Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Peduli Upil
Sebenarnya aku adalah anak SMP biasa. Suka makan makanan cepat saji. Sok tahu dengan banyak hal. Berusaha terlihat dewasa dan keren di depan teman. Juga menggemari idola-idola yang disukai teman-temanku. Membicarakan banyak hal tentang game-game yang sedang tren. Berusaha sok keren di mata semua orang.
"Ndi, sini dong. Makan bareng. Kamu nggak lapar?" ajak Adrian. Beberapa teman-temanku juga sudah duduk di atas tikar yang mereka gelar. Masih ada beberapa ruang untukku duduk di sana. Saat itu memang saatnya makan siang. Berbeda dari sekolah SMP pada umumnya. Di sekolahku disediakan bekal dari sekolah. Tak ada kantin. Oleh karena itu di jam-jam seperti ini banyak siswa yang menggelar tikar di belakang sekolah untuk makan. Tak hanya tempat nya rindang, tapi dari sini banyak sekali pemandangan yang tidak membosankan.
Aku duduk di sebelah Adrian. Menaruh bekalku di pangkuanku.
"Ndi, kenapa sih kamu selalu bawa dua botol minuman?" tanya Tania.
Aku nyengir sesaat. "Yah, lihat! Ini berisi air mineral." Kutunjukkan botol warna biru transparan. "Lalu ini berisi air laut dari laut mati." Kutunjukkan botol perak yang tak tertembus cahaya.
Mereka menertawakanku.
"Hah? Air laut mati? Buat apa coba?"
Aku terkekeh tak menjawab. Di sisi lain, Rea sudah menghabiskan sebagian bekalnya. "Sudahlah makan saja. Aku tidak selera membahas itu sebelum makan,” kataku. Aku tak ingin selera makan temanku turun jika aku menceritakannya.
Tawa temanku mereda. Energi kami telah habis untuk pelajaran pagi ini, apalagi bagi mereka yang tak sempat sarapan semenjak pagi. Kini bekal mereka lebih menggoda dari apapun.
Tapi, tiba-tiba Rea yang dari tadi sibuk makan sendiri keselak tempe. Matanya mendelik. Kedua tangannya menggapai teman-teman di depannya meminta air.
Sebenarnya banyak sekali botol minuman di atas tikar kami. Tapi, entah kenapa Tania mengambil botol perakku. "Ndi, sini botol kamu. Rea bisa mati."
Belum juga aku melarang. Tania langsung menyambar botolku. Menyodorkannya langsung pada Rea. Tanpa hambatan isinya berhasil masuk ke mulut Rea. Mereka benar-benar tak mengindahkan kata-kataku.
Sesaat wajahnya tampak biasa. Tapi, sedetik kemudian dia menyemburkannya. "Asiin, Asiin!" Serunya menjulurkan lidah dan langsung melempar botol perak itu.
"Eh, bener ini air laut mati?" Mereka baru mempercayai ku.
Aku mengangguk. Sebenarnya aku tak mau menceritakan ini ketika makan, tapi teman-temanku mendesak untuk bercerita. Dengan berat hati, aku menceritakan semuanya. ”Air laut mati itu kugunakan untuk menyimpan upil-upilku. Karena bila upilku tidak segera dimasukkan ke air laut mati dalam setengah menit, upilku akan meledak. Ledakkannya melebihi dengan bom atom yang meledakkan Hiroshima dan Nagasaki.”
Mereka tambah tertawa. Padahal aku berkata sungguh-sungguh saat itu. Hanya Rea yang getar-getir karena telah meminum air laut mati itu. Yah, aku tidak mau membayangkan bagaimana rasanya. Pasti aneh. Juga menjijikan. Tapi aku bersyukur tidak ada yang jijik dengan ceritaku. Kupikir mereka tak lagi nafsu makan setelah mendengarnya.
Masalah berikutnya muncul ketika pelajaran IPS bagian sejarah. Tiba-tiba hidungku terasa gatal. Aku berusaha menahannya tak mengupil. Karena saat itu aku tak memiliki air laut mati. Bisa-bisa pelajaran hari itu hancur dengan ledakan dahsyat akibat upilku.
Namun semakin kubiarkan, hidungku semakin gatal. Sebuah upil menggodaku untuk mengambilnya. Aku berusaha menahannya. Tapi, upil itu seakan membesar di dalam, aku tak bisa menahannya lagi. Aku harus pulang. Upilku mau keluar.
"Pak saya izin pulang," kataku tanpa basa-basi dan langsung pulang.
"Eh, eh. Kamu kenapa, Ndi?"
"Upil saya mau keluar, Pak."
Teman-temanku menertawakanku. Tapi aku tak peduli. Kututup hidungku. Bernapas lewat mulutku.
Di depan gerbang pak satpam menghentikanku. "Nak, mau kemana?"
"Mau pulang, Pak." Suaraku mirip babi.
"Surat izinnya mana?"
"Ini sangat gawat, Pak. Sekolah ini akan hancur jika upil saya keluar."
Pak satpam terbahak mendengarku. Aku tak memedulikannya memanfaatkan momen itu untuk kabur.
"Maaf, Pak. Upil saya sudah tak diajak kompromi."
Pak satpam menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Di tepi jalan aku langsung menyetop taksi. Upilku semakin membesar. Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa menahannya.
"Mau kemana, Dek?"
"Jalan Anggrek nomor 11."
Taksi mulai melaju.
"Hidungnya kenapa ditutupi, Dek?"
"Upil saya mau keluar, Pak."
"Lho, keluarin saja, Dek. Daripada gatal terus-terusan."
"Nggak, Pak. Nanti kota ini bisa hancur."
"Lho kok bisa?"
"Upil saya bisa meledak, Pak. ledakannya setara dengan bom atom."
Pak Sopir taksi itu terbahak.
Saat sampai di rumah. Aku langsung menuju kamarku. Hendak mengambil persediaan air laut matiku. Tapi persediaanki juga sudah habis ternyata. Oh iya aku baru ingat. Ayah dan ibuku sedang keluar negeri untuk mengambilkanku air laut mati. Besok baru pulang. Aku semakin bingung. Hidnungku terus gatal. Upilku semakin membesar.
Tak ada cara lain. Mungkin di kota ada yang menjual.
Aku masuk ke toko kelontong.
"Di sini jualnya garam."
Aku masuk ke supermarket.
"Adanya air ber-ion."
Aku masuk mall
"Di sini ada game simulasi perjalanan ke laut mati."
Semuanya berakhir dengan tawa. Entah kenapa mereka terus menertawakanku. Tak ada yang peduli dengan upilku. Padahal nyawa mereka bakal jadi taruhannya. Aku memang bodoh malah ke kota. Seharusnya aku menyusul orang tua ku ke Laut Mati.
Akhirnya kuputusakn untuk menyusul mereka.
Di bandara.
"Lho, anak kecil nggak boleh naik pesawat sendirian."
"Maaf, Mbak. Upil saya sudah di ambang batas."
Baru kali ini ada orang nggak ketawa mendengarnya. Hampir saja aku bersyukur, tapi ternyata Mbak itu malah mendorongku dan mengataiku menjijikkan. Pak Satpam Bandara berhasil mengusirku.
Di stasiun.
"Lho, anak kecil nggak boleh naik kereta sendirian."
"Maaf, Mbak. Ini penting."
"Sepenting apa?"
"Sepenting upil saya mbak."
Lagi-lagi aku di damprat dan diusir satpam stasiun.
Di pelabuhan.
"Lho, anak kecil nggak boleh naik kapal sendirian."
"Saya mohon mbak. Upil saya nggak tahan lagi ingin keluar."
"Ya keluarin saja, Nak."
"Nggak bisa. Nanti semua bakal meledak."
"Terus kamu mau keluarin di mana?"
"Di laut mati."
"Kenapa laut mati."
"Karena air lautnya dapat menetralkan upil saya."
"Nah, di depan banyak air laut. Kamu buang saja upilmu di sana."
"Nggak bisa mbak. Kadar garamnya kurang."
"Sudahlah jangan bercanda. Tugas saya banyak."
Sekali lagi aku diusir.
Tak ada lagi tempat buatku. Upilku semakin besar. Aku tak tahan lagi. Aku sudah nggak bisa keluar dari negara ini. Mereka sibuk menertawakan dan mencaciku.
Hidungku semakin gatal. Aku sudah pasrah. Perlahan kulepas sumbatan tanganku ini. Lalu dengan segenap kekuatan. Upilku yang membesar berusaha keluar bersama bersin yang keras. Samar-samar aku seperti mendengar tawanya.
Aku sudah pasrah. Tak ada lagi yang peduli denganku.
Upilku yang besar berhasil keluar. Tak ada yang kuingat lagi kecuali rasa lega dalam rongga hidungku.
Saat aku membuka mata. Aku melihat kedua orang tuaku. Dia telah menceritakan kalau setengah bumi telah hancur. Hanya aku yang selamat, ledakan itu melontarkanku sampai ke laut mati.
Dampit, 21 April 2020