Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Udara dingin dari Danau Kaca menusuk kulit Tika, mengabaikan jaket tebal yang ia kenakan. Kaki telanjangnya menginjak pasir basah, meninggalkan jejak yang cepat terhapus oleh ombak kecil. Malam itu, di bawah kerlipan bintang yang tak terhitung, ia duduk sendirian, merenungi keputusan-keputusan yang telah membawanya ke titik ini.
"Maaf," bisiknya ke arah danau yang gelap, seolah meminta pengampunan dari sesuatu yang tak terlihat. Ia memejamkan mata, membiarkan memori masa lalu membanjiri benaknya. Ingatan tentang seorang pemuda yang wajahnya selalu tertunduk, seorang pemuda yang pernah ia dan teman-temannya siksa dengan ejekan dan perbuatan kejam. Roni. Nama itu terucap dari bibirnya, sebuah desahan penyesalan yang membeku di udara malam.
Rasa takut tiba-tiba merayap. Tika membuka mata, pandangannya menyapu sekeliling. Tidak ada siapa-siapa, hanya pohon-pohon pinus yang menjulang, membentuk siluet gelap di bawah cahaya rembulan. Ia mencoba menenangkan diri, menyakinkan dirinya bahwa ketakutan itu hanyalah paranoia. Tetapi, bisikan dari arah hutan membuat bulu kuduknya berdiri. Bisikan itu memanggil namanya, bukan dengan nada lembut, tetapi dengan bisikan yang terdengar seperti angin berdesir di antara dedaunan.
Tika bangkit, kakinya tersandung akar pohon. Ia berbalik, dan di sana, berdiri di antara bayangan, adalah sosok yang tak jelas. Sosok itu mengenakan jubah hitam, wajahnya tertutup topeng, dan di tangannya, sebuah lonceng kecil berayun, menghasilkan suara nyaring yang memecah kesunyian malam.
"Roni?" Tika bertanya, suaranya gemetar. Ia tidak mendapat jawaban, hanya lonceng yang berbunyi semakin keras. Sosok itu bergerak cepat, dan dalam sekejap, Tika merasakan sakit yang menusuk di pergelangan tangannya. Darah mengalir, membasahi pasir putih di tepi danau. Tika jatuh berlutut, pandangannya buram. Hal terakhir yang ia dengar adalah lonceng yang berhenti berbunyi, dan sebuah bisikan dingin yang berbisik di telinganya, "Akhirnya, damai."
Pagi itu, Rian, seorang detektif muda yang baru saja dipindahkan ke kota kecil itu, berdiri di samping mayat Tika. Kota ini, yang dulunya damai, kini dicoreng oleh kejahatan yang mengerikan. Ia memandang ke arah mayat Tika, yang kini tergeletak dengan pergelangan tangan teriris dan sebuah lonceng kecil diletakkan di dadanya.
"Budi, apa yang kita punya?" Rian bertanya, suaranya tenang meskipun di dalam hatinya ia merasa gelisah.
"Korban adalah Tika, seorang wanita berusia 25 tahun, bekerja sebagai guru TK," Budi, partner Rian, menjawab, suaranya terdengar tegang. "Kami menemukan ini," Budi menyerahkan sebuah buku harian.
Rian membuka buku harian itu. Tika menulis tentang ketakutan dan penyesalannya. Ia menulis tentang Roni, seorang pemuda yang pernah mereka sakiti.
"Roni?" Rian bertanya, mengangkat alis.
"Ya," Budi mengangguk. "Roni adalah seorang pemuda yang dulunya sering di-bully oleh Tika dan teman-temannya. Ia sekarang menjadi novelis sukses."
Rian merasakan keanehan. Sebuah lonceng kecil, sebuah buku harian yang menceritakan masa lalu, dan seorang novelis misteri. Ia merasa bahwa kasus ini lebih dari sekadar pembunuhan biasa. Ia merasa bahwa kasus ini adalah sebuah teka-teki yang sengaja dibuat untuknya.
"Kita cari tahu tentang Roni," Rian berkata, pandangannya terfokus pada danau yang tenang, tetapi di dalam hatinya, ia merasa bahwa badai akan datang. Ia merasa bahwa ini hanyalah permulaan.
Pagi berikutnya, Rian kembali ke kantornya, pikirannya dipenuhi oleh kasus Tika. Ia tidak bisa berhenti memikirkan detail-detail aneh yang ditemukannya. Sebuah lonceng, sebuah buku harian, dan seorang novelis misteri. Semua ini terasa seperti potongan-potongan teka-teki yang sengaja diletakkan di tempat kejadian.
"Budi, apa yang kita dapatkan dari TKP?" Rian bertanya saat ia memasuki ruangan, meletakkan kopi di mejanya.
"Tidak banyak," Budi menjawab, suaranya terdengar lelah. "Tidak ada sidik jari yang jelas, tidak ada jejak kaki, dan tidak ada saksi yang melihat sesuatu."
Rian menghela napas. "Bagaimana dengan buku harian Tika?"
"Kami sudah membacanya," kata Budi sambil menyerahkan buku harian itu kepada Rian. "Tika menulis banyak tentang masa lalunya. Ia menulis tentang Roni, seorang pria yang dulunya sering ia dan teman-tema...