Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di bawah langit Lampung yang biru membentang, di kampung kecil Margomulyo yang dikelilingi sawah menguning dan deretan pohon kelapa, Angga, pemuda bujang berusia 25 tahun, mendorong gerobak kayunya menyusuri pasar tradisional. Kulitnya cokelat terbakar matahari, senyumnya ramah meski dagangannya, payung-payung warna-warni, tak laku. Musim kemarau yang panjang membuat warga lebih memilih topi jerami ketimbang payung. Angga hanya menghela napas, mengusap keringat di dahinya. “Ya Allah, beri jalan,” gumamnya pelan, menatap langit yang tak kunjung mendung. Ia tak pernah mengeluh, hanya sabar menanti rezeki yang ia percaya akan datang suatu hari.
Pagi itu, saat merapikan gerobak di sudut pasar yang berdebu, Angga menemukan payung tua terselip di antara tumpukan barangnya. Gagangnya dari kayu, diukir dengan motif tapis, kain adat Lampung yang penuh warna—merah, emas, dan hitam, meliuk seperti sulur tanaman. “Dari mana ini?” tanyanya pada diri sendiri, membuka payung itu untuk memeriksa. Tiba-tiba, awan kecil berkumpul di atas kepalanya, dan gerimis turun, membasahi kaus lusuhnya. Angga tertawa, bingung tapi takjub. Ia menutup payung, dan hujan berhenti. Membukanya lagi, gerimis kembali turun. “Ajaib,” bisiknya, matanya berbinar. Malam itu, ia membawa payung itu ke acara Begawi, pesta adat Lampung untuk merayakan panen yang baru usai.
Di lapangan desa, warga berkumpul, mengenakan kain tapis dan songket, menari Tari Sigeh Penguten dengan gerakan lembut diiringi gamelan. Anak-anak berlarian, menyanyikan lagu Tanoh Lado, lagu tentang tanah Lampung yang kaya lada. Angga, yang biasanya hanya menonton dari kejauhan, memberanikan diri berdiri di tengah lapangan. Ia membuka payung ajaibnya, dan gerimis turun seperti taburan permata di bawah sinar obor. Anak-anak bersorak, menari-nari di bawah hujan ringan, sementara orang tua tertawa, kagum. “Angga si Pemuda Hujan!” teriak seseorang, dan nama itu melekat. Untuk pertama kalinya, Angga merasa ada harapan di hatinya yang selama ini gundah karena dagangan yang tak laku.
Di ujung kampung, di warung bambu sederhana yang dikelilingi bunga kamboja putih, tinggallah Nadin, gadis berusia 22 tahun dengan rambut dikepang rapi dan mata yang selalu menyimpan cerita. Warung itu peninggalan neneknya, terkenal karena tehnya yang tak biasa. Teh itu diseduh dari daun teh lokal, dicampur rempah khas Lampung seperti jahe, serai, dan sedikit cengkeh, tapi punya rahasia: rasanya berubah sesuai perasaan yang meminumnya. Orang sedih merasa manis seperti madu, orang marah merasa adem seperti embun pagi. Nadin selalu tersenyum saat pelanggan bercerita tentang “keajaiban” tehnya, tapi hatinya resah. Warung itu kini sepi; warga lebih memilih minuman kemasan dari kota, dan tagihan listrik menumpuk.
Suatu sore, Angga, masih bersemangat dengan payung ajaibnya, mampir ke warung Nadin setelah seharian berkeliling kampung. Ia duduk di bangku kayu yang sedikit goyah, memesan, “Teh biasa satu, Mbak.” Nadin menyeduh teh dengan gerakan cekatan, lalu menyajikannya dalam cangkir seng yang sudah usang. Saat Angga menyeruput, ia terdiam. Rasanya seperti campuran bunga melati, madu, dan kenangan masa kecil saat ia berlari di sawah mengejar layang-layang. “Ini teh apa, sih?” tanyanya, menatap Nadin yang tersenyum di balik tungku kecil. “Teh yang tahu perasaanmu,” jawab Nadin, pipinya merona. Angga tertawa, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada kehangatan di hatinya yang tak bisa dijelaskan.
Sejak itu, Angga jadi langganan. Ia mampir hampir setiap sore, membawa cerita tentang payung ajaibnya. “Tadi aku buka payung di dekat sawah, eh, burung-burung pada datang, kayak ikut menari!” katanya, tangannya melambai lebay. Nadin terkikik, mendengarkan dengan mata berbinar, kadang membalas dengan cerita tentang pelanggan yang terkejut dengan rasa tehnya. Di antara obrolan ringan, mereka saling mencuri pandang. Angga suka cara Nadin mengikat kepangnya dengan pita kain tapis, dan Nadin diam-diam kagum pada semangat Angga yang tak pernah pudar meski hidupnya pas-pasan. Hati mereka mulai berdetak lebih kencang, tapi keduanya terlalu malu untuk berkata apa-apa.
Hari-hari berlalu, tapi warung Nadin semakin sepi. Seorang pedagang dari kota menawarkan untuk membeli warung itu, menggantinya dengan toko serba ada. Nadin menolak, tapi hatinya berat—ia tak tahu cara menyelamatkan warung peninggalan neneknya. Sementara itu, Angga mulai dikenal di kampung. Ia berkeliling dengan payung ajaibnya, memanggil hujan ringan untuk petani yang membutuhkan air atau anak-anak yang ingin bermain. Namun, ia tahu payung saja tak cukup untuk hidup. “Ya Allah, tunjukkan jalan,” doanya setiap malam, menatap bintang dari beranda rumahnya yang sederhana.
Puncaknya tiba di Begawi berikutnya, saat warga Margomulyo berkumpul lagi di balai kampung. Lampu petromaks menerangi malam, kain tapis berkibar sebagai hiasan, dan aroma kopi robusta khas Lampung menguar di udara. Warga menari Tari Sigeh Penguten, gerakan tangan mereka lembut seperti ombak, diiringi nyanyian Sai Bumi Ruwa Jurai yang merdu. Tapi di warung Nadin, hanya ada dua pelanggan yang duduk lesu. Nadin menatap cangkir-cangkir kosong, matanya berkaca-kaca. “Mungkin aku harus menyerah,” bisiknya pada diri sendiri.
Angga, yang kebetulan lewat dengan gerobaknya, melihat kesedihan di wajah Nadin. “Nadin, percaya aku!” katanya tiba-tiba, matanya berbinar penuh semangat. Tanpa menunggu jawaban, ia berdiri di depan warung, membuka payung ajaibnya. Gerimis turun, lembut dan sejuk, berkilau di bawah sinar lampu. Warga yang kepanasan di lapangan Begawi berlarian ke warung, mencari tempat berteduh. “Teh satu!” “Dua, Mbak!” teriak mereka, tertawa di bawah hujan ringan. Nadin buru-buru menyeduh teh, tangannya gemetar tapi penuh harap.
Teh Nadin bekerja seperti sulap. Seorang bapak yang tadi cemberut karena panennya sedikit tersenyum lebar, tehnya terasa manis seperti gula aren. Seorang ibu yang lelah mengurus anak-anak bercerita dengan semangat, tehnya terasa hangat dan menyegarkan. Warung ramai, penuh tawa dan cerita. Seorang pemuda mengabadikan momen itu dengan ponselnya: gerimis romantis, warung bambu dengan atap daun kelapa, dan kain tapis yang digantung sebagai hiasan. Ia mengunggahnya ke media sosial dengan tulisan, “Festival hujan dan teh di Margomulyo, Lampung!” Tak disangka, unggahan itu viral, menarik perhatian wisatawan dari kota.
Keesokan harinya, warung Nadin dipenuhi pengunjung, bahkan ada yang datang dari Bandar Lampung untuk mencicipi “teh ajaib.” Angga tak berhenti tersenyum, membantu Nadin melayani pelanggan sambil sesekali membuka payungnya untuk menghibur anak-anak dengan gerimis kecil. Mereka mulai bekerja sama, merencanakan festival kecil bertema budaya Lampung. Ada pasar kain tapis, pameran kopi robusta, dan tentu saja, tarian adat serta teh dan hujan buatan. Festival itu sukses, membuat Margomulyo ramai seperti tak pernah sebelumnya.
Malam setelah festival, Angga dan Nadin duduk di bawah pohon waru yang rindang, di tepi sawah yang berdesir ditiup angin. Langit penuh bintang, dan aroma padi menguar lembut. Angga memandang Nadin, jantungnya berdegup kencang. “Nadin, payung ini bawa hujan, tapi kamu... kamu bawa hujan ke hatiku,” katanya, suaranya gemetar, wajahnya memerah. Nadin tertawa, matanya berkaca-kaca, tapi ada kehangatan di sana. “Dan tehku bilang, hatiku manis karena kamu, Ga,” balasnya, suaranya pelan tapi penuh keyakinan.
Mereka saling menggenggam tangan, kain tapis yang Nadin kenakan berkibar pelan di angin malam. Di kejauhan, suara gambus dari balai kampung masih terdengar, menyanyikan lagu tentang cinta dan tanah Lampung. Angga dan Nadin tersenyum, hati mereka penuh syukur. Mereka tahu, seperti gerimis yang turun tiba-tiba atau rasa teh yang tak terduga, duka dan suka datang tanpa diundang. Tapi rahmat Tuhan, seperti hujan di sawah Margomulyo, selalu hadir di waktu yang tepat.
Bersama, mereka melangkah, membangun mimpi di warung kecil itu, dengan payung ajaib dan teh yang tahu hati. Margomulyo kini dikenal sebagai kampung hujan dan teh, tempat di mana budaya Lampung hidup dalam setiap tawa, tarian, dan cangkir yang diseruput. Angga dan Nadin, dengan sabar dan ikhlas, menemukan cinta dan rezeki di tengah keajaiban sederhana, percaya bahwa hidup, seperti lagu Tanoh Lado, adalah tentang menari di bawah hujan anugerah Tuhan.
-Tamat