Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Patrick Star
3
Suka
221
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Patrick Star

Oleh Cléa Rivenhart

In time Mei-Juni 2025

Seorang anak lelaki, Liam, tumbuh dalam hinaan yang terus-menerus: bodoh, tidak berguna, tidak layak dipertimbangkan. Dunia seperti tak punya ruang untuknya—kecuali sudut-sudut gelap tempat dia bisa menghindar.

Sampai suatu hari, dia bertemu seorang gadis yang berbicara tentang makhluk yang bahkan hidup tanpa otak. “Tuhan memiliki misi lain untuknya,” kata gadis itu. “Dan alam masih menyimpannya rapat-rapat. Sampai waktu yang tepat tiba, dan perannya terungkap.”

Sebuah pesan sederhana, namun seperti karang, lambat tapi kuat mengikis ketakutan Liam.

***

“Kenapa kau bawa aku kemari?” tanya Liam pelan, matanya menyipit menahan silau matahari. Angin pantai mengibaskan ujung hoodie hitamnya.

“Untuk menemui seseorang yang sama sepertimu,” jawab Merry, matanya bersinar seperti tahu sesuatu yang tak Liam ketahui.

Liam menoleh ke sekeliling. Pasir putih terbentang, dan suara ombak mengaum tenang. “Tak ada orang di sini, selain kita.”

“Oh, kau memang bodoh seperti Patrick Star,” kata Merry sambil tersenyum mengejek.

Liam mendengus. “Dia tidak bodoh. Dia hanya... tidak peduli pada hal-hal yang tidak disukainya.”

“Dia malas, dan dia sadar itu.”

“Kalau ke sini hanya untuk memojokkanku, maka aku selesai denganmu.”

Merry tidak menjawab. Ia justru mengulurkan tangan, dan tanpa memberi Liam kesempatan menolak, menariknya pelan.

“Kapan kita memulai, kalau kau bahkan belum bertemu dengannya?” katanya sambil berjalan. Langkahnya ringan, seolah membawa rahasia yang menyenangkan.

Pria berjaket hoodie hitam itu berjalan terseret, seperti anak kecil yang sedang merajuk pada ibunya. Tapi pipinya mulai bersemu—bukan karena panas matahari, melainkan malu yang mendesak dari dalam. Tangannya digandeng oleh gadis cantik dari sekolah yang selama ini hanya dilihatnya dari jauh. Dan sekarang, mereka mencari bintang laut bersama di pinggir pantai.

***

Pasir menyusup di antara jemari kaki mereka. Debur ombak mengiringi langkah-langkah yang perlahan menjadi ritmis. Merry sesekali menunduk, memandangi batu karang dan pecahan cangkang, mencari “Patrick” di antara terumbu yang surut.

Tapi kemudian dia berhenti. Tangannya terasa aneh—terlalu ringan. Seperti menggandeng seutas benang yang siap terputus.

“Liam?” tanyanya. Tidak ada jawaban.

Dia menoleh. Liam masih berjalan, tapi wajahnya hening, seolah larut dalam sesuatu yang tak bisa disentuh kata.

“Ada apa denganmu?” seru Merry, lalu melepaskan tangan Liam dengan kasar. Suara benturan itu terdengar kering.

Dia diam. Seribu kata menumpuk, tapi tak ada yang lolos.

“Aku benci tatapan itu!” kata Merry, nadanya meninggi. “Dan kenapa pipimu kebakaran? Aku yakin itu bukan karena matahari!”

Liam tersenyum. Tipis. Manis. Menyebalkan.

“Sebenarnya... apa yang sedang kita cari?” tanyanya akhirnya, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.

“Kembaranmu, oh Liam. Aku mohon, jangan pikirkan hal lain selain pemahaman praktis yang akan aku ceritakan padamu.”

“Tidak. Teruskan saja. Aku tidak lagi marah sekarang, sama sekali tidak masalah.” Ucapnya lembut, tapi tatapannya menusuk. Menjerat. Mengikat. Seolah mendorong Merry ke dinding tak terlihat, membisikkan sesuatu yang menjijikkan dengan nada tak terucap.

“Aku tahu tak ada siapa-siapa di sini selain kita. Tapi itu bukan berarti—”

“Bukan berarti?” potong Liam dengan senyum penuh makna.

Merry bergidik. Hati kecilnya terjungkal. Nalurinya mengusirnya jauh dari tempat itu.

Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan berlari.

“Kau tunggu di sini!” teriaknya sambil menjejak pasir. “Biar aku cari sendiri!”

***

Beberapa puluh menit kemudian, Liam hanya mengarsir pasir dengan kakinya. Menunggu. Lalu terdengar suara teriakan dari jauh:

“Liaaaam!”

Mata Liam langsung terbuka penuh, tubuhnya melesat seperti bulu yang disibak angin. Nafasnya terengah ketika sampai dan melihat moluska pink bertentakel kecil menggeliat di tangan Merry.

“Letakkan. Jangan ganggu dia,” ujar Liam. Dingin, seperti menahan kemarahan. “Sekarang aku tahu apa yang kamu maksud.”

“Maksudku apa?”

“Aku tak perlu menjelaskannya. Tapi itu sudah tak penting sekarang. Karena ada hal lain yang lebih penting.”

“Liam, jangan mulai. Aku masih trauma dengan yang tadi… saat kau mengelus tanganku. Itu membuat tubuhku seperti kena lonjakan listrik aneh.”

“Ya, aku juga merasakannya,” jawab Liam, matanya terpaku pada mata hijau Merry.

“Liam...”

“Maaf.” Liam menunduk, tahu apa yang akan dikatakan Merry.

“Liam, tidak semua harus berakhir romantis. Tidak semua harus menjadi pasangan. Aku hanya ingin membantumu.”

“Ya. Aku tahu. Aku hanya terlalu polos mengartikan semuanya.”

“Liam.”

Pria kurus itu masih menunduk, menatap kakinya yang tenggelam timbul dalam pasir lempung.

“Liam.” Merry memanggilnya sekali lagi. “Aku tidak akan kasihan padamu. Jadi berhenti membuat wajah melas itu.”

“Ya,” ucap Liam pelan.

Ia menatap Merry. Tak ada binar cahaya dalam matanya. Hanya reruntuhan jiwa dan tatapan yang meredup.

Merry mendesah. Ia muak—tapi tidak bisa menolak isi hatinya sendiri. Tujuannya membantu Liam bukan semata karena simpati. Tapi karena Merry terlalu perfeksionis—dan ingin menjadikannya sebagai versi terbaik dari dirinya sendiri. Mungkin… bahkan sebagai kandidat penerima hatinya suatu hari nanti.

Dia melangkah mendekat. Menyentuh wajah Liam. Lalu memalingkan pandangannya ke arah laut. Dielusnya pipi itu pelan. Liam memejamkan mata, larut dalam belaian yang selaras dengan angin laut yang menyapu wajahnya.

Ia mendekatkan wajah, menyentuhkan hidung dan bibir ke pipi Merry. Lembut. Tanpa benar-benar mencium.

“Aku hanya ingin kau sadar bahwa kau berharga. Bahwa Tuhan berharap kau memainkan peranmu dengan benar, tanpa membuat-Nya malu,” bisik Merry, pipinya terasa hangat, tersentuh desir angin dan desir darah yang saling mengejutkan.

“Jangan khawatir. Aku tidak akan membuat-Nya malu. Bahkan akan membuatmu hidup… lebih lama lagi.” Liam menarik nafas. “Aku hanya salah tempat. Aku terlalu sibuk mengiyakan semua orang, berharap mereka akan menerima setelah aku membuat mereka bahagia. Tapi ternyata rasa terima kasih saja tidak cukup. Mereka meminta lebih. Mereka mendikte. Mereka... keterlaluan.”

Liam mencium lembut pipi Merry.

Gadis itu menoleh. Menatap matanya—cekung, seperti tokoh hantu dalam animasi Jepang.

“Aku sayang padamu, Liam.”

“Aku tahu,” jawabnya. “Aku bisa melihatnya sekarang. Betapa besar perhatianmu. Sampai kau menyentuh sisi terdalamku. Aku tak perlu bertanya, dan kau pun tak perlu menjawab. Semuanya sudah jelas.”

Dia menghela nafas panjang.

“Seperti yang kau ucapkan... bintang laut sudah memiliki waktunya. Begitu juga denganku. Kini, aku hanya ingin satu hal—meminta waktumu. Sedikit saja. Untuk bersabar. Sebentar lagi... aku akan mengakhiri hibernasi ini.”

Merry berdiri di hadapannya, angin laut meniupkan ujung dress putih gading yang ia kenakan—ringan dan anggun, menyapu lutut dengan lembut. Cahaya matahari sore membias dari permukaan laut, memantul pada rambutnya yang cokelat madu, menciptakan siluet yang nyaris suci.

Liam meraih tangannya. Tak ada kata. Hanya bisikan alam dan desir napas mereka yang mengisi udara. Ia mendekat. Ciuman itu pun terjadi—hangat, lembut, dan penuh kasih. Bukan sekadar ciuman remaja yang meledak oleh rasa penasaran, tapi seperti doa yang diam-diam dipanjatkan lewat sentuhan. Murni. Tak ternoda oleh hasrat.

Mereka berdiri diam beberapa saat. Ombak berkejaran di balik tubuh mereka. Langit mulai berwarna jingga, dan burung camar terbang melintasi cakrawala. Tak ada suara, tak ada tepuk tangan. Tapi dunia, untuk sesaat, berhenti agar mereka bisa merasakan keajaiban kecil itu tanpa gangguan.

Di kejauhan, seekor bintang laut terbawa ombak, lalu kembali ke pasir—meninggalkan jejak kecil yang segera dihapus air. Tapi Liam melihatnya. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia tersenyum karena merasa serupa. Bukan karena dia bodoh, tapi karena akhirnya tahu: dia pun punya arti, jika waktunya tiba.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Smart Bad Girl
Desi Restiana A
Novel
Bronze
Sinar untuk Genta
Rika Kurnia
Komik
(un)promise
kennicchi
Skrip Film
KISAH ALIF
Nafika Riyanti
Skrip Film
Rise
Annida Yasti Sari
Skrip Film
Rainbow In My Love
ArsheilaW
Flash
Mantan yang tak Pernah Pergi
Mario Matutu
Flash
Lara
Vitri Dwi Mantik
Cerpen
Bronze
Ice Cream Rasa Yang Pernah Ada Namun di Sia-siakan
Haidee
Cerpen
Bronze
Sebelum Aku Pulang
WN Nirwan
Cerpen
Patrick Star
Cléa Rivenhart
Skrip Film
Yang Hilang
Sholichatun Nisa
Flash
Penari Topeng
Nunik Farida
Cerpen
Bronze
Payung Hitam
Titin Widyawati
Novel
CINTA TERHALANG KRISMON
Lirin Kartini
Rekomendasi
Cerpen
Patrick Star
Cléa Rivenhart
Cerpen
Saat Sedang Basah-basahnya
Cléa Rivenhart
Flash
Sarang Tupai
Cléa Rivenhart
Cerpen
Zaman Membara
Cléa Rivenhart
Cerpen
Telaga Cermin
Cléa Rivenhart