Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Ini tidak masuk akal!”
“Apanya yang tidak masuk akal?” tanya Pak Adrian.
Rambut tipisnya yang sudah memutih itu tersibak sedikit ketika dia membalikkan badannya ke arahku. Tatapan matanya tetap tajam meski wajahnya sudah mulai digerogoti keriput. Penampilannya necis dengan kemeja cokelat—yang terkesan mahal—dan celana panjang hitam. Dia duduk di kursinya—atau singgasananya barangkali—sementara aku berdiri di hadapannya, terhalang oleh meja kerjanya yang dipenuhi tumpukan dokumen di sisi-sisinya.
“Bagaimana bisa anak seperti Justin dibiarkan naik kelas?” tanyaku, memulai protesku.
“Karena nilainya cukup untuk itu,” jawab Pak Adrian tanpa sedikit pun keraguan.
“Cukup? Nilainya cukup?” ulangku, lalu aku tertawa kecil, “Ah, tentu saja. Karena di sekolah ini nilai dapat dengan mudah dibeli.”
“Jaga ucapanmu,” ucap Pak Adrian dingin.
“Justin belum lancar membaca. Masih sering salah menulis antara b dengan d. Matematikanya juga buruk. Pertambahan dan pengurangan saja dia masih kesulitan. Dan tentu saja, nilai-nilainya tidak akan pernah baik. Setidaknya, jika penilaian dilakukan secara jujur,” jawabku.
“Adalah tugasmu, sebagai wali kelas, untuk membantunya tumbuh dan berkembang. Kalau dia belum lancar membaca, ajarkan sampai dia lancar. Kalau dia belum bisa matematika, ajarkan sampai dia bisa.”
“Oh! Tentu! Tentu saja, Pak Kepala Sekolah yang terhormat! Saya akan dengan sangat senang hati mengajarkannya membaca, menulis, dan matematika dasar …, jika dia masih kelas satu atau dua SD! Tetapi tidak jika yang kita bicarakan adalah seorang siswa di kelas enam SD.”
“Kelas satu, dua, atau enam, apa bedanya? Siswa adalah siswa, tidak peduli kelas berapa pun dia,” jawab Pak Adrian—tampaknya otaknya yang sudah lewat setengah abad usianya itu sudah mulai tidak dapat berargumen dengan logis.
“Apa bedanya? Tentu saja beda. Kalau tidak ada bedanya, lantas untuk apa ada pembagian tingkatan kelas seperti sekarang ini? Agar sekolah dapat terus meraup keuntungan selama enam tahun lamanya dari satu orang siswa? Tentu saja bukan, ‘kan? Sudah jelas agar siswa dapat tumbuh dan berkembang secara bertahap sesuai dengan usianya—sesuai dengan kemampuannya.”
“Saya tidak mengerti apa yang menjadi masalahmu, Pak Finsen,” ucap Pak Adrian sambil memicingkan matanya.
“Jangan berpura-pura tidak mengerti. Lagipula, Bapak ini adalah aktor yang buruk. Tidak akan ada yang tertipu dengan akting Bapak,” ucapku sinis.
“... ayah Justin adalah salah satu donatur utama sekolah ini,” ucapnya kemudian.
“Ya! Saya tahu itu! Bagaimana bisa saya tidak tahu jika Justin terus-menerus menceritakan ayahnya dengan bangga kepada teman-teman sekelasnya? Ayahku begini, ayahku begitu …, sampai bosan rasanya!” seruku sambil menghempaskan tubuhku ke kursi yang diperuntukkan untuk tamu, “Memiliki ayah seorang donatur tidak lantas memberikannya hak istimewa untuk dapat terus naik kelas dengan nilai-nilainya yang luar biasa hancur itu, Pak.”
“Nilainya tidak sehancur itu.”
“Untuk olahraga, iya. Untuk lainnya? Tragis. Adalah sebuah tragedi untuk melihat seorang siswa yang tidak mengerti apa-apa mengerjakan ujian dan mendapatkan nilai yang luar biasa mengenaskan—yang bahkan tidak lebih banyak dari jumlah jari di satu tanganku ini,” ucapku, mulai lelah dengan omong kosong yang terus dilontarkan oleh sang empunya kekuasaan tertinggi di sekolah ini.
“Bagaimana bisa siswa tidak mengerti apa-apa? Itu jelas adalah salah gurunya,” ucapnya sambil tersenyum licik—aha, dia pasti senang setengah mati karena berhasil menemukan celah dari kata-kataku untuk digunakan berbalik melawanku.
“Oke. Kita anggap saja itu salah dari pihak guru. Dan mungkin memang salah pihak guru karena membiarkannya selama ini. Tetapi, guru yang mana? Guru kelas satu? Kelas dua? Kelas tiga? Kelas empat? Atau kelas lima?” tanyaku, menantangnya.
“Bukankah sudah jelas? Semua—”
“Oh, tidak mungkin Anda akan menyalahkan semua guru, ‘kan?” ucapku, memotongnya.
Pak Adrian terdiam sejenak.
“Pendidikan itu terintegrasi, bagaimana bisa kamu berharap untuk saya menyalahkan hanya salah satu ketika semuanya terlibat?” tanyanya, beretorika.
“Nah!” seruku, “Pendidikan itu terintegrasi!”
Aku mengangguk-anggukkan kepalaku.
“Jadi, semuanya memiliki andil dalam kekacauan yang bernama Justin ini. Dan sumbernya … adalah Anda, wahai Bapak Kepala Sekolah yang terhormat!”
“Kamu hanya melemparkan tanggung jawab atas kegagalan kalian, para guru, kepada saya,” balas Pak Adrian.
“Oh, jelas tidak. Saya, meski hanya anak kemarin sore yang baru lulus kuliah dan menjadi guru kurang dari setahun lamanya, tidak sebodoh itu, Pak. Saya ini seorang sarjana, Pak. Saya tidak bodoh. Sebelum saya ke ruangan Bapak yang sangat sejuk dan nyaman ini, yang terus terang sangat berkebalikan dengan ruang guru yang begitu sumpek dan menyedihkan, saya sudah bertanya kepada guru-guru yang menjadi wali kelas Justin sebelumnya,” jawabku sambil menatapnya sinis.
“Lalu? Apa kata mereka?”
“Kata Bu Melisa yang menjadi wali kelasnya ketika kelas dua, beliau memang sejak awal tidak setuju untuk membiarkan Justin naik kelas. Tetapi, Anda memaksanya,” jawabku dengan penuh penekanan.
“Omong kosong,” sanggah Pak Adrian.
“Jika hanya satu guru yang berkata demikian, mungkin memang omong kosong. Mungkin beliau berbohong karena tidak mau disalahkan atau mungkin beliau ada dendam pribadi dengan Anda, entahlah. Tapi ada seribu satu kemungkinan untuk hal itu. Nah, yang menarik adalah …,” ucapku sambil mendekatkan wajahku kepada wajahnya, “semua guru yang menjadi wali kelas Justin, kecuali ketika dia kelas satu, mengatakan hal yang sama. Bahwa Anda memaksa mereka untuk membiarkan Justin naik kelas.”
“Omong kosong tetaplah omong kosong.”
“Empat guru mengatakan hal yang sama, sudah jelas itu bukanlah omong kosong. Saya tidak melihat ada kemungkinan bahwa keempat guru itu bersekongkol untuk menjatuhkan Anda. Untuk apa juga?”
“Cukup! Katakan saja langsung apa maksud dari kedatanganmu yang tidak diundang ini. Tidak mungkin hanya untuk mengganggu waktu istirahat saya saja, ‘kan?” ucapnya dengan nada meninggi, aku juga dapat melihat urat-urat yang menonjol di lehernya—indikasi ketenangannya mulai terusik oleh emosi.
Aku tersenyum lalu bangkit berdiri. Aku membenarkan kerah kemeja lusuh—kemeja yang dipakai bekerja seharian memang sudah sepatutnya lusuh, tidak masih kaku dan rapi seperti kemejanya itu—dan menatapnya. Tatapan tajamnya masih terus mengekorku. Aku berdehem.
“Anda ini menjijikkan,” ucapku dingin, memulai narasi yang sudah beberapa minggu ini memenuhi pikiranku.
“Anda ini representasi nyata dari pendidikan negeri ini—Indonesia. Pendidikan yang konon sudah tertinggal selama 128 tahun lamanya. Suram, bobrok, menyedihkan, dan tanpa arah.”
“Begitu?” ucapnya datar seolah tidak tertarik.
“Anda membiarkan siswa Anda tolol. Anda tidak peduli. Anda hanya memikirkan uang yang masuk. Anda hanya memikirkan diri Anda sendiri. Anda hanya memikirkan pandangan masyarakat terhadap diri Anda dan sekolah yang Anda pimpin. Saya tahu, ayah Justin yang seorang donatur hanya salah satu faktor dari alasan Anda ngotot mempertahankan Justin untuk tetap naik kelas selama ini. Faktor lainnya itu akreditasi, ‘kan? Siswa yang tidak naik kelas akan menjadi nilai minus untuk akreditasi yang akan datang. Anda takut reputasi sekolah ini menjadi cacat. Anda takut reputasi Anda menjadi cacat. Pada akhirnya, semua ini tentang diri Anda.”
“Donatur dan akreditasi adalah hal penting untuk keberlangsungan suatu sekolah. Kamu hanya belum mengerti.”
“Apa yang lebih penting bagi seorang pendidik—Anda, saya, dan guru-guru lainnya—selain memastikan siswa-siswanya benar-benar tumbuh dan berkembang sebagaimana yang seharusnya? Apa yang lebih penting bagi seorang pendidik selain merealisasikan tujuan dari pendidikan itu sendiri? Untuk membuat siswa-siswanya mengenal potensi yang ada di dalam dirinya. Untuk membuat siswa-siswanya mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya dan menemukan arti dari kehadirannya di tengah masyarakat kelak. Apa yang lebih penting dari hal itu, Pak? Apa? Tidak ada …, tidak ada yang lebih penting selain hal itu.”
“Kamu hanya belum mengerti. Kamu ini masih naif. Masih tidak tahu apa-apa.”
“Mungkin. Mungkin saya memang tidak tahu apa-apa. Mungkin saya memang naif. Lantas? Apa itu membenarkan tindakan Anda yang memaksa guru-guru untuk mengkatrol nilai Justin sehingga dia dapat naik kelas?”
“Hal itu diperlukan.”
“Diperlukan? Untuk apa?” Nada bicaraku mulai meninggi dan cara bicaraku semakin bersungut-sungut. Sungguh, aku tidak habis pikir bagaimana bisa seseorang sepertinya—yang jelas-jelas tidak peduli dengan pendidikan siswa-siswanya—menduduki jabatan tertinggi di sekolah ini.
“Kalau hanya ingin siswa naik kelas, dari awal tahun pelajaran saja bocorkan soal-soal Ujian Kenaikan Kelas-nya nanti. Biar dua semester itu mereka fokus mencari dan menghafalkan jawabannya, jadi nilainya pasti bagus dan pasti naik kelas. Tetapi bukan itu tugas seorang pendidik, ‘kan, Pak? Nilai memang penting dan menjadi pertimbangan dalam evaluasi hasil pembelajaran, tetapi tidak hanya itu, ‘kan? Nilai hanya angka—dan dapat dengan mudah dimanipulasi. Yang harus kami, sebagai pendidik, utamakan adalah pemahaman siswa, bukan nilainya. Nilai tidak mutlak menjadi tolak ukur. Saya rasa, seharusnya Anda paham hal ini, Pak.”
“Sudahlah. Kamu belum mengerti.”
“Apa Anda tidak dapat menjawab dengan kata-kata lain selain kamu belum mengerti?”
“Karena kamu memang belum mengerti!” seru Pak Adrian.
“Dan aku tidak ingin mengerti,” timpalku sinis.
“Inilah masalah dengan anak muda: tidak mengerti apa-apa, tapi lagaknya seperti tahu segala!” gerutunya.
“Inilah masalah dengan orang tua: merasa anak muda tidak mengerti apa-apa, padahal dirinya yang sudah terlalu tua untuk menghadapi zaman,” jawabku santai.
“Oh, juga terlalu tua untuk mengingat idealisme semasa mudanya. Sudah terbuai oleh harta dan tahta, sampai-sampai melupakan apa yang seharusnya dilakukan,” tambahku sambil tertawa kecil.
“Kalau bukan karena sekolah ini kekurangan guru, kamu sudah saya pecat, Pak Finsen,” ucapnya sambil kembali menatapku tajam.
“Oh! Tenang saja! Anda tidak perlu memecat saya,” ucapku, “Karena saya akan mengundurkan diri. Suratnya sudah saya email ke Bapak pagi ini, dan saya tahu Bapak pasti belum sempat memeriksanya karena sibuk dengan pertemuan bersama para donatur. Apakah butuh surat fisiknya? Kalau iya, akan segera saya cetak di tukang fotokopi depan sekolah dan mengantarkannya kepada Anda dengan penuh sukacita.”
“Itu tindakan yang tidak bertanggung jawab! Bagaimana dengan kelas—”
“Bukankah Bu Nala baru selesai cuti melahirkan? Saya rasa beliau akan dengan senang hati menggantikan posisi saya sebagai wali kelas dari kelas VI-C. Toh, memang seharusnya beliau, ‘kan, yang menjadi wali kelasnya seandainya beliau tidak cuti melahirkan? Jadi …, saya rasa tidak ada masalah dengan saya mengundurkan diri,” jelasku, memotong ucapannya yang sudah aku prediksi—kemarin malam aku sempat melakukan simulasi percakapan ini di dalam pikiranku—akan keluar dari mulutnya.
“Setidaknya, tunggulah sampai selesai satu semester,” ucapnya, mencoba untuk bernegosiasi denganku.
“Apa tidak masalah kalau rapor semester ganjil Justin penuh dengan angka-angka merah yang tidak sedap dipandang?” tanyaku.
“Kamu ingin memancing kemarahan ayahnya?”
“Oh, tentu tidak. Apa untungnya bagiku jika ayah Justin marah? Kalau dia marah karena mendapati rapor anaknya penuh dengan angka-angka merah, mungkin seharusnya dia merenungi fakta bahwa mungkin selama ini dia terlalu acuh dengan pendidikan anak semata wayangnya itu,” jawabku.
“Kamu—”
“Belum mengerti? Apa Anda tidak bosan mengatakan hal yang sama berulang kali?”
“... kamu tidak bisa keluar di tengah-tengah semester, Pak Finsen,” ucapnya, mengalihkan pembicaraan.
“Tidak bisa? Kenapa?”
“Karena itu tidak etis.”
“Tidak etis? Bagaimana bisa?” tanyaku, benar-benar tidak paham dengan maksudnya, “Seingatku, tidak ada aturan semacam itu yang aku baca di kontrak yang aku tanda tangani ketika aku diterima bekerja sebagai guru di sekolah ini.”
“Orang tua siswa akan mempertanyakannya jika kamu tiba-tiba saja mengundurkan diri dan keluar dari sekolah ini,” jelasnya.
“Oh! Singkatnya, Anda takut reputasi Anda tercoreng?”
“Reputasi sekolah ini,” ucapnya, meralat ucapanku.
“Sama saja,” ucapku sambil mendengus.
“Kalau mau berhenti, tunggu semester ganjil ini selesai. Orang tua siswa akan lebih mudah menerimanya. Dan peralihan tanggung jawab sebagai wali kelas darimu ke Bu Nala juga akan lebih mudah.”
“Sekali lagi saya tanya, apa tidak masalah kalau rapor semester ganjil Justin penuh dengan angka-angka merah yang tidak sedap dipandang?” tanyaku, mengulang pertanyaanku sebelumnya.
Pak Adrian menghela napas.
“Dasar keras kepala!” umpatnya.
“Ya! Memang begitulah seorang Taurus: keras kepala!” ucapku sambil tertawa kecil—meledek tentunya.
***
“Ya, untuk hari ini saya rasa cukup sampai di sini saja. Apa ada pertanyaan?”
Aku terdiam sejenak, memberikan kesempatan untuk anak-anak bertanya. Aku memperhatikan anak-anak yang sekarang sedang aku ajar ini. Penampilannya kumuh, warna kulitnya cenderung gelap dan warna rambutnya memerah karena terbakar sinar matahari setiap harinya, tubuhnya kurus-kurus, dan raut wajahnya, meski terlihat bersemangat untuk belajar, tampak lelah—ya, mereka ini anak-anak jalanan. Beberapa dari mereka menggelengkan kepalanya, tanda bahwa tidak ada yang ingin ditanyakan lagi.
“Tidak ada pertanyaan? Semua sudah paham?” tanyaku, memastikan.
“Paham, Pak!” seru mereka serempak.
“Bagus! Kalau begitu, kalian sudah boleh pulang. Sampai bertemu minggu depan, ya,” ucapku, membubarkan mereka.
“Terima kasih, Pak!” seru mereka lagi, kali ini sambil bangkit berdiri.
Tanpa aba-aba, mereka mulai berbaris dan menyalamiku sebelum akhirnya pergi—entah pulang ke rumah atau kembali bekerja di jalanan. Aku tersenyum sambil melambaikan tanganku ke arah mereka. Ah, sungguh anak-anak yang hebat. Seharusnya anak-anak di sekolahku dulu malu melihat semangat belajar mereka, batinku.
“Terima kasih, Pak Finsen!”
Suara yang akhir-akhir ini akrab di telingaku terdengar dari belakangku. Aku menoleh dan—benar saja—mendapati Viola sudah berdiri tepat di belakangku. Kacamata bulatnya sedikit memantulkan cahaya matahari, membuat aku mengerjakan mataku begitu melihatnya. Dia tersenyum—memamerkan deretan gigi-giginya yang putih bersih. Rambut pendek sebahunya sedikit berantakan karena tertiup angin.
“Nih! Hadiah untuk Pak Guru!” ucapnya sambil menyodorkan sebotol air mineral kepadaku.
“Terima kasih,” ucapku sambil tersenyum kecil.
Aku mengambil botol air mineral itu dari tangannya lalu membuka tutupnya. Aku—yang memang kehausan—menenggak botol tersebut sampai isinya hanya tersisa kurang dari setengah. Viola tertawa kecil melihatku.
“Haus banget kayaknya?” tanyanya.
“Banget!” jawabku sambil menutup kembali botol tersebut.
Dia berjalan pelan, tangannya menyentuh whiteboard portabel yang aku pakai untuk mengajar. Penampilannya mengindikasikan kalau dia sudah terbiasa dengan sekolah kolong ini: jaket untuk membantu menghalau debu dan asap kendaraan, kaus berwarna gelap yang tidak mudah kotor, celana panjang, dan sepatu kets yang nyaman dipakai.
“... minggu depan aku Sidang Akhir, lho, Pak,” ucapnya, memulai pembicaraan baru dengan topik yang baru pula.
“Begitu? Ya …, kalau kamu, sih, tidak perlu saya doakan sepertinya. Kamu pasti sudah siap, ‘kan?”
Dia mengangguk kecil.
Viola ini memang masih mahasiswa. Mahasiswa program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar—atau yang biasa disingkat PGSD—tepatnya. Karena perkuliahannya sekarang hanya tersisa skripsi saja, dia jadi sering membantu di sekolah kolong yang dikelola oleh aku dan teman-temanku ini. Terkadang dia bantu mengajar, terkadang dia hanya bantu mempersiapkan atau merapikan peralatan.
“Pak, apa menurut Bapak …, saya bisa jadi guru yang hebat?” tanyanya.
“Pasti,” jawabku cepat, “Dengan hadirnya kamu di sekolah kolong ini saja, saya sudah tahu bahwa kamu akan menjadi guru yang luar biasa!”
Dia tersenyum kecil mendengar jawabanku.
“Viola, zaman sekarang ini zaman edan. Apalagi di dunia pendidikan. Makin hari bukannya makin membaik, malah makin hancur. Sekolah-sekolah lebih mementingkan akreditasi dan citranya di masyarakat dibandingkan dengan pendidikan siswa-siswanya. Nilai bisa dikatrol selama orang tua datang dengan hadiah-hadiah kecil di saat pembagian rapor. Nilai didewakan, padahal nilai hanyalah angka semata. Untuk apa nilai bagus kalau ternyata siswa tidak paham dengan materi yang diajarkan? Belajar hanya untuk nilai, bukan untuk paham. Menyedihkan,” ucapku sambil duduk di salah satu kursi yang ada.
“Dan karena itu Bapak memutuskan untuk keluar dari sekolah tempat Bapak mengajar?” tanyanya.
“Saya lebih senang di sini, di sekolah kolong ini. Mengajar anak-anak yang ingin belajar tetapi tidak bisa, bukan anak-anak yang terlalu dimanjakan oleh orang tua dan gurunya itu,” jawabku sambil menghela napas.
“Bapak ini idealis, ya,” gumamnya.
“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda,” ucapku sambil tersenyum.
“Itu ….”
“Tan Malaka. Itu kata-kata Tan Malaka. Dan aku sangat mengamininya.”
“Memangnya Bapak masih dihitung sebagai pemuda? Dipanggilnya saja sudah Bapak,” komentar Viola sambil tertawa kecil.
“Secara umur, saya ini hanya beda dua tahun dengan kamu, lho. Kalau menurutmu saya ini sudah tua, berarti kamu juga sudah tua,” jawabku sambil ikut tertawa kecil dengannya.
“Iya, deh, iya …,” ucap Viola.
Dia berjalan menghampiriku lalu duduk di kursi di sampingku.
“Doakan aku bisa jadi guru yang hebat seperti Bapak, ya,” ucapnya.
“Pasti,” jawabku—singkat dan tanpa ragu.
Kami berdua terdiam. Di sebuah sekolah kolong di bawah fly over di salah satu jalanan di Jakarta, aku—seorang guru—dan Viola—seorang calon guru—terdiam.
Terdiam merenungi betapa menyedihkannya pendidikan di negeri ini.
Fin.