Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hari ini seperti hari-hari biasa. Hari yang penuh dengan keluh kesah yang tak berujung. Hari yang penuh dengan suara pecahan perabot yang berkeping-keping. Kedua mahluk dewasa itu memang egois, mereka tak menganggap kami yang juga menghuni penjara kecil ini. Mereka tak pernah memikirkan betapa tersiksanya kami dengan segala yang terjadi. Mungkin aku sebagai mahluk tertua di antara mahluk- mahluk kecil yang menderita ini cukup mengerti walau tak habis pikir apa yang mereka lakukan. Takkah mereka membangun semua dengan cinta dan kasih sayang? Namun jika begitu mengapa mereka menghancurkan semua dengan cara seperti ini? Menjadikan rumah sebagai penjara untuk kami, menjadikan perabot senjata untuk mereka saling menghujam hingga menusuk jantung kami yang masih sangat rapuh. Aku Dian Wiratmaja baru berusia lima belas tahun, usia yang baru menginjak remaja.
Bahkan belum terpikir olehku untuk dewasa secepat ini. Dina Wiratmaja adik perempuanku, bahkan ia pun masih berumur sepuluh tahun, usia yang langsung bisa menyerap apa yang dilihat walau tak langsung mengerti arti dari itu semua. Dan yang terakhir Doni Wiratmaja adik bungsuku yang baru menginjak usia TK, dimana ia baru belajar meniru dan apa yang disaksikan akan tertanam dalam benaknya.
Saat ini kehawatiranku benar, bencana itu terjadi. Bencana yang akhirnya memisahkan aku dengan salah satu ataupun kedua adikku. Aku diharuskan untuk memilih salah satu di antara mahluk yang aku sayangi sekaligus aku benci ini. ”Ian, ikut mama sama Dina ya! Kita akan hidup bahagia nak.” Ucap seorang yang selama ini ku kenal sebagai seorang ibu. Sungguh ucapan terakhirnya merobek hatiku.
Bagaimana bisa aku bahagia hanya tinggal dengan sebagian dari jiwaku. Hatiku meringis menyadari ini semua. “Mengapa aku harus terlahir sebagai seorang yang kehausan kasih dan sayang?” Gumamku pedih dalam hati. “Ian ikut sama papa sama Doni aja ya, nanti papa penuhi segala kebutuhanmu.” Ucapan angkuh yang tak pernah ingin aku dengarkan. Dunia egois seakan menghantarkan aku pada kematian.
Aku tahu betapa perih dan hancurnya hati kedua pelangi kecil yang akan terpisahkan. Pelangi yang hanya akan membawa sebagian warna yang terpecah.
Aku tak henti mengutuk kedua mahluk itu dalam hati hingga aku akhirnya memilih untuk bersama peri bijaksana tumpuan asaku selama aku tak berada dalam penjara itu. Peri itu bernama nenek. Nenek yang
sangat menyayangi dan mengerti aku. Nenek yang selalu memberikan sejuta nasihat untuk aku yang kehausan kasih sayang. Aku begitu dekat dengan nenek, sebab hanya ia yang ku anggap sebagai mahluk dewasa yang sesungguhnya. Setelah hatiku terbuka aku mantapkan tuk berkata ”Aku tak kan ikut dengan papa dan mama, aku akan ikut nenek”. Keduanya terdiam, mereka meradang berharap aku mengeluarkan pernyataan lain bahwa di antara mereka berdua ada yang menang. Namun aku tak kan pernah mau ikut terlibat dalam peperangan mereka. Aku tak kan rela menjadi senjata yang akan menghancurkan salah satunya, karena bagiku mereka memang telah hancur. Di sela kesunyian yang aku rasakan nenek datang menghampiriku. ”Ian, apa kamu yakin tidak mau ikut salah satu di antara kedua orang tuamu?” Walau tersenyum, aku tahu nenek tengah menangis dalam hati menyaksikan keluarga anaknya hancur, terutama mama adalah anak bungsu nenek. Nenek pasti tengah merasakan perih yang menghujam saat ini. Aku tak ingin melukai hati nenek, aku berusaha tersenyum tanpa menitikakkan air mata yang dianggap tabu untuk seorang laki-laki. “Nek, Ian mau ikut nenek, Ian nggak mau pindah dari kota ini. Ian nggak mau dipisahkan sama nenek, satu-satunya orang yang mampu mengerti Ian.” Setelahku ucapkan itu nenek merangkulku. “Nenek tidak habis pikir dengan pemikiran papa mamamu Ian, namun mungkin ini sudah jalan yang ditakdirkan Tuhan. Kita berdoa saja untuk kebaikan semuanya.” Nenek sudah tak mampu lagi menahan bendungan air mata di kedua kelopak matanya.
Kini kedua adikku telah mengetahui semuanya, kedua mahluk dewasa yang egois itu telah mengutarakan semuanya tanpa menyaring apa yang tak seharusnya mereka ucapakan. Saling menyalahkan satu dengan yang lainnya. Kedua adikku menangis tak terbendung mereka hanya bisa mencecarkan semuanya padaku. Hari dimana kami akan dipisahkan ini, aku memberikan dua bantal pelangi pada kedua pelangiku.
Akupun tak lupa membeli satu untuk diriku. Ku katakan pada mereka agar menjaga kedua pelangi itu, walau hanya bantal pelangi namun ku yakini bantal itu akan mengantarkan mereka pada pelangi impian yang utuh tanpa harus terpecah belah seperti sekarang ini. Kedua adikku menangis tersedu-sedu mereka memelukku erat ”Dina nggak mau pisah sama kak Ian dan Don.” Ucap adik perempuanku tanpa menahan luapan air yang bercucuran dari mata indahnya. Aku pun menangis terisak bersama keduanya, aku hanyut dalam kenangan pada masa lalu dengan pelangi indah yang utuh. “Doni uga, Doni mau maen sama abang Ian dan mbaDina.” Adik bungsuku ikut menimpali, wajah lugu polos milik adikku yang masih menginjak usia Taman Kanak-kanak ini membuatku tak dapat menahan keperihan dalam hatiku. Aku pun dengan lembut mengucapkan satu kalimat perpisahan untuk kedua adikku ini.”Dina, Doni nangis aja ya sampai hati kalian merasa puas. Karena setelah hujan yang kalian turunkan berhenti kalian akan tertidur dan menggunakan bantal pemberian kakak ini. Di saat pelangi kakak membawa kalian pada
dunia indah di balik awan kalian akan menemukan sebuah pelangi impian yang begitu indah.” Aku kembali terisak setelah mengucapkan kalimat itu pada kedua pecahan pelangi hidupku.
Setelah putusan pengadilan. ”Ian, kamu baik-baik sama nenek ya.” Mama memelukku erat. “Papa sayang sama kamu, papa akan sering-sering meneransfer uang untuk kamu.” Ucap papa dengan entengnya. Lalu merekapun berlalu begitu saja dari hadapanku tanpa memberikan kabar sampai aku berusia tujuh belas tahun. Mereka seperti hilang ditelan bumi. Saat ini nenek tengah sakit keras, hanya aku yang tinggal serumah dengan nenek dan kini hanya aku yang tahu keadaan nenek . Rumah besar yang hanya ku huni berdua bersama nenek ini sama sekali tak berarti bila melihat keadaan nenek saat ini. Tubuh nenek menggigil meriang dan terasa panas dingin. Nenek hanya menyuruhku untuk menemaninya dan tak meninggalkannya. Kuhubungi setiap kerabat terdekat dan semua saudara mama. Mereka semua mengangkat dan tahu tujuan aku menelpon mereka, namun mereka langsung mematikan setiap kali aku menyebutkan nenek, mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Tak peduli dengan tubuh lemah yang melahirkan dan membesarkan mereka yang kini tengah tak berdaya. Dan sebelum akhirnya terlelap selamanya nenek mengucapkan satu kalimat yang benar-benar tertanam dalam benakku. ”Pelangi impianmu tak kan pernah dapat kau raih jika kamu membiarkannya pergi meninggalkanmu tanpa berusaha tuk kau raih dan satukan sekuat tenaga dan pikiranmu.” Nenek akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya dengan alunan kalimat Tahlil yang mengungkapkan kebesaran Yang Maha Esa. Nenek pergi saat dalam pelukanku. Aku menangis, terisak perih yang amat mendalam. Aku kini telah kehilangan peri yang sungguh mengantarkan hatiku pada kedamaian walau hanya bersama dengan setengah pelangi.
Semua kini berkumpul di tempat terakhir mendiang nenekku yang tercinta mereka kini mengeluarkan butiran yang tak berarti, mereka munafik dan hanya pertopeng dalam judul Sang Ibu yang kini pergi. Aku terdiam hingga kedua orang yang dulu begitu kukenal, kedua orang yang menyulap istanaku menjadi penjara kini mendekatiku dan tertunduk lesu. Mereka menatap aku yang tengah hancur. Mereka tak memalingkan wajah sedikitpun pada yang lain, hanya terfokus padaku yang kini tengah kehilangan arah. Mereka menitikan air mata dan perlahan merangkul tubuhku yang tengah lemah. Membelaiku dengan kasih sayang dan berjanji akan menjaga jiwa dan ragaku. Masa tenang yang mereka jalani selama dua tahun ini membuat mereka berpikir kembali tentang kami pecahan dari pelangi yng mulai memudar dan hampir hilang. Aku rapuh ketika kedua peri dewasa baruku mengangkat tubuh kecilku. “Ian, mama sayang sama kamu. Ternyata mama salah selama ini membiarkan kamu sendiri menderita seperti ini.
Mama sadar mama egois, maafkan mama nak.” Ucapan seorang ibu pada anaknya yang selama ini aku
nantikan akhirnya terucap dari mama, ibu yang melahirkanku selama sembilan bulan lamanya. “Papa juga Ian, papa sadar papa salah sama kamu membiarkan kamu seorang diri, membuat kamu seperti ini. Papa tau papa salah sudah menghilang tanpa mengunjungi kamu di sini. Papa janji akan menebus semuanya.” Ucapan lembut seorang ayah yang tak pernah aku dapatkan sebelumnya. Aku hanya tertegun, hatiku bimbang harus berucap apa, yang aku pikirkan kini nenek, aku tahu nenek pasti sangat bahagia menyaksikan aku bersama pelangi-pelangiku saat ini. Pelangi impian yang diucapkan nenek di saat-saat terakhir akan meninggalkanku kembali terngiang dalam ingatanku. “Menyatukan pelangi-pelangi itu sekuat tenaga dan pikiran.” Ucapku lirih dalam hati. Aku tertegun cukup lama, kami bertiga hanyut dalam kedamaian yang lama tak terjalin.
“Abang Ian ” Pecahan pelangi bungsuku muncul dari arah luar sambil membawa bantal pelangi
pemberianku. “Kak Ian ” Belahan pelangi indah milik adik perempuanku pun perlahan mendekati
kami. Kedua pelangi itu kini menyatu dan kedua pelangi di samping kanan dan kiriku pun kini tengah menyatu. Aku takjub melihat keindahan yang kini di hadapanku. Aku merasa semua seakan seperti mimpi. Ya memang betul mimpi tentang keinginan untuk menyatukan warna pelangi agar dapat utuh dan menjadi indah seperti semula. Kami semua berpelukan, seakan hawa dingin menandakan kehadiran Periku yang Kini tengah kembali ke Kayangan kembali pulang ke tempat persemayaman sementara. “Pa, ma Ian ingin kalian bersatu lagi. Ian ingin pelangi yang Ian impikan dapat utuh dan indah yang tak hanya dalam impian dan lamunan panjang.” Aku tulus mengutarakan keinginanku yang telah lama terpendam. Kedua orang tuaku tertegun, mereka menatapku penuh arti. Walau mereka tak mengutarakan dalam ucapan, namun aku mengerti apa yang mereka pikirkan karena kini aku sudah tujuh belas tahun, usia menyambut kedewasaan dalam bertindak dan berpikir. Hatiku serasa hidup kembali setelah sekian lama sebagian mati. Kehangatan yang tak pernah aku dapatkan dari keluarga utuh yang bahagia. Aku menuntun pelangi utuhku ke tempat persemayaman terakhir nenek, Periku yang aku yakin akan bahagia di KayanganNya dengan segudang amal dan kebaikan yang telah ia torehkan pada setiap lembaran catatan dunia yang kini ia tinggalkan. Bukankah setiap yang diciptakan akan kembali pada Sang Pencipta dan alangkah bahagianya kita bila kembali dengan meninggalkan pelangi utuh yang siap memberi warna pada tempat yang telah Kita tinggalkan, seperti nenek yang memberikanku pencerahan akan pelangi impian.