Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di depan Candi Rorojonggrang aku berdiri, memainkan lubang-lubang kecil yang ukurannya menyerupai persegi lima, atau mungkin itu adalah gambar berlian. Arsitektur Budha yang mempesona.
Sekeliling terasa panas, namun payung mampu membuatku bertahan menatap lama-lama putri tercantik itu, hidungnya, matanya, bibirnya, serta jari tangannya yang retak tertelan ratusan tahun lalu. Ia benar-benar seonggok batu hitam tak bernyawa.
“Hai, patung! Benarkah dulu kau seorang putri cantik? Lantas siapakah yang mengutukmu? Aku dengar seorang pemuda bernama Bandung, ya?” Aku tertawa. Putri cantik itu tak bisa menjawab. Ia membisu, kaku. Tentu! Ia hanyalah seonggok batu.
“Nak, dia dulu pernah hidup. Cantik. Menjadi rebutan." Entah dari mana wanita itu datang, menciptakan remang pada bulu tengkukku.
Wanita itu sangat anggun dengan kebaya putih, kain songket, dan sanggul berbunga melati.
“Kau tahu? Dulu seluruh lelaki jatuh cinta bila melihatnya.”
“Bagaimana Ibu tahu?”
“Mari aku ceritakan.”
Aku tak berani bertanya lebih dulu. Ia mengajakku duduk di teras dekat Candi Syiwa, ukurannya yang tinggi mampu membelakangi matahari, setidaknya ini cukup redup menghalangi terik.
“Jangan kau tanyakan tentang Bandung Bondowoso padanya. Karena ia akan marah.” Aku menatapnya tak mengerti, wanita itu lantas tertawa lembut. Ia meneruskan.
“Saat itu ia masih belia seusiamu, kecantikannya menjadi buah bibir di Pulau Jawa. Para pangeran dari banyak kerajaan begitu bermimpi memperistrinya, hanya saja ayahnya Prabu Baka terkenal sangat angkuh dan sombong, juga terkenal sangat Jahat.. Mereka hanya mampu memimpikan Rorojonggrang, tanpa berani mempersuntingnya.
Nak, bagaimanapun seorang ayah, Ia begitu mencintai anak gadisnya. Begitulah Rorojonggrang tumbuh dengan cinta kasih sang ayah, ia akan membenci orang-orang yang membicarakan keburukan tentang ayahnya.
Orang-orang dan sejarah akan selalu mengingat Prabu Baka sebagai raja yang jahat.
Tapi, tak pernah tahu ketika ia menaruh putrinya di atas pundak, lantas bermain dengannya. Tak pernah tahu ketika Prabu Baka selalu menghawatirkan keselamatan Rorojonggrang, dan mengusahakan segala yang terbaik untuknya."
Wanita itu terdiam, tatapnya nanar, memandang kekosongan.
"Sedangkan.. Bandung adalah pemuda yang tampan, keberanian dan ketampanannya membuat seluruh putri di pulau Jawa ini tergila-gila padanya. Tak heran bila Rorojonggrang pernah mendengar tentangnya, siapa tahu gadis itu juga pernah berbisik tentang Bandung dengan gadis-gadis yang lain.”
Bisa jadi, kataku. Tak ada yang tahu kebenarannya. Wanita itu lantas meneruskan.
“Lantas saat Bandung terdengar tiba di kerajaannya, Rorojonggrang pasti berdegup sekali, bisa jadi ia merasa Bandung datang untuk mempersuntingnya, tak ada seorang gadis yang tak salah tingkah bila berada di posisi seperti itu, apalagi gadis yang hakikatnya hanya manusia biasa seperti Rorojonggrang...
Apa yang akan dilakukan seorang gadis pada umumnya? Tentu ia akan mengunci diri di kamar, menatap lama-lama wajahnya di depan cermin, dan memastikan segalanya terlihat cantik."
Wanita itu tersenyum padaku, mengangguk mantap, seolah meyakinkan bahwa dongengan itu benar-benar pernah terjadi.
"Tapi praduga dalam jiwa mudanya hanya sesaat. Seorang prajurit datang mengabarkan bahwa ayahnya sedang bertarung di alun-alun Kutaraja, dengan pemuda bernama Bandung Bondowoso.
Saat itu Rorojonggrang hanya bisa menangis, memohon pada Dewata agar melindungi ayahnya.
.... Begitu lama pertarungan sengit itu terjadi. Ia lelah dalam penantian, lelah dalam pengharapan.
Dan ketika waktu itu tiba, ayahnya, Prabu Baka gugur. Mati terbunuh oleh Bandung Bondowoso."
Aku tersirap, dongeng ini sudah lama ku kenal, sudah sejak dulu ku ketahui jalan kisahnya. Tapi entah mengapa ketika mendengar dari wanita ini, seolah tabir bayangan membentuk penglihatan, aku ikut serta merasakannya, menyaksikannya.
"Kau bisa bayangkan saat Rorojonggrang berlari berhambur memeluk ayahnya yang telah mati? keadaannya begitu kacau, namun angin meniupkan benih asmara pada Bandung Bondowoso. Dan saat itu lah segalanya terjadi.”
“Tentang seribu candi?” Tanyaku.
“Ya.”
"Mengapa Rorojonggrang harus memberikan syarat itu? Sedangkan ia bisa saja menolak." Wanita itu terdiam sejenak, matanya terlihat redup, aroma rumput kering tertiup angin, terbang merasuk dalam penciuman.
"Itu adalah cara Rorojonggrang menolaknya, Nak. Siapa yang mampu membuat seribu candi dalam satu malam? Maka bila Bandung Bondowoso memahami akan hal itu, ia akan pergi." Ia terdiam sejenak.
"Tapi siapa sangka, bahwa pemuda itu justru menyanggupi?"
"Dan dia berlaku curang."
"Hanya dengan dua tangan, tidak akan bisa manusia membangun candi megah dalam satu malam. Maka ia berlaku curang, demi mendapatkan Rorojonggrang."
"Seharusnya Rorojonggrang merasa senang, ia telah dirayakan. Menurutku.. Kalau Bandung datang sebagai pemenang, ia bisa saja menuntut tanpa mendengarkan."
"Itu bukan perayaan, tapi keangkuhan. Bandung Bondowoso sedang menunjukkan kekuasaan, bukan hanya pada manusia, tapi juga pada alam yang lainnya."
Tetap saja, gerutuku. Bila ia menurunkan ego, segalanya tidak akan terjadi. Bukankah sejak awal Rorojonggrang sudah jatuh hati?
“Bila Rorojonggrang tak keras kepala, bisakah keduanya menikah?”
“Dia tidak keras kepala, Nak. Itu lah Kewajiban seorang perempuan yang menjaga kehormatan ayah dan negerinya. Sebetulnya kematian jauh lebih ia idamkan ketimbang menyerahkan diri pada musuh, itu khianat namanya.
Lihatlah patung itu, bila ia bisa bicara tentu ia ingin terkubur, atau lebur dan hancur berkeping-keping. Tak ada yang ingin diawetkan, apalagi sebagai seonggok arca yang tak bernyawa.”
Wanita itu menahan tangis, matanya berkaca-kaca. Cukup lama aku terdiam, namun rasa penasaran membuatku bertanya lagi padanya.
“Tapi Ibu belum menjawab pertanyaanku, bisakah keduanya menikah?”
“Tak ada alasan untuk tidak menikah, bagi kedua orang yang saling menyukai.”
Aku menatap patung itu dari jarak yang cukup jauh, kasihan putri cantik itu, tentu ia menderita. Selama patung itu ada, orang akan terus mengenalinya sebagai Rorojonggrang, yang dikutuk Bandung Bondowoso, dengan berbagai macam sudut pandang.
Bukan tanpa alasan Rorojonggrang menolak Bandung, bila bukan ayahnya mati di tangan Bandung, tentu putri cantik itu dengan senang hati menerima lamarannya, tanpa syarat yang tak akan mungkin dikerjakan. Kasihan sekali kau putri cantik.
“Apakah cerita itu benar-benar terjadi, Bu?”
Saat itu wanita yang ku panggil ibu tak menjawab lagi, justru Ia menarik tanganku dengan keras, mengajakku berlari sejauh mungkin.
Percayalah saat itu bumi bergoyang dengan dahsyat, tanah bergetar, orang-orang berteriak menyelamatkan diri.
Aku tak ingat apa-apa lagi, segalanya terasa gelap, yang ku ingat tangan ini terus menggenggam tangannya, yang mungkin telah terkapar tewas di sampingku, oleh reruntuhan terakhir dari Candi Syiwa yang mengubur kami.
****
Sabtu, 27 Mei 2006
Gempa Bumi telah memporak-porandakan Daerah Istimewa Yogyakarta. Gempa yang berkekuatan 6,3 SR. telah menewaskan lebih dari 5800 nyawa, dan lebih dari 37.000 orang luka-luka.
Dan... Salah satu yang masih hidup adalah aku, petugas menemukanku masih bernyawa, tertimbun reruntuhan candi di komplek Candi Prambanan, dengan tangan yang menggenggam erat Patung Rorojonggrang.