Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Pelabuhan Langit
0
Suka
2
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

​“Eh, bengong.”

​Suara Yuna yang tiba-tiba dan renyah memecah keheningan sore yang pekat. Mentari hanya melirik sekilas, matanya yang sejak tadi terpaku pada helai-helai daun yang berguguran di taman belakang kampus—seolah setiap jatuhan daun membawa serta sebongkah kenangan—tanpa menunjukkan keterkejutan sedikit pun.

​“Kenapa, Tar?” Tanya Yuna, merebahkan diri dengan santai di kursi kayu di sampingnya.

​“Nggak apa-apa,” jawab Mentari, singkat dan datar. Matanya yang hazel kecokelatan kembali menatap jauh.

​Yuna terdiam. Ia sudah hafal betul, jika sahabatnya sudah berada di pojok kampus ini sambil merenung, artinya Mentari sedang tenggelam dalam lubang hitam ingatan masa lalu yang sama.

​“Nggak mau cerita? Siapa tahu bebanmu jadi ringan,” pancing Yuna lagi, mencoba menarik Mentari ke percakapan.

​Mentari tetap membisu, jemarinya memainkan ujung benang pada tasnya. Yuna menghela napas, kemudian memutuskan untuk menghormati kebisuan itu. Ia membuka buku dan mulai membaca, membiarkan keheningan yang bicara.

​“Aku rindu Damar,” ucap Mentari, memecah keheningan yang panjang dan terasa menusuk. Suaranya hampir parau.

​Yuna menoleh, menatap Mentari dengan tatapan sendu, lalu menggenggam erat tangan sahabatnya.

​“Seandainya saja waktu Damar pergi, aku lebih berani minta nomor kontaknya. Mungkin sekarang kita masih sering komunikasi, masih main bertiga,” lirih Mentari. Penyesalan itu terasa nyata dan menyakitkan, seolah baru terjadi.

​“Belum tentu juga, Tar. Itu kan waktu kita masih SMP, sepuluh tahun yang lalu,” respons Yuna, mencoba bersikap realistis. “Lagipula, kalaupun kita punya nomornya, apa menjamin persahabatan ini akan terus terjalin?”

​“Tapi, setidaknya kita masih bisa ngobrol sama dia,” balas Mentari, tetap pada pendiriannya, matanya sedikit berkaca-kaca.

​“Itu sudah sepuluh tahun yang lalu, Mentari. Kalaupun kita bertemu, Damar mungkin sudah tidak ingat kita berdua,” ujar Yuna mengingatkan, walau ia tahu kata-kata itu menyakitkan.

​Mentari hanya bisa menghela napas pasrah, mengeluarkan semua sesak di dadanya. Selama sepuluh tahun ini, pencariannya di setiap sudut media sosial selalu nihil. Laki-laki yang selalu bermain, tertawa, dan belajar bersamanya saat SMP. Seseorang yang bukan hanya sekadar teman masa kecil, tapi juga seseorang yang tanpa sadar telah singgah dan menetap di hati Mentari.

​Menjelang senja, setelah berpisah dengan Yuna, Mentari memutuskan mampir ke Cafe Teduh, sebuah kafe bernuansa industrial di pusat kota yang dipenuhi tanaman hijau. Selain mencari kopi, Mentari membuka laptopnya, mengerjakan deadline babak akhir novel yang harus segera ia kirimkan ke editor.

​Di tengah keseriusannya, saat ia sedang memikirkan konflik karakter dalam novelnya, sebuah bayangan tinggi jatuh menutupi mejanya. Seseorang menghampirinya. Pria itu mengenakan kacamata hitam besar dan tudung hoodie yang menutupi sebagian besar wajahnya.

​“Permisi,” ucapnya, suaranya berat dan rendah.

​Mentari mendongak. Pria itu menyodorkan selembar kartu kepada Mentari.

​“Ini terjatuh di dekat kasir,” katanya.

​Mentari terkejut, melihat KTP miliknya ada dalam genggaman pria asing tersebut. Ia segera beranjak berdiri dan mengambil KTP itu dari tangan pria bertubuh tinggi itu.

​“Astaga! Terima kasih banyak sudah menemukan KTP saya,” ucap Mentari, merasa sangat lega.

​“Sama-sama,” jawab pria itu dengan suara yang terasa memiliki resonansi khas. “Kalau begitu, saya permisi.”

​Pria itu berbalik. Namun, baru tiga langkah, ia mendadak menghentikan langkahnya, lalu menoleh kembali ke arah Mentari. Ia sedikit menurunkan tudungnya.

​“Senang berjumpa kembali denganmu, Mentari,” ucapnya lembut, suaranya kali ini lebih hangat, lalu segera pergi meninggalkan kafe, meninggalkan Mentari dalam kebingungan yang mencekik.

​Senang berjumpa kembali? Kembali? Bukankah seharusnya 'senang bertemu'?

​Batin Mentari bergemuruh. Apa aku pernah bertemu dia? Ia terdiam cukup lama, memilah setiap memori, mencari wajah samar di balik kacamata gelap itu, namun gagal. Rasa penasaran yang kuat itu akhirnya ia abaikan. Ia menutup laptop, bersiap meninggalkan kafe, dan kembali ke rumah loteng sewanya, membawa serta sepotong teka-teki yang sulit diurai.

​Malam harinya, di atas atap loteng sewanya yang berangin dan sejuk, ditemani gemerlap bintang samar, Mentari membuka buku diary bersampul kain biru yang sudah mulai usang. Ia menuliskan sebuah curahan hatinya, sebuah surat yang ditujukan pada langitnya.

​“Hai, kamu. Langitku.

​Bagaimana kabarmu di sana? Di manakah dirimu sekarang? Apakah kamu bahagia? Aku harap demikian.

​Tidakkah kamu merindukanku, teman kecilmu ini?

​Aku merindukan kenangan masa kecil yang kita lalui. Walau singkat, hanya sekilas, memori tentang tawamu yang renyah itu tidak pernah aku lupakan, seolah terukir abadi.

​Damar Langit...

​Seperti namamu yang gagah, seperti kamu yang terbang di atas cakrawala. Begitupun aku yang selalu menatap langit, berharap menemukanmu di sana. Aku menunggumu di bawah galaksi yang sama.

​Jika semesta berkenan dan takdir tidak mempermainkan, semoga kita dipertemukan dalam momen yang tepat, saat hati kita sudah siap. Karena hadirmu adalah tawa pertama dalam duniaku, yang tak pernah tergantikan.

​— Mentari, yang menunggumu.”

​Setelah menuliskan curahan hatinya, Mentari menutup buku itu. Ia berdiri di dekat pagar pembatas teras loteng. Tangannya tidak sengaja tergelincir, dan buku diary itu terlepas dari genggaman, jatuh dengan bunyi 'bluk' kecil ke halaman bawah.

​“Ahh, buku ku!” desah Mentari panik, ia berusaha meraihnya, tapi buku itu sudah mendarat di tanah. Itu bukan sekadar buku, itu adalah wadah rahasianya.

​Mentari segera berlari menuruni tangga yang berderit. Saat ia melirik sekilas ke halaman bawah, sudah ada seorang laki-laki yang mengambil buku diary nya. Laki-laki yang sama di kafe tadi.

​“Tidak, tidak! Hey, kamu! Jangan dibaca!” teriak Mentari panik, mempercepat langkahnya.

​Mentari berlari sekuat tenaga. Dengan napas tersenggal, ia langsung menyambar buku yang sudah terbuka—dan mungkin sudah dibaca—itu dari tangan laki-laki tersebut.

​Dengan napas tersenggal dan wajah memerah karena malu dan kesal, ia mendesis, “Tidak sopan membaca buku diary orang lain! Itu privasi!”

​Laki-laki itu hanya terdiam, menatapnya dengan pandangan lembut yang meneduhkan, walau terhalang kacamata hitam.

​Mentari segera berbalik, memeluk bukunya erat-erat, wajahnya kesal bercampur malu.

​“Hey, tidak ada kata terima kasih karena sudah mengambilkan bukumu?” ujar laki-laki itu, suaranya mengandung tawa yang tertahan dan geli.

​Mentari menghentikan langkahnya. Ia kesal. “Tidak ada! Itu salahmu membacanya!” jawab Mentari tanpa menoleh.

​Laki-laki itu tertawa kecil. Suara tawanya renyah dan terasa sangat akrab di telinga Mentari, seolah membangkitkan sesuatu yang sudah lama tidur. Ia berjalan mendekat. Mentari bisa merasakan kehadiran tinggi dan hangat di belakangnya. Kepala laki-laki itu menunduk, lalu berbisik perlahan di telinga Mentari.

​“Aku merindukanmu, Mungil.”

​Tubuh Mentari membeku total. Bisikan yang berat, hangat, dan begitu akrab, dan panggilan “Mungil” itu—hanya satu orang yang tahu, yaitu Damar Langit. Teman masa kecil, cinta pertamanya, yang ia cari-cari hingga detik ini.

​Dada Mentari langsung membuncah. Ia memutar tubuhnya dengan sentakan cepat, mata hazel-nya dipenuhi harap dan kerinduan yang bergolak, berharap laki-laki di hadapannya adalah sosok yang ia rindukan.

​Dengan suara tercekat, air mata sudah menggenang, “Damar?”

​Laki-laki itu tersenyum lembut. Perlahan, ia melepas kacamata hitamnya dan menurunkan tudung hoodie-nya. Wajah yang kini terpampang adalah wajah yang lebih dewasa, namun mata cokelat teduh itu masih sama.

​“Hai, Mentari,” sapanya.

​Perlahan, jari jemari Mentari terangkat, seolah tidak percaya. Damar meraih tangan Mentari yang gemetar itu, dan menempelkannya di pipinya yang dingin. Ia masih menatap Mentari tanpa berkedip.

​“Kamu… kamu benar-benar Damar Langit?” tanya Mentari, mencari kepastian, suaranya bergetar.

​“Iya, Mungil,” jawab Damar, meyakinkan Mentari dengan panggilan kesayangannya yang sangat ia rindukan.

​Bendungan air mata yang selama ini ia tahan, kini tumpah. Tangis bahagia dan rindu yang membuncah. Seseorang yang ia cari, ia rindukan, ia tunggu, akhirnya semesta mempertemukan kembali.

​“Maaf ya, sudah membuatmu menunggu terlalu lama,” ujar Damar, lalu menarik Mentari ke dalam pelukan hangat yang erat, pelukan yang telah ia simpan selama sepuluh tahun.

​Mentari membalas pelukan itu dengan erat, menenggelamkan wajahnya di dada Damar yang kini bidang dan kokoh. “Kamu ke mana aja? Kenapa baru muncul sekarang?” tanya Mentari dengan suara parau.

​“Aku selalu ada kok,” jawab Damar, suaranya penuh kehangatan, sambil membelai rambut Mentari. “Aku harus membereskan urusanku, tapi aku tidak pernah lupa rumahku.”

​“Rumahmu?” tanya Mentari, mendongak.

​“Di sini,” jawab Damar, menunjuk Mentari. “Di hatimu, Mungil.” Ia menambahkan sambil terkekeh geli.

​Mentari memukul dada Damar dengan gemas. “Jangan bercanda, Damar! Kau jahat sekali!” protes Mentari.

​Damar meringis kecil, menahan tangan Mentari, lalu memegang wajahnya, memaksanya menatap. Mata cokelatnya penuh kesungguhan. “Aku tidak bercanda, Mungil. Aku memang ada di hatimu. Buktinya, semesta saja masih mengizinkan kita bertemu lagi setelah sepuluh tahun, kan?”

​Mentari menunduk, mengangguk. Damar mengangkat dagunya lagi.

​“Jadi, aku benar-benar cinta pertamamu?” goda Damar, mengutip kalimat yang ia baca di buku diary Mentari.

​“Ihhhh, Damar!” teriak Mentari dengan wajah memerah sempurna, memukul bahu Damar dengan gemas. Rasa malu itu terasa manis.

​Damar hanya tertawa. Tawa renyah yang ia rindukan itu. Tatapan dan respons malu-malu Mentari adalah hal yang ia cari bertahun-tahun.

​Nyatanya, kalau memang dia adalah takdirmu, sejauh apa pun jarak memisahkan dan waktu membelenggu, semesta akan selalu punya cara untuk mempertemukanmu kembali.

​Seperti bulan yang merindukan malam. Begitu pun Damar, yang akhirnya menemukan Mentari, pelabuhan rindunya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Gold
So I love my Ex
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
Kisah Cinta Terunik Indonesia (KCTI)
Al Mueda Data
Novel
GOOD NIGHT DEAR
Embart nugroho
Novel
Bronze
Rama's Story : Virgo Chapter 4 - Dark Horizon
Cancan Ramadhan
Novel
Our Weird Relationship
SunJe
Novel
Good Bye Sal
Tyaa Aurellia
Novel
Bronze
Warnet Cincai
Nuel Lubis
Komik
Lovable Bae
AND DINEE
Skrip Film
H-14
Daniella Meirencya Tandra
Cerpen
Pelabuhan Langit
Dear An
Novel
Truth and Dare
Ni Luh Putu Anggreni
Novel
SENANDIKA
Kai
Novel
Gold
28 Detik
Bentang Pustaka
Novel
Tarian Aksara
Ririe Anindya
Cerpen
TIORA 1986
Klein Ma
Rekomendasi
Cerpen
Pelabuhan Langit
Dear An
Novel
To Love The Untouchable
Dear An
Cerpen
Untuk Hati Yang Mencari Arah
Dear An
Cerpen
Game Pembuka Rahasia
Dear An
Cerpen
Sandiwara Reuni
Dear An
Cerpen
Milikku Sejak Pandangan Pertama
Dear An