Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Payung Merah di Taman Itu
0
Suka
1,253
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Hujan turun pelan-pelan siang itu. Butirannya lembut, membasahi dedaunan dan bangku-bangku taman yang sepi. Di sudut taman kota yang teduh dan rindang, sebuah payung merah terbuka. Di bawahnya, duduk seorang wanita tua dengan senyum yang teduh, ditemani seorang anak perempuan kecil yang memegang boneka lusuh di pelukannya.

Wanita tua itu bernama Bu Lila. Usianya mungkin sudah melewati tujuh puluh tahun. Wajahnya dipenuhi garis-garis halus tanda perjalanan waktu, namun sorot matanya hangat. Rambutnya yang keperakan digelung rapi. Sementara gadis kecil di sampingnya, bernama Lani, masih berusia delapan tahun—lincah, ceria, dan penuh rasa ingin tahu.

Setiap kali hujan turun, Bu Lila dan Lani akan duduk di taman itu, di bangku yang sama, di bawah payung merah besar yang sudah agak pudar warnanya.

“Kenapa kita selalu duduk di sini, Nek?” tanya Lani suatu hari, memandangi rintik hujan yang jatuh di permukaan kolam kecil di dekat mereka.

Bu Lila tersenyum. “Karena di sinilah kenangan itu tinggal.”

“Kenangan apa?” Lani menyenderkan kepala ke bahu neneknya.

“Kenangan tentang seseorang yang sangat aku sayangi, dan payung merah ini dulu miliknya.”

Lani terdiam, tapi matanya memancarkan rasa penasaran yang dalam.

________________________________________

Tahun-tahun berlalu, dan taman itu tetap menjadi tempat pertemuan mereka. Lani tumbuh menjadi gadis remaja, dan Bu Lila mulai sering lupa hari, bahkan nama orang-orang. Namun setiap kali hujan turun, Bu Lila seolah kembali seperti dulu. Ia akan mengambil payung merah itu dari raknya, memanggil Lani, dan berkata, “Ayo ke taman. Dia mungkin datang hari ini.”

Suatu hari, hujan turun agak deras. Lani yang kini sudah SMA menatap langit kelabu dari jendela, saat suara panggilan lembut itu terdengar lagi.

“Ayo, Laniku… ke taman. Dia mungkin datang hari ini.”

“Nek… siapa yang Nenek tunggu sebenarnya?” tanya Lani lembut, sambil menggenggam tangan rapuh itu.

Bu Lila tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum, lalu berkata, “Dulu, aku punya seorang tunangan. Namanya Arya. Ia sangat suka hujan. Katanya, hujan adalah waktu terbaik untuk jujur.”

“Jujur?”

“Iya, karena saat hujan, air mata tak terlihat. Saat itulah banyak perasaan bisa disampaikan, tanpa takut terlihat lemah.”

Lani tertegun. Ia belum pernah mendengar cerita ini sebelumnya.

“Kami bertemu di taman ini… di bangku ini… setiap hari Minggu. Suatu hari, sebelum ia pergi bertugas sebagai relawan kemanusiaan ke luar negeri, ia memberikan aku payung merah ini.”

“Dan?”

“Dan dia berjanji akan kembali. Dia bilang, 'Kalau aku kembali, aku akan mencarimu di taman ini, saat hujan. Bawalah payung merah ini. Aku pasti akan mengenalinya.'”

Lani menatap payung itu. Warnanya memang telah pudar, tapi tetap tampak istimewa.

“Tapi… dia tidak pernah kembali?”

Bu Lila menggeleng pelan, sambil memandang jauh ke depan. “Tidak pernah. Tapi aku tetap datang, setiap hujan turun. Karena siapa tahu… dia benar-benar kembali.”

________________________________________

Beberapa bulan kemudian, Bu Lila jatuh sakit. Tubuhnya melemah, dan ingatannya mulai kabur. Ia tak lagi mengenali banyak orang, termasuk kadang Lani. Tapi ada satu hal yang tetap ia ingat: payung merah, dan taman.

Setiap kali hujan turun, ia masih berkata, “Dia mungkin datang hari ini.”

Lani yang kini mengerti, tak pernah membantah. Meski harus mendorong kursi roda melewati jalanan basah, ia akan membawa neneknya ke bangku itu, membukakan payung merah tua itu, dan duduk bersamanya dalam diam.

Taman itu, kini menjadi saksi bisu dari kesetiaan yang tidak pernah padam.

________________________________________

Hingga suatu sore yang dingin, hujan kembali turun. Tapi hari itu, Bu Lila tak bisa lagi bangun dari tempat tidur. Napasnya pendek dan pelan.

Lani duduk di sampingnya, memegang tangannya erat.

“Nek…” bisiknya, air mata membasahi pipinya.

Bu Lila membuka mata perlahan. “Lani… apakah hujan turun?”

“Iya, Nek… turun.”

“Bawalah payung merah itu… dan duduklah di bangku taman…”

Lani terdiam.

“Jika suatu hari… dia datang… katakan padanya… aku tetap menunggu…”

Itulah kalimat terakhir Bu Lila, sebelum matanya tertutup untuk selamanya.

________________________________________

Beberapa minggu kemudian, hujan turun lagi. Untuk pertama kalinya, Lani sendiri yang datang ke taman, membawa payung merah itu. Ia duduk di bangku yang sama, dan membiarkan kenangan-kenangan mengalir dalam diam.

Lani sudah tak percaya pada keajaiban, tapi tetap duduk. Hujan menyamarkan air matanya.

Tiba-tiba, seorang pria tua berjalan pelan ke arahnya. Rambutnya putih, langkahnya tertatih, tapi matanya penuh kejutan saat melihat payung merah itu.

“Permisi…” katanya pelan. “Payung itu… milik Lila, bukan?”

Lani terkejut. “Iya… Anda siapa?”

Pria itu duduk perlahan, seakan lututnya tak lagi kuat. “Aku Arya…”

Degup jantung Lani seolah berhenti. Ia menatap pria tua itu lekat-lekat.

“Aku… baru pulang beberapa bulan lalu. Selama bertahun-tahun aku terjebak di tempat konflik. Baru sekarang aku bisa kembali.”

Lani menggigit bibirnya, menahan haru. “Nenek… selalu datang ke sini. Dia menunggu Anda… setiap hujan.”

Mata Arya berkaca-kaca. Ia menatap langit abu-abu di atas mereka, lalu berkata, “Dan akhirnya, aku datang… meski terlambat.”

________________________________________

Sejak hari itu, bangku di bawah pohon besar itu tak pernah benar-benar kosong. Kini Lani yang sering duduk di sana, kadang ditemani Arya, kadang sendiri, membawa serta kenangan tentang seorang wanita tua dan cinta yang tak pernah padam.

Dan payung merah itu… tetap terbuka setiap hujan turun. Sebagai tanda, bahwa cinta sejati tidak selalu butuh akhir yang sempurna, cukup dengan kesetiaan yang bertahan, bahkan saat dunia berubah.

Musim demi musim berganti. Ranting-ranting pohon tua di taman itu semakin jarang berdaun. Namun bangku di bawahnya tetap terjaga, bersih dari dedaunan, seolah angin pun tahu bahwa tempat itu sakral. Tempat itu bukan sekadar tempat duduk—ia adalah altar kenangan. Lani tumbuh menjadi wanita dewasa. Hidupnya berubah, sekolah telah usai, pekerjaan datang silih berganti, dan waktu seolah terus berlari meninggalkan masa lalu. Tapi taman itu, bangku itu, dan payung merah itu, tak pernah ia tinggalkan.

Kadang, ia datang dengan wajah lelah setelah bekerja seharian. Duduk dalam diam, membiarkan gerimis membasahi ujung rambutnya. Kadang, ia tertawa sendiri mengingat cerita-cerita Nenek Lila tentang masa mudanya. Kadang, ia menulis puisi di halaman buku kecil, yang halaman pertamanya bertuliskan:

Untuk Nenek. Untuk kesetiaan. Untuk cinta yang tak sempat kembali tepat waktu.

Arya, pria tua yang dulu datang terlambat, kini menjadi bagian dari keluarga kecil Lani. Ia sering menghabiskan sore bersamanya di taman, menceritakan cerita-cerita masa lalu yang bahkan tak pernah sempat ia bagi pada Lila.

"Aku terlambat seumur hidup untuk kembali padanya," katanya suatu hari, menatap langit mendung. "Tapi setidaknya, aku bisa menemani orang yang mencintainya."

Lani menatap pria tua itu. "Nenek tidak pernah marah, Pak. Ia tahu, cinta bukan tentang hadir tepat waktu, tapi tentang tidak pernah berhenti percaya."

Arya tersenyum, tapi matanya berkaca.

________________________________________

Tahun berganti tahun.

Arya pun akhirnya berpulang, dengan tenang, di usia yang sangat senja. Lani yang kini sudah menjadi ibu, membawa anak kecilnya setiap hujan datang ke taman itu. Ia membuka payung merah, menggendong putrinya, dan berkata:

"Ini bukan sekadar payung, Nak. Ini lambang janji. Ini lambang cinta yang tak pergi meski ditinggal waktu."

Anaknya, Nayla, menatap penuh penasaran. “Payung bisa menyimpan cinta, Bu?”

“Bukan payungnya yang menyimpan cinta,” jawab Lani sambil tersenyum. “Tapi kenangan yang kita biarkan tumbuh di bawahnya.”

Nayla tertawa kecil. “Nanti kalau aku besar, boleh duduk di sini juga?”

“Tentu saja,” jawab Lani. “Karena taman ini bukan cuma tempat duduk. Ini tempat doa. Tempat rindu. Tempat orang-orang yang mencinta diam-diam.”

walaupun Arya telah lama tiada

Ia pergi diam-diam, dalam usia yang tak lagi muda, di sebuah tempat yang jauh dari taman itu. Ia tak pernah kembali ke bangku tua di bawah pohon besar. Bukan karena lupa, tapi karena tubuhnya tak lagi mampu menempuh jarak kenangan. Tapi sebelum ia menghembuskan napas terakhir, ia menitipkan sepucuk surat. Untuk Lila.

Dalam surat itu, Arya menulis:

"Maaf, Lila. Aku tak pernah datang kembali seperti janjiku. Tapi hidup kadang membawa kita pada jalan yang tidak kita minta. Tapi tak sehari pun berlalu tanpa mengingatmu, tanpa mengenang bangku itu dan payung merah yang kau pegang erat walau hujan tak lagi lembut seperti dulu."

"Jika aku boleh meminta satu hal kepada waktu, aku ingin kembali sekali saja, duduk di sebelahmu dalam diam. Tapi jika tidak bisa… biarlah kenangan itu tetap duduk di sana untuk kita."

Payung merah itu, walau tak secerah dulu, tetap disimpan dengan rapi. Setiap musim hujan datang, Lani akan mengajak Nayla duduk di bangku taman itu. Kadang bercerita, kadang hanya diam. Tapi bagi lani , setiap tetes hujan membawa dongeng. Dan payung itu, lebih dari benda, itu adalah pintu menuju masa lalu neneknya.

~Tamat~

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Bronze
MAWAR - Kisah Cinta Tak Seindah Cinderella
pureagiest
Cerpen
Payung Merah di Taman Itu
Irma prihatin syahroni
Novel
Rumah Tak Berpintu
imajihari
Novel
Sartono & Martini (Kisah Cinta Zaman Baheula)
SeanaLunaria
Novel
Bronze
Dua Merpati
Stephanie Dhika Ananda
Novel
Agenda Vila : Cinta Yang Tertolak
Navila Kirana
Cerpen
Cinta yang belum dapat diterima
Fachri anwar ghatfan
Skrip Film
Me, You, and Him
Asti Pravitasari
Novel
Unexpected
Yeni fitriyani
Novel
SETITIK PUTIH
PinkGreen_0718
Novel
Bronze
Kembara Halimun Timur
FatmaCahaya
Novel
Angkasa
Putri Prasasti
Novel
Kaulah Separuh Ragaku
Warsiki Nuryani
Novel
Bronze
Kotak Kesunyian
Revia
Novel
Gold
Mantan
Bentang Pustaka
Rekomendasi
Cerpen
Payung Merah di Taman Itu
Irma prihatin syahroni