusaha menahan tawa. “Aduh, kalian berdua ini… bikin Mama deg-degan sekaligus terharu.”

Mentari mengangguk mantap, lalu memeluk Pelangi erat-erat. “Mulai sekarang, aku nggak takut lagi, Ma. Soalnya aku punya Pelangi yang selalu jagain aku.”

Pelangi mengeong sekali lagi, lalu menatap Mentari dengan mata berbinar, membuat suasana sore itu terasa hangat—penuh kasih, keberanian, dan ikatan yang makin erat di antara mereka.

Mama segera membawa Mentari ke dalam rumah. Ia mendudukkannya di kursi kayu, lalu mengambil kotak P3K dari lemari kecil.

“Ayo, duduk diam dulu, biar Mama bersihkan lukanya.” Suara Mama terdengar lembut, tapi tegas.

Mentari meringis saat Mama menyeka lututnya dengan kapas beralkohol. “Aduh, perih, Ma…” Kelopak matanya berkedip-kedip menahan air mata, tapi ia tetap berusaha kuat.

Pelangi yang sedari tadi menempel di kaki Mentari, kini ikut naik ke kursi. Ia duduk manis, ekornya bergerak-gerak pelan, matanya terpaku pada lutut Mentari seolah sedang ikut mengawasi proses pengobatan. Sesekali ia mengeong pelan, nadanya terdengar seperti keluhan prihatin.

Mentari terkikik kecil meski menahan sakit. “Lihat, Ma… Pelangi jagain aku supaya aku nggak takut.”

Mama tersenyum tipis, lalu meniup perlahan luka yang sudah dibalut obat merah. “Pelangi memang hebat, tapi kamu juga harus hati-hati, Nak. Berani itu bagus, tapi kalau ada yang nakal, jangan melawan sendirian. Lebih baik segera pulang dan lapor ke Mama atau Pak RT. Mengerti?”

Mentari mengangguk serius, meski bibirnya tetap menyunggingkan senyum bangga. “Iya, Ma. Tapi aku senang sekali… soalnya Pelangi nggak biarin aku sendirian.”

Pelangi tiba-tiba berdiri dengan gaya konyol—punggungnya agak melengkung, ekornya tegak, dan matanya menyipit seolah sedang bergaya gagah. Mentari terbahak melihatnya.

“Haha, Ma! Lihat tuh! Pelangi kayak lagi bilang: ‘Aku pahlawan, aku hebat!’”

Mama ikut tertawa, lalu mengusap kepala anaknya dengan penuh kasih. “Iya, Nak. Pahlawan kecilmu ini memang luar biasa.”

Mentari memeluk Pelangi erat-erat. Suara dengkuran lembut terdengar lagi, menambah hangat suasana sore itu. Luka di lututnya masih terasa perih, tapi hatinya penuh dengan rasa bangga—karena ia tahu, ia punya sahabat kecil yang berani melindunginya apa pun yang terjadi.

**

Keesokan paginya, Mentari duduk bersila di karpet warna-warni. Ia tidak bisa diam, tangannya terus bergerak, matanya berbinar penuh semangat.

“Temen-temen! Kemarin aku ditolongin Pelangi, kucing aku!” katanya lantang, sambil melompat kecil.

Bulan menoleh dengan mata bulat. “Ditolongin? Emang kamu kenapa, Tari?”

Mentari langsung membuka rok seragamnya sedikit, memperlihatkan lutut yang sudah ditempeli plester bergambar kelinci. “Aku jatoh, terus Dodot nakalin aku… Pelangi langsung ‘meooong!’ gitu. Lucu banget, kayak singa kecil!”

Bintang yang terkenal cerewet ikut nimbrung. “Heee? Masa kucing bisa jadi singa? Terus, terus nakalnya gimana?” Ia sampai maju merangkak mendekati Mentari, wajahnya penuh rasa penasaran.

Mentari mengangguk-angguk cepat, kedua tangannya bergerak heboh menirukan. “Iya beneran! Pelangi tuh gini, dia berdiri, terus matanya gini…” Mentari menyipitkan mata, membuat wajah garang, tapi malah terlihat imut. “Terus si Dodot langsung kabur! Hahaha!”

Bulan menutup mulutnya sambil cekikikan. “Waaah, Pelangi berani banget ya.”

Bintang berdiri dan menirukan gaya kucing marah. “Hsss… aku Pelangi! Awas ya, jangan ganggu Mentari!” Seluruh kelas pun tertawa.

Mentari tersipu tapi wajahnya jelas bangga. “Iyaaa, Pelangi itu pahlawan aku. Dia jagain aku. Dia kucing paling hebat di dunia!” katanya dengan suara lantang seakan semua orang harus percaya.

Teman-temannya jadi tambah penasaran. “Tari, Tari! Besok boleh nggak main ke rumahmu? Aku mau liat Pelangi!” kata Embun sambil memeluk lengannya.

“Iya, iya! Aku juga mau!” seru Arion sambil mengangkat tangan.

Mentari langsung mengangguk semangat, pipinya merona senang. “Boleeh! Besok kalian main ke rumahku, ya. Nanti Pelangi pasti seneng ketemu kalian.”

Dan di kepalanya, Mentari sudah bisa membayangkan betapa bangganya ia saat memperkenalkan Pelangi—pahlawan kecil yang ia ceritakan dengan penuh antusias—kepada teman-temannya di TK.

**

Mentari duduk di teras rumah, kakinya yang mungil berayun-ayun riang. Di pangkuannya, Pelangi meringkuk manja dengan mata setengah terpejam. Tangan kecil Mentari mengusap lembut bulu Pelangi yang kini mulai tumbuh lebat.

“Pelangi… besok temen-temen aku mau datang, loh,” bisiknya dengan suara riang. “Ada Bintang, Bulan, Arion, sama Embun. Mereka semua pengen ketemu kamu, katanya kamu hebat banget! Hihihi.”

Pelangi mengeong lirih, lalu menoleh ke wajah Mentari dengan mata bundarnya yang berkilau. Seakan mengerti, ia menjilat tangan kecil Mentari, membuat anak itu terkikik geli.

**

Keesokan harinya, halaman rumah Mentari riuh oleh suara langkah kecil dan tawa.

“Waaah, itu ya Pelangi?” seru Bintang, matanya berbinar-binar. Ia langsung jongkok, menatap Pelangi dengan rasa penasaran yang tak terbendung.

Bulan yang biasanya pemalu pun tak bisa menahan senyum. “Kok… lucu banget ya. Beneran kayak pahlawan kecil,” katanya lirih, tapi jelas penuh kekaguman.

Arion, anak yang selalu penuh energi, langsung bertepuk tangan. “Horeee! Pelangi! Kucing pemberani! Aku mau liat dia marah kayak kemarin, Tari!”

Embun malah duduk manis di tanah, menepuk-nepuk lututnya. “Sini Pelangi, sini… aku nggak nakal kok,” panggilnya dengan suara lembut.

Pelangi awalnya ragu, tapi begitu melihat Mentari mengangguk sambil tersenyum, ia perlahan berjalan mendekat. Bulunya yang oranye berkilau terkena cahaya matahari, membuat semua anak terpesona.

“Waaahhh…” serempak keempat anak itu berdecak kagum. Mata mereka bulat, wajahnya dipenuhi rasa takjub.

Pelangi tiba-tiba duduk tegak, ekornya melingkar rapi, matanya menatap sekeliling dengan angkuh seakan tahu dirinya sedang dipuji. Lalu—dengan gaya kocak—ia mengeong nyaring sambil mengedipkan sebelah mata.

Bintang langsung terbahak. “Hahaha! Liat, liat! Kayak ngerti kita lagi ngomongin dia!”

Mentari tersenyum lebar, dadanya dipenuhi rasa bangga. “Tuh kan, aku bilang apa? Pelangi itu bukan kucing biasa… dia pahlawanku!”

Anak-anak pun bersorak kecil, dan sejak hari itu, Pelangi resmi jadi “kucing kebanggaan” geng kecil mereka.

**

Halaman rumah Mentari dipenuhi suara tawa riang. Pelangi, dengan tubuh kecilnya yang lincah, tiba-tiba melompat lalu berlari kecil ke arah pohon pisang di tepi halaman.

“Kejar Pelangi! Hahaha!” teriak Arion sambil berlari paling depan, kakinya menendang-nendang tanah yang masih lembap.

Bintang berlari sambil terpingkal-pingkal, napasnya terengah tapi wajahnya penuh semangat. “Cepet, nanti kabur! Ih, lincah banget kucingnya!”

Embun yang biasanya kalem, ikut tertawa keras sambil mengangkat sedikit roknya supaya tidak kotor. “Aduh, Pelangi, tunggu akuuu!” serunya dengan wajah memerah karena terlalu banyak tertawa.

Sementara itu, Bulan yang paling pelan malah tak bisa berhenti cekikikan setiap kali Pelangi berhenti sebentar lalu menoleh dengan mata bulatnya, seakan sengaja menantang mereka untuk mengejar lagi.

“Liat tuh! Hahaha… dia kayak ngajak main petak umpet!” kata Bulan, menahan perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa.

Mentari berdiri di tengah halaman, wajahnya bersinar bahagia. Ia ikut berlari kecil, rambutnya yang dikuncir dua ikut terayun-ayun. “Ayo Pelangi, lari lagi! Hihihi!”

Pelangi mengeong nyaring lalu berlari berputar mengitari anak-anak. Sesekali ia berhenti, menunduk rendah dengan ekor tegak, persis seperti kucing yang siap menerkam—lalu melompat kecil ke arah kaki Arion, membuat anak itu menjerit geli.

“Waaa! Hahaha! Dia nakutin aku!” teriak Arion, lalu tergelincir duduk di tanah sambil terus tertawa.

Tawa anak-anak meledak, memenuhi sore itu. Suara mereka bercampur dengan cicit burung di pepohonan dan gemericik sisa hujan yang menetes dari daun pisang.

Pelangi berlari sekali lagi, lalu akhirnya melompat ke pangkuan Mentari. Ia duduk manis, bulunya sedikit kusut karena tanah, tapi matanya berbinar puas.

Pelangi akhirnya melompat ke pangkuan Mentari. Ia duduk manis di sana, bulunya sedikit kusut karena tanah, tapi matanya berbinar puas. Napasnya terdengar kecil-kecil, seolah berkata kalau tubuh mungilnya sudah cukup lelah setelah berlari-larian.

Mentari mengelus punggungnya pelan, lalu menoleh pada teman-temannya. “Pelangi capek, dia mau istirahat dulu. Kalau nggak, nanti dia sakit.”

Bintang, Bulan, Embun, dan Arion serempak mengangguk dengan wajah agak kecewa, tapi mereka paham.

“Ya udah, besok kita main lagi sama Pelangi, ya,” kata Embun sambil melambaikan tangan kecilnya.

“Dadah, Pelangi! Jangan lupa aku ya!” sahut Bulan sambil cekikikan.

Satu per satu mereka pamit pulang, masih membawa senyum ceria dari permainan tadi. Namun sebelum ikut melangkah pergi, Arion tiba-tiba berbalik. Ia mendekati Mentari dengan wajah serius tapi matanya berbinar penuh harap.

“Mentari… boleh nggak Pelangi nginep di rumah aku malam ini?” tanyanya hati-hati. “Aku janji besok di sekolah aku kasih dia permen warna-warni banyak banget!”

Mentari langsung menatapnya dengan mulut sedikit menganga. Ia mendekap Pelangi lebih erat, seolah takut kucing kecil itu benar-benar diambil. Pelangi mengeong pelan, lalu merapat ke dada Mentari, seakan mengerti apa yang sedang dibicarakan.

Mentari menggeleng cepat, pipinya mengembung. “Nggak mau! Pelangi temenku. Dia tidur sama aku aja. Permen juga Pelangi nggak boleh, nanti sakit gigi.”

Arion langsung manyun, tangannya terkulai. “Hmmm… yaudah deh. Tapi besok aku tetep bawain permen buat kamu, Mentari.”

Mendengar itu, Mentari tersenyum lebar. “Hehehe, boleh. Tapi Pelangi tetap sama aku ya!”

Arion hanya bisa tertawa kecil, lalu berlari menyusul teman-temannya pulang, meninggalkan Mentari yang masih duduk sambil memeluk Pelangi penuh sayang.

**

Langit desa kembali dipenuhi bintang. Mentari sudah bersiap tidur di kamarnya yang sederhana. Kasurnya kecil, diselimuti sprei bermotif bunga-bunga yang sudah agak pudar warnanya. Di sampingnya, Pelangi berbaring meringkuk, bulu oranyenya terlihat lebih bersih dan lembut setelah dimandikan Mama siang tadi.

Mentari memeluk boneka kelincinya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya mengelus punggung Pelangi. “Pelangi… kamu jangan nakal ya. Besok kita main lagi sama Bintang, Bulan, Embun, sama Arion. Mereka semua suka sama kamu.”

Pelangi mengeong pelan, matanya setengah terpejam, lalu menggeser tubuh mungilnya lebih dekat ke Mentari.

Mentari terkekeh kecil, matanya berbinar. “Hihihi, kayak ngerti aja kamu. Tapi aku seneng banget punya kamu. Nanti kalau aku sedih, kamu harus nemenin aku, ya. Jangan tinggalin aku sendirian.”

Pelangi membuka matanya sebentar, menatap Mentari dengan bola matanya yang bening. Lalu, seakan mengerti ucapan tuannya, ia menjilat jari kecil Mentari sebelum kembali meringkuk manis.

Mentari tersenyum puas. Ia menarik selimut menutupi tubuh mereka berdua, lalu berbisik pelan, “Selamat tidur, Pelangi. Aku sayang kamu.”

Tak lama, kamar itu dipenuhi kehangatan. Mentari terlelap dengan senyum di wajahnya, sementara Pelangi mendengkur halus, seperti melodi lembut yang menjaga mimpi indah tuan kecilnya.

**

Waktu berjalan begitu cepat. Dua tahun sudah Mentari dan Pelangi tumbuh bersama. Dari anak TK yang polos, kini Mentari sudah bersiap menjadi murid kelas satu SD. Usianya menginjak tujuh tahun, sementara Pelangi kini tumbuh menjadi kucing muda yang sehat, meski tetap manja dan setia menempel pada tuannya.

Pagi itu, rumah kecil mereka dipenuhi kesibukan. Mama sibuk bersiap untuk berangkat mengajar, sementara Mentari berdiri di ruang tamu dengan seragam putih merah yang masih tampak kebesaran di tubuh mungilnya. Tas barunya sudah terpasang di punggung, tapi wajahnya sama sekali tak menunjukkan semangat.

Matanya hanya tertuju pada satu titik: Pelangi.

Kucing oranye itu duduk diam di lantai, ekornya melingkar di tubuhnya. Bola matanya menatap lurus ke arah Mentari, seolah tahu betul apa yang akan terjadi hari ini.

Mentari menggigit bibirnya, lalu jongkok di depan Pelangi. “Pelangi… hari ini aku resmi jadi anak SD. Tapi aku nggak bisa cepat pulang lagi kayak dulu. Aku harus tunggu Mama selesai ngajar dulu di sekolah. Jadi… aku baru bisa pulang siang.” Suaranya bergetar, matanya mulai berkaca-kaca.

Pelangi mengeong lirih, pelan sekali, tapi cukup untuk membuat dada Mentari sesak. Ia merapatkan tubuhnya ke kaki tuan kecilnya, seakan memohon agar tak ditinggalkan.

“Mentari!” panggil Mama dari teras dengan nada sedikit tegas. “Ayo cepat, Nak, nanti kita telat upacara. Kamu nggak mau kan terlambat di hari pertama sekolah?”

Tapi Mentari masih berjongkok di lantai, tangannya mengelus-elus kepala Pelangi. “Aku nggak tega, Ma… Pelangi sendirian di rumah lama banget. Dia pasti nunggu aku.”

Mama mendekat, menghela napas sambil memandang anaknya yang terus menatap kucing itu dengan penuh sayang. “Aduh, kamu ini… Mama sampai gemes lihatnya. Pelangi kan pintar, dia bisa nunggu kamu. Lagipula kalau kamu telat, nanti kamu yang rugi.”

Mentari menatap Pelangi sekali lagi. Kucing itu balas menatap dengan mata bening, penuh kesedihan. Seolah ikatan batin yang sudah terjalin dua tahun terakhir membuat mereka bisa saling mengerti tanpa kata-kata.

Akhirnya Mentari memeluk Pelangi erat-erat. “Aku janji pulang nanti langsung main sama kamu, ya. Jangan sedih, Pelangi. Aku juga sedih ninggalin kamu.”

Pelangi mengeong sekali lagi, lalu menempelkan kepalanya ke dagu Mentari, seolah mengiyakan janji itu.

Mama tersenyum kecil, lalu menggandeng tangan Mentari. “Ayo, Nak. Nanti Pelangi nunggu kamu di rumah. Dia pasti bangga punya tuan kecil yang sekarang sudah jadi anak SD.”

Dengan berat hati, Mentari berdiri, melangkah keluar sambil terus menoleh ke belakang. Dari pintu, ia masih melihat Pelangi duduk diam di lantai, menatap kepergiannya dengan tatapan sendu.

Dan di pagi itu, perasaan Mentari campur aduk: bahagia menyambut hari pertama sekolah, tapi hatinya tertinggal di rumah, bersama sahabat kecilnya yang menunggu.

**

Hari-hari pertama di SD terasa sangat berbeda bagi Mentari. Jika dulu di TK ia pulang lebih cepat, kini ia harus menunggu Mama selesai mengajar hingga siang. Jam dinding sekolah berdentang pelan setiap kali jarum panjang bergeser, dan Mentari selalu menunggu dengan resah.

Di kelas, ia berusaha fokus belajar membaca, menulis, dan berhitung. Tapi di sela-sela itu, pikirannya sering melayang pulang. “Apa Pelangi lagi tidur? Apa dia nunggu aku di jendela?” batinnya bertanya-tanya.

Dan benar saja, setiap kali pulang, begitu motor Mama berhenti di depan rumah, yang pertama menyambut bukan angin desa atau suara ayam, melainkan Pelangi.

Kucing oranye itu selalu muncul di jendela ruang tamu. Tubuhnya berdiri tegak, dua kakinya menempel di kaca, ekor bergoyang pelan. Begitu mendengar suara motor Mama, matanya langsung berbinar, dan suaranya mengeong panjang—“meoooww!”—seolah sudah hafal bahwa tuan kecilnya sebentar lagi akan masuk rumah.

Begitu pintu dibuka, Pelangi berlari kecil, bulunya terayun-ayun. Ia langsung melompat ke kaki Mentari, menggesekkan tubuhnya, lalu mengeong nyaring seperti sedang bercerita betapa lamanya ia menunggu.

Mentari pun langsung jongkok, melepas tas sekolahnya, lalu meraih tubuh hangat itu. “Pelangiii! Kamu nunggu aku, ya? Pasti kamu bosen sendirian.” Suaranya riang bercampur haru, sementara Pelangi menutup matanya setengah, menikmati usapan lembut di kepalanya.

Kadang, saking rindunya, Pelangi ikut berlari-lari kecil mengelilingi kaki Mentari, sampai hampir membuatnya terjatuh. Mama hanya bisa tertawa melihat keduanya. “Aduh, kalian ini… sepertinya Pelangi malah lebih senang daripada Mama waktu lihat kamu pulang sekolah."

Mentari terkekeh, lalu menjawab cepat, “Soalnya aku sahabatnya, Ma. Pelangi nunggu aku tiap hari.”

Sejak itu, kebiasaan baru pun lahir. Setiap pagi, sebelum berangkat, Mentari selalu berbisik ke telinga Pelangi, “Tunggu aku, ya. Jangan nakal.” Dan setiap siang, Pelangi benar-benar ada di jendela, seolah menjaga janji batin mereka.

Hati Mentari pun jadi lebih tenang. Ia tahu, meski hari-hari sekolah panjang dan melelahkan, selalu ada satu sosok kecil berbulu oranye yang setia menunggu pulangnya di rumah.

**

Suatu sore, Mentari dan mama baru bisa pulang lebih lambat dari biasanya. Hari itu, setelah bel pulang sekolah, mama harus mengikuti rapat guru di sekolah. Rapat tersebut membahas persiapan lomba antar-sekolah di kecamatan, pembagian tugas guru, serta program belajar tambahan untuk siswa yang akan menghadapi ujian. Ruang guru dipenuhi suara serius, catatan dibagikan, dan diskusi berlangsung cukup lama.

Mentari duduk diam di sudut ruang guru sambil menunggu mama. Sesekali ia menoleh ke jam dinding dengan wajah murung. Bayangan tentang Pelangi yang sendirian di rumah membuat hatinya tidak tenang.

Saat rapat selesai, mentari langsung menarik tasnya dengan sigap, seolah tidak sabar untuk pulang. Mereka berdua naik motor. Angin sore berhembus, namun kegelisahan Mentari tidak juga hilang. Ia terus memeluk tasnya erat sambil menggigit bibir.

“Mama, Pelangi sendirian di rumah dari siang… gimana kalau dia kesepian?” suara Mentari bergetar.

Mama melirik sebentar sambil tetap fokus mengendarai motor. “Tenang, Nak. Pelangi baik-baik saja. Dia pasti sedang tidur atau duduk nungguin Mentari di jendela."

Tapi hati kecil Mentari tidak bisa ikut tenang. Ia menatap jalanan dengan gelisah, kedua tangannya saling meremas. “Tapi Ma… Pelangi pasti nunggu aku. Aku takut dia sedih.”

Mama tersenyum lembut, meski sedikit gemas dengan rasa khawatir anaknya yang begitu besar. “Kamu sayang sekali sama Pelangi, ya? Sabar sebentar lagi kita sampai. Nanti kamu bisa peluk dia sepuasnya.”

Mentari hanya mengangguk kecil, raut wajahnya murung, menahan rindu pada sahabat kecilnya di rumah.

Begitu motor berhenti di depan rumah, Mentari langsung meloncat turun tanpa menunggu mama. Ia berlari ke dalam rumah sambil memanggil,

“Pelangi…! Pelangiii… aku sudah pulang!”

Namun, tidak ada suara gemericik kecil atau gerakan lucu yang biasanya menyambutnya. Ruang tamu yang biasanya riuh dengan tawa Mentari dan Pelangi kini terasa sepi.

Mentari menoleh ke sana kemari, matanya gelisah. “Mama… Pelangi nggak ada! Biasanya dia lari ke arahku…”

Mama menurunkan helmnya dengan tenang, meski wajahnya ikut cemas. “Coba kita cari dulu, jangan panik.”

Tapi bagaimana mungkin Mentari bisa tenang? Ia berlari ke sudut halaman, ke dekat pohon mangga tempat Pelangi sering berbaring siang hari. Kosong. Ia lalu mengintip ke bawah kursi bambu di teras, tempat Pelangi biasa bersembunyi saat ingin bermain petak umpet. Tidak ada.

“Pelangi… jangan main sembunyi-sembunyi, aku kangen banget!” suara Mentari mulai bergetar.

Mama ikut masuk ke dalam rumah, membuka pintu kamar, menengok ke bawah meja belajar, bahkan ke kolong ranjang tempat kadang-kadang Pelangi suka tidur. Tidak ada tanda-tanda keberadaan sahabat kecil itu.

Mentari semakin panik. Ia berlari lagi ke dapur, memeriksa dekat tumpukan kardus, lalu keluar lagi ke pekarangan belakang, tempat Pelangi sering berlarian mengejar kupu-kupu. Nafasnya terengah-engah, matanya mencari ke segala arah.

“Mamaaa… Pelangi nggak ada… jangan-jangan dia hilang… atau… atau ada yang ambil dia…” suara Mentari pecah, air matanya jatuh deras.

Mama segera menghampiri, memeluk bahu kecil Mentari. “Ssst, jangan langsung berpikir yang buruk, Nak. Kita cari baik-baik. Pelangi pasti ada di sekitar sini. Dia nggak akan pergi jauh.”

Namun, Mentari tetap menggenggam erat baju mama sambil terisak. Dalam hatinya, rasa takut menguasai. Ia membayangkan Pelangi sendirian, mungkin ketakutan, atau mungkin butuh dirinya.

Hatinya terasa kosong, seperti kehilangan separuh dunia.

**

Senja perlahan tenggelam, langit berubah jingga lalu gelap. Lampu-lampu rumah mulai menyala satu per satu. Namun, di rumah Mentari masih belum ada tanda-tanda kehadiran Pelangi.

“Ma, kita cari keluar desa aja, ya. Siapa tahu Pelangi nyasar…” pinta Mentari dengan suara lirih, matanya bengkak karena terlalu banyak menangis.

Mama menghela napas panjang, lalu menyalakan motor. “Baiklah, Nak. Kita keliling. Tapi kamu harus kuat, ya.”

Malam semakin larut. Jalan desa tampak lengang, hanya sesekali terdengar gonggongan anjing dari kejauhan. Lampu jalan yang temaram membuat suasana terasa semakin sunyi.

Mama mengendarai motor pelan, sementara Mentari duduk di belakang dengan wajah murung. Matanya sembab, bibir mungilnya terus bergetar memanggil, “Pelangiii… ayo pulang… aku kangen…”

Dari kejauhan, tampak sosok berjalan sambil membawa senter. Itu Pak RT, yang hendak menuju pos kamling untuk giliran ronda malam.

Mama segera menepi, menghentikan motor. “Pak RT!” serunya.

Pak RT menoleh, lalu tersenyum kecil. “Lho, Bu Guru? Mentari? Masih keliling malam-malam? Cari apa?”

Mentari buru-buru turun dari motor dan berlari kecil mendekati Pak RT. Matanya basah, suaranya gemetar. “Pak RT… lihat Pelangi nggak? Kucingku… bulunya oranye, kecil… tadi nggak ada di rumah. Aku udah cari ke mana-mana…”

Pak RT sempat terdiam, lalu mengangguk pelan. “Oh, Pelangi… iya, iya, Bapak ingat. Itu kan kucing yang dulu sempat nyakar Dodot waktu kamu diganggu, ya?”

Mentari mengangguk cepat, matanya berbinar penuh harap. “Iya, Pak! Itu loh, kucingku yang jagain aku. Dia berani banget padahal badannya kecil. Tapi sekarang hilang… Pak RT lihat nggak? Tadi mungkin main ke arah pos kamling?”

Pak RT menghela napas panjang, lalu menepuk lembut kepala Mentari. “Sayang sekali, Nak… Bapak belum lihat Pelangi sejak sore tadi. Biasanya dia memang suka mondar-mandir dekat rumahmu. Tapi mungkin kali ini jalan agak jauh. Kamu jangan khawatir dulu, kucing biasanya punya naluri buat pulang.”

Mentari menunduk, pipinya basah oleh air mata. “Tapi Pak… Pelangi nggak pernah pergi sejauh ini… aku takut dia kenapa-kenapa…”

Mama mendekat, berusaha menenangkan. “Sudah, Nak. Kita sabar dulu. Kalau ada warga yang lihat, Pak RT pasti kasih kabar.”

Pak RT mengangguk tegas. “Iya, betul. Nanti saya bantu tanyakan ke ronda juga, siapa tahu ada yang lihat Pelangi.”

Mentari mencoba mengangguk, meski wajahnya tetap murung. “Makasih, Pak…” ucapnya lirih, sebelum kembali naik ke motor.

Pak RT hanya bisa menatap punggung kecil Mentari yang semakin menjauh di kegelapan malam. Hatinya ikut terenyuh, teringat jelas bagaimana kucing oranye kecil itu dulu berdiri berani melawan Dodot. Seakan ia tahu, sahabat kecil Mentari itu bukan kucing biasa—Pelangi memiliki keberanian yang luar biasa.

Namun malam sudah larut, dan udara desa semakin dingin. Mama menepuk lembut pundak Mentari. “Mentari, sudah malam, Nak. Kita pulang ke rumah dulu, ya. Besok pagi kamu harus sekolah.”

Mentari menatap Mama dengan mata berkaca-kaca, suaranya tersendat. “Aku… aku nggak mau pulang, Ma… belum ketemu Pelangi…”

Mama merendahkan badannya hingga sejajar dengan Mentari, memegang kedua pipinya dengan lembut. “Mama tahu kamu khawatir, Nak… tapi tubuhmu juga perlu istirahat dan makan malam. Kalau kamu sakit, Pelangi pasti akan sedih juga. Besok, setelah pulang sekolah, kita cari lagi, janji, ya?”

Mentari terdiam sesaat, masih menangis, tapi perlahan ia mengangguk. Pikiran tentang sahabat kecilnya yang mungkin menunggu di luar membuatnya sadar bahwa ia harus tetap kuat. Akhirnya, ia melingkarkan tangan mungilnya di pinggang Mama, dan bersama motor yang melaju pelan, mereka pulang ke rumah.

Di rumah, Mentari segera menyantap makan malam dengan lahap, masih sesekali menatap keluar jendela, berharap melihat ekor oranye muncul di halaman. Mama menepuk kepalanya dan tersenyum lembut, “Besok kita cari lagi, Nak. Jangan sedih, nanti kamu kuat.”

**

Keesokan harinya, selepas Mama selesai rapat, mereka kembali berkeliling desa. Mentari sejak siang sudah gelisah, dan begitu mereka sampai rumah, ia langsung meminta Mama untuk mencari Pelangi lagi.

Mentari duduk di boncengan motor dengan mata terus mengawasi setiap sudut jalan, seakan takut melewatkan keberadaan Pelangi.

“Pelangi… pulang, ya. Aku kangen banget sama kamu… pulang cepet, ya,” ucapnya lirih berulang kali, seolah mengirim doa kecil ke langit.

Mereka menyusuri jalan RT sebelah, lalu berhenti di depan warung kecil milik Bu Siti. Lampu warung itu remang-remang, aroma gorengan masih menyeruak.

Mentari segera turun, berlari kecil menghampiri. “Bu Siti!” panggilnya dengan suara bergetar.

Bu Siti menoleh, lalu tersenyum. “Lho, Mentari. Mentari lagi cari kucing, ya?”

Mentari mengangguk cepat, matanya berkaca-kaca. “Iya, Bu… Pelangi belum pulang dari kemarin. Bulunya oranye, Bu Siti lihat nggak?”

Bu Siti menatap iba, lalu menggeleng pelan. “Belum, Nak. Sejak kemarin Bu Siti nggak lihat ada kucing oranye lewat sini. Lagipula Pelangi kan biasanya main di halaman rumahmu aja, jarang keluar jauh.”

Mentari mengusap matanya yang basah. “Iya, Bu… makanya aku takut. Kalau dia nggak di rumah, dia di mana sekarang? Dia nggak pernah jauh-jauh dari aku…”

Suara kecil itu pecah menjadi isakan. Mama cepat-cepat menghampiri, merangkul pundaknya. “Sudah, Nak… sabar ya. Kita masih bisa tanya ke tetangga lain. Jangan putus asa.”

Bu Siti menatap iba, lalu menepuk lembut bahu Mentari. “Doakan saja, Sayang. Siapa tahu besok pagi Pelangi sudah pulang dengan selamat.”

Tapi bagi Mentari, kata-kata itu sulit menenangkan. Air matanya jatuh makin deras, membasahi pipi kecilnya. Di kepalanya hanya ada satu bayangan: Pelangi sendirian di luar sana, mungkin lapar, mungkin kedinginan, mungkin ketakutan.

Di motor, ia memeluk erat tas kecilnya sambil terisak. Malam itu, dunia yang biasanya cerah baginya terasa gelap. Rasanya seperti kehilangan separuh dari dirinya sendiri.

Malam itu, setelah lelah berkeliling desa tanpa hasil, Mama menuntun Mentari masuk ke kamar. Lampu kamar menyala redup, menyoroti mata bengkak Mentari yang terus menangis sepanjang jalan pulang.

“Sudah, Nak. Istirahat dulu. Besok kita cari lagi, ya,” ujar Mama pelan, mencoba menenangkan.

Mentari hanya mengangguk kecil, tapi hatinya terasa hampa. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk boneka kelincinya erat-erat—boneka yang biasanya ia abaikan karena selalu ada Pelangi yang lebih ia sayang. Kini, tanpa Pelangi, boneka itu hanya terasa dingin.

Air mata kembali mengalir, menetes membasahi bantal. “Pelangi… kamu di mana sekarang?” bisiknya lirih.

Ia teringat bagaimana Pelangi dulu suka duduk manis di pangkuannya, mengeong kecil setiap kali ia pulang sekolah. Terbayang juga suara lirih Pelangi saat pertama kali ia temukan di got, tatapan mata penuh harap yang membuat mereka tak terpisahkan.

Kali ini, Mentari yang merasa lemah dan tak berdaya. Dengan suara serak, ia menangkupkan kedua tangannya, berdoa dengan polos dan tulus seperti anak kecil.

“Ya Allah… tolong jagain Pelangi. Jangan biarin dia sendirian di luar. Kalau Pelangi lapar, kasih dia makanan. Kalau Pelangi takut, tolong peluk dia biar hangat. Tolong bawa Pelangi pulang ke aku…”

Doa itu pecah jadi tangisan yang menyayat hati. Mama yang duduk di samping ranjang ikut terdiam, matanya berkaca-kaca melihat anaknya berdoa begitu tulus hanya untuk seekor kucing.

Mentari terisak sampai akhirnya lelah. Kelopak matanya yang berat menutup perlahan, meninggalkan jejak air mata di pipinya. Dalam tidur, tangannya masih mengepal, seolah ia menggenggam harapan terakhir agar sahabat kecilnya kembali.

Malam itu, rumah terasa sepi tanpa suara mengeong Pelangi. Hanya suara jangkrik di luar jendela yang menemani kesedihan seorang anak kecil yang merindukan sahabatnya.

**

Seiring berlalunya hari, sebulan pun telah lewat, namun Pelangi tak juga kembali. Mentari duduk di dekat jendela rumahnya, tubuh mungilnya meringkuk, matanya memandang ke jalan yang basah oleh hujan deras. Setiap tetes yang menimpa atap dan jalanan seolah menambah berat hatinya.

“Pelangi… kamu di mana?” bisiknya lirih, hampir tak terdengar di antara suara hujan.

Air mata mulai menetes di pipinya, membasahi lengan bajunya. Hatinya terasa hampa, seperti ada bagian dari dirinya yang hilang—sahabat kecilnya yang selalu membuat hari-hari Mentari cerah kini tak lagi ada.

Mentari teringat semua kenangan indah mereka. Ia melihat kembali bayangan pertama kali menemukan Pelangi di got, tubuh kecil itu gemetar, kotor, namun matanya penuh harap. Ia teringat bagaimana Pelangi makan dengan lahap, seakan belum pernah merasakan kenyang seumur hidupnya—suara “hap… hap…” yang membuatnya ikut terharu.

Ia teringat saat mereka pergi ke warung Bu Siti, ketika Pelangi menemaninya dengan lincah, memandang setiap langkah Mentari, seakan ingin selalu berada di sisinya. Ia teringat momen-momen bermain kejar-kejaran di halaman rumah, tawa mereka bercampur dengan lompatan Pelangi yang lincah, dan bagaimana Pelangi sering duduk di jendela, menatap jalanan menunggu Mentari pulang sekolah.

Mentari teringat malam-malam ketika ia tidur sambil memeluk Pelangi, suara dengkuran lembut itu menenangkan setiap mimpi buruk dan kesepian. Bahkan hal-hal kecil—Pelangi yang menggesekkan kepalanya ke kaki Mentari, tatapan penuh kepercayaan setiap pagi, atau tubuh kecil yang selalu ingin mendekat saat Mentari sedih—semua kenangan itu kini hanya tinggal ingatan yang membakar hatinya dengan rindu.

Mentari menundukkan kepala, menatap hujan yang masih deras. “Kenapa kamu nggak pulang, Pelangi…? Aku kangen banget sama kamu…”

Hujan dan tangisan kecilnya seolah menjadi satu, mengisi keheningan rumah. Mentari merasa sepi, kehilangan, tapi di balik kesedihan itu, hatinya tetap mencintai Pelangi—mencintai sahabat yang pernah membuat hari-harinya penuh tawa, hangat, dan warna, seperti pelangi sesungguhnya.

Di balik jendela, ia terus menatap jalan yang basah, berharap suatu saat langkah kecil Pelangi kembali menghampirinya. Namun untuk sekarang, hanya kenangan dan rindu yang menemaninya. Mentari menyandarkan pipi ke jendela, mata berkaca-kaca, hati remuk karena kehilangan sahabat kecilnya yang paling berani dan paling ia cintai.

Mama berdiri di belakang Mentari yang duduk meringkuk di dekat jendela, tubuh mungilnya menatap hujan deras yang membasahi halaman rumah. Suara tetesan hujan seolah menjadi irama kesedihan yang menambah berat hatinya. Mentari diam, bibirnya gemetar, matanya berkaca-kaca, menatap jalanan yang sepi, berharap melihat sosok kecil Pelangi muncul kembali—padahal Mama tahu, seperti Papa Mentari, Pelangi kini telah pergi, meninggalkannya untuk selamanya.

Mama menahan napas panjang, hatinya remuk melihat anaknya yang begitu merindukan sahabat kecilnya. Ia ingin memeluk, ingin menenangkan, tapi bagaimana menjelaskan kenyataan pahit itu pada hati mungil Mentari? Ia hanya bisa menatap, membiarkan kesedihan anaknya mengalir, berharap suatu saat Mentari bisa mengerti tanpa rasa sakit yang terlalu dalam.

The end

“Untuk Siti, sahabat kecilku yang kini telah pergi. Semoga kamu tenang di sana. Meski ragamu tak lagi di sisiku, kenangan dan cintaku padamu akan selalu hidup selamanya.” – Dyah

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Bronze
Ibu dan Segala Kompleksitasnya
Siti Aminatus Solikah
Cerpen
Pelangi untuk Mentari
Dyah
Cerpen
Beli Salah, Tidak Juga Salah
Elsa Ayu
Cerpen
Bronze
Masakan Ibu
Noveria Retno Widyaningrum
Cerpen
Bronze
Sepasang Mata Bola di Kereta
Jalvanica
Cerpen
Para Pencari Kerja
zain zuha
Cerpen
Bronze
Sakit Kiriman
Intan Andaru
Cerpen
FISIKA oh FISIKA
Rian Widagdo
Cerpen
Telepon Iseng!
Noer Eka
Cerpen
Pergi Untuk Pulang
Nurul Islah
Cerpen
Bronze
Cinta Saja Tidak Cukup!
Zakiya NW
Cerpen
Bronze
When words become home
Langitttmallam
Cerpen
Di Belakang Layar Kekuasaan
Yovinus
Cerpen
Sekali Lagi Purnama
Siti Sulha Darmaini
Cerpen
Bronze
The Second Wife
Rani Rosdiana
Rekomendasi
Cerpen
Pelangi untuk Mentari
Dyah
Cerpen
Aku untuk Diriku Part 1
Dyah
Cerpen
Aku untuk Diriku Part 2
Dyah