Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
PATAH HATI DI UJUNG ADAT
3
Suka
1,425
Dibaca

Senja Yogyakarta kala itu selalu menyimpan janji, setidaknya, begitulah yang dulu kurasakan. Udara hangat yang membelai kulit, aroma melati dari halaman tetangga, dan deru motor yang sayup-sayup terdengar dari kejauhan, semua terasa seperti melodi sempurna untuk kisah cinta kami. Hari itu, aku ingat betul, adalah salah satu hari terbaik dalam hidupku. Hari ketika semua impian seolah tinggal selangkah lagi dari kenyataan.

Aku duduk di teras rumah di Sleman, menatap taman mungil yang sudah kupersiapkan untuk masa depan. Kebun mini dengan bunga mawar yang mulai mekar, sengaja kutanam untuk Rianti. Dia suka warna merah muda, seperti pipinya kalau sedang tersipu. Rasanya baru kemarin kami bertemu di kampus, bertukar pandang di tengah keramaian ospek, dan kini, dua tahun sudah kami mengukir cerita. Dua tahun yang penuh tawa, janji, dan keyakinan. Aku yakin Rianti adalah perempuan yang akan menemaniku hingga hari tua. Dia adalah bagian dari masa depanku yang kubangun di kota pelajar.

Siang itu, Rianti akan datang. Kencan spesial. Bukan sekadar makan di kafe atau nonton bioskop, tapi makan siang di rumah, bertemu orang tuaku. Sebuah langkah besar, langkah yang secara implisit berarti "serius". Aku menata rambut di depan cermin, memastikan kemeja batikku tidak kusut. Di meja makan, Mama sudah menyiapkan gudeg kesukaanku dan Papa. Aroma nangka muda yang dimasak berjam-jam itu mengisi setiap sudut rumah, memelukku dengan kehangatan khas keluarga Jawa.

"Joe, sudah siap? Rianti mau datang," suara Mama mengalun lembut dari dapur.

Aku tersenyum, "Siap, Ma. Sudah rapi, wangi, pokoknya calon mantu idaman!"

Mama tertawa kecil. Sejak dulu, Mama memang menyukai Rianti. Gadis Lombok dengan senyum manis dan tutur kata sopan. Rianti punya cara unik untuk menaklukkan hati siapa saja, termasuk Mama dan Papa yang awalnya skeptis dengan hubungan beda budaya. Tapi Rianti, dengan segala pesonanya, berhasil membuktikan bahwa cinta tak mengenal batas itu.

Tak lama kemudian, sebuah taksi berhenti di depan gerbang. Jantungku berdebar. Aku bergegas membuka pintu, dan di sana, Rianti berdiri anggun dalam balutan kebaya modern berwarna hijau pastel. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya dipoles tipis, menonjolkan kecantikan alaminya. Senyumnya merekah, membuat mataku ikut tersenyum.

"Hai, Joe," sapanya, suaranya selembut sutra.

"Hai, Sayang. Cantik sekali kamu hari ini," pujiku tulus. Aku meraih tangannya, merasakan kehangatan yang familiar.

Kami masuk ke dalam rumah. Rianti menyalami Mama dan Papa dengan cium tangan yang sopan. "Selamat siang, Tante, Om," katanya dengan nada hormat. Mama langsung memeluknya erat, seolah Rianti sudah menjadi putrinya sendiri. Papa, meskipun lebih pendiam, menunjukkan senyum tipis yang berarti persetujuan.

Suasana makan siang berlangsung hangat. Rianti bercerita tentang kuliahnya, tentang rencananya setelah lulus, dan sesekali melempar candaan yang membuat Papa tertawa. Aku melihat kebahagiaan terpancar di wajah orang tuaku. Melihat Rianti duduk di antara mereka, beradaptasi dengan obrolan ringan tentang tanaman hias dan resep masakan, hatiku dipenuhi kelegaan. Ya, dia memang yang terbaik. Dia bisa menyatu dengan keluargaku, yang berarti dia akan menjadi bagian utuh dari kehidupanku.

Di tengah obrolan, Mama tiba-tiba teringat sesuatu. "Oh iya, Rianti. Kamu kan sebentar lagi mau pulang ke Lombok ya untuk liburan semester?"

Rianti mengangguk. "Iya, Tante. Minggu depan."

"Wah, kebetulan sekali! Tante suka sekali perhiasan mutiara. Kalau kamu ke sana, coba carikan mutiara yang cantik ya? Yang asli Lombok, pasti bagus." Mama menatap Rianti dengan mata berbinar.

Rianti tersenyum. "Siap, Tante. Nanti Rianti coba cari yang paling bagus untuk Tante."

Akumenyela, "Mama ini, belum juga sampai sana sudah titip-titip."

"Biarin saja, sekali-kali. Mumpung ada calon mantu," goda Mama, membuat Rianti tersipu.

Aku hanya bisa tersenyum menatapnya. Calon mantu. Kata-kata itu terasa begitu nyata, begitu dekat. Setelah makan siang, kami duduk di teras sambil menikmati teh dan kue. Rianti menggandeng tanganku, jemarinya terasa pas dalam genggamanku.

"Aku senang Mama dan Papa suka kamu," bisikku.

Rianti menyandarkan kepalanya di bahuku. "Aku juga senang bisa diterima di sini, Joe. Rasanya... seperti rumah kedua."

Hatiku menghangat mendengar kalimatnya. Aku sudah membayangkan masa depan kami. Sebuah rumah kecil di Jogja, dengan taman mawar dan aroma gudeg. Aku akan bekerja sebagai dosen, dia mungkin melanjutkan profesinya. Malam hari, kami akan duduk di teras, seperti ini, berbagi cerita tentang hari yang telah berlalu. Hidup kami akan sederhana, tapi penuh cinta dan kebahagiaan. Mimpi itu terasa begitu dekat, hampir bisa kuraih.

***

Perpisahan di bandara selalu meninggalkan gumpalan aneh di dada. Bukan sedih yang melumpuhkan, tapi lebih ke rasa hampa, seperti ada bagian diriku yang ikut terbang pergi. Hari itu, Bandara Internasional Yogyakarta dipenuhi hiruk pikuk khas musim liburan. Ratusan orang, koper-koper besar, dan pengumuman penerbangan yang bergema di setiap sudut. Tapi yang paling kuingat dari semua itu adalah genggaman tangan Rianti yang terasa begitu erat saat kami berjalan menuju pintu keberangkatan.

"Hati-hati ya di sana, Sayang," kataku, mencoba menyembunyikan nada rinduku yang sebenarnya sudah menguar.

Rianti menatapku dengan mata berbinar. Ada keraguan kecil yang samar-samar terlihat di sana, seperti riak di permukaan air. Tapi ia segera menghilang, digantikan senyum manis yang kukenal. "Pasti, Joe. Kamu juga hati-hati di Jogja. Jangan lupa makan teratur, jangan sampai sakit."

Dia adalah sosok yang selalu peduli pada detail-detail kecil dalam hidupku. Mengingatkanku untuk sarapan, untuk tidak begadang terlalu sering, untuk menjaga kesehatan. Perhatiannya adalah salah satu hal yang membuatku semakin yakin akan dirinya.

"Nanti kalau sudah sampai Lombok, langsung kabari ya," pintaku.

"Iya, pasti. Nanti langsung aku telepon kalau sudah sampai."

Kami berpelukan. Aroma parfumnya yang lembut meresap ke dalam kemejaku, seolah ingin meninggalkan jejaknya agar aku tak melupakannya. Padahal, mana mungkin aku melupakannya? Rianti sudah terukir begitu dalam di setiap sudut hatiku. Aku mencium keningnya, sebuah ciuman perpisahan yang terasa seperti janji akan pertemuan kembali.

"Aku akan merindukanmu," bisikku.

"Aku juga, Joe. Banyak sekali."

Dia melepaskan pelukan, lalu melambaikan tangan dengan senyum yang dipaksakan. Aku berdiri di balik pembatas, menatap punggungnya yang menjauh, perlahan menghilang di kerumunan penumpang. Ada sedikit gejolak aneh di dalam hatiku saat itu, firasat yang tak bisa kujelaskan. Tapi aku mengabaikannya. Ini hanya rindu, pikirku. Rindu yang akan segera terobati saat kami bertemu lagi.

Aku kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Hampa, tapi juga penuh harap. Aku sudah mulai memimpikan momen di mana aku akan mengunjunginya di Lombok, bertemu keluarganya, dan secara resmi meminta restu mereka. Aku ingin melihat rumahnya, melihat tempat ia tumbuh dewasa, dan memahami lebih banyak tentang dunianya. Ini akan menjadi langkah selanjutnya dalam hubungan kami, sebuah langkah yang akan membawa kami lebih dekat ke gerbang pernikahan. Aku bahkan sudah mulai merencanakan liburan *backpacker* ke Lombok, membayangkan petualangan kami di sana. Ah, rasanya tak sabar.

***

Satu hari berlalu. Dua hari. Lalu tiga.

Rianti tidak menghubungi.

Awalnya, aku tidak terlalu khawatir. Mungkin dia sibuk dengan keluarga, atau sinyal di kampungnya memang susah. Aku mengiriminya pesan singkat, sekadar menanyakan kabar. "Hai, Sayang. Sudah sampai dengan selamat? Aku kangen." Tidak ada balasan. Aku mencoba menghubunginya, tapi teleponnya mati.

Aku menunggu. Dan menunggu.

Setelah tiga hari, sebuah pesan masuk. Dari Rianti. Hatiku langsung melonjak.

"Hai, Joe. Maaf ya baru bisa kabari. Sinyal di sini memang susah. Aku sudah sampai, aman. Maaf juga baru bisa balas, sibuk bantuin Ibu di rumah. Nanti aku telepon ya kalau ada waktu."

Nada pesannya terasa agak datar, tidak seperti Rianti biasanya. Tapi aku mencoba berpikir positif. Mungkin dia memang lelah. Aku membalas, "Syukurlah kamu sudah sampai. Aku khawatir sekali. Aku tunggu teleponmu ya."

Telepon itu tak kunjung datang.

Beberapa hari kemudian, ia mengirim pesan lagi. "Joe, aku izin ya, teman SMA ngajak reuni. Sudah lama sekali tidak ketemu mereka."

Aku mengizinkan, tentu saja. Aku percaya padanya. Percaya sepenuhnya.

Setelah pesan itu, Rianti menghilang.

Total.

Dua minggu. Dua minggu tanpa kabar, tanpa jejak. Teleponnya mati. Pesan-pesanku tidak dibalas. WhatsApp-nya tidak aktif. Akun media sosialnya senyap. Rasa panik mulai merayapi setiap sudut hatiku. Apa yang terjadi? Apakah dia baik-baik saja? Apakah terjadi sesuatu padanya? Seribu pertanyaan berkelebat, menancap di kepalaku seperti jarum-jarum kecil.

Aku mencoba menghubungi teman-teman dekat Rianti, tapi tidak ada yang tahu. Mereka juga sama-sama khawatir. Rasa cemas berubah menjadi kegelisahan yang menyiksa. Malam-malamku dipenuhi bayangan buruk. Tidurku tak nyenyak, makan pun tak nafsu. Mama dan Papa mulai menyadari perubahanku.

"Joe, kamu kenapa? Wajahmu pucat sekali," tanya Mama suatu sore, saat aku hanya mengaduk-aduk nasi di piringku.

"Rianti, Ma. Dia... menghilang. Tidak ada kabar sama sekali," ucapku, suaraku tercekat.

Mama menatapku dengan tatapan khawatir. "Sudah coba hubungi keluarganya?"

"Belum, Ma. Aku... tidak punya nomor telepon orang tuanya yang lain. Hanya Rianti yang punya kontak keluarganya," jawabku, merasa bodoh dan tidak berdaya.

Keputusasaan memuncak. Aku merasa seperti ada lubang hitam di dadaku, menghisap semua kebahagiaan yang pernah ada. Ketakutan itu nyata. Takut bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Atau lebih buruk, takut bahwa Rianti sengaja menghilang. Tapi mengapa? Mengapa dia melakukan ini padaku, pada kami?

***

Dua setengah minggu. Waktu terasa lambat seperti tetesan air yang jatuh dari keran bocor. Setiap tetes membawa beban kecemasan yang semakin berat. Aku sudah mencari cara apa pun untuk menghubungi Rianti. Teman-teman, kenalan, bahkan mencari jejak di media sosial yang mungkin bisa mengarah ke keluarganya. Hampir putus asa, aku teringat sesuatu. Ada teman Rianti di kampus yang berasal dari Lombok juga. Namanya Rina.

Aku menemui Rina di perpustakaan kampus. Gadis itu terkejut melihatku dengan wajah semrawut dan mata bengkak.

"Rina, maaf mengganggu. Aku... aku ingin bertanya tentang Rianti," kataku, suaraku serak.

Rina terlihat gugup. "Rianti? Ada apa, Joe?"

"Dia menghilang, Rina. Tidak ada kabar. Aku sangat khawatir. Kamu tahu nomor telepon orang tuanya? Atau alamat rumahnya di Lombok?"

Rina terdiam, menunduk. "Aku... aku tidak begitu tahu, Joe. Aku hanya tahu dia di Lombok Timur. Tapi nomor telepon, aku tidak punya."

Ada sesuatu dalam tatapan Rina yang membuatku curiga. Sesuatu yang tersembunyi. Tapi aku terlalu panik untuk memikirkan itu lebih jauh. Aku memohon padanya untuk mencari informasi, dan dia berjanji akan mencoba.

Beberapa hari kemudian, Rina menghubungiku. "Joe, aku dapat nomor Pak Syahrul, Ayahnya Rianti. Temanku yang lain yang memberitahu."

Aku merasa setitik harapan menyala di tengah kegelapan. Segera kugenggam teleponku, napas tercekat. Nomor itu kutelepon. Sekali, tidak diangkat. Dua kali, tidak diangkat. Ketiga kalinya, sebuah suara berat akhirnya menjawab.

"Assalamualaikum," sapaku, jantungku berdegup kencang.

"Waalaikumsalam. Dengan siapa ini?" suara pria di seberang terdengar serak, ada nada lelah di sana.

"Saya Joe, Pak. Teman Rianti. Saya pacarnya, Pak." Aku segera memperkenalkan diri. "Maaf mengganggu, Pak. Saya ingin bertanya tentang Rianti. Dia sudah hampir tiga minggu tidak ada kabar, Pak. Saya khawatir sekali."

Di seberang sana, hening sesaat. Keheningan yang terasa lebih mencekam daripada badai.

"Joe..." suara Pak Syahrul terdengar berat, gugup. "Nak Joe... sebaiknya Nak Joe tidak usah mengharapkan Rianti lagi."

Dunia seolah berhenti berputar. Kata-kata itu, sederhana namun mematikan, menghantamku seperti godam.

"Maksud Bapak?" Aku berusaha agar suaraku tidak bergetar.

"Rianti... dia menghilang. Sejak beberapa minggu lalu. Sekarang sedang kami cari. Nak Joe fokus saja kuliah ya. Jangan hubungi Rianti lagi."

Penjelasan yang tidak jelas. Menghilang? Sedang dicari? Tapi kenapa? Dan kenapa aku tidak boleh mengharapkannya lagi? Apakah itu berarti dia... dia pergi untuk selamanya?

"Tapi, Pak... saya tidak mengerti. Apa yang terjadi?" desakku.

"Sudah, Nak Joe. Lebih baik lupakan saja Rianti."

Dan sambungan terputus.

Aku terpaku, telepon masih menempel di telinga. Udara sore di kamarku terasa dingin menusuk. Kepalaku pening, tubuhku limbung. Menghilang? Sedang dicari? Dan aku harus melupakannya? Apa ini? Apakah Rianti meninggal? Kenapa Pak Syahrul tidak mau menjelaskan? Pukulan itu begitu tiba-tiba, begitu menghancurkan. Harapan terakhirku, setitik harapan untuk bertemu atau setidaknya mendengar suaranya lagi, hancur berkeping-keping. Patah hati ini terasa begitu nyata, begitu perih. Tapi yang paling menyakitkan adalah ketidakjelasan. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan itu membuat duniaku terasa seperti dihantam kegelapan total.

***

Sejak telepon dari Pak Syahrul, hari-hariku di Jogja terasa seperti bayangan. Aku makan, tidur, kuliah, tapi semua kulakukan tanpa jiwa. Setiap pagi, aku berharap ini semua hanya mimpi buruk, bahwa Rianti akan menelepon dan menertawakan kekhawatiranku. Tapi harapan itu tak pernah terwujud. Setiap malam, aku menatap langit-langit kamar, mencoba memahami apa yang terjadi, mencari jawaban yang tak pernah kudapatkan.

Minggu-minggu berlalu dengan langkah gontai. Aku mencoba bangkit, mencoba menerima kenyataan bahwa Rianti telah pergi, entah ke mana, entah mengapa. Aku meyakinkan diriku bahwa mungkin dia memang meninggal, dan keluarganya terlalu berduka untuk memberitahuku detailnya. Itu lebih baik daripada membayangkan dia meninggalkanku begitu saja tanpa sepatah kata pun. Aku berusaha menyibukkan diri dengan kuliah, dengan teman-teman. Tapi setiap sudut kota itu, setiap lagu yang diputar di radio, setiap aroma yang melintas, selalu membawaku kembali pada kenangan tentang Rianti.

Suatu sore, aku pulang dari kampus dengan sepeda motorku. Jalanan di sekitar kampus ramai seperti biasa, mahasiswa lalu-lalang, penjual jajanan sibuk melayani pembeli. Aku memutar kemudi, berniat melewati jalan pintas di depan gedung lama fakultas teknik. Pandanganku kosong, menatap ke depan tanpa fokus.

Lalu, mataku menangkap sesosok yang familiar.

Seorang gadis. Berdiri di depan gerbang gedung fakultas, memegang tas tangan kecil, menunduk.

Rambutnya panjang, tergerai. Pakaiannya sederhana, tapi ada sesuatu yang tak asing.

Jantungku seperti berhenti berdetak. Kurasakan aliran darah mengalir deras di telingaku.

Tidak. Tidak mungkin.

Aku mengucek mata, lalu memperlambat laju motor. Kuarahkan sepeda motorku sedikit mendekat.

Gadis itu mengangkat kepalanya sedikit. Dan di sana, di bawah cahaya sore yang keemasan, aku melihat wajah yang begitu kurindukan, begitu kuharapkan, sekaligus begitu kubenci saat itu.

Rianti.

Dia memang Rianti. Tapi wajahnya pucat, mata cekung, ada lingkaran hitam di bawahnya. Senyum manis yang biasa ia berikan padaku kini tak ada. Digantikan ekspresi kosong, sedih, dan terkejut melihatku.

Aku segera menghentikan motor, memarkirkannya sembarangan. Aku berjalan mendekat, setiap langkah terasa berat, seperti membawa beban seribu ton.

"Rianti?" Suaraku serak.

Dia terkesiap, lalu menunduk lagi, mencoba menghindar dari tatapanku.

"Rianti! Ini aku, Joe!" Aku meraih bahunya.

Dia menepis tanganku perlahan, lalu mundur selangkah. Matanya memancarkan rasa takut, atau mungkin, penyesalan.

"Joe..." bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.

Api amarah, kekecewaan, dan rindu yang bercampur aduk tiba-tiba meledak dalam diriku.

"Kamu ke mana saja?! Kamu menghilang selama berminggu-minggu! Teleponku tidak dibalas, orang tuamu bilang kamu menghilang! Aku khawatir setengah mati! Apa yang sebenarnya terjadi, Rianti?!" Aku tidak bisa menahan suaraku. Beberapa mahasiswa yang lewat menatap kami.

Rianti melihat sekeliling, wajahnya semakin pucat. "Jangan di sini, Joe. Tidak enak dilihat orang."

"Aku tidak peduli! Aku ingin penjelasan!"

"Kumohon, Joe..." Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Kita bicara di tempat lain. Di alun-alun, bagaimana?"

Aku menatapnya tajam, mencoba membaca kebohongan di matanya. Tapi yang kutemukan hanya kesedihan mendalam dan ketakutan. Aku mengangguk kaku. Aku harus mendapatkan jawaban. Jawaban atas kehampaan yang telah ia tinggalkan dalam hidupku.

Kami berjalan menuju Alun-alun Kidul, yang tidak jauh dari kampus. Suasana di sana agak sepi, hanya ada beberapa pasangan yang duduk di bangku taman dan anak-anak bermain bola. Kami memilih bangku di bawah pohon beringin yang rindang. Angin berembus pelan, menerbangkan daun-daun kering. Namun suasana hatiku terasa seperti badai yang baru saja menerjang.

"Sekarang jelaskan, Rianti," kataku, suaraku masih penuh amarah yang tertahan. "Apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu menghilang? Dan kenapa Ayahmu bilang aku tidak boleh mengharapkanmu lagi? Kamu tahu betapa khawatirnya aku? Betapa hancurnya aku?"

Rianti menunduk, memainkan jari-jemarinya yang pucat. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.

"Joe... aku minta maaf," ucapnya lirih. "Aku... aku tidak tahu harus memulai dari mana."

"Mulai saja dari awal. Dari hari kamu pulang ke Lombok," desakku.

Air mata Rianti mulai menetes. "Sejak aku sampai di Lombok, semuanya jadi kacau. Aku tidak bisa menghubungi kamu seperti biasa. Handphone-ku disita sama Bapak. Aku disuruh tetap di rumah, tidak boleh ke mana-mana."

Aku mengernyit. "Disita? Kenapa?"

"Bapak bilang... ada masalah keluarga. Aku tidak begitu paham. Tapi yang jelas, sejak itu, aku tidak bisa keluar rumah. Teman-teman SMA-ku juga dilarang menemuiku. Aku... aku dikurung, Joe."

Tanganku mengepal erat. Ini tidak masuk akal. "Dikurung? Apa maksudnya ini, Rianti?"

Dia mengangkat kepalanya, menatapku dengan mata sembab. "Ada... ada seorang laki-laki. Aldy. Dia teman SMA-ku."

Jantungku mulai berdebar tak karuan. Firasat buruk mulai menggelayuti.

"Aldy... dia datang ke rumah. Dia bilang ingin melamarku. Tapi Bapak dan Ibu tidak setuju. Aldy ini bukan dari keluarga terpandang, Joe. Bukan orang berada."

"Lalu?" Aku mendesaknya.

"Lalu... sehari setelah itu, saat aku sedang di kebun... tiba-tiba Aldy datang bersama beba temannya. Mereka... mereka membawa lari aku."

Kata-kata itu menghantamku seperti bongkahan es. Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar.

"Membawa lari? Apa maksudmu?"

"Merariq, Joe. Itu namanya merariq," katanya, suaranya pecah. "Tradisi di Lombok. Jika seorang pria suka pada seorang gadis dan keluarganya tidak setuju, pria itu akan 'melarikan' gadis tersebut ke rumahnya. Dan setelah itu... keluarga gadis harus menerima lamaran mereka. Jika tidak, akan menjadi aib besar."

Aku menatapnya dengan pandangan kosong. Merariq. Aku pernah dengar tentang tradisi itu, tapi tidak pernah menyangka akan menyentuh hidupku.

"Jadi... kamu... kamu dibawa lari oleh Aldy?"

Rianti mengangguk, air mata membasahi pipinya. "Iya, Joe. Aku dibawa ke rumahnya. Handphone-ku diambil. Aku tidak bisa menghubungi siapa-siapa. Keluargaku mencariku, tapi mereka tahu aku bersama Aldy. Dan setelah beberapa hari, keluarga Aldy datang ke rumahku, secara resmi memberitahu bahwa aku sudah ada di rumah mereka dan ingin dinikahi."

Aku merasakan darahku mendidih. "Tapi kamu tidak mau, kan? Kamu menolaknya, kan?"

Rianti menggeleng lemah. "Aku... aku tidak punya pilihan, Joe. Jika aku menolak, itu akan menjadi aib besar bagi keluargaku. Aku... aku dipaksa menikah. Bapak dan Ibu pun tidak bisa berbuat banyak. Mereka bilang, sudah takdir."

"Tidak! Itu bukan takdir! Itu pemaksaan!" Aku berdiri, tidak sanggup menahan gejolak emosi di dalam diriku. "Kamu menikah dengan Aldy?"

Rianti mengangguk pelan. "Iya, Joe. Aku sudah menikah dengannya secara adat."

Dunia seolah runtuh di kakiku. Semua impian, semua janji, semua masa depan yang telah kubangun bersamanya, hancur berkeping-keping. Dia menikah. Dengan pria lain. Karena sebuah tradisi yang absurd. Ini bukan hanya patah hati, ini adalah kehancuran. Aku menatap Rianti, wajahnya penuh penyesalan, tapi di mataku, dia adalah pengkhianat. Pengkhianat yang telah menghancurkan segalanya.

***

Lututku lemas. Aku terduduk kembali di bangku taman, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Rianti. Menikah. Dia sudah menikah dengan pria lain. Suara orang-orang yang lewat, suara anak-anak yang bermain bola, semua terdengar seperti desingan yang jauh. Hanya suaraku sendiri, dan deru napasku yang berat, yang terdengar nyata.

"Kenapa? Kenapa kamu tidak melawan? Kenapa kamu tidak meneleponku? Kenapa kamu tidak kabur?" Suaraku bergetar, lebih karena kesedihan daripada amarah.

Rianti terisak. "Aku tidak bisa, Joe. Aku tidak punya daya. Handphone-ku diambil, aku tidak diizinkan keluar rumah. Orang tuaku... mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tradisi itu sangat kuat di sana. Merariq itu sudah seperti hukum tak tertulis. Kalau sudah terjadi, tidak bisa ditarik lagi. Mereka bilang, kalau aku melawan, keluargaku akan menanggung malu seumur hidup."

"Tapi bagaimana dengan kita? Bagaimana dengan semua janji kita? Apa itu tidak berarti apa-apa bagimu?" Air mata mulai menggenang di mataku. Aku tak peduli lagi siapa yang melihatku.

"Tentu saja berarti, Joe! Sangat berarti! Aku... aku juga tidak mau semua ini terjadi. Aku mencintaimu, Joe. Aku selalu mencintaimu!"

Kata-kata "aku mencintaimu" yang keluar dari bibirnya terasa seperti duri yang menusuk hatiku. Bagaimana dia bisa mengatakan itu setelah apa yang terjadi?

"Mencintaiku? Lalu kenapa kamu menikah dengan dia?"

"Aku dipaksa, Joe! Aku tidak punya pilihan! Percayalah padaku." Rianti meraih tanganku, mencoba menggenggamnya. Aku menarik tanganku kembali, menolaknya.

"Lalu kenapa kamu ada di sini sekarang? Kenapa kamu kembali ke Jogja?" tanyaku.

"Aku... aku kabur. Setelah beberapa minggu pernikahan itu, aku merasa tidak tahan lagi. Aku tidak mencintai Aldy. Aku terus memikirkanmu. Aku merindukanmu. Aku merasa hidupku tidak berarti tanpa kamu."

Aku menatapnya dengan pandangan kosong. Perasaanku campur aduk. Rasa sakit, kemarahan, tapi juga setitik harapan kecil yang bodoh, berharap semua ini bisa diperbaiki.

"Aku kembali ke Jogja karena aku ingin mencari kamu, Joe," lanjut Rianti, suaranya semakin pilu. "Aku tahu ini gila, tapi aku ingin... aku ingin menggugat cerai Aldy. Aku ingin kembali padamu. Aku hanya ingin bersama kamu, Joe. Kebahagiaanku hanya ada padamu."

Sebuah tawaran. Tawaran yang mengguncang duniaku. Menggugat cerai suaminya? Demi aku?

Otakku memproses informasi itu dengan kecepatan luar biasa. Di satu sisi, hatiku yang remuk redam menjerit untuk menerima. Inilah Rianti-ku. Rianti yang kembali, Rianti yang masih mencintaiku, Rianti yang ingin membangun masa depan bersamaku. Sebuah kesempatan kedua. Kesempatan untuk memperbaiki semua yang telah hancur. Aku bisa saja menerimanya, membawanya kembali, dan melanjutkan mimpi kami.

Tapi di sisi lain, ada suara lain yang berbisik dalam diriku. Suara akal sehat, suara prinsip yang selama ini kutanamkan dalam diriku. Rianti sudah menikah. Dia adalah istri orang. Meskipun pernikahan itu terjadi karena paksaan, ia tetap terikat secara adat dan hukum agama. Jika aku menerimanya, apa bedanya aku dengan Aldy? Merebut istri orang lain. Merusak rumah tangga orang lain. Meskipun rumah tangga itu dibangun di atas fondasi yang rapuh dan tanpa cinta.

Bagaimana dengan orang tuaku? Apa yang akan mereka katakan? Reputasiku, reputasi keluargaku, akan hancur. Aku akan dicap sebagai pria yang tidak bermoral, yang merebut kebahagiaan orang lain. Meskipun kebahagiaan itu, aku merasa, seharusnya memang menjadi milikku. Konflik batin yang hebat berkecamuk di dalam dadaku. Cinta, vs. moral. Keinginan pribadi, vs. integritas. Kebahagiaan semu, vs. kebenaran.

Aku menatap Rianti. Dia menatapku penuh harap, matanya memancarkan kerinduan yang tulus. Kerinduan yang sama yang kurasakan. Aku tahu dia mencintaiku. Aku tahu dia tidak bahagia. Dan aku juga tahu betapa aku menginginkannya kembali. Semua janji, semua mimpi, semua tawa. Mereka berkelebat di benakku, memaksaku untuk berkata "ya".

Namun, aku terdiam. Lidahku kelu. Aku merasakan pertarungan hebat di dalam diriku. Bisikan emosi yang kuat, dan bisikan nurani yang tak kalah kuatnya. Apakah aku akan menjadi egois dan merebut kebahagiaanku kembali, meskipun itu berarti melukai orang lain, meskipun itu berarti melanggar norma? Atau aku akan memilih integritas, meskipun itu berarti harus melepaskan satu-satunya cinta yang kuinginkan? Tawaran Rianti adalah jebakan, sebuah godaan yang sempurna, yang menguji sampai sejauh mana aku akan pergi demi cinta.

***

Matahari mulai condong ke barat, memulas langit Yogyakarta dengan warna jingga dan ungu. Angin sore bertiup lebih kencang, seolah ikut menunggu keputusan yang akan kubuat. Rianti masih menatapku, penuh harap, penuh kerinduan. Aku tahu, hanya dengan satu kata "ya", semua kesedihan kami bisa terhapus. Kami bisa memulai lagi.

Tapi, bisikan hati nuraniku semakin keras. Aku menarik napas dalam-dalam, merasakan udara dingin mengisi paru-paruku. Pikiran tentang Papa dan Mama, tentang nilai-nilai yang mereka tanamkan dalam diriku sejak kecil, berkelebat. Kejujuran. Integritas. Menghormati orang lain. Apakah aku bisa melihat wajah mereka, setelah aku mengambil keputusan yang salah?

Aku menatap Rianti. Wajahnya yang pucat, matanya yang sembab, semua itu membuatku pilu. Aku tahu dia tidak bersalah sepenuhnya. Dia adalah korban dari sebuah tradisi yang kejam. Tapi aku juga tahu bahwa aku tidak bisa membangun kebahagiaanku di atas kehancuran orang lain, di atas kesalahan yang secara moral tidak bisa kubenarkan.

"Rianti..." Suaraku akhirnya keluar, parau dan berat. "Aku... aku tidak bisa."

Dia terkesiap. Wajahnya langsung memudar, seolah semua darah mengalir keluar darinya. "Tidak bisa apa, Joe?"

"Aku tidak bisa menerima tawaranmu untuk menggugat cerai dia demi aku."

Air mata yang baru saja mengering di pipinya kembali mengalir deras. "Kenapa, Joe? Kamu tidak mencintaiku lagi?"

"Bukan begitu, Rianti." Aku menggelengkan kepala, hatiku seperti diremas. Rasa sakit ini, sama perihnya dengan saat aku mendengar dia sudah menikah. "Aku... aku sangat mencintaimu. Percayalah. Tapi aku tidak bisa, Rianti. Kamu sudah menjadi istri orang. Aku tidak bisa merebut istri orang lain. Itu salah. Itu merusak. Aku tidak mau reputasiku, reputasi orang tuaku, hancur karena hal yang tidak bermoral."

Rianti mulai terisak keras. "Tapi aku tidak mencintai dia, Joe! Aku dipaksa! Aku hanya ingin bersamamu!"

"Aku tahu, Rianti. Aku tahu itu. Dan aku sungguh sangat menyesal mendengar semua yang menimpamu." Aku memejamkan mata, mencoba menahan air mata yang mendesak keluar. "Tapi, cinta bukan berarti kita bisa melakukan apa saja, kan? Cinta juga harus punya integritas. Punya moral. Aku tidak bisa menjadi alasan kamu merusak pernikahanmu, meskipun pernikahan itu tidak kamu inginkan. Itu bukan jalanku."

Aku meraih tangannya, kali ini ia tidak menepis. Tapi genggaman itu bukan genggaman cinta yang dulu, melainkan genggaman perpisahan.

"Ini berat sekali, Rianti. Untuk kita berdua. Tapi kita harus mengakhiri semua ini. Kamu harus menghadapi konsekuensi dari apa yang telah terjadi, seberat apa pun itu. Dan aku... aku juga harus melepaskanmu."

Rianti menatapku dengan mata penuh luka. "Jadi, kamu menyerah?"

"Aku tidak menyerah, Rianti. Aku memilih. Aku memilih integritas. Aku memilih untuk tidak merusak. Aku memilih untuk berdamai dengan kenyataan pahit ini." Aku menghela napas, berusaha menguatkan diri. "Mungkin ini takdir kita. Mungkin memang bukan kita yang berjodoh. Meskipun aku sangat berharap kamu adalah takdirku."

Aku menatapnya lurus. "Aku akan selalu mengingatmu, Rianti. Mengingat semua kenangan indah kita. Tapi... ini adalah akhir."

Aku melepaskan genggamannya. Ada jarak yang tak terlihat, namun nyata, terbentang di antara kami. Jarak yang tak akan bisa lagi dijembatani.

"Aku harap kamu bisa menemukan kedamaian, Rianti. Aku harap kamu bisa bahagia, suatu hari nanti."

Aku berdiri. Langkahku terasa berat, sangat berat. Aku harus pergi. Harus mengakhiri ini sebelum aku tergoda untuk membatalkan semua ucapanku.

"Joe..." suara Rianti memanggil.

Aku tidak menoleh. Jika aku menoleh, aku mungkin akan luluh. Dan aku tidak bisa melakukan itu. Aku tidak bisa mengkhianati prinsipku sendiri.

Aku berjalan menjauh, meninggalkan Rianti sendirian di bangku itu. Meninggalkan semua impian, semua janji, semua kebahagiaan yang pernah kami ukir bersama. Meninggalkan sepotong hati yang hancur berkeping-keping. Aku tahu ini adalah keputusan yang paling menyakitkan yang pernah kubuat. Tapi aku juga tahu, ini adalah keputusan yang benar.

Sesampainya di rumah, aku langsung menemui Mama dan Papa. Mereka melihat raut wajahku yang sembab, dan aku tahu mereka sudah bisa menebak ada sesuatu yang sangat buruk terjadi. Dengan suara bergetar, aku menceritakan semuanya. Tentang Rianti, tentang merariq, tentang pernikahannya, dan tentang pertemuanku dengannya sore itu. Mama memelukku erat, air matanya menetes di bahuku. Papa hanya menepuk bahuku perlahan, tatapannya penuh pengertian.

"Kamu sudah melakukan hal yang benar, Nak," kata Papa, suaranya tenang namun mengandung kekuatan. "Berat memang, tapi Papa bangga kamu memilih jalan yang jujur dan berintegritas."

Aku mengangguk, masih terisak dalam pelukan Mama. Aku mungkin telah kehilangan cinta, kehilangan masa depan yang telah kubayangkan. Tapi, aku tidak kehilangan diriku sendiri. Aku tidak kehilangan kehormatanku. Patah hati ini adalah bagian dari proses pendewasaan. Aku harus menerima kehilangan ini, dan belajar untuk melangkah maju dengan kepala tegak. Meskipun berat, aku yakin akan menemukan jalan. Jalan untuk menyembuhkan luka, untuk menemukan diriku kembali, dan untuk membangun kembali mimpi-mimpi yang sempat hancur.

Malam itu, aku menghapus semua kontak Rianti dari ponselku. Menghapus semua foto, semua kenangan digital. Ini adalah awal dari lembaran baru. Lembaran yang kosong, tapi juga penuh dengan kemungkinan yang belum terungkap. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku tidak tahu kapan hatiku akan sembuh sepenuhnya. Tapi aku tahu, bahwa keputusan yang kubuat hari ini, adalah keputusan seorang pria yang telah dewasa. Seorang pria yang mengerti, bahwa terkadang, cinta sejati adalah melepaskan. Dan aku, Joe, telah melakukan itu. Aku telah merelakan ikatan tak terucap yang telah kami rajut, memilih untuk berjalan di jalan yang benar, sendirian. Lalu, apa yang akan terjadi padaku? Bagaimana aku akan menjalani hari-hariku tanpa dirinya? Apakah aku akan mampu melupakan senyum dan tatapannya yang penuh cinta? Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di udara malam, tak terjawab, menunggu waktu untuk memberikan jawabannya sendiri.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
(Un)natural Feeling
Yooni SRi
Cerpen
PATAH HATI DI UJUNG ADAT
ari prasetyaningrum
Novel
Bronze
Renjana (1998)
Riska Gustania
Cerpen
Ayah
ASRUL AZIZ SIGALINGGING
Cerpen
Hessa : Obsession
rhxlle
Novel
Gold
Orang-Orang Bloomington
Noura Publishing
Novel
Sepucuk Surat
Zia Faradina
Skrip Film
Bukan Hoki dari badan Memang....
Xrutes
Cerpen
Senja Memerahdi Atas Perahu Sopek
Ubaidillah
Cerpen
Bronze
𝐒𝐮𝐚𝐫𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐭𝐚𝐡𝐚𝐧
Langitttmallam
Novel
Bronze
Rindu Yang Tak Terlihat ~Novel~
Herman Sim
Novel
Ten Crazy People
Hesti Ary Windiastuti
Novel
Veracity
Meloghy
Flash
ELUSIF Chapter 0,2
Seto Yuma
Cerpen
Bronze
Quiz Yang Menguji Kepantasan
T. Filla
Rekomendasi
Cerpen
PATAH HATI DI UJUNG ADAT
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RANTAU RAMADHAN PERTAMA
ari prasetyaningrum
Cerpen
TERTAWAN SANG KETOS
ari prasetyaningrum
Cerpen
URBAN LEGEND DESA ARUMDALU
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH TERPAUT DI DERMAGA CINTA
ari prasetyaningrum
Cerpen
ANTARA ANDIKA, ANNISA DAN AMALIA
ari prasetyaningrum
Cerpen
PELANGI USAI BADAI
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH SEMUSIM LALU
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RENDANG UNTUK IBU MERTUA
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RAHIM TERLARANG
ari prasetyaningrum
Cerpen
BERLIAN YANG TERCAMPAK
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
JALAN HIDAYAH DI BALIK SENJA
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH PUTIH DARI HINDUSTAN
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
PETAKA BONEKA TERKUTUK
ari prasetyaningrum
Cerpen
GADIS TOMBOY TER DE BEST
ari prasetyaningrum