Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Masih sama seperti biasa, dibawah rintik hujan yang mengalun ada jiwa penuh pengharapan pada Sang Maha Pengharapan. Diiring belaian angin menuntun awan menapaki belahan dunia, menelisik setiap inci wajah bumi yang penuh nyawa-nyawa bertebaran. Lari kesana kemari berlindung dari si kecil tetes hujan yang berkuasa.
Andai tidak ingat bahwa besok ada hari yang lebih dingin saat volume air mendesak bumi. Andai tidak ingat bahwa besok ada hari lebih panas dimana manusia berjalan tepat dibawah api. Andai tidak ingat bahwa yang mengantar sampai detik ini adalah nikmat Sang Kuasa. Andai tidak ingat akan kalam-Nya Wa man yudliliaahhu famaa lahuu min haad. Andai tidak ingat semua itu, mungkin rebahan ditengah ranjang hangat ditemani lampu temaram sambil mendengarkan sholawat Sa'duna Fid Dunya adalah kenikmatan yang memabukkan.
Hembusan nafasnya mengalun begitu merdu bersamaan kalimat yang mengiringi bibir tipisnya. Laa haula wa laa quwwata Illaa billaahil 'aliyyil 'adhiim menerobos bulir titik hujan yang mengikuti takdir Sang Pencipta. Andai mereka dapat berkata mereka ingin izin untuk menghindari tubuh orang mulia itu. Begitu agung bagaimana mungkin tetesan hujan berani membasahi baju kekasih-Nya.
Hingga ditempat ini Alif, ba, ta, tsa, ja sampai akhir dieja dengan lembut dan takdim. Belasan hati juga tak mau kalah berebut barokah sosok penuh cinta ini. Senyumnya bagai madu, nasehatnya bagai anggur yang memabukkan, kalimatnya bagai nyanyian, candanya bagai melodi nan indah. Aduh, bahkan beberapa burung nampak mengintip dari balik pepohonan–tak mau sedikit pun tertinggal tuturannnya.
Dibalik jendela kecil itu, ada sepasang pupil mengintip. Wajahnya tak terlihat namun bisa dipahami dari garis kerutnya bahwa ia sedang tersenyum. Beberapa santri memberi kesaksian bahwa dia selalu disana setiap hari kecuali Sabtu, bahkan walau majlis libur hari Jum'at bocah itu akan tetap menunggu disini hingga maghrib. Berdiri dan mengintip dari celah jendela itu dari awal sampai akhir. Tanpa duduk, tanpa lelah, dan tanpa suara. Hanya ketika didekati ia akan lari terbirit-birit.
Anak laki-laki itu selalu memakai pakaian yang sama. Lusuh dan kusam, seperti wajahnya. Dikatakan pemulung juga tidak, ia tak membawa karung sampah bahkan tak pernah ada orang melihatnya sedang memulung.
"Siapa itu?" tanya sang Kiai setelah setoran ngaji selesai.
"Maaf Yai, kami tidak tahu." jawab seorang santri.
"Kenapa dia hanya berdiri disana?"
"Dia selalu lari saat kami mendatanginya, namun selalu datang kembali diam-diam saat majlis dimulai."
"Ada yang pernah tahu dia sebelumnya?"
"Tidak Yai, seperti bukan orang asli sini."
"Ya sudah biar saya yang panggil."
Sang Kiai mendekati jendela itu dengan tersenyum. Tidak seperti biasanya, manik kembar itu bukannya takut dan lari tapi malah menunjukkan binar bahagia.
"Hei kamu, ayo sini. Jangan takut. Ayo!"
Yang dipanggil benar benar datang dengan langkah kaki malu dan menundukkan kepala. Majlis telah selesai hanya tersisa sang Kiai dan seorang santrinya.
Mereka duduk bersama, juga bocah lusuh itu.
"Namamu siapa Le?" mulai Kiai.
"Josep pak."
"Oh, bagus. Sama dengan nama seorang nabi. Kalau di Al Qur'an namanya Yusuf, kalau di Injil namanya Yoshep. Kalau kamu mungkin plesetan orang Jawa jadinya Josep." sang Kiai tersenyum ramah.
"Rumahnya dimana?"
"Deket peron kereta api."
"Daerah?"
"Nggak tahu namanya pak. Pokoknya situ lah."
"Kamu kesini udah izin orang tua belum?"
"Nggak bisa pak, bapak ibu sudah di surga." kata bocah itu polos seakan tak kenal kesedihan.
Manik sang Kiai bergetar melihat seorang bocah entah tidak mengerti atau memang menguatkan hatinya menghadapi lembar takdir yang telah pasti. Satu yang tersirat dari raut si bocah. Ketenangan.
Banyak orang menyiarkan maksud dari ketenangan tapi tak sedikit dari mereka malah merenungi nasib kehidupan. Mengaku sebagai jiwa paling nelangsa seolah tak sanggup mengarungi tanah ranjau dunia. Diluar sana tak sedikit manusia bermuka dua, Yastakhfuuna minannaasi walaa yastakhfuuna minalloh. Mereka sibuk mencari cara untuk sembunyi dari manusia dengan mereka tak tahu bahwa tak bisa sembunyi dari Allah SWT.
Bocil lusuh itu tiada henti menatap sang Kiai dengan pancaran bahagia, memiringkan kepala ke kanan dan kiri seolah memastikan bahwa yang di depannya benar-benar manusia bukan malaikat ataupun peri.
Senyumnya terulas lebar tiada peduli pada kulit bibirnya yang pecah, terluka. Bocah itu seakan tak tahu apa itu luka tubuh? Ia tak merasakannya. Hanya fokus mengerjapkan mata pada orang mulia di hadapannya memberi isyarat dalam diam bahwa ia ingin mendengar suara dan nasehat dari sosok ramah itu.
"Umur kamu berapa cah bagus?"
"Kata pak RT saya 10 tahun."
"Lho, memangnya tidak tahu tanggal lahir sendiri?"
"Ibu belum sempat cerita udah dipanggil sama Tuhan."
Sang Kiai mengerjap makin takjub dan penasaran pada bocil ini.
"Kamu setiap hari kesini?"
"Iya Pak."
"Kalau gitu ikut ngaji saja, jangan sembunyi diam-diam."
"Nanti kalau hari Sabtu saya izin terus pak."
"Kenapa?"
"Saya ibadah."
"Ibadah? Sebentar, memang agama kamu apa tho le?"
"Tidak tahu namanya pak, ibu juga belum pernah cerita. Tapi saya bawa ini sejak kecil."
Sang Kiai tampak terkejut saat si bocah menunjukkan kalung dengan bandul salip kecil dari dalam bajunya.
"Oh, agama kamu namanya Kristen. Berarti kalau Sabtu kamu ibadah dan berdo'a."
"Tidak pak, saya tidak ibadah. Mereka tidak membaca kitab dengan lafadz indah seperti kalian."
"Itu juga ibadah dalam agamamu, setiap agama memiliki cara ibadah masing-masing."
"Tidak pak, saya disana hanya diam."
Dengan hati-hati sang Kiai memberi pemahaman pada bocah sepuluh tahun itu. Menuntun hati kecil penuh keraguan itu menapaki keyakinan pada agama yang dianutnya. Namun, si bocah terus menyanggah nasehat Kiai yang menjelaskan tentang agama Kristen seolah tak ingin mendengar lebih jauh tentang agama yang semakin ia tinggalkan.
"Saya pernah bermimpi, ibu mengambil kalung saya dan melambaikan tangan perpisahan. Lalu saya melihat Alkitab, tapi bukan kitab yang pernah saya baca. Tulisannya seperti itu." si bocah menjulurkan tangan menunjuk kaligrafi lafadz Allah yang berada disamping mimbar.
"Lafadz Allah?"
"Iya."
"Lalu?"
"Saya melihat bangunan kubus hitam dikelilingi banyak orang. Sama seperti yang anda pakai."
Sang Kiai tersenyum. "Jadi kamu kemari karena mencari kubus itu?"
Si bocah mengangguk cepat.
"Jadi, tanya hatimu dulu apa yang kamu mau."
"Saya ingin selalu disini setiap hari, termasuk hari Sabtu."
"Kamu yakin?"
"Tentu."
"Apa yang membuatmu yakin?"
"Anda."
"Untuk?"
"Segalanya, yang membuatku menangis setiap malam entah karena apa. Hanya irama Kalam dari tempat ini yang terngiang di telingaku setiap saat."
Pupil kembarnya bergetar bahagia.
"Bolehkah saya ikut membaca Kalam itu?"
Dari balik jubah putih suci itu, Sang Kiai mengeluarkan sebuah peci hitam polos yang masih baru seolah tahu bahwa hari ini akan datang. Memasangkan dengan lembut sebagai mahkota terindah yang diselipkan untuk menghiasi kepala si bocah dengan hati permatanya.
Langit jingga bersama alunan angin mengiringi langkah baru sang bocah. Menyelam dalam hati yang memanggilnya pada takdir yang telah tertulis apik dalam Lauhul Mahfudz. Tersirat kesucian melalui lafadz yang keluar dari belah bibir kecilnya.
Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah.