Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Payung Hitam
2
Suka
23
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator


 

Adakah anak kecil yang tidak menyukai hujan?

Mendadak november dan desember menjadi rekan asyik untuk diajak bergurau di balkon rumah. Tempias air yang turun dari langit selalu membuat hati gusar, ingin segera lompat dari kediaman, memijakkan kaki di atas lahan penuh lumpur, menikmati riak air keruh, sementara tangan terlentang serupa manusia dewasa yang baru saja bebas dari pertarungan panjang. Wajah dijatuhi butir-butir air, dingin namun membahagiakan. Masa kanak memang luar biasa dan Istimewa, tiada dosa yang dijadikan ancaman jika melanggar aturan, tidak ada beban-beban dalam benak pikiran, maka mari terus bermain sampai hujan bosan. Bahkan jika saja Pencipta mengijinkan maka biarlah sepanjang tahun ini hujan menari-nari di muka bumi.

Menyenangkannya dari musim lembab yang kata orang dewasa penuh gigil sampai membuat gigi mereka bergemeletuk, bahkan pernah dikata tubuh mau membeku—banyak payung warna-warni beredar di jalan-jalan dekat kampung. Sewaktu swastamita mengintip dari belahan bumi barat, anak-anak menyongsong langkah menuju tempat timba ilmu agama, dari Kyai kampung yang mohon maaf belum naik haji, tetapi sudah menyandang gelar terhormat itu, banyak payung-payung berputar membuat hujan riang terpercik ke wajah teman di samping mereka. Tawa akan membuat duka di dada orang tua runtuh, duka lantaran beras di lumbung padi sudah ludes, duka karena akhir bulan angsuran belum mentas, juga duka yang diam-diam hinggap lantaran pemuda seberang ditolak lamaran. Gunung yang dipenuhi mendung di mataku amat elegan, apalagi jika ada guntur sahut-menyahut, memang Emak dan Bapak akan berisik memerintahku beringsut di dalam rumah, berkawan selimut dan bantal bau iler, akan tetapi jendela dengan ratusan titik-titik embun lebih artistik dalam tatap. Maka aku akan berdiri di dekat jendela, seperti kucing kesepian yang meringkuk di dekat tungku perapian.

Aku tidak pernah peduli dengan seramnya badai. Bahkan banjir yang datang tahun lalu lantaran gorong-gorong air tersumbat karena plastik-plastik sampah akibat ulah warga yang sembarang membuangnya, dalam pandanganku tetaplah unik. Lihatlah air keruh bercampur lumpur itu terus hanyut membawa ranting-ranting pohon dari pegunungan, juga ada banyak daun-daun kering yang telah koyak, kemudian disusul sampah-sampah makanan instan dan botol minuman softdrink yang sukar membusuk. Di hari selanjutnya, jika hujan tidak begitu deras, aku dan teman-teman akan menari di bawah tetesnya, bertepuk tangan juga mengekspresikan diri penuh kebebasan, PR dari sekolah tidak lagi menjadi penting, bagi aku dan teman-teman hal penting di musim hujan adalah memiliki payung-payung dengan cat indah serupa Pelangi. Aku merutuki Emak dan Bapak yang enggan membelikanku payung baru, katanya lebih efisien jas hujan supaya pakaian tidak basah sampai. Jujur aku butuh payung bukan lantaran khawatir kain yang kukenakan basah, aku hanya menikmati keindahan ukiran gambar dan warna yang memayungi kepalaku sewaktu hujan. Aku ingin payung-payung serupa milik temanku. Aku ingin memamerkan karya seni sebuah payung sewaktu hujan turun. Akan merasa sangat kurang jika berangkat mengaji di musim hujan sewaktu cuaca mendung tetapi tidak membawa payung. Tetangga akan berdecak bahwa orang tua tidak perhatian kepada anak-anaknya, hanya membekali payung saja kok tidak bisa.

Maka demi menyelamatkan nama baik Emak dan Bapak, aku bongkar celengan hasil pengumpulan angpao lebaran tahun lalu. Aku gunakan sebagian uang untuk membeli payung, sayangnya toko payung di dekat pasar—langganan anak-anak kecil yang merengek di musim basah itu, tutup. Pintu reyotnya digembok dengan rantai panjang yang karatan, halamannya penuh suket teki dan sampah-sampah yang warnanya pudar. Daun-daun pohon kersen berguguran menciptakan kesan kotor yang jarang dibersihkan oleh pemiliknya. Aku memandangi pot bunga asoka kuning dan asoka merah yang dikelilingi dengan rumput alang-alang, kelopak mereka ditumpuki embun, ada harapan yang ikut tumbuh semoga pintu reyot itu kembali menganga. Sayang sampai kapan? Sebulan kemudian aku datang kembali, tidak ada tanda-tanda toko payung itu akan beroperasi lagi. Aku melongok ke sisi jendela, banyak payung-payung terbengkelai yang roboh dari sandaran.

Aku merasa pedih karena tidak memiliki payung berwarna indah serupa milik teman-teman. Hari-hari selanjutnya wajahku dipenuhi mendung. Emak dan Bapak sampai bingung, mereka berusaha semaksimal mungkin supaya murungku kabur.

Sewaktu liburan semester dua, aku diajak Bapak ke pusat perbelanjaan di kota. Kata Bapak ada toko yang menjual aneka macam payung di sana. Aku melompat-lompat kegirangan. Langkahku tergiring sangat riang. Kami benar-benar tiba di tujuan, menuju toko musim hujan yang menyediakan aneka macam kebutuhan di musim tersebut. Aku melihat jas-jas hujan yang dipajang dan dipakaikan pada manekin, lalu ada juga yang tersusun rapi di dalam etalase, lalu payung-payung yang bersandar di pojokan etalase. Sayangnya aku agak ragu untuk membeli payung itu, tidak ada warna indah yang melukiskan keriangan masa kanakku. Hampir semua payung berwarna hitam, lainnya transparan. Haruskah aku membelinya? Tetapi jika urung, percuma melalang jauh-jauh sementara tanganku tak membawa apa-apa. Demi menghargai jasa Bapak yang membawaku ke kota, akhirnya aku membeli satu payung hitam.

Januari sangat basah, hujan membuat selokan-selokan meluap. Gerobak kaki lima cuti mencari nafkah, trotoar sepi dari pejalan. Sekolah-sekolah terkadang sengaja diliburkan karena khawatir terjadi badai mendadak. Kampung kecil yang kutinggali dilingkupi mendung hitam pekat. Jendela-jendela rumah ditutup rapat. Emak tidak mengijinkanku melukis kaca yang berembun, dia akan muring-muring untuk menyuruhku masuk kamar, belajar membaca buku atau sekadar bermain game. Sesekali tanganku usil, menyibak gorden, mencari-cari satu atau dua anak yang barangkali berkeliaran menggunakan payung warna-warni mereka. Alangkah mengejutkannya sampai bulan Februari menyapa tidak ada lagi payung penuh warna. Hujan semakin deras berjatuhan di muka bumi, asbes-asbes rumah serupa dilempari batu kerikil dari langit—terdengar berisik. Nyala televisi di rumah warga mendadak padam. Tiada rutinitas anak kecil yang bergerilya menggiring kitab iqro’ ke tempat mengaji. Aku rindu, sangat ingin bermain dengan hujan. Tubuhku rasanya kering karena tidak diberi kesempatan untuk hujan-hujanan. Aku takut hujan pamit pergi, lalu bumi menjadi kering kerontang. Hujan konon membawa berkah, hujan tidak memberikan kesedihan kepada orang dewasa, hujan harusnya diadu dalam kebahagiaan. Mengapa wajah Bapak yang seorang buruh bangunan itu mendadak beku? Katanya proyek pembangunan ditunda lantaran hujan tak mau reda. Tetanggaku yang penjual bakso keliling pun ambil cuti kerja, sebab hujan membuat orang-orang malas keluar rumah. Ah, sebenarnya aku tidak pernah malas keluar rumah, tetapi Emak dan Bapaklah yang melarangku keluar. Padahal rinai hujan mulai sepi, tanah-tanah lembab berangsur kering. Aku tetap ingin bermain dengan hujan dan payung hitam milikku yang kubeli dari kota. Maka di suatu sore ba’da asar, aku mengangsur langkah menuju tempat belajar agama. Tidak ada payung warna-warni seperti biasanya, tidak ada canda teman-temanku, juga alpa dari kesombongan memamerkan kecantikan tubuh payung. Jalan aku pijak seorang diri, kubiarkan tempias hujan menusuk pori kain yang membalut auratku. Dalam hati aku ingin sekali menjerit, kemanakah teman-temanku pergi? Sedang apakah jika mereka berada di rumah?

Aku tidak pernah tahu apa yang dilakukan teman-teman seusiaku waktu itu. Intinya pada hari selanjutnya jalan menuju tempat mengaji tetaplah lapang sementara hujan berubah menjadi gerimis tipis yang menyerbuk pelan-pelan dari langit. Sampai di tubuh April ketika kemarau malu-malu menyapa Indonesia, aku dapati foto-foto seorang anak kecil bercelana kedodoran memakai sendal jepit, berpecis hitam miring, terakhir membawa payung hitam, menari-nari di layar ponsel milik teman. Kata temanku dia memotretku diam-diam sewaktu aku melintasi jalan di depan rumahnya. Bangku kelasku mendadak rimbun dengan permainan game. Tiada lagi yang berkenan mengenang keindahan payung penuh warna masa itu. Aku sosok anak kecil yang terakhir bermain dengan hujan berpayung hitam.

Magelang, 2 Desember 2024. 


Ilustrasi Gambar : Pixabay.com

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Refaleo
Ndiejpank
Novel
Rania & Renjana
katalinial
Novel
Bronze
I am Watching You
Wuri
Skrip Film
KAMULAH SURGAKU (SCRIPT)
Alwinn
Skrip Film
Selangkah Maju (Script)
Yaraa
Cerpen
Bronze
Sometimes Not Lucky Wasn't Really Bad
Herumawan Prasetyo Adhie
Cerpen
Payung Hitam
Titin Widyawati
Novel
Dua Sisi
Johanes Gurning
Komik
Sad neighbor
awin anugra arif
Skrip Film
Singgah tak Sungguh
Oktaviona Bunga Asmara
Cerpen
Bronze
Temu Sahabat Kecil Lewat Layar Gengam
Lilis Alfina Suryaningsih
Novel
CYNTIA
Jessy Margaret
Novel
Sampai Jumpa Besok
Rafael Yanuar
Cerpen
Hati
Foggy FF
Novel
Bronze
Perempuan di Balik Teralis Kaca
Servita Rachma
Rekomendasi
Cerpen
Bronze
Alasan Tuhan!
Titin Widyawati
Cerpen
Payung Hitam
Titin Widyawati
Novel
Dewa
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Sebuah Sampah
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Kematian Saudara Kembar
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Surat
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Gagal Sembunyi
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Atap
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Suara-suara Aneh
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Pindah Chanel
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Pemerkosa Akal
Titin Widyawati