Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sore itu, Ibu mengajaknya ke mal. Berdua saja. Milly senang bukan kepalang. Ia ingin makan burger yang selama ini digembar-gemborkan sebagai burger paling enak oleh teman-teman sekolahnya.
Akan tetapi, Ibu tidak juga mengajaknya ke restoran yang ia mau itu. Ibu menggandeng tangannya ke sebuah toko yang menjual pakaian wanita dewasa. Tentu saja Milly langsung berpikir kalau ibunya itu egois.
Ia sudah ingin mengunyah burger impiannya itu. Kalau berjalan-jalan ke toko yang menjual baju-baju untuknya, tentu ia tidak keberatan. Ia hanya bertanya-tanya: Mengapa menunda demi membeli barang keinginan Ibu?
Ibu sudah membungkus barang yang dibelinya. Milly berdiri di samping Ibu dengan gelisah. Kakinya bergantian menumpuk demi membagi beban kebosanannya. Tidak lama setelahnya, Ibu menggandeng tangan Milly dan bersama-sama mereka melangkah ke sebuah tempat. Dari jauh, Milly melihat plang nama Great Burger. Matanya membesar bahagia.
Milly memeluk erat Ibu seraya tersenyum lebar. Ibu membalas senyumnya dengan riang. Milly yang pertama mendorong pintu masuk ke gerai burger itu. Namun, seketika langkahnya terhenti.
Tidak jauh dari tempatnya berdiri, Milly melihat kehadiran doa sosok yang sangat dikenalnya.
***
Milly dan Ibu sudah duduk di salah satu tempat di pojok restoran. Milly menyembunyikan wajahnya di punggung Ibu. Di depan mereka, ada Bibi Risa dan Paman Arian.
Milly yang baru masuk Sekolah Dasar kelas satu bukannya tidak pernah bertemu dengan bibi dan pamannya itu. Hanya saja, salah satu dari mereka sekarang begitu berubah penampilannya.
Sepanjang ingatan Milly, Bibi Risa adalah sosok yang hangat dan selalu tersenyum. Adik ibunya itu memiliki rambut panjang yang tebal dan indah. Milly senang menyentuh dan terkadang mengepangnya.
Namun kini, tidak ada rambut panjang dan indah yang bisa Milly sentuh-sentuh. Anak perempuan berumur tujuh tahun itu menatap aneh kepada sosok yang menutup rambutnya rapat-rapat.
Tidak hanya rambut, sekujur tubuh Bibi Risa terbalut dengan pakaian tebal dan longgar. Bibi hanya menyisakan bagian matanya yang terlihat. Milly yang tidak terbiasa, jadi sedikit merasa takut.
Ibu membimbing Milly untuk menampakkan diri. “Itu, kan, Bibi Risa,” kata wanita yang melahirkan Milly itu.
Milly merasa tidak enak hati. Ia bergeser tidak lagi menyembunyikan diri. Milly segan-segan menatap Bibi Risa. Ia tidak tahu apakah bibinya itu sedang tersenyum atau cemberut.
Kain yang menutupi tubuh Bibi Risa semuanya berwarna hitam dan gelap. Milly mencoba menatap mata Bibi Risa dan mencari-cari sosok seorang bibi yang ia kenal.
Tiba-tiba, tatapannya bersirobok dengan mata Bibi Risa yang memandanginya tajam. Tak pelak, ia pun menundukkan kepalanya.
“Jadi, kapan kalian berangkat?” tanya Ibu kepada Bibi Risa.
Milly melihat Bibi Risa menoleh ke samping kanannya. Bibinya itu menengok satu sosok laki-laki. Berbeda dengan Bibi Risa, Milly masih mengenali pria itu.
Namanya Arian. Milly memanggilnya dengan sebutan “Paman” karena laki-laki itu suami Bibi Risa. Berbeda dengan bibinya, Paman Arian tidak menutupi tubuhnya dengan kain lebar.
Paman Arian memakai kemeja lengan panjang sederhana dan celana kain yang longgar. Meskipun demikian, Milly tidak kalah takut dengan penampilan baru Paman Arian, Pasalnya, kumis dan janggut pamannya itu menutupi sebagian wajahnya.
Paman Arian yang menjawab, “Bulan depan.”
Milly mencoba memusatkan perhatiannya kepada burger yang sudah tersaji di depannya, tapi ia risih. Apalagi, Bibi Risa dan Paman Arian tidak memesan menu apapun dari restoran tempat mereka berada saat itu.
Ia kembali memikirkan pembicaraan teman-teman sekolahnya tentang burger paling enak di kota mereka tersebut. Milly harus segera mencobanya agar dapat menceritakannya kembali kepada teman-temannya.
Milly menggigit burgernya. Matanya terpejam berusaha menerjemahkan apa rasa yang sedang ia nikmati saat itu; asam, manis, gurih, atau pedas? Ia sibuk dengan pikirannya.
“Jangan sering-sering ke sini, Kak. Ini bisnis pengusaha Amerika. Keuntungannya digunakan untuk menghancurkan kita.”
Milly membuka matanya ketika Paman Arian mengungkapkan kalimat itu. Lagi-lagi, ia tidak mengerti. Padahal, dulu pamannya itu sering mengajaknya ke restoran cepat saji bermerek luar negeri tersebut.
Tampaknya, Ibu tidak menggubris kata-kata pamannya itu. Buktinya, Ibu mengambil barang yang mereka beli tadi dan menyodorkannya kepada Bibi Risa. Bibinya itu menerimanya dengan gerakan perlahan-lahan.
“Apa ini?” Paman Arian mengambil alih dan membuka bungkus hadiah.
Isinya adalah sehelai pashmina bermotif paduan bunga dan garis-garis geometri. Warnanya pink lembut dan hijau muda. Sangat indah, begitu Milly berpendapat dalam hati.
Namun, paman dan bibinya sepertinya tidak merasa seperti itu. Pasalnya, Paman Arian langsung membungkus pashmina itu kembali dan menggesernya ke hadapan Ibu.
“Risa tidak bisa pakai ini.”
Milly sudah tidak berselera menikmati burgernya. Padahal, menu yang ia impi-impikan sebelumnya itu baru dimakan setengah. Ia kesal dengan Paman Arian. Ibu memilih pashmina itu dengan hati-hati.
Ibu tadi bahkan menunda keinginan Milly demi membeli hadiah tersebut untuk Bibi Risa. Milly cemberut dan ingin melakukan sesuatu agar laki-laki di hadapannya itu tidak bersikap arogan.
Ibu tidak berkata apa-apa. Milly juga kesal karenanya. Setidaknya Ibu harus bilang kalau tingkah Paman itu tidak sopan. Sama seperti Ibu, Bibi Risa juga membisu.
Milly ingin meneriaki bibinya itu. Ia ingin Bibi Risanya yang dulu. Bibi yang hangat, banyak bicara, dan selalu bergembira. Bibi yang ada di hadapannya sekarang adalah bibi yang lebih dingin dibandingkan gunung es.
Milly harus melakukan sesuatu. Tapi, apa? Ia hanyalah seorang anak kecil. Ia juga tidak yakin kalau masalah yang akan ia kemukakan ini adalah hal penting. Ia hanya tidak suka dengan suasana yang canggung saat itu.
Kepalanya yang kecil tahu-tahu terpikir sesuatu. Jantungnya berdegup kencang, takut-takut kalau ia dianggap kelewatan. Ia melihat Bibi Risa yang sedari tadi sering menunduk dan tidak banyak bicara.
“Paman!” teriak Milly dengan nada yang lebih tinggi dari pada yang ia inginkan. “Boleh tolong belikan aku es krim?” pintanya.
Sudah dapat diduga kalau Ibu menyanggahnya. “Jangan begitu, Milly. Biar Ibu yang belikan, ya.”
Milly memandangi pamannya dengan tatapan mengiba. Orang dewasa tidak akan tega menyaksikan mata berkaca-kaca nan sendu yang anak kecil ekspresikan dalam setiap memohon satu permintaan.
Sekarang, ia hanya berharap Paman Arian masih bersikap selayaknya orang dewasa kebanyakan.
“Tidak apa-apa, Mbak.” Paman Arian pun berlalu.
Untungnya, restoran Great Burger yang mereka kunjungi saat itu memiliki tata letak yang unik. Konter pemesanan berada di depan pintu masuk, sedangkan tempat mereka duduk berada di pojok yang tidak terlihat dari konter.
Sebaik sosok Paman Arian tidak terlihat di depan mata, Ibu berdiri dan berpindah menghampiri Bibi Risa. Kedua wanita itu saling berpelukan. Ibu bahkan meneteskan air mata.
“Maaf, Mbak. Aku suka dengan hadiah kamu. Sungguh,” kata Bibi Risa seraya melepas cadar wajahnya.
“Risa, kalau kamu mau, kamu bisa ikut sama Mbak. Ayo, kita kabur sekarang juga.”
Bibi Risa menggeleng. “Walau bagaimanapun, dia suamiku.”
“Nggak, Sa. Jangan. Membela agama banyak caranya, bukan cuma pergi ke daerah konflik.”
“Tapi Arian ingin berjuang dengan cara itu. Aku wajib mendukungnya sebagai istri.”
“Nggak, Sa. Kamu berhak menolak.”
“Aku bisa apa, Mbak. Aku wanita gagal yang mandul,” Bibi Risa terisak. Bibinya itu lalu susah-payah melanjutkan kata dengan, “Arian sudah sangat baik tetap menerimaku.”
Ibu terdiam. Milly ingin sekali menyelami isi pikiran ibunya itu. Tapi, ia tidak mampu karena usianya yang belum diberikan kemampuan logika yang komplit. Ia hanya bisa berdiam diri dan memperhatikan mereka.
Dalam diam itu, tahu-tahu dari balik pilar, Milly melihat sosok Paman Arian yang mendekati mereka.
“Es krim aku datang,” kata Milly lirih.
Ibu langsung menghapus air matanya, sedangkan Bibi Risa mengambil pashmina dan menyembunyikannya di balik baju lebarnya yang longgar. Rupanya, ada untungnya juga Bibi Risa mengenakan pakaian itu.
Paman Arian sudah hampir sampai di meja mereka ketika Bibi Risa mengenakan kembali cadarnya.
Ibu kembali memeluk Bibi Risa. “Walau bagaimanapun, kamu adikku,” kata ibunya itu menirukan kalimat Bibi Risa sebelumnya. Setelah mengucapkan itu, Ibu kembali ke tempat duduknya.
Paman Arian memberikan mangkok es krim cokelat kepada Milly yang gadis kecil itu terima dengan senang hati. Setelahnya, Paman Arian berganti-gantian menatap Ibu dan Bibi Risa. Apakah pamannya itu mencurigai sesuatu telah terjadi antara keduanya? Meskipun begitu, apapun kecurigaannya itu, tidak seharusnya wajah pamannya itu bermuka masam, bukan?
“Kita harus segera pamit, Ris,” kata Paman Arian.
Bibi Risa mengambil tas yang diletakkannya di meja. Milly yang logikanya belum mampu mencerna banyak informasi, tahu-tahu mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan bibinya.
Wajah Bibi Risa masih tertutup sepenuhnya. Milly saja masih hanya mampu melihat penglihatan bibinya saja. Meskipun dengan keterbatasan itu, kali ini Milly dapat menyaksikan binar senyum di mata Bibi Risa.
Milly mempererat genggamannya dan balas tersenyum lebar.
***